Jumat, 23 November 2012

PERANAN SAIKIN SURIAWIDJAJA DALAM FRONT PEMUDA SUNDA DI JAWA BARAT (1924-1960) Merlina Orllanda , Drs., Awaludin Nugraha, M.Hum, Dra. Rina Adyawardhina Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Email : Merlina_orllanda@yahoo.co.id ABSTRAK Karya ini berjudul Peranan Saikin Suriawidjaja Dalam Front Pemuda Sunda di Jawa Barat (1924-1960). Topik ini memiliki arti penting untuk melihat peranan Saikin Suriawidjaja sebagai pendiri sekaligus ketua dalam Front Pemuda Sunda. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Selain itu, penelitian ini juga menerapkan metode sejarah lisan. Berdasarkan penelitian ini, eksistensi Front Pemuda Sunda tidak lepas dari peranan Saikin Suriawidjaja. Di bawah kepemimpinannya Front Pemuda Sunda menyelenggarakan Kongres Pemuda I pada tanggal 4-7 November 1956. Saikin Suriawidjaja tidak hanya sebagai Ketua Organisasi, tapi juga Ketua Presidium saat terlaksananya kongres. Melalui pemikirannya tentang Sunda dan pandangannya terhadap pemerintahan Soekarno, maka Saikin Suriawidjaja banyak sedikitnya menentukan arah perjuangan Front Pemuda Sunda Kata Kunci: heuristik, kritik, interpretasi, historiografi. Peranan, dan kepemimpinan. ABSTRACT The title of this thesis is The Role of Saikin Suriawidjaja on Sundanese Youth Front in West Java (1924-1960). This thesis described life and political background of Saikin Suriawidjaja. This topic has significance to see the role of Saikin Suriawidjaja as founder and chairman of the Sundanese Youth Front. The method used is historical method that consists of four steps, namely heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Moreover, this research also apply oral history method. Based on this research, the existence of the Sundanese Youth Front was not apart from the role of Saikin Suriawidjaja. Moreover, under his leadership the Sundanese Youth Front held Youth Congress I at November 4-7, 1956. Saikin Suriawidjaja was not only as the Chairman of the Organization, but also the Chairman of the Presidium when the congress was carried out. Through his thoughts about the Sundanese and his view toward Soekarno government, thenSaikin Suriawidjaja more or less determined the struggle direction of the Sundanese Youth Front. Keyword: dynamics, heuristic, criticism, interpretation, historiography, the role, and leadership. I. PENDAHULUAN Indonesia di awal kemerdekaan mengalami permasalahan yang kompleks, khususnya dalam bidang ekonomi, keamanan dan pemerintahan. Kemiskinan dan ketidakamanan yang dialami rakyat telah menimbulkan rasa tidak puas terhadap pemerintah. Sikap protes semakin menjadi tatkala banyak ditemukan kekurangan-kekurangan dalam mengelola negara. Jadi, pada masa itu negara mengalami ketidakstabilan dalam penataan dan pertahanan kedaulatan, serta gagalnya percobaan demokrasi di Indonesia. Kegagalan demokrasi tersebut dikarenakan Indonesia tidak punya kriteria ke sana. Hal itu di dukung pula oleh keadaan di tanah air, rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai pulau umumnya buta huruf, miskin, dan di bawah pengaruh kekuasaan otoriter. Demokrasi para politikus hanya dilakukan pada struktur demokrasi yang merakyat. Di waktu itu orang-orang yang melek politik hanyalah sekelompok kecil masyarakat perkotaan, biasanya kaum elite yang merasa lebih unggul dari budaya-budaya kedaerahan. Selain itu, Indonesia sebagai negara muda, juga mengalami masalah korupsi yang tersebar luas. Tidak hanya itu, kesatuan wilayah negara juga terancam karena adanya berbagai pergolakan yang menuntut pemisahan diri dari pemerintah pusat seperti RMS (Republik Maluku Selatan), Permesta, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), maupun pemberontakan ideologi seperti PKI di Madiun, DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat yang meluas ke Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan (Sulastomo, 1989: 111; Finaldin dan Sali Iskandar, 2006: 32). Jadi, wajar saja kalau ide demokrasi gagal diterapkan di tengah masalah ekonomi dan kependudukan yang dialami bangsa (Ricklefs, 2008: 494). Potret sejarah Indonesia di waktu itu adalah deskripsi tentang kemerdekaan yang disertai beragam persoalan pelik dan dramatis. Oleh karena itu, revolusi di Indonesia tidak hanya menimbulkan konflik politik tetapi juga konflik sosial seperti pembunuhan, pemberontakan, dan kegelisahan sosial dalam masyarakat (Ibrahim, 2004:5-6). Instabilitas politik yang dialami Indonesia telah menyebabkan kesengsaraan dalam kehidupan rakyat. Imbasnya merata di seluruh tanah air, namun karena letaknya dekat dengan ibukota pemerintahan, maka Jawa Barat menjadi prototype dari persoalan se-Indonesia. Apalagi di wilayah tersebut ada beberapa bukti konkrit tentang ketidakadilan sosial dan kegagalan ekonomi, serta beberapa harapan revolusi yang tidak terwujud (Ricklefs, 2008:493). Sehubungan itu, di Jawa Barat mulai muncul pergerakan. Ketidakstabilan negara itu menyebabkan lahirnya Front Pemuda Sunda pada tahun 1956. Gerakan tersebut aktif dalam lapangan politik lokal. Selain itu, Front Pemuda Sunda berhubungan dengan situasi politik negara Republik Indonesia. Eksistensi Front Pemuda Sunda dalam kancah politik tidak terlepas dari Saikin Suriawidjaja. Hal itu karena Saikin Suriawidjaja turut berpartisipasi dalam pergerakan politik orang Sunda. Berdasarkan pemikiran dan nuraninya yang berpedoman pada orang Sunda dulu, maka Saikin Suriawidjaja tidak sepakat dengan pemerintah saat itu. Menurut Saikin Suriawidjaja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya pemimpin (seseorang) memiliki sikap menjunjung tinggi hukum, membela negara dan menyuarakan hati rakyat, sedangkan kenyataannya tidak demikian. Hal itulah yang mendorong Saikin Suriawidjaja untuk muncul dalam percaturan politik nasional dan Jawa Barat. Peranan yang dimiliki Saikin Suriawidjaja dalam Front Pemuda Sunda (1956) tidak hanya disebabkan oleh lingkungan hidupnya, tapi juga oleh keadaan sosial politik Jawa Barat saat itu. Situasi yang tidak stabil di tengah merosotnya kehidupan ekonomi mendorong intelektual muda Sunda ini akhirnya mengikutsertakan dirinya ke dalam pergerakan politik orang Sunda. Dari situlah dimulai peranan Saikin Suriawidjaja yang tidak hanya sebagai salah satu tokoh pendiri Front Pemuda Sunda, tapi juga sebagai ketua yang pernah memimpin arah perjuangan gerakan tersebut. Karya ini memiliki arti penting untuk melihat peranan Saikin sebagai pendiri sekaligus ketua dalam Front Pemuda Sunda. Oleh sebab itu, penelitian ini diberi judul “ Peranan Saikin Suriawidjaja dalam Front Pemuda Sunda di Jawa Barat (1924-1960)”. Sesuai dengan pembatasan waktu, maka kajian penelitian ini akan difokuskan pada periode 1924-1960. Pengambil batasan waktu dimulai dari tahun 1924 karena masa itu merupakan keterangan waktu ketika Saikin Suriawidjaja dilahirkan. Kemudian batasan akhir dipilih pada 1960 karena masa itu Front Pemuda Sunda sudah tidak terlihat lagi melaksanakan kegiatannya. Selanjutnya, metode yang digunakan dalam karya ini adalah metode sejarah yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik adalah tahapan atau kegiatan, menemukan dan menghimpun sumber, informasi, jejak masa lampau (Herlina, 2008:15). Dalam penelitian ini penulis melakukan heuristik di perpustakaan yang ada di Bandung dan Garut. Selanjutnya, kritik adalah kegiatan meneliti dan menyeleksi sumber-sumber sejarah secara kritis (Herlina, 2008:15). Kritik dalam metode sejarah terdiri atas kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern untuk menyelidiki otentisitas sumber sedangkan kritik intern merupakan proses penyeleksian data dengan menyelidiki kredibilitas sumber. Kemudian, interpretasi adalah tahapan atau kegiatan menafsirkan fakta – fakta serta menetapkan makna dan saling hubungan daripada fakta – fakta yang diperoleh (Herlina, 2008:15), dan yang terkahir adalah historiografi, yaitu tahapan atau kegiatan menyampaikan hasil – hasil rekonstruksi imaginatif masa lampau itu sesuai dengan jejak – jejaknya (Herlina, 2008:16). Kegiatan pengumpulan sumber tidak hanya dilaksanakan ke berbagai perpustakaan yang disebutkan tadi, tapi juga dengan mewawancarai kerabat dan beberapa keturunan Saikin Suriawidjaja, sehingga diterapkan pula metode sejarah lisan. Perlu diketahui, bahwa karya sejarah tidak hanya bertujuan untuk menceritakan peristiwa yang pernah terjadi, tapi untuk lebih memperjelas penyebab, kondisi lingkungan, termasuk kondisi sosial, politik, dan budaya yang ada. Untuk mewujudkan hal itu, maka penelitian ini menggunakan konsep peranan dan kepemimpinan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci dan kritis. Kedua konsep tersebut memiliki peranan untuk memahami kehidupan dan kiprah Saikin Suriawidjaja terhadap eksistensi Front Pemuda Sunda di Jawa Barat (1924-1960). II. PEMBAHASAN Saikin Suriawidjaja lahir pada tanggal 14 April 1924, di Cibatu Kabupaten Garut. Ia anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya Dira Soerawidjaja merupakan mantri kehutanan yang bekerja dengan Belanda, sehingga cukup berpengaruh di Garut Selatan (wawancara dengan Mia Suhara, 15 April 2012). Di dalam keluarganya Saikin Suriawidjaja dikenal sebagai anak yang berkepribadian baik, tegas, taat beragama dan tanggung jawab. Ia memiliki potensi akademik yang mendukung karirnya. Oleh sebab itu di dalam riwayat pendidikannya, Saikin Suriawidjaja pernah sekolah di sekolah orang Belanda (HIS, Sekolah Pertanian di Malang, MLS di Bogor, dan HBS di Menteng). Setelah lulus Saikin Suriawidjaja menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian Bogor (IPB) (Rosidi dalam Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005). Selain cerdas, maka Saikin Suriawidjaja merupakan pemuda yang perduli terhadap negara. Hal itu karena ia tumbuh di tengah gejolak bangsa yang sangat kompleks. Di awal kemerdekaan Saikin Suriawidjaja pernah ikut mempertahankan Kota Tasikmalaya. Ia tergabung dalam pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Resimen VIII pimpinan Letnan Kolonel Supyan Iskandar yang seterusnya menjadi Divisi Siliwangi (Marlina, 2006: 2). Saikin Suriawidjaja juga memimpin para pejuang TNI untuk bersatu dalam melawan Belanda di Grogor, Balikpapan, Kaltim (Rosidi, 2003: 342). Disebutkan pula saat Saikin Suriawidjaja bergabung dengan TRI (yang kemudian menjadi TNI), ia menjadi staf Resimen bersama Letnan Umar Wirahadikusumah (mantan Wakil Presiden RI pada masa itu) (Rosidi dalam Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005). Kontribusi Saikin Suriawidjaja dalam mendukung kemerdekaan Indonesia tidak hanya melalui jalur militer, tapi juga politik. Hal itu didukung oleh pengangkatannya sebagai anggota KNIP pada tahun 1947 (pada saat sidang KNIP ke-V di Malang tanggal 5 Februari-6 Maret 1947) (Suriawidjaja, t.th: 5). Terkait dengan karir Saikin Suriawidjaja, maka perlu diketahui bahwa ia pernah menjadi dosen di IPB dan Universitas Ibnu Khaldun Bogor (1961-1963). Ia juga pernah menjadi Direktur PT. Baud Indonesia di Jakarta (1964-1972), Managing Supervisor PT Wisma Surya di Surabaya (1974-1975), Direktur PT. Molindo Raya (1976-1978), Presiden Utama PT Mutu Kimia Utama (1978-1980), dan konsultan lepas bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan (Rosidi, 2003: 342). Perjalanan hidup Saikin Suriawidjaja merupakan bagian dari rencana Tuhan, dalam kongres pemuda Sunda tahun 1956 Saikin Suriawidjaja bertemu dengan wanita Sunda yang manis. Ia adalah Kuswati, seorang gadis Sunda keluaran dari SGTK Kartini (Suriawidjaja, t.th: 3). Pertemuan Rd. Kuswati dan Saikin Suriawidjaja yang disebutkan tadi (melalui kongres pemuda Sunda 1956) berujung pada suatu pernikahan. Pasangan ini kemudian dikarunia empat anak perempuan, yaitu Dewi Nuspiyah, Endang Hanimah, Yayan Nuryamah dan Epon Suliyamah (wawancara dengan Yayan Nuryamah, 13 April 2012). Seiring berjalannya waktu, maka tepat hari Sabtu, 1 Oktober 2005 Saikin Suriawidjaja meninggal. Ia adalah sosok idealis yang selalu ingin memperjuangkan kepentingan orang banyak. Prinsip hidupnya tidak keluar dari jalur dimana ia selalu berpedoman kepada aturan agama dan norma (wawancara dengan Yayan Nuryamah, 13 April 2012). Terkait dengan hal itu, maka semasa mudanya (tempat pada masa pergerakan), Saikin Suriawidjaja tampil dalam kehidupan politik di tanah air. Episode mengenai Revolusi Indonesia mengalami berbagai masalah yang kompleks. Negara yang baru merdeka adalah negara muda yang masih harus membenahi pemerintahan. Apalagi pada tahun 1950-an negara mengalami kekacauan akibat gangguan keamanan. Khusus di Jawa Barat, DI/TII merajalela hingga membuat pemerintah kewalahan. Hal itu menimbulkan ketidakpuasan rakyat. Oleh itu, muncullah kesadaran putra daerah yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan bekal pendidikan dan identitas kedaerahan, maka pemuda Sunda berpartisipasi dalam pergerakan, tidak terkecuali Saikin Suriawidjaja. Dari situ Saikin Suriawidjaja kemudian bergabung dalam Front Pemuda Sunda. Sesuai itu, maka kiprah Saikin Suriawidjaja dalam Front Pemuda Sunda ditentukan oleh pemikirannya yang meliputi ideologi Kesundaan dan pandangannya terhadap pemerintahan Soekarno. Menurut Saikin Suriawidjaja orang Sunda memiliki pandangan hidup dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi orang Sunda hendaknya memiliki sikap menjunjung tinggi hukum, membela negara dan menyuarakan hati rakyat (Suriawidjaja, 2001: 3). Jadi landasan Saikin Suriawidjaja terjun dalam pergerakan orang Sunda pada masanya tidak terlepas dari konsepsi Sunda yang jadi pedomannya. Orang Sunda adalah manusia dengan kepribadian seperti jaman Kerajaan Sunda (Raja-raja Sunda melambangkan kepemimpinan panutan orang Sunda dan bukan kekuasaan yang dipuja). Tidak seperti pada masa revolusi atau pemerintahan saat itu. Menurut Saikin Suriawidjaja, sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah sifat ksatria dan kepahlawanan, teguh pendirian, harga diri yang tinggi, penuh tanggung jawab, sepi ing pamrih, jembar hati tak dendam dan sirik, pidik, besar rasa kemanusiaan, jujur dan adil, serta arif dan bijaksana (Suriawidjaja, 2001: 3). Kemudian, penyebab terjunnya Saikin Suriawidjaja dalam Front Pemuda Sunda dikarenakan kekecewaannya pada pemerintahan terkait dengan pengaruh komunis. Apalagi gaya pemerintahan saat itu tidak sesuai dengan berbagai masalah yang dihadapi rakyat. Perlu diketahui bahwa sisa pendudukan Jepang menyebabkan kemiskinan yang merata di seluruh tanah air. Jadi bukan orang Sunda saja yang menderita, tapi seluruh Indonesia. Sanking menderitanya, maka di Sunda sendiri pernah merasakan makan gaplek. Keadaan tersebut akibat adanya gangguan dari DI/TII yang disinyalir sebagai sisa-sisa PKI, sehingga ketenangan rakyat Jawa Barat mulai terganggu, namun pemerintah yang berkuasa tidak menunjukkan respon apalagi mengulurkan solusi pada waktu itu (wawancara dengan Suhara Rahardja, 15 April 2012). Menurut Saikin Suriawidjaja keadaan tersebut tidak ideal. Pada waktu itu struktur kehidupan sosial dan politik mulai hancur. Politikus di Jakarta menunjukkan bahwa norma yang ada dapat diabaikan. Apalagi masa krisis sosial dan ekonomi saat itu banyak diselingi dengan fenomena korupsi dan kesan pemimpin yang suka berkunjung ke berbagai negara. Permasalahan yang tidak kunjung selesai dan aspirasi rakyat yang diabaikan mendorong Pemuda Sunda 1950-an mulai kritis dan bergerak ke arah politik, tidak terkecuali Saikin Suriawidjaja. dengan bekal pendidikan dan pemahaman politiknya, maka Saikin Suriawidjaja ketika menjadi mahasiswa di IPB menghimpun rekan-rekannya dalam organisasi Putera Sunda (wawancara dengan Yayan Nuryamah, 13 April 2012) Sehubungan itu, adanya organisasi tersebut merupakan cikal bakal Front Pemuda Sunda. Di bawah pimpinan Alisyahbana Kartapranata dari Putra Sunda, maka hasil kongres pada 18 Maret 1956 telah menghasilkan satu keputusan bersama untuk mendirikan “Front Pemuda Sunda” (Marlina, 2011: 3). Gerakan tersebut merupakan wadah perjuangan orang Sunda. Front Pemuda Sunda mempunyai perspektifnya sendiri dalam membangun Jawa Barat. Adapun kepentingan yang akan diperjuangkan ialah menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan politik, namun perjuangan yang ditempuh melalui jalur politik (Marlina, 2011: 3). Perjuangan Front Pemuda Sunda mendapat tantangan dari pemerintah. Hal itu karena gerakan ini dianggap subversif dan gangguan keamanan. Apalagi pada 17 Agustus 1956 Front Pemuda Sunda menyebarkan pamflet yang isinya menentang keras pemerintah. Akibatnya pemimpin gerakan tersebut dan petinggi lainnya ditangkap (Adeng R. Kusumawidjaya dan Adjam S. Syamsupradja). Sejak saat itu kepemimpinan dalam Front Pemuda Sunda sepenuhnya berada di tangan Saikin Suriawidjaja. Dengan kedudukannya sebagai ketua, maka Saikin Suriawidjaja berperan dalam menentukan arah dan cita-cita Front Pemuda Sunda. Adapun eksistensi Saikin Suriawidjaja dalam Front Pemuda Sunda dikarenakan keberhasilannya dalam menyelenggarakan Kongres Pemuda Sunda I pada tanggal 4-7 November 1956 (saat kongres Saikin Suriawidjaja menjabat sebagai ketua presidium). Selanjutnya, ia juga berkontribusi dalam merumuskan kesimpulan kongres yang menginginkan agar Sunda menjadi negara bagian Republik Indonesia (negara federasi). Tidak hanya itu, Saikin Suriawidjaja bahkan berperan dalam pembentukan DKPS (Dewan Komando Pemuda Sunda) (Presidium Kongres Pemuda Sunda: Susunan Wangunan Dewan Komando Pemuda Sunda “Dasar Papagon Perdjuangan Sunda”, 17 Desember 1956. No.2/FPS/56). Adapun tujuan dari Front Pemuda Sunda seperti yang tercantum dalam keputusan kongres 4-7 November 1956 sebagai berikut : 1. Front Pemuda Sunda menentang segala tuduhan dan hasutan golongan yang menyatakannya sebagai gerakan anti Jawa. Front Pemuda Sunda juga mengakui keberadaannya sebagai organisasi legal yang berdasarkan atas paham demokrasi. 2. Hasil kongres menentang sistem pemerintahan sentralisasi dan menuntut sistem desentralisasi. Menuntut otonomi seluas-seluasnya kepada daerah. 3. Menginginkan terbentuknya negara federasi, supaya dapat menentukan nasib sendiri dalam lingkungan R.I. 4. Tidak menerima kebijakan pemerintah yang dianggap melalaikan kebutuhan daerah, bahkan pemerintah dinilai telah menghisap kekayaan dan tenaga daerah. 5. Menentang pemerintah yang dianggap menyimpang dari tujuan proklamasi dan Pancasila (Soekarno yang dianggap mendapat pengaruh PKI). 6. Menginginkan agar nama Jawa Barat diganti dengan nama “Sunda”. 7. Mempunyai keinginan untuk membasmi DI/TII yang dianggap merusak Jawa Barat. Di samping itu mengingatkan pemerintah untuk mengurusi janda dan anak-anak yatim akibat korban revolusi dan DI/TII. 8. Menjunjung demokrasi dengan menghargai tuntutan daerah seperti Pasundan, Aceh, dan Minahasa dan menuntut pemerintah untuk mengabulkan keinginan daerah-daerah tersebut. 9. Menginginkan perubahan politik personalia agar kedudukan penting pemerintah dipegang oleh orang Sunda, serta menghendaki agar orang yang memiliki jabatan rangkap agar melepas salah satu jabatannya 10. Membentuk DKPS untuk mengamankan segala hasil keputusan kongres. Selain itu, menginginkan agar putra Sunda mendapat kesempatan mengamankan daerahnya. 11. Menginginkan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan rakyat di Pasundan, terutama dalam bidang sosial-ekonomi. 12. Menyatakan Gajah Mada sebagai penjajah yang menimbulkan perpecahan di kalangan suku bangsa. 13. Mengusulkan dibentuknya Universitas Negeri di Jawa Barat karena pada waktu itu ITB dan IPB masih sebagai bagian dari Universitas Indonesia (kelak menjadi cikal bakal terbentuknya Universitas Padjajaran) (Keputusan Kongres Pemuda Sunda, 7 November 1956: 1-9). Hasil keputusan tersebut, disepakati oleh semua peserta kongres. Selain itu, harapan dari terlaksananya kongres tersebut adalah kepekaan pemerintah untuk memperhatikan masyarakat Indonesia, khususnya Sunda dalam bidang keamanan, kesejahteraan, dan kebudayaan. Di samping itu kesimpulan umum yang dihasilkan Kongres Pemuda Sunda menyatakan bahwa “Keamanan dan pelaksanaan sosial-ekonomi dan kebudayaan itu akan lebih terjamin dalam bentuk negara federasi yang akan menguntungkan semua suku bangsa daripada bentuk negara kesatuan. Oleh karena itu sunda harus dijadikan negara bagian Republik Indonesia” (Rosidi, 2003: 59). Keputusan Kongres yang melahirkan Presidium Dewan Komando Sunda dan upaya mendirikan negara federasi yang tidak sesuai dengan NKRI membuat gerakan ini mendapat hambatan dari pemerintah. Pada tanggal 7 Mei 1957 para pemimpin Pemuda Sunda yang berkumpul di Kebayoran Baru/ Jl. Benda ditangkap. Semuanya adalah Presidium Dewan Komando Sunda yaitu Gumbira (Ketua), Saikin Suriawidjaja (Wakil Ketua), Alibasjah Kartapranata (Sekjen), Nana Sutresna, Mulauri Kartawana, Adjam Syamsupradja (Anggota), dan lain-lain (Atmakusumah, 2002: 13). Setelah Kongres Pemuda Sunda tidak ada kegiatan yang menonjol dari Front Pemuda Sunda, namun gerakan tersebut tidak pernah bubar. Artinya organisasi itu hidup dan terus berjuang. Apabila tidak Front Pemuda Sunda tidak terlihat dengan aktivitas politiknya itu disebabkan menghilangnya para tokoh karena faktor usia. Jadi Front Pemuda Sunda tidak pernah bubar, dibubarkan atau membubarkan diri. Hal itu karena tidak ada pernyataan resmi yang membubarkan (wawancara dengan Suhara Rahardja, 15 April 2012). III. SIMPULAN Saikin Suriawidjaja berasal dari keluarga yang mengutamakan pendidikan. Dengan pendidikan ia tumbuh menjadi sosok yang intelek dan kritis. Sikap kritis itu muncul karena Saikin Suriawidjaja tumbuh di negara muda yang mengalami masalah ekonomi dan keamanan. Sebagai orang Sunda, Saikin Suriawidjaja sempat merasakan ketersisihan etnis. Keadaan itu menempa pemahaman tokoh Sunda ini untuk tidak setuju dengan Negara Kesatuan. Dari situ ia mulai memahami politik. Saikin Suriawidjaja menganggap sistem pemerintahan yang berdaulat tidak sesuai dengan tujuan proklamasi 1945. Apalagi terdapat banyak kepincangan dalam mengelola negara di masa Soekarno (1950-an). Oleh sebab itu, Saikin Suriawidjaja menghendaki terbentuknya negara federasi. Hal itu dianggap menguntungkan semua suku, tidak terkecuali untuk Sunda. Berdasarkan alasan itu, maka Front Pemuda Sunda adalah jawaban untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dari situ Saikin Suriawidjaja kemudian terjun ke dalam kehidupan politik negara Indonesia. Melalui Front Pemuda Sunda ia dapat mengeluarkan pemikirannya tentang situasi negara. Di dalam gerakan tersebut Saikin Suriawidjaja memiliki peranan dalam pendirian dan pelaksanaan aktivitas politik. Di bawah kepemimpinan Saikin Suriawidjaja Front Pemuda Sunda semakin eksis.Hal itu terlihat dari sikap dan kegiatan gerakan tersebut dalam mengkritisi pemerintah. Padahal Front Pemuda Sunda mendapat tantangan keras dari pemerintah (akibat peristiwa pamflet). Di tengah situasi itulah, sosok Saikin Suriawidjaja kemudian muncul. Saikin Suriawidjaja berhasil menanamkan kepercayaan diri anggota-anggotanya atas kegiatan dan tujuan Front Pemuda Sunda. Ia sangat menentukan arah perjuangan Front Pemuda Sunda. Selain itu, wujud konkret dari peranannya terlihat dari keberhasilan Front Pemuda Sunda melaksanakan Kongres. Kongres tersebut berperan dalam pergerakan orang Sunda. Adapun salah satu hasil keputusan kongres yang bersumber dari ide Saikin Suriawidjaja adalah upaya pembentukan negara federasi dan pendirian DKPS. Meskipun di akhir tahun 1950-an Front Pemuda Sunda mendapat hambatan yang serius dari pemerintah, namun tidak dipungkiri bahwa gerakan tersebut memiliki eksistensi, semua berkat kiprah Saikin Suriawidjaja. IV. UCAPAN TERIMA KASIH Subhaanallahi wal hamdulillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Ungkapan tersebut adalah kata pertama yang mengiringi rasa syukur penulis. Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah. Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya yang berjudul “Peranan Saikin Suriawidjaja dalam Front Pemuda Sunda di Jawa Barat (1924-1960)”. Rasa lelah dan jenuh penulis mengalami kesirnaan karena dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya; kepada Bapak Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, yang merangkap sebagai Dosen Wali Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Padjajaran 2008, selain itu Bapak Awaludin merupakan pembimbing utama; kepada Ibu Rina Adyawardhina, Dra., M.Si., selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan saran dan arahan selama proses bimbingan; kepada Bapak Dr. Reiza D. Dienaputra, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I yang pernah memberi motivasi, diskusi, dan evaluasi selama perkuliahan Seminar Skripsi; kepada Ibu N. Kartika, S.S., M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini; kepada Ibu Prof. Dr. H. Itje Marlina, M.Si., selaku dosen dan narasumber yang telah membagi pengetahuannya kepada penulis, ; serta seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran yang telah berkenan membagi ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. Penulis juga menghaturkan banyak terima kasih kepada seluruh keluarga Saikin Suriawidjaja yang memperkenankan diangkatnya topik ini. Apalagi keturunan dan kerabat Saikin Suriawidjaja bersedia membagikan sumber informasi berupa dokumen, foto, catatan harian Saikin Suriawidjaja, surat kabar sejaman, buku keluarga, dan sumber lisan. Di samping itu ucapan terima kasih juga diperuntukkan kepada berbagai perpustakaan yang telah dikunjungi penulis selama proses heuristik. Sembah bakti dan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada Ayahanda Suid dan Ibunda Yusnida Sari yang telah membimbing, mendidik, memberi doa restu, dan semangat kepada penulis. Mereka adalah orang tua terhebat karena mampu menjadi inspirasi di tengah rasa malas dan keterpurukan yang sempat dihadapi penulis. Rasa tanggung jawab dan keinginan untuk tidak mengecewakan keduanya merupakan motivasi utama terselesainya karya ini. Banyak terima kasih juga penulis sampaikan kepada guru-guru yang pernah memberikan ilmu di sekolah. Selain itu penulis sampaikan terima kasih kepada pihak penyedia beasiswa pendidikan (Sanbe Farma) dan Alumni Ilmu Sejarah yang telah memberi dana penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh anggota keluarga besar atas dukun dukungan moril dan materil. Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh rekan seperjuangan di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, khususnya angkatan 2008. Kemudian penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Putri Hayuningtyas dan Dwi Vina Lestari. Dukungan yang luar biasa penulis peroleh dari persahabatan. Mereka adalah pendengar yang baik, rekan diskusi dalam pelajaran, serta teman keseharian. Dari keseluruhan pihak yang berkontribusi maka ada sosok terpenting dan berpengaruh atas terciptanya karya ini. Penulis ucapkan rasa terima kasih yang amat mendalam kepada Oki Nensa Faresta. Sebagai orang yang amat istimewa bagi penulis, Oki telah berkontribusi dalam menumbuhkan kepercayaan diri dan mengingatkan penulis dalam memenuhi tanggung jawab akademiknya. Selain itu dengan kerendahan hatinya telah bersedia memberi saran dan koreksi atas tulisan ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini memiliki banyak kekurangan. Mudah-mudahan kekurangan ini membuat penulis terus berendah hati, dan karenanya, akan selalu belajar untuk memperbaiki kesalahan. Harapan penulis, karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik dengan isi pembahasannya, atau paling tidak membutuhkan informasi mengenai topik penelitian ini. Selain itu, semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan kepada dunia ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Sejarah. Bandung, 6 November 2012 Penulis, DAFTAR SUMBER A. ARSIP Keputusan Kongres Pemuda Sunda di Bandung TGL. 5-6-7 November 1956, 7 November 1956, pukul 18.41, Bandung Presidium Kongres Pemuda Sunda: Susunan Wangunan Dewan Komando Pemuda Sunda “Dasar Papagon Perdjuangan Sunda”, disertai lampiran, 17 Desember 1956. No.2/FPS/56. B. BUKU Finaldin, Tom dan Sali Iskandar. 2006. Presiden RI dari Masa keMasa.Bandung: Jabar Education and Enterpreneur Center. Herlina, Nina. 2008. Metode Sejarah.Bandung: Satiya Historika. Ibrahim, Julianto. 2004. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta.Jakarta: Bina Cipta Pustaka. Riclekfs, Mc.2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Edisi Revisi). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Rosidi, Ajip. 2003. Apa Siapa Orang Sunda.Jakarta: Kiblat. -------------. 2003. Tulak Bala Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda C. KORAN Rosidi, 2005, “Mengenang Ir. Saikin Suriawidjaja (1924-2005)”. Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005. D. ARTIKEL Marlina, Itje. 2006. Memperingati Satu Tahun Wafatnya Ir. Saikin Soerawidjaja. Suriawidjaja, Saikin. 2001. Mengungkap Jati Diri Ki Sunda. Suriawidjaja, Saikin. Penteukeuh Jeung Gurat Batu. E. MAKALAH Atmakusumah, Hasan Wahyu. 2002. Dampak Terbentuknya Gerakan Pemuda Sunda Terhadap Kehidupan Sosial Politik Waktu Itu. Makalah disampaikan pada Temu Tokoh Sejarah Gerakan Pemuda Tahun 1950-an, Diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Pada 28 Agustus 2002 di Bandung. Marlina, Itje. 2011. “Gerakan Front Pemuda Sunda dan Perjuangannya di Jawa Barat” Makalah disampaikan pada konferensi internasional “Budaya Sunda” ke-2 12 Desember 2011 di Bandung. Hlm 1-8. F. WAWANCARA Wawancara Ibu Yayan Nuryamah pada 13April 2012 Nama : Yayan Nuryamah Tempat, tanggal lahir : Bandung, 11 Mei 1966 Alamat : Taman Cibaduyut Blok L Indah No. 63 Bandung. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Tempat Wawancara : Taman Cibaduyut Blok L Indah No. 63 Bandung. Wawancara Bapak Suhara Rahardja pada 15 April 2012 Nama : Suhara Rahardja Tempat, tanggal lahir : Cianjur, 17 Juli 1937 Alamat : Jl. Saturnus Utara XVII No. 25, Margahayu Raya. Pekerjaan : Pensiunan PTP XIII Tempat Wawancara : Jl. Saturnus Utara XVII No. 25, Margahayu Raya, Wawancara Ibu Mia Suhara pada 15 April 2012 Nama : Mia Suhara Tempat, tanggal lahir : Tasikmalaya, 31 Juli 1940 Alamat : Jl. Saturnus Utara XVII No. 25, Margahayu Raya. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Tempat Wawancara : Jl. Saturnus Utara XVII No. 25, Margahayu Raya,

Senin, 24 Oktober 2011

Oleh : Merlina Agustina Orllanda Npm : 180310080026

Jawa
Bandit-Bandit Pedesaan
Studi Historis 1850-1942.
Oleh : Suhartono W. Pranoto


Ringkasan Isi

Buku “Bandit-Bandit Pedesaan” merupakan studi historis yang menggambarkan reaksi masyarakat atas kebijakan pemerintah kolonial. Adapun ruang cakupan pembahasan meliputi keresidenan Banten-Batavia, Yogyakarta-Surakarta, dan Pasuruan-Probolinggo.
Di dalam buku diceritakan praktik eksploitasi terhadap petani lahir karena adanya reorganisasi agraria. Tindakan tersebut dilakukan untuk memulihkan kas negara. Setelah Perang Diponegoro pemerintah Hindia Belanda melakukan usaha untuk memperbaiki keuangan, pemerintah mempraktikkan Tanam Paksa (cultuurstelsel), yang tidak lain adalah intensifikasi sistem tradisional (Pranoto, Suhartono. 2010:70).
Sejak saat itu eksploitasi terhadap petani semakin menjadi-jadi. Hal itu disebabkan kebijakan yang mengiringi sistem didalamnya. Pada isi buku dijelaskan mengenai dampak dari sistem tersebut hingga reaksi yang timbul dari masyarakat. Dari adanya reaksi tersebut lah, maka pada buku disebutkan keberadaan bandit-bandit pedesaan sebagai tokoh-tokoh pelaku aksi atas kebijakan pemerintah kolonial.
Umumnya Perbanditan muncul di pedesaan terutama di daerah sekitar perkebunan karena adanya berbagai desakan dan tekanan dari perkebunan (Pranoto, Suhartono. 2010:4). Pada isi buku dipaparkan mengenai aksi bandit-bandit pedesaan Jawa dalam mewujudkan protes sosialnya lewat penjarahan, perampokan, dan sebagainya. Aksi-aksi tersebut umumnya ditujukkan pada pihak-pihak yang kelompok ini rasa telah merugikan kehidupan masyarakat. Dalam studi tersebut, kalangan yang dimaksud bisa pihak pemerintah kolonial, orang-orang yang dekat dengan Belanda, dan orang-orang Cina.

Modus Tindakan Kriminal (perbanditan pedesaan) di dalam buku “Bandit-bandit Pedesaan Jawa”
Di dalam setiap tindakan pastinya akan dilatarbelakangi oleh faktor penyebab atau faktor pendorong, sehingga terlaksananya tindakan yang dimaksud. Berikut adalah modus dari lahirnya perbanditan di pedesaan Jawa 1850-1942 berdasarkan buku Suhartono W. Pranoto :
1. Kebijakan pemerintah kolonial yang mempersulit kehidupan petani (memberi tekanan terhadap rakyat kecil)/ praktik memiskinkan rakyat (eksploitasi dan politik kecurangan)
 Setelah sistem tanam paksa 1830 dianggap tidak mampu memulihkan kas negara, maka situasi politik dari negeri Belanda sendiri menghasilkan kesepakatan untuk diberlakukannya undang-undang gula sejak tahun 1870. Sejak saat itu pula diterapkan program liberal yang membuat perkebunan digantikan oleh perkebunan swasta (Pranoto, Suhartono, 2010: 90). Timbulnya perkebunan dan tanah-tanah partikelir di Jawa adalah babak baru bagi ekonomi perkebunan. Dengan kata lain terjadi perubahan perekonomian yang semula didominasi oleh perekonomiaan tradisional kemudian digantikan oleh perekonomian yang didominasi oleh tanaman perdagangan (commercial crops) (Pranoto, Suhartono, 2010: 69). Sejak berdirinya perkebunan tidak hanya secara fisik mengatur perkebunan agar efisien tetapi menyangkut masalah institusional yang menjadi wadah kehidupan masyarakat pedesaan. Hal itu lah yang merongrong eksistensi kehidupan masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya sangat menghormati pemimpin tradisional. Rakyat sangat tergantung dari kemauan dan tindakan raja. Oleh karena raja telah memenuhi segala kehidupan rakyat, maka secara otomatis rakyat loyal pada raja (Pranoto, Suhartono, 2010: 84). Hubungan antara raja dan rakyat tersebut kemudian dialih fungsikan sesuai dengan tujuan penerapan sistem liberal. Pada dasarnya patron klien mempunyai kesempatan dan peluang besar untuk mengeksploitasi rakyat, maka dari itu praktik tersebut dilakukan oleh pengelola perkebunan dan pertanian. Dengan dibukanya tanah partikelir dan perkebunan di Jawa maka terjadi lah pergantian patron. Contohnya pada pergantian posisi raja oleh penyewa tanah ” raja baru” yang berhak atas pajak, upeti, dan sumbangan untuk kepentingan usahanya (Pranoto, Suhartono, 2010: 84). Penyewa tanah ini yang kemudian memanfaatkan tanah dan tenaga kerja dengan mengeksploitasi secara maksimal (Pranoto, Suhartono, 2010: 85). Sejak berlakunya kebijakan ekonomi liberal pemerintah saat itu, maka tanah dan tenaga kerja yang dikuasai oleh penyewa , sehingga desa akan kehilangan sumber daya alam maupun manusia (Pranoto, Suhartono, 2010: 87). Perkebunan telah memberi keuntungan bagi pemerintah dengan wujud eksploitasi petani. Manifestasi kapitalisme agraris adalah penyerapan faktor-faktor produksi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya yang sudah tentu merugikan petani. Bukti konkret dari praktik tersebut ialah : kebijakan kolonial membuat petani memperoleh pendapatan berupa upah, akan tetapi petani dikenalkan oleh budaya konsumsi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, lama-kelamaan petani terjerat hutang, karena petani dikenakan beban kerja yang sangat berat/ wajib, maka petani tidak punya mata pencaharian lain selain mengabdikan dirinya pada penyewa tanah/ pengusaha perkebunan swasta, untuk membayar hutangya, maka upah yang diterima petani atau gaji dipotong/ dibayarkan belanja sebelumnya. Selain itu petani juga dikenakan pajak. Oleh karena itu, untuk membayar pajak petani membeli uang, petani menjual hasil pekarangan dan tenaganya untuk membayar pajak. Hal itu lah yang membuat kehidupan petani tertekan, sehingga petani menyerah pada kapitalis. Keadaan petani dan buruh menjadi sangat lemah, mereka tidak berdaya menghadapi penguasa, bak kerbau dicocok hidungnya, mudah diperintah semau pemiliknya. Demikian lah nasib wong cilik. Apalagi dengan keberadaan tanah partikelir (landheer), penyewa tanah (landhuurder), retenier, dan pachter Cina, para kepala desa; demang, rangga, petinggi, bekel, dan petani kaya serta pedagang kaya adalah orang-orang yang merugikan petani dan menyebabkan kemiskinan (Pranoto, Suhartono, 2010: 124). Praktik kecurangan tidak manusiawi seperti cuke, contingenten yang berlebihan, termasuk heerendiensten dan hoof-geld. Menimbulkan ketidak puasan. Dominasi struktural menyebabkan perasaan dari strata bawah menjadi inferior. Oleh karena itu, maka tekanan yang dihadapi petani berupa beban kerja wajib yang berat, karena hampir seluruh waktunya dikonsumsikan untuk melayani perkebunan mendorong lahirnya perbanditan sosial. Berdasarkan isi buku, maka fenomena tersebut bisa dicontohkan seperti di Banten dan Batavia perbanditan merupakan reaksi atas penghisapan tuan-tuan tanah partikelir baik orang Belanda maupun Cina, di Yogyakarta dan Surakarta perbanditan didominasi oleh kecu yang menolak dominasi agroindustri pemerintah maupun swasta, dan di Pasuruan dan Probolinggo perbanditan diwujudkan dalam bentuk pembakaran tebu. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, maka perbanditan sosial mempunyai pengertian protes petani untuk memodifikasi atau menghilangkan sistem kolonial yang merugikan petani. Protes ini merupakan kesadaran petani baik individual maupun kolektif dengan organisasi tradisional, untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan tanpa konfrontasi langsung dengan pemerintahan atau perkebunan (Pranoto, Suhartono, 2010: 7). Perbanditan mengacu pada perbuatan individu atau kelompok yang menentang hukum. Menurut Hobsbawm, bandit adalah seseorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Bandit dibedakan atas bandit biasa (seseorang yang melakukan kejahatan dengan merampok tanpa latar belakang apapun) dan bandit sosial ( perbuatan seseorang untuk merampok yang dilatarbelakangi kepentingan sosial-politik). Perbanditan di pedesaan mengandung pengertian proses sosial terhadap pemerintahan atau perkebunan yang melakukan tindakan yang merugikan petani. Menurut Hobsbawn perbanditan tidak lepas dari : Perasaan tidak puas, Sukar melepas perbanditan yang sesungguhnya dari gerakan sosial, Gambaran situasi yang masih primitif. (Pranoto, Suhartono, 2010: 106). Tampaknya pengertian tersebut memiliki korelasi dengan fenomena perbanditan yang terjadi di pedesaan Jawa.
2. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (untuk mencapai kesejahteraan)
 Sejak pertengahan abad XIX pengaruh kultur Barat makin kuat ke pedesaan. Pengaruh ini makin marak dengan hadirnya perkebunan dan pabrik di pedesaan sebagai pusat eksploitasi agraris. Manifestasi budaya Barat yang diperkenalkan dan dikembangkan lewat agroindustri mampu mendesak dan menekan budaya tradisional. Bukti nyatanya ialah keberadaan sistem tanam paksa 1830 telah memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Sejak saat itu perbanditan berkembang dan mendapat tempat baik di tanah partikelir maupun di perkebunan (Pranoto, Suhartono, 2010: 8). Selain sistem tanam paksa, maka dibukanya perkebunan swasta juga semakin mempersulit kehidupan petani. Jiwa kapitalis telah menelan kekayaan petani berupa tanah dan tenaga kerja (Pranoto, Suhartono, 2010: 4). Sistem yang ada membuat Petani terdesak dan tertekan oleh beratnya pajak dan kerja wajib. Selain itu para kuli juga mengalami hidup yang tidak menentu, upah sangat rendah, kebutuhan meningkat, dan kebutuhan konsumtif menjerat mereka dan mencari tambahan pendapatan dengan jalan pintas (Pranoto, Suhartono, 2010: 126). Di desa sendiri sebenarnya terjadi eksploitasi oleh kelompok yang menduduki stratifikasi sosial tertinggi yaitu para sikep dan kuli kenceng. Petani dipaksa membayar pajak yang mahal meski pun panen nya gagal. Kepala desa seperti demang , pancalang, dan cutak diangkat untuk mengawasi dan menjaga keamanan tanah-tanah yang disewa. Akan tetapi, mereka bekera sama dengan tuan tanah untuk menekan dan memperberat beban petani. Kondisi demikian selalu membuat kehidupan petani berada di bawah subsisten. Di daerah perkebunan petani dituntut loyalitas tanpa reserve, artinya petani sepenuhnya mengabdi pada kepentingan patron. Biasanya tekanan para patron dirasakan berat oleh petani (Pranoto, Suhartono, 2010: 137). Perbanditan di pedesaan muncul karena hilangnya fungsi tanah. Selain itu tekanan dari pabrik dan perkebunan jelas berkaitan dengan jenis pekerjaan dari setiap perkebunan. Misalnya perkebunan tebu, tidak mustahil petaninya mengalami multi tekanan. Semakin berat tekanan semakin keras pula reaksinya. Upah tidak sebanding dengan tenaga membuat petani terdesak secara total, bukan hanya ekonominya tetapi juga lembaga-lembaganya. Selain itu psikologisnya, maka petani tidak ada pilihan lain kecuali harus menolak tekanan itu. Ini adalah terminal kesabaran petani yang sudah tidak dapat ditawar lagi kecuali harus melakukan reaksi. Perasaan tidak puas yang tidak dapat ditoleransi sebagai akibat dominasi perkebunan mendorong petani menyiapkan diri yang akhirnya membulatkan tekat untuk melawan pihak-pihak yang dianggap merugikan petani. Musyawarah tidak berlaku dalam perkebunan sehingga petani mmencari jalan keluar melalui kekuatan (Pranoto, Suhartono, 2010: 138). Kekuatan-kekuatan tersebut merupakan aksi perbanditan yang terjadi di pedesaan Jawa pada masa silam. Pada dasarnya perbanditan pedesaan timbul karena perubahan sosial yang tidak memberi kesempatan pada petani untuk memainkan peranan sebagaimana mestinya. Perbanditan yang mereka lakukan karena mereka sadar untuk mendapat perbaikan ekonomi maka mereka juga dapat melakukan perbanditan sosial. Kenyataan pada akhir abad ke XIX ialah kehidupan petani yang makin tenggelam ke dasar yang berarti kemiskinan sangat akrab dengan kehidupan mereka. Kehidupan sejahtera secara sosial dan ekonomi jauh dari lingkungan mereka. Hal itu yang mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan berani (kriminal). Menurut Suhartono, Makin buruknya kehidupan sosial ekonomi petani karena kuatnya desakan perkebunan menimbulkan perasaan tidak puas petani. Mereka merasa bahwa miliknya telah dicuri perkebunan “modern” dengan cara-cara yang tidak diketahui oleh petani. Kekayaan petani berupa tanah dan tenaga kerja telah diserobot oleh perkebunan dengan cara baru hingga petani tidak dapat membela hak nya melalui cara modern. Ketidakpuasan itu, selanjutnya, akan dimunculkan dalam tindakan secara tradisional pula yang prinsipnya adalah balance of power yaitu dengan kekuatan merebut miliknya dari tangan perkebunan, melakukan tindakan destruktif dari kriminal, seperti pencurian, pembakaran, perampokan, dan bahkan pembunuhan (Pranoto, Suhartono, 2010:4).

Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta
Oleh : Julianto Ibrahim

Ringkasan Isi
Buku ini menceritakan pergolakan yang terjadi di Surakarta antara tahun 1945-1950. Masa tersebut adalah saat-saat bangsa Indonesia baru merengkuh kemerdekaan. Bisa disebut juga sebagai masa revolusi.
Menurut George Larson, kerusuhan dan pembunuhan di Surakarta tidak terlepas dari masa yang menentukan daerah ini, yaitu pada masa revolusi kemerdekaan. Masa ini merupakan masa pergolakan sebab kota ini menjadi pusat kegiatan komunis, perang antarkelas, penculikan, dan kekacauan umum yang merembes ke bagian-bagian lain di Jawa, dan mempengaruhi jalannya revolusi di Indonesia.
Revolusi Indonesia bukan hanya merupakan bentuk perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan eksistensinya tetapi mengandung pula permasalahan-permasalahan sosial di dalamnya. Pada masa revolusi, masyarakat berusaha untuk merebut alat-alat kekuasaan negara, yang pada waktu itu berada di tangan Jepang. Selain itu berusaha menduduki dan menguasai aset ekonomi Hindia Belanda, misalnya menguasai dan menduduki perkebunan besar, pabrik atau bangunan-bangunan milik Belanda. Tindakan tersebut disusul oleh tindakan antiasing (kolonial), tetapi juga bersifat antifeodal, antipangrehpraja, antirasial (Cina) (Ibrahim. 2004:5)
Menurut Suyatno, revolusi Indonesia tidak hanya menimbulkan konflik politik tetapi juga konflik sosial seperti pembunuhan, pemberontakan, dan kegelisahan sosial dalam masyarakat. Kriminalitas merupakan fenomena yang menarik selama berlangsungnya revolusi. Bentuk-bentuk kriminalitas sering dilakukan oleh para gedor, jagoan, bajingan maupun lenggaong (Ibrahim. 2004:6).
Adanya kenyataan tersebut lah yang membuat pada masa revolusi terdapat para jagoan yang menjadi bandit mencampuradukkan dua “dunia” yang bertolak belakang tersebut untuk kepentingan pribadinya. Hal tersebut memperkuat pendapat Sartono Kartodirdjo, bahwa selama berlangsungnya revolusi, kekuatan kaum kriminal seringkali membonceng gerakan revolusioner. Oleh karena itu sangat sulit membedakan pejuang dengan bajingan atau antara pahlawan dengan penjahat. Materi mengenai kedudukan pejuang dan bandit dalam perjalanan sejarah Surakarta pada masa revolusi ini lah yang menjadi inti dari karya Julianto Ibrahim tentang Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta.


Modus Tindakan Kriminal (perbanditan) di dalam buku “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta”.
1. Kerusuhan dan pergolakan yang terjadi di Surakarta tidak terlepas dari masa yang mempengaruhi daerah ini.
 Inti dari kalimat tersebut, berkaitan dengan faktor penyebab kekerasan dan kejahatan di Surakarta pada masa revolusi antara tahun 1945-1950 yang meliputi :
1. Kekecewaan jaman kolonial Belanda
 Pada masa kolonial Belanda petani mendapatkan keadaan tidak beruntung karena petani dikenakan pembayaran pajak baik dalam bentuk uang, barang maupun tenaga kerja (Ibrahim. 2004:38). Keadaan ini menimbulkan kebencian dalam hati petani. Selain itu pada praktik perkebunan ketidakpuasan petani disebabkan oleh pembagian air dan pembatas terhadap tanaman para petani oleh perkebunan (Ibrahim. 2004:42). Kemudian itu adanya perubahan hubungan petani dan kerajaan yang disebabkan oleh reorganisasi membuat kewajiban petani pada negara dan perkebunan dapat dijalankan secara efektif dan diawasi ketat oleh kelurahan dan negara. Hal ini membuat merugikan petani. Dalam kondisi yang sangat tertekan, maka lahir lah banyak gerakan protes terhadap kolonial. Gerakan-gerakan protes tersebut dianggap pemerintah kolonial sebagai suatu bentuk kriminalitas yang meresahkan keberadaan mereka (Ibrahim. 2004:48). Pada masa itu orang-orang yang menjadi sasaran atau korban kekerasan adalah orang-orang yang dianggap dekat dengan Belanda atau memperoleh keuntungan perkebunan seperti orang-orang Cina, para bekel, pejabat desa maupun penguasa daerah setempat (Ibrahim. 2004:48)
2. Ketertekanan jaman Jepang
 Kemudian pada masa pendudukan Jepang, para tokoh masyarakat maupun kepala-kepala desa digunakan pula untuk menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan Jepang dalam mensukseskan Perang Asia Timur Raya. Demi kepentingan tersebut, dilakukan pemaksaan pada penyerahan padi, penyerahan gaplek, penanaman biji jarak, biji kapas, dan Rosela serta mempekerjakan rakyat secara paksa sebagai romusha. Kondisi ini yang memperlebar jurang perbedaan yang tajam antara rakyat dengan pemimpinnya yang menimbulkan rasa dendam yang meledak pada revolusi agustus 1945 (Ibrahim. 2004:49).
3. Kebingungan pada awal revolusi (10)
 Pada awal revolusi, Indonesia mengalami ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan. Hal itu merupakan standar wajar bagi negara yang baru merdeka. Indonesia baru mulai untuk menata hidup dan membenahi dirinya. Pada awal kemerdekaan banyak terjadi pergolakan. Goncangan meliputi aspek sosial, ekonomi, dan politik. Dalam panggung politik, maka lahir berbagai organisasi- organisasi, Gerakan radikal, misal SI, Komunis dan sebagainya. Gerakan komunis merupakan pertumbuhan langsung dari gerakan radikal dan mengadakan perlawanan terhadap kraton, gubernemen dan perusahaan perkebunan (Ibrahim.2004:51). Berkaitan dengan hal itu, sekitar tahun 1922 terdapat komunisme di Surakarta. Menurut Residen J.H Niewenhuys, ada tiga faktor yang menyebabkan pertumbuhan komunisme di Surakarta : Resesi yang parah dalam industri batik yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja di Solo, Kemerosotan umum di bidang ekonomi yang disebabkan oleh musim kemarau berkepanjangan, dan Ketidakpuasan tentang reorganisasi agraris. Adanya organisasi-organisasi dengan tujuannya masing-masing terkadang membantu posisi pemerintah, namun di sisi lain juga menyulitkan kedudukan pemerintah. Saat itu negara Indonesia sedang mengalami kebingungan. Sehingga lahir lah tindak kriminal (kekerasan dan kejahatan). Berkaitan dengan kejahatan yang berlangsung pada masa revolusi, maka harus dipahami terlebih dahulu pengertian revolusi dan hubungannya dengan tindak kekerasan sebagai berikut :
1. Menurut Eugne Kemenka, revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak tajam dalam siklus kekuasaan sosial yang tak akan mungkin dapat tejadi tanpa kekerasan.
2. Menurut Eisenstadt, revolusi mengandung tiga dimensi, yaitu kekerasan, pembaharuan, dan perubahan yang menyeluruh.
3. Berkaitan dengan hal tersebut, maka menurut Crane Brinton, kekerasan memegang peranan penting dalam berlangsungnya suatu revolusi.
4. Selanjutnya, menurut Erich Fromm, kekerasan sebagai “kedekstruktifan” dan “kekejaman” sebagai kecenderungan khas manusia untuk merusak dan memperoleh kekuasaan mutlak (Ibrahim. 2004:10)
 Berkaitan dengan kebingungan pada awal revolusi. Maka, pada tanggal 15 Desember 1945 Barisan Pelopor (pengawal khusus Soekarno) diganti nama menjadi Barisan Benteng dan menempatkan Surakarta sebagai basisnya (perpindahan gerakan ini dari Jakarta ke Surakarta). Kekuatan oposisi yang bemarkas di Surakarta menyebabkan masalah-masalah kependudukan, serta perkotaan dan pedesaan. Di desa-desa muncul aksi-aksi pendaulatan terhadap penguasa-penguasa desa. Selain itu keberadaan partai-partai politik dan badan-badan perjuangan merupakan wujud ketidakpuasan masyarakat Surakarta. Skenario revolusi sosial memperlihatkan adanya polarisasi atau pertentangan di antara kekuatan politik maupun badan perjuangan yang tentunya dijalankan dengan cara-cara kekerasan. Kekerasan semakin hebat apabila timbul kegentingan di masyarakat bersamaan dengan melemahnya kontrol pemerintah. Gejala tersebut dipandang oleh Wulfften Palthe sebagai gejala psycho-pathologis, bahkan sering dicampuradukkan dengan banditisme
 Banditisme yang diuraikan pada masa revolusi sebenarnya tidak lepas dari faktor penyebab seperti kesulitan yang sangat besar di kalangan ekonomi, kehadiran beberapa pemimpin yang sangat bersemangat terjadinya suatu bencana alam (wabah pes); kekesalan terhadap tindakan gubernemen menghadapi bencana ini, Ketidakpuasan terhadap reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen. (Ibrahim. 2004:49).

2. Keadaan Kacau Revolusi (Ketidakstabilan) memberikan kesempatan terhadap lahirnya perbanditan (tindak kejahatan dan kriminal) /bandit-bandit
 Bagi penjahat, revolusi merupakan kesempatan baik untuk melakukan kejahatan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mengusir penjajahan, maka pemuda-pemuda Surakarta bersatu dalam berbagai gerakan dan badan-badan perjuangan. Kemudian pada awal kemerdekaan badan-badan perjuangan bergabung dalam partai politik, sehingga badan-badan perjuangan memuat dua tujuan, yaitu berupaya mempertahankan kemerdekaan, dan di pihak lain membela dan menjaga kepentingan kekuatan politik yang diikutinya. Tujuan kedua membuat berbagai pertentangan-pertentangan di antara badan-badan perjuangan pada masa revolusi Surakarta, pertentangan menimbulkan aksi-aksi kekerasan di antara badan-badan perjuangan seperti penculikan, pembakaran, bahkan pembunuhan. Dengan keadaan yang demikian, maka terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan badan-badan perjuangan untuk kepentingan pribadi dengan berbuat kriminil, seperti menjarah, menggedor, mencuri, dan lain sebagainya (Ibrahim. 2004:100). Tindakan tersebut memberikan kesulitan untuk polisi, terkadang anggota badan-badan perjuangan (karena organisasi ketentaraan) ini mempunyai senjata yang kadang-kadang lebih “canggih” daripada yang dipunyai polisi. Selain itu kepolisian menghadapi perampokan berupa penggrayakan atau penggedoran. Aksi tersebut merupakan tindak kriminal, namun di sisi lain para gedor dianggap pahlawan, karena tindakan merampoknya mewakili aksi protes masyarakat atas ketertindasan, sehingga tidak jarang para gedor membagi-bagikan hasil kejahatannya kepada rakyat, seperti aktivitas Mbah Panca dan Suradi Bledek.
Paket hemat, menurut saya. Modus terjadinya tindak kriminal pada masa revolusi (karena fokus penulis pada masa ini) disebabkan oleh masa itu sendiri (maksudnya masa dalam menentukkan kehidupan baru/ di tengah kebingungan). Pada masa itu ada pembenahan negara di tengah sisa-sisa penjajahan. Bandit atau pelaku kejahatan melancarkan aksinya disebabkan oleh faktor :
a) Adanya ketidakstabilan politik (kekacauan) : pertentangan antar partai, gerakan.
b) Adanya ketidaksejahteraan ekonomi : dampak dari kebijakan agraria kolonial, praktik kecurangan dan sebagainya.
c) Adanya lapisan-lapisan sosial (stratifikasi)
d) Tidak adanya reaksi cepat pemerintah dalam menangani masalah dalam negeri (misal saat itu ada wabah pes)
e) Adanya figur pemimpin yang mengobarkan semangat
f) Adanya kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan
Menurut Sartono Kartodirjo, pejuang melakukan kekerasan dengan tuntutan mengganti penguasan tradisional dengan tokoh-tokoh yang dikehendaki rakyat, sedangkan kaum kriminal melakukan kejahat berdasarkan kepentingan pribadi. (Ibrahim. 2004:12). Menurut Bonger, kriminalitas atau tindak kejahatan merupakan perbuatan anti kesusilaan yang secara sadar mendapat reaksi dari negara maupun masyarakat berupa pemberian derita (Ibrahim. 2004:13). Menurut Hobsbbawm, kriminalitas atau banditisme yang didasarkan pada ketidakpuasan terhadap “penguasa” yang pernah menindasnya merupakan bagian dari protes sosial. (Ibrahim. 2004:10). Melihat bentuk-bentuk kriminalitas tersebut, maka akan sangat sulit membedakan antara penjahat dengan aparat negara. Hal itu menunjukkan bergesernya nilai-nilai sosial masyarakat terhadap kriminalitas (Ibrahim. 2004:119)



Kekecewaan yang mendalam para “wong cilik” terhadap kaum atas, secara ekonomis maupun birokratis merupakan akar yang setiap saat menumbuhkan sikap anarkisme dan vandalisme yang selalu menghantui masyarakat Surakarta umumnya.

Komparasi Modus Perbanditan Dari Buku “ Bandit-Bandit Pedesaan Jawa; Studi Historis 1850-1942” dan Buku “ Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta” Terhadap Fenomena Kekerasan (Kriminalitas) Yang Terjadi Saat Ini :

Perbanditan atau tindak kriminal (kejahatan) bukan lah fenomena baru. Perjalanan bangsa Indonesia dari pra kemerdekaan hingga saat ini tidak lepas dari fenomena sosial berupa perbanditan. Dari dua buku di atas, maka terdapat perbandingan antara tindakan kriminal masa lalu dengan masa sekarang. Berdasarkan isi buku, maka berbagai kejahatan yang terjadi pada masa lampau tidak terlepas dari tekanan sosial. Dimana dalam buku “Bandit-bandit Pedesaan Jawa”, tindak kriminal terjadi dikarenakan adanya kebijakan kolonial yang menyengsarakan kehidupan rakyat, di samping itu tindak kriminal terjadi karena rakyat itu sendiri ingin lepas dari belenggu kemiskinan atau dengan kata lainnya karena keinginan untuk memperoleh hidup sejahtera. Kemudian itu, pada buku “Bandit dan Pejuang” terlihat faktor waktu menentukan peristiwa atau kejadian di suatu daerah”. Fokus pembahasan pada masa revolusi menunjukkan bahwa perbanditan saat itu terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukan tindak kriminal yang menguntungkan diri sendiri (berkaitan dengan kepentingan pribadi). Tidak dapat dipungkiri pula bahwa tindak kriminal itu adalah murni kejahatan dan di sisi lain disebabkan oleh faktor kebingungan bangsa di tengah berbagai gejolak pada awal revolusi. Misalnya karena faktor politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Tindak kriminal jaman dulu bisa terjadi karena adanya dorongan figur pemimpin yang bersemangat. Beda dengan saat ini, ada atau tidaknya pemimpin atau figure kejahatan tetap dapat diwujudkan secara individu mapun kelompok. Dari dua buku tersebut, maka apabila kaca mata sejarah melihat masa kini, atau kaca mata masa kini melihat sejarah akan terlihat banyak perbedaan dalam tindak kriminal yang terjadi. Saya katakan demikian, karena kejahatan pada masa dulu, murni atau tidaknya kejahatan selalu lekat dengan embel protes sosial untuk kepentingan kelompok atau masyarakat yang dirugikan penguasanya. Berbeda dengan sekarang, kejahatan terjadi adalah murni kejahatan yang disebabkan oleh faktor, dorongan dalam dirinya untuk mencapai kepentingan pribadi (apakah itu kepentingan ekonomi, politik, dan sebagainya). Meski tidak dapat diyakini pula secara seratus persen bahwa kriminalitas yang terjadi saat ini tidak terlepas dari peran penguasa yang merugikan rakyat, namun karena keberadaan masyarakat yang heterogen dan majemuk alasan tersebut agak jauh dari alasan yang menyatakan bahwa kejahatan saat ini adalah kejahatan murni pelaku yang bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal tapi juga faktor internal (dari dalam dirinya seperti psikologi). Sedangkan masa dulu lebih dominan karena faktor eksternal (sosial, politik, dsb yang berasal dari luar dan kenyataan hidup), tapi masa sekarang lebih pada faktor internal, atau kolaborasi dari faktor eksternal dan internal

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Julianto. 2004. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas
dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta.
Jakarta : Bina Cipta Pustaka
Pranoto, Suhartono W. 2010.
Jawa Bandit-Bandit Pedesaan; Studi Historis 1850- 1942.
Yoyakarta : Graha Ilmu

Selasa, 08 Maret 2011

TERMINOLOGI 1

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
PEMBAHASAN
BAB I TERMINOLOGI 1
A. Perkembangan Sejarah 3
B. Defenisi Semantik 5
C. Sejarah Sebagai Res Gestae dan Sejarah Sebagai Historia Rerum Gestarum 6
D. Istilah Sejarah di Indonesia 6
BAB II TERMINOLOGI 2
A. Metode dan Metodologi 7
B. Hakikat Fakta 9
1. Defenisi Fakta 9
2. Arti Fakta Bagi Sejarawan 10
C. Hakikat Konsep 11
a. Jenis-jenis Konsep 11
1. Konsep Konjungtif (Conjuntive) 11
2. Konsep Disjungtif (Disjuntive) 11
3. Konsep Relasional (Relational) 12
4. Konsep Deskriptif (Descriptive) 12
5. Konsep Valuatif (Valuative) 12
6. Campuran Antara Konsep Deskriptif dan Konsep Valuatif 12
b. Atribut-atribut Konsep 13
1. Tingkat Abstraksi 13
2. Kompleksitas 13
3. Diferesiasi 14
4. Sentralitas Dari Dimensi-dimensi 14
c. Guna Konsep 14
SIMPULAN 17
DAFTAR SUMBER 20



BAB I
TERMINOLOGI 1
A. Perkembangan Sejarah
Dalam bahasa Inggris sejarah disebut “history”, secara etimologis kata ini berasal dari historia yang berarti : inkuiri, wawancara, interogasi dari saksi-saksi mata, dan juga laporan mengenai hasil tindakan-tindakan itu; seorang saksi (witness), seorang hakim (judge), seorang yang tahu. (Sjamsuddin, 2007:1). Menurut F.Muller historia berarti :
1. Penelitian (research) dan laporan tentang penelitian itu
2. Suatu cerita puitis
3. Suatu deskripsi yang persis tentang fakta-fakta
Di dalam Bahasa Yunani juga dikenal “historeo” yang diartikan; mencari (to search), meneliti atau menanya (to inquire), memeriksa (to axamine). Pada perkembangannya, maka kata yang dipergunakan sampai sekarang ialah : history, historie, histoire, storia, istoria, historia. (Sjamsuddin, 2007:2).
Historia memilik makna yang lebih ditekankan pada pengamatan langsung (direct observation), penelitian (research), dan laporan-laporan hasil. Sejarawan Tacitus menggunakan istilah historiae pada bukunya, karena laporan yang diamati bersifat pribadi, sedangkan laporannya dalam periode yang lebih awal (14-68 M) diberi judul annales (Annales). Istilah annals (Annales) resmi digunakan pada masa klasik (antiquity ; Yunani Romawi) yang kemudian dilanjutkan kronikel (chronicles). Pada Abad Pertengahan istilah-istilah tersebut digunakan sebagai istilah utama “untuk menunjukan catatan muktahir mengenai fakta-fakta terpenting “ maupun penulisan sejarah naratif (pada kedua masa diatas istilah historia belum digunakan untuk menunjukkan peristiwa masa lampau). (Sjamsuddin, 2007:3).
Annal dan kronikel Abad Pertengahan dikaitkan dengan praktik gereja untuk membuat siklus paskal (paschal, cycles, siklus paskah) dan kalender (calendars). Dalam catatan-catatan annal diselipkan ke dalam kalender dan siklus-siklus (annal dan kronikel adalah istilah yang memasuki elemen waktu). Pada masa ini konsep sejarah mendapat pengertian baru; atau terdapat istilah biografi (vitae) yang pada penulisannya merupakan campuran dari kronikel yang ketat kronologis dan narasi-narasi sejarah yang bebas. Tetapi baru di akhir abad istilah historia baru digunakan secara khusus. (Sjamsuddin, 2007:3).
Historia atau hisroriae menunjuk pada res gestae (past events, peristiwa-peristiwa masa lalu). Pada abad pertengahan istilah ini sangat luas digunakan; (merujuk pada peristiwa suci yang dilukiskan pada perjanjian lama dan perjanjian baru. Sejarah Injil (biblical history) lebih dekat kepada vitae atau gesta dibading dengan annal atau kronikel. (Sjamsuddin, 2007:4).
Pada akhir Abad Pertengahan, bahasa Jerman juga mengembangkan istilah yang erat kaintanya dengan gesta atau res gesta. Istilah tersebut ialah Geshichte (geschiedenes), yang berasal dari kata (geschehen, “terjadi (to happen, to occur); istilah ini menunjuk kepada history. Perkembangan yang terjadi membuat istilah annal dan kronikel menghilang pada abad ke 16, sebaliknya istilah historiae,y.i cerita sejarah menurut tipe gesta atau vitae menghadapi tuntutan kritis yang bertambah. Hal ini mendorong terciptanya penulisan sejarah ilmiah, sehingga timbul istilah umum Geschichte atau history (sejarah) yang membebaskan diri dari pembatasan abad pertengahan dan meliput dalam cakupannya baik sebagai sejarah itu sendiri maupun proses rekonstruksinya dalam bentuk naratif. (Sjamsuddin, 2007:4).
Pada periode renaissance konsep history dan geschichte menghubungkan dua kecenderungan dasar dalam perhatian manusia mengenai peristiwa-peristiwa masa lalu. (Sjamsuddin, 2007:4). Salah satu dari istilah tersebut ditandai dengan elemen narasi yang berkembang atas dasar mythography (penulisan mitos) dan Zeitgeschichte, gesta, vitae, dan sejarah suci (abad pertengahan). Yang lain berdasarkan atas annal, kronikel Gereja dan chorography (deskripsi dan analisis sistematis mengenai wilayah-wilayah), yang menyediakan elemen waktu yang penting bagi perkembangan asli penulisan sejarah. Evolusi kemudian membawa kepada perbedaan antara history (sejarah) sebagai peristiwa masa lalu dan sejarah sebagai narasi dari peristiwa masa lalu. Istilah history mendapat aspek metodologinya hanya ketika penulisan sejarah menjadi ilmiah (scientific). (Sjamsuddin, 2007:5).


B. Defenisi dan Semantik
Peristiwa masalah masa lalu merupakan bagian dari ruang lingkup penulisan sejarah. Pada awalnya historiae lebih erat dengan peristiwa sekarang yang diceritakan oleh saksi mata, y.i dengan sejarah, dibanding dengan tugas merekonstruksi peristiwa masa lalu. Kemudian disepakati bahwa riset meliputi aspek masa lalu : politik, sosial, saintifik, aristifik,dll (dalam hal ini peristiwa masa lalu yang dimaksud adalah tentang manusia manusia). (Sjamsuddin, 2007:7). Berikut adalah variasi dari defenisi-defenisi sejarah :
 E. Bernheim : mengatakan bahwa “sejarah adalah suatu sains mengenai perkembangan kemanusiaan”.
 R.G Collingwood : mengatakan bahwa “riset sejarah adalah mengenai tindakan-tindakan manusia pada masa lalu”.
 J.Huizinga : mengatakan bahwa “sejarah sebagai bentuk intelektual di mana suatu peradaban menceritakan dirinya sendiri mengenai masa lalunya”.
 R. Aron : mengatakan bahwa “sejarah adalah kajian tentang masa lalu manusia”.
 March Bloch : mengatakan bahwa “sejarah menunjukkan aktivitas manusia pada masa lalu”.
 Lucien Febre : lebih menekankan pada “sejarah mengkaji bukan orang, manusia (man), melainkan masyarakat-masyarakat (human societies), dengan kelompok-kelompok terorganisasi (organized groups)”.
 E. Callot : mengatakan “sejarah adalah suatu sains destiptif yang mengkaji suatu masyarakat tertentu secara keseluruhan dalam aspek temporalnya”.
 V.H. Galbraith, K. Jaspers “hanya merujuk kepada masa lalu (the past)”.
 K. Marx dan F. Engels : (sejarah sebagai peristiwa masa lalu), sejarah merupakan aktivitas manusia yang berorientasi-tujuan (goal-oriented-man), sejarah lebih daripada hanya sains masa lalu (science of the past) . fakta-fakta membentuk suatu proses yang berulang (regular procces).
 Voltaire : mengatakan bahwa “sejarah adalah narasi fakta-fakta yang benar dan berbeda dari fabel (narasi atau fakta tidak benar/ fiktif)”. Masa itu ditekankan pemisahan antara fabel dan sejarah.
 James Harvey Robinson : menyatakan bahwa “sejarah adalah semua yang kita ketahui tentang setiap hal yang pernah manusia lakukan, pikirkan, atau rasakan (history, in the broades sense of the word, is all that we know about everything that man ever done, or thought, or felt).
 Richard J. Evans, “Sejarah… sebagian besar dapat dilihat sebagai sebuah sains..., sebuah batang pengetahuan yang terorganisasi yang diperoleh melalui penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan metode-metode yang disepakati umum, dipresentasikan dalam laporan-laporan yang dipublikasikan, dan menjadi pokok yang direviu oleh pakar mitra”. (“history…. May for the most part be seen as a science… an organized body of knowledge acquired through research carried out according to generally agreed methods, presented in published reports, and subject to peer review”).
 Hayden White, mengungkapkan bahwa sejarah adalah “suatu wacana naratif, yang isinya diimajinasikan/diciptakan sebanyak yang ditemukan” (a narrative discourse, the content of which is as much imagined/ invented as found). (Sjamsuddin, 2007: 7-9).


C. Sejarah Sebagai Res Gestae dan Sejarah Sebagai Historia Rerum Gestarum.
Sejarah itu dinamis. Menurut Topolski, tiga pengertian dasar sejarah adalah :
1. Sejarah sebagai peristiwa-peristiwa masa lalu (past events, res gestae).
2. Sejarah sebagai pelaksanaan riset yang dilakukan oleh seorang sejarawan
3. Sejarah sebagai suatu hasil dari pelaksanaan riset semacam itu, y.i seperangkat
pernyataan-peryataan tentang peristiwa masa lalu. (narrative about past events, historia
rerum gestarum) atau sering disebut historiografi. Akan tetapi istilah historiografi masih memiliki arti lain yaitu “sejarah penulisan sejarah” (history of historical writing). (Sjamsuddin, 2007:9-10).
Dari dua pengertian terakhir, maka sejarah dapat diartikan sebagai suatu disiplin ilmiah. Adanya perkembangan disiplin sejarah merupakan hasil dari rekonstruksi peristiwa masa lalu. Perkembangan terjadi dalam bentuk teori dan filsafat sejarah. (Sjamsuddin, 2007:10). Perkembangan yang ada merupakan reaksi dari adanya historiografi modern yang disebabkan oleh adanya filsafat positivisme (apakah model naratif konvensional atau model sejarah struktur), di era modern muncul “historiografi post modern” yang menyebut dirinya kembali ke linguistik (linguistic turn) atau kembali ke naratif (narrative turn), atau metahistory dengan struktur puitis (pusisi sejarah). Menurut sejarawan postmodern, sejarah adalah sebuah wacana naratif. Hal ini mendekatkan sejarah kepada sastra. (Sjamsuddin, 2007:10).
D. Istilah Sejarah di Indonesia
Menurut Soedjatmoko, Istilah Sejarah diperoleh dari historiografi tradisional yaitu : Sajarah, Carita, Riwayat, Babad, Tarikh, Tambo, Kidung, Seratkanda, Wawacan, Tutur, Hikayat, Salsilah, Cerita-cerita manurung. Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi (syair). (Sjamsuddin,10). Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun”pohon” pengertian ini mirip dengan salasilah (salsilah, silsilah yang artinya “pohon”keluarga” family tree; stamboom). Istilah ini kemudian menjadi sejarah atau history ; pada sebuah hasil penelitian dalam bahasa inggris. Sedangkan dalam bahasa Perancis ”histoire”, bahasa Belanda “geschiedenis”, dan Jerman “geschichte”. (Sjamsuddin, 2007:11).




BAB II
TERMINOLOGI 2
A. Metode dan Metodologi
Pengertian metode dan metodologi mempunyai hubungan yang erat meskipun dapat dibedakan. Menurut kamus Webster’s Third New International Dicitonary of the English Language, metode ialah :
1. Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan sesuatu objek…
2. Suatu disiplin atau sistem yang dianggap sebagai cabang logika yang berhubungan erat dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subjek…
3. Suatu prosedur, teknik atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh atau yang sesuai untuk sesuatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu : metodologi…
4. Suatu rencana sistematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran…
5. Suatu cara memandang, mengorganisasi, dan memberikan bentuk dan arti khusus pada materi-materi artistik (I) : suatu cara, teknik, atau proses dari atau untuk melakukan sesuatu….. (2) : sesuatu keseluruhan keterampilan-keterampilan (a body of skills) atau teknik-teknik…. (1966: 1422-1423).
Kemudian menurut kamus The New Lexicon Webster’s Dicitonary of the English Language (The New Lexicon), metode ialah “suatu cara untuk berbuat sesuatu : suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu : keteraturan dalam berbuat, berencana, dll.; suatu susunan atau sistem yang teratur.” (1989:628). Sehingga metode erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti. (Sjamsuddin, 2007:13).
Hubungan erat antara pengertian metode dan metodologi dapat terlihat dari pengertian metodologi menurut Webster’s sebagai berikut :
1. a: suatu keseluruhan (body) metode-metode, prosedur-prosedur, konsep-konsep kerja, aturan-aturan, dan postulat-postulat (asumsi; suatu hipotesis; kondisi esensial bagi sesuatu; diasumsikan tanpa perlu pembuktian, The New Lexicon, 1989:785) yang digunakan oleh ilmu pengetahuan, seni, atau disiplin… b: proses, teknik-teknik, atau pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam pemecahan suatu masalah atau di dalam mengerjakan sesuatu; suatu atau seperangkat prosedur-prosedur…c: dasar teoretis dari suatu doktrin filsafat: premis-premis ( fakta, pernyataan, asumsi yang menjadi argument atau asal untuk menarik konklusi (terutama premis dalam logika), satu dari dua proposisi (major dan minor)), postulat-postulat dan konsep-konsep dasar dari suatu filsafat.
2. Suatu ilmu atau kajian tentang metode… menganalisis prinsip-prinsip atau prosedur-prosedur yang harus menuntun penyelidikan dalam suatu bidang (kajian) tertentu. (Webster’s 1966:1423).
Selanjutnya, pengertian menurut The New Lexicon, 1989:628, metodologi adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau prosedur; suatu sistem tentang metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains (science). Metode dan metodologi merupakan dua fase yang berbeda untuk tugas yang sama. Menurut Sartono Kartordirdjo, metode adalah “bagaimana oraang memperoleh pengetahuan” (how to know), dan metodologi sebagai “ mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). (Sjamsuddin, 2007:14). Dengan demikian, maka metode sejarah “ialah bagaimana mengetahui sejarah”, dan metodologi “ mengetahui bagaimana mengetahui sejarah”. Misalnya, sejarawan ingin mengetahui peristiwa proklamasi : ia akan melakukan prosedur penyelidikan dengan teknik-teknik tertentu pengumpulan bahan-bahan sejarah (arsip, perpustakaan lokal/luar negeri, wawancara tokoh yang hidup/ orang terdekat dengan tokoh) sehingga dapat menjaring informasi selengkap mungkin.Bukan hanya terpaku pada metode diatas, seorang sejarawan harus mempunyai pengetahuan metodologis, teoretis, dan filsafat “ artinya bagaimana sejarawan itu menggunakan ilmu metode pada tempat yang seharusnya”. (Sjamsuddin, 2007:15).
Sejarawan harus mengetahui prosedur apa saja yang harus ditempuh dalam menjaring informasi; pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diperoleh; mengapa, bagaimana cara melakukan kritik terhadap sumber yang diperoleh. Seorang sejarawan yang ingin menulis sejarah tematis, maka ia harus mengenal konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial yang relevan (politikologi, sosiologi, ilmu ekonomi, antropologi, atau psikologi (individual dan sosial), dan sebagainya dalam menganalisis dan memahami peran tokoh elite, kelompok penekan (pressure group), gerakan sosial, ideologi, perubahan sosial, modernisme, industrialisasi, atau peristiwa sejarah lain yang menjadi fokus kajian. (Sjamsuddin, 2007:15).
Penguasaan metode dan metodologi seorang sejarawan sama dengan penguasaan keterampilan tukang tembok dan penalaran serta kiat seorang insinyur bangunan. (Sjamsuddin, 2007:16). Tukang tembok diumpamakan sebagai metode, ia membangun rumah dengan melakukan sendiri penyusunan bata, percampuran semen untuk beton dan plester, tanpa harus mengetahui “teori dan perhitungan yang rumit”. Sedangkan Insinyur diibaratkan sebagai metodologi, dalam melaksanakan pekerjaannya ia merencanakan semua dari awal, pembuatan cetak (blue-print), perhitungan konstruksi dan kekuatan bangunan, kenyamanan dan keamanan, sampai pada hubungan gedung dan lingkungan sekitar” jadi seorang Sejarawan professional harus menguasai metode dan metodologi disiplinnya. (Sjamsuddin, 2007:16).

Menurut Sartono metodologi sejarah adalah Filsafat Sejarah Kritis-Analitis. Berikut adalah pengertian teori, metodologi, dan filsafat meenurut Christopher Lloyd :
1. Teori : adalah bahasan mengenai penyusunan konsep-konsep dan model-model dan pembuatan eksplanasi-eksplanasi umum tetapi rinci mengenai tipe-tipe peristiwa-peristiwa dan proses-proses tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa dan proses-proses sebenarnya.
2. Metodologi membahas mengenai kerangka-kerangka pemikiran (frameworks) tentang konsep-konsep, kategori-kategori, model-model, hipotesis-hipotesis, dan prosedur-prosedur umum yang dipakai dalam penyusunan teori dan testing.
3. Filsafat membahas epistemologi, ontologi, dan sumsi-asumsi semantik (acapkali tersirat) tentang hakikat dari pengetahuan dan struktur umum dunia yang mendukung dan mengisi metodologi-metodologi dan teori-teori dari wacana-wacana (discourses) tertentu (Lloyd, 1986:ix).


Berkaitan dengan pengertian filsafat, berikut penjelasan dari epistemologi dan ontologi :
1. Epistemologi adalah kajian tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan terutama referensinya pada batas-batas dan validitasnya; dalam arti luas teori pengetahuan… (The New Lexicon, 1989:765).
2. Ontologi : sains atau kajian tentang suatu yang ada; khususnya cabang metafisika yang berhubungan dengan alam; sistem tertentu yang meneliti problema dari hakikat keberadaan; teori mengenai macam-macam yang benar ada dan khususnya ragam yang benar-benar abstrak yang harus diakui pada suatu sistem bahasa (Webster’s, 1966:1577).

B. Hakikat Fakta
1. Defenisi Fakta
a. Sesuatu yang telah dilakukan : perbuatan (deed) sebagai, a. (sudah) obsolete: suatu tindakan pada umumnya: tindakan (action), tingkah laku (conduct), b. (sudah) obsolet : suatu perbuatan yang patut mendapat ganjaran (reward)….c: suatu perbuatan yang salah atau melanggar hukum: kejahatan-kejahatan dalam ungkapan setelah fakta.
b. Obsolete : yang dikerjakan, yang dibuat, penampilan tindakan,…
c. a: sesuatu yang benar-benar ada: peristiwa b: suatu kejadian, kualitas atau hubungan kenyataan yang mana dikatakan dalam pengalaman atau barangkali disimpulkan dengan pasti; khususnya; suatu kejadian dalam waktu dan tempat c: suatu pernyataan atau proposisi (penegasan) yang diverifikasi (dapat dibuktikan kebenaran atau ketepatannya); juga; sesuatu yang membuat suatu pernyataan atau proposisi benar atau palsu…
d. a: kualitas atau sifat yang aktual (nyata) atau dibuat atas dasar fakta-fakta : kenyataan, b : kenyataan fisik atau pengalaman praktis sebagaimana dibedakan dengan imajinasi, spekulasi, atau teori…
e. suatu penegasan, pernyataan, atau informasi yang berisi atau berarti mengandung sesuatu yang mempunyai kenyataan objektif; dalam arti luas; sesuatu yang ditampilkan dengan benar atau salah karena mempunyai realitas objektif.
f. Biasanya jamak a: setiap keadaan-keadaan dari suatu kasus pada hukum seperti adanya atau dinyatakan ada dalam kenyataan : sesuatu yang dibuktikan oleh evidensi (bukti) yang benar-benar dinyatakan benar-benar terjadi atau keberadaannya ditetapkan oleh evidensi. (Webster’s, 1966:813).
Menurut The New Lexicon, fakta ialah sesuatu yang diketahui benarnya; suatu pernyataan tentang sesuatu yang telah terjadi (338). Fakta itu erat dengan pertanyaan tentang apa, siapa, kapan dan di mana. (Sjamsuddin, 2007:20).Fakta menunjuk pada benda yang benar ada atau peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau (kegiatan masing-masing individu, tanggal peristiwa, lokasi, ukuran dari objek). Pada pernyataan tentang fakta (statements); fakta yang dapat diuji atau fakta yang tidak pasti (contingent statement). Kebenaran fakta tergantung pada keberadaan evidensi empiris sehingga setiap pengamat yang tertarik atau tidak memihak akan sependapat. Contoh : B.j Habibie adalah Presiden ketiga Republik Indonesia, hal ini fakta karena evidensi (bukti) mendukung pernyataan tersebut, walaupun ada orang yang sependapat atau tidak memihak. Fakta lebih merujuk pada kekhususan (particular) daripada keumuman (universal). Contoh lainnya adalah :
Soekarno-Hatta adalah Pahlawan Proklamator,
Proklamasi RI Diucapkan di Jakarta Pada Tanggal 17 Agustus 1945
Hamka adalah Singkatan dari nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Pernyataan diatas menunjukkan tokoh-tokoh, suatu peristiwa, individu khusus. Masing-masing dapat dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, gejala khusus dan unik yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu). (Sjamsuddin, 2007:21).
Sejarawan memerlukan informasi faktual, fakta adalah bangunan kajian sejarah. Fakta memberi gambaran mengenai kejadian-kejadian atau individu di masa sekarang dan masa lalu. Fakta tidak berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dalam hubungan-hubungan yang bermakna dalam berbagai bentuk yang akan dapat membantunya memahami dan menjelaskan lebih lengkap beberapa bagian dari keberadaan pribadi (personal) atau pun kelompok sosial tertentu (Fraenkel, 1980:57). Bagi sejarawan pengetahuan tentang fakta saja tidak cukup. Karena kalau hanya sampai kepada fakta saja, maka sejarah hanya menjadi kronik tentang apa, siapa, kapan, dimana, atau peristiwa mandiri yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Maka dari itu fakta ditempatkan dalam konsep dan/ atau generalisasi-generalisasi sehingga pengetahuan dapat diterapkan kepada orang lain pada waktu dan tempat yang lain=> agar fakta bermakna. (Sjamsuddin, 2007:22).
2. Arti Fakta Bagi Sejarawan
Menurut Patrick Gardiner, fakta berarti apa yang benar-benar telah terjadi. Misal invasi Napoelon ke Rusia, Revolusi Perancis atau bukti-bukti penting dalam siding pengadilan; misalnya cerita mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi pada suatu ketika atau tafsiran seseorang tentang fakta-fakta; fakta bisa menjadi kunci atau petunjuk (clues) bagi detektif yang sedang melakukan penyelidikan, misalnya bekas darah, abu rokok, dan sebagainya.
Menurut E.H. Carr, sejarawan memperoleh fakta dari dokumen, inskripsi, dan ilmu-ilmu bantu sejarah lain (arkeologi, epigrafi, numismatik, kronologi). Menurut sejarawan, fakta adalah goni, baru dapat berdiri setelah diisi sesuatu didalamnya (Carr, 1985:11). Fakta baru bicara setelah sejarawan memilihnya untuk berbicara. Sejarawan menentukan dan memutuskan untuk menjadikan seseorang, peristiwa, atau perbuatan sebagai fakta-faktanya. Sejarawan dan fakta adalah setaraf, artinya terdapat hubungan memberi dan menerima ibarat hubungan masa sekarang dan masa lalu (Carr, 1985:29). Sejarawan hidup pada masa sekarang dan fakta berasal dari masa lalu, sejarawan terlibat didalam fakta dan interpretasi. Sejarawan tanpa fakta akan sia-sia; fakta tanpa sejarawan sama saja dengan mati dan tidak ada artinya”. (Carr, 1985:29-30).
Menurut Carl L. Becker, fakta adalah simbol, fakta sederhana bisa menjadi fakta penting karena jaringan yang terbentuk memiliki kaitan yang jauh dan besar. Misal, Sungai Rubicon di perbatasan Galia (Perancis) dan Italia; selalu dilewati, namun tidak pernah diangkat menjadi fakta sejarah. Pada tahun 49 SM, Julius Caesar (Panglima Tentara Roma di Galia, ia dipecat, namun membangkang), ia menyebranginya Sungai Rubicon, kemudian ia berhasil merebut Roma, dan akhirnya ia menjadi penguasa Empirium Romawi (tindakan itu menentukan nasibnya, lawan-lawan, orang yang memecatnya, Republik Roma, dan imperium selanjutnya). Peristiwa ini merupakan lambang (simbol) , generalisasi yang dirangkum dari fakta lain yang mendahului dan sesudah penyebrangan itu. To cross he Rubicon berarti mengambil suatu keputusan penting yang amat menentukan. Dalam sejarah RI, Hari Sumpah Pemuda atau Hari Pahlawan, adalah simbol karena jaringan dan kaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah sebelum dan sesudahnya mempunyai hubungan erat. (Sjamsuddin, 2007:25).

C. Hakikat Konsep
Menurut Webster, Defenisi Konsep adalah : sesuatu yang dibentuk dalam pikiran: pikiran, ide, pendapat : seperti sebuah filsafat : suatu ide umum atau abstrak: sebuah opini universal:
1. Hasil dari suatu kegiatan mental membuat generalisasi: suatu gambaran mental yang umum dari kelompok yang diabstraksikan dari aturan-aturan; juga: suatu objek intuisi langsung dari pikiran…
2. a: konstruksi teoretis; b: logika 1): suatu ide yang mencakup atribut-atribut esensial dari suatu kelas atau spesies-spesies logis : suatu istilah universal atau pernyataan atau kualitas khusus yang dimiliki sesuatu c: suatu ide yang mencakup seluruh yang secara karakteristik dihubungkan dengan atau disarankan oleh suatu istilah….(1966:469)
Berbeda dengan fakta, konsep pada hakikatnya adalah defenisi. Konsep mengandung karakteristik (ciri) yang umum dari suatu kelompok pengalaman. Sedangkan fakta merujuk pada suatu objek. Konsep mengandung beberapa hal yang umum (common) dari sejumlah objek, peristiwa, atau individu-individu. (Fraenkel, 1980: 58).
Dalam kenyataan konsep itu tidak ada (unexist). Konsep berada di dalam ide dan pikiran manusia. Segala kenyataan yang berada disekeliling manusia memasuki atau menyentuh indera-indera manusia sebagai informasi-informasi dari berbagai pengalaman. Masukan-masukan indera (sensory input) ini diatur dan disusun dengan mengenakan simbol- simbol (label-label kata) berdasarkan persamaan-persamaan tertentu yang mewakili kenyataan dari pengalaman-pengalaman manusia. (Fraenkel, 1980:58).
Konsep itu diciptakan (invented) bukan ditemukan (discovered). (Sjamsuddin, 2007:27).
Contoh : andong, bendi, dokar, sepeda, motor, mobil kereta api, perahu, kapal laut, pesawat terbang, adalah benda nyata yang punya fungsi sebagai alat angkutan dan dapat dilihat serta dipegang. Semuanya diabstraksikan kedalam ide dan diberi label alat transport (konsep); pengertian yang ada dalam pikiran manusia. Begitujuga dengan radio, telepon, telegraf (alat untuk berhubungan), konsep alat (komunikasi).

a. Jenis-jenis Konsep
Fraenkel mengklasifikasikan konsep sebagai berikut :
1. Konsep Konjungtif (conjunctive)
 Konsep ini bersifat menghubungkan (connective), dapat didefenisikan oleh keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada (Fraenkel:58). Misalnya :
• Konsep Suami, ia harus laki-laki, menikah dengan sah, dan mempunyai istri. Kebalikan dari Konsep Istri, tetapi ketiga atrribut atau konsep itu harus tetap ada. Konsep Kekerabatan (kinship), atributnya ialah ada hubungan antara dua orang atau lebih, dan dalam hubungan keduanya harus mengakui persamaan luhur. (Fairchild, ed., 1977:166).
2. Konsep Disjungtif (disjunctive)
 Konsep ini adalah konsep alternatif yang ini atau yang itu, misalnya :
• Konsep Arsip, atributnya berupa gedung untuk penyimpanan dokumen dan catatan sejarah (record) untuk kepentingan umum, tetapi dapat juga untuk menyebut dokumen-dokumen dan catatan-catatan itu sendiri. (Fairchild, ed., 1977:14). Konsep Perubahan Sosial (social change), ciri-cirinya dapat progresif atau regresif, permanen atau sementara, direncanakan atau tidak direncanakan, satu arah atau berbagai arah, menguntungkan atau merugikan (Fairchild, ed., 1977:277).
3. Konsep Relasional (relational)
 Konsep ini menghubungkan suatu hubungan khusus antara dua atribut atau lebih , dan dinyatakan secara numerik (angka) sebagai suatu rasio atau suatu produk. Misalnya :
• Konsep Kepadatan Penduduk (population density), biasanya didefenisikan sebagai sejumlah orang yang hidup dalam satu kilometer persegi. Biasanya dinyatakan dengan istilah angka yang menggambarkan hubungan antara sejumlah tertentu manusia dan luas tanah di tempat mereka hidup. Konsep Kecepatan (speed), dinyatakan dengan rasio antara jarak seseorang bepergian dan jumlah waktu yang diperlukannya untuk bepergian pada jarak itu. (Farenkel, 1980:59). Juga dalam statistik terdapat konseo-konsep rasional ini.
4. Konsep Deskriptif (descriptive)
 Terdapat sejumlah konsep yang pada dasarnya netral, dalam arti gambaran atau bayangan (image) yang terkandung didalamnya hanyalah memerikan kerekteristik tertentu dari benda-benda atau hal-hal yang mempunyai persamaan, tanpa menyarankan suatu prefensi kepada karakteristik-karakteristik yang dikategorikan. Contohnya :
• Konsep Kursi, merupakan benda berkaki empat, tempat kedudukan, punya sandaran atau lengan, dan digunakan seseorang untuk duduk. Konsep ini mengandung kesan bagaimana orang merasakan ciri-cirinya. (Fraenkel, 1980:59).
5. Konsep Valuatif (valuative)
 Konsep-konsep seperti baik, buruk, benar, salah, cantik, jelek, misalnya mengandung suatu evaluasi yang yang memberi kesan setuju atau tidak setuju, suatu perasaan postif atau negatif. Pada hakikatnya merupakan konsep valuatif, menilai, dan menunjukkan kecenderungan-kecenderungan perasaan tertentu pada ciri yang dikandungnya. (Fraenkel, 1980: 59).
6. Campuran Antara Konsep Deskriptif dan Konsep Valuatif
 Konsep ini tidak hanya memerikan karakteristik-karakteristik yang dimiliki bersama, tetapi juga memuat suatu sikap atau perasaan terhadap ciri-ciri tertentu, misalnya : konsep kekerasan, sadis; konsep isme seperti komunisme, dan demokrasi. (Fraenkel, 1980:59) acap kali karena pengalaman sejarah yang berbeda-beda, sikap negara-negara atau bangsa-bangsa terhadap konsep tertentu tidak sama sehingga ada yang bersikap positif, negatif, dan netral. Di Amerika Serikat, perasaan positif ditujukan untuk demokrasi, bahkan kapitalis-demokrasi, dan perasaan negatif terhadap komunis, milterisme, dan diktatorisme, sedangkan terhadap kapitalis-liberalis mereka bersikap netral. Di Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika menaruh perasaan positif terhadap nasionalisme dan demokrasi, sedangkan perasaan negatif untuk konsep kolonialisme, liberalisme (ekonomi), kapitalisme, imperialisme, dan komunisme. Tetapi, pada konsep kekerasan, radikalisme, terorisme, dll umumnya orang-orang mempunyai sikap perasaan sangat negatif. (Sjamsuddin, 2007:30).
Adapun konsep-konsep diatas merupakan ciptaan manusia untuk memerikan dan mengevaluasi karakterristik-karekteristik umum yang terdapat pada sejumlah pengalaman manusia sendiri. Keberadaan konsep membuat manusia sanggup untuk menghubung-hubungkan suatu keragaman luas dari individu, peristiwa-peristiwa, objek-objek, penggalan- penggalan informasi dan pengalaman yang terpisah ke dalam kategori-ketegori yang terencana. Semua ciri dan karekteristik yang sama dimasukkan ke dalam kategori-kategori konsep yang sama, sedangkan yang tidak dengan sendirinya dikeluarkan. Klasifikasi-klasifikasi kojungtif sampai kepada valuatif, misalnya termasuk ke dalam apa yang disebut kategori-kategori itu. (Sjamsuddin, 2007:31).
b. Atribut-atribut Konsep
Menurut Pakar Pendidikan Jerome Kagan, terdapat empat sifat (kualitas) penting yang dapat diterapkan pada semua konsep sebagai berikut :
1. Tingkat Abstraksi. Konsep-konsep itu beragam dalam arti keabstrakan dari karakteristik-karakteristiknya. Sehingga konsep terbagi atas dua macam :
• Abstraksi yang bertingkat rendah “(low level)
 Konsep yang ciri-cirinya dapat ditunjuk atau dialami secara langsung;
dapat ditujukkan secara kongkrit, contohya : bunga-bungaan, buah-
buahan, atau binatang-binatang.
• Abstraksi yang bertingkat-lebih tinggi” (higher-level).
 Konsep yang ciri-cirinya tidak dapat ditunjuk atau dialami secara
langsung; dapat ditujukkan secara kongkrit. Artinya bahwa konsep ini
bisa diraba , didengar, dilihat, dan dirasakan, namun biasanya abstrak
(Frankael, 1980; 60-61). Contohya : kemerdekaan, kehormatan, inteligensi.
Konsep ini paling banyak ditemui dalam ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial,
dan sejarah. (Sjamsuddin, 2007:31).
2. Kompleksitas. Jumlah atribut yang diperlukan untuk mendefenisikan konsep-konsep itu turut mendefenisikan konsep-konsep itu membedakan tingkat kesederhanaan dan kerumitan konsep-konsep. Banyaknya atribut yang diperlukan akan menunjukkan konsep yang kompleks. Misalnya saja Konsep Kucing (berkaki empat, berbulu, mempunyai cakar, lidah yang kasar, telinga yang runcing, dan mengeong) lebih sederhana dibanding dengan Konsep Kebudayaan (culture) yang rumit. Hal ini karena di dalamnya terkandung sejumlah besar atribut ide-ide, adat, kebiasaan, hukum, tradisi, lembaga-lembaga, dan pola tingkah laku. Atribut tersebut kemudian mempunyai atribut yang lebih kecil lagi yang kemudian mempunyai atribut tersendiri. Sehingga semakin kompleks suatu konsep, maka akan semakin besar kapasitasnya untuk mengorganisasikan dan mensintesakan sejumlah besar konsep-konsep lain yang lebih sederhana dan fakta-fakta khusus. Berkaitan dengan kapasitas pemahaman manusia, maka semakin kompleks suatu konsep akan semakin sulit untuk dipahami (terutama orang awam, dan anak-anak yang terbiasa dengan berpikir nyata). Sehingga pemahaman individu selalu didasarkan pada pengalaman individu yang tidak pernah total (Fraenkel, 1980:62). Akan tetapi semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang (bertambahnya usia dan pengalaman), maka akan memahami kompleksitas konsep serta abstraksinya semakin bertambah. Konsep yang kompleks meliputi : struktur sosial, perubahan sosial, interaksi sosial, kebudayaan, peradaban, urbanisasi, isme (demokrasi, nasionalisme, kapitalisme, komunisme, modernisasi, industrialisasi, dsb). Konsep Demokrasi dapat diberikan atribut yang berbeda dari negara demokrasi sendiri, apalagi oleh negara sosialis-komunis yang mengklaim “demokrasi”. Para sejarawan professional tentunya sudah dibekali dengan semua kemungkinan ini. (Sjamsuddin, 2007:3).
Konsep itu dibentuk melalui pengalaman-pengalaman langsung, maupun tak langsung. Seseorang yang memiliki pengalaman yang bermacam-macam akan mampu untuk mengembangkan konsep-konsep pada tingkat abstraksi yang berbeda. (Sjamsuddin, 2007:33). Menurut Frankel, pengalaman kongkrit yang melalui indera-indera sentuhan (cicipan, pendengaran, penciuman, atau penglihatan) akan membuat manusia mampu untuk memformulasikan konsep-konsep tertentu yang dianggap mengandung atau mewakili pengalaman-pengalaman itu. Begitu juga dengan pemahaman tidak langsung cukup menggunakan kata-kata atau simbol-simbol tertentu yang mengandung atau mewakili konsep-konsep tersebut. (Sjamsuddin, 2007:34).

3. Diferensiasi. Konsep-konsep juga berbeda dalam tingkat kemampuannya sebagai pembeda. Ada sejumlah konsep yang mempunyai karakteristik dasar umum yang sama yang diwakili oleh konsep-konsep tersebut. Konsep ini dapat menerima bentuk ragam lain yang sedikit berbeda dari ide yang dikandung oleh konsep itu, tetapi hubungannya tetap ada. Misalnya konsep palu, jumlah pembedanya kecil. Pada kamus hanya menyebut sinonimnya godam atau martil. Sedangkan buah-buahan konsep pembedanya sangat besar, misalnya dari berbagai jenis pisang sampai ke jenis apel. Kemudian yang lebih abstrak konsep organisasi sosial, menurut Fairchil, yaitu pengorganisasian masyarakat dalam sejumlah besar sub-grup yang dapat berdasar pada usia, seks, kekerabatan, pekerjaan, tempat tinggal, pemilikan, hak-hak istimewa, kewenangan, dan status.
4. Sentralitas Dari Dimensi-dimensi. Menurut Frankael, sebagai arti dari beberapa konsep diambil dari satu atau dua kata kunci atau atribut-atribut terpenting yang menunjukkan kepada bentuk sentral dari ide yang dikandung oleh konsep itu. Misalnya mobilitas sosial, artinya gerak satu kelompok sosial ke kelompok sosial lain. Perubahan dalam status sosial disebut konsep mobilitas vertikal, sedangkan perubahan dalam afiliasi politik atau agama disebut mobilitas horizontal. Ide sentral dari kedua konsep tersebut ilah pada kata mobilitas, atribut perpindahan antar kelompok sosial. (Sjamsuddin, 2007:35).
c. Guna Konsep
Setiap disiplin ilmu pasti mempunyai konsep yang mempunyai kegunaan. Berikut adalah kegunaan konsep :
1. Informasi yang bertambah harus segera ditangani agar penggunaanya dapat lebih (mangkus) efesien dan sangkil (efektif). Sehingga informasi dirumuskan ke dalam konsep. Kemudian konsep akan mereduksi informasi dengan proporsi-proporsi yang dapat ditanganinya. Konsep ini mencakup kelas dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, individu-individu, atau ide-iede. Melalui konsep-konsep ini berbagai persepsi yang kita terima melalui indera dapat disusun dan disederhanakan. Misalnya, alat transportasi dapat disederhanakan dan dirangkum ke dalam konsep transport atau wahana. Sedangkan pemberontakan, gerakan perlawanan, kerusuhan atau keresahan sosial menjadi konsep konflik atau revolusi.
2. Konsep membantu kita mengidentifikasi dan memahami berbagai objek, peristiwa, indiviu, atau ide yang ditemukan di sekitar kehidupan kita. Identifikasi dilakukan agar sesuatu lebih dari pada hanya persepsi saja, klasifikasi adalah esensial. Grobak, truk, mobil, dan bus diidentifikasikan sebagai alat angkutan darat, namun dapat didimasukkan ke dalam dua kelas menjadi alat pengangkut barang (gerobak, truk) (mobil, bus) dan alat pengangkut orang. Selanjutnya dapat dibedakan berdasarkan atribut, dan dapat diidentifikasikan lebih lanjut secara khusus. Selain itu gerak perpindahan seseorang yang didentifikasikan sebagai mobilitas sosial (ada mobililas sosial vertikal dan horizontal).
3. Konsep dapat mereduksi keperluan untuk mengulang-ngulang kembali kajian yang sudah diketahui. Misalnya pisang nangka, dapat diterapkan lagi konsep pada sejumlah yang lebih besar, misalnya pisang nangka, pisang kapas, pisang susu, dsb. Tanpa harus diulang pisang itu apa. Begitu juga dalam mempelajari mobilitas sosial yang dapat dipelajari lebih lanjut berbagai jenis konsep mobilitas lain seperti mobilitas horizontal, vertikal, ekologi, mental, buruh, dsb.
4. Konsep dapat membantu memecahkan masalah dengan menempatkan objek, individu, atau peristiwa ke dalam kelas-kelasnya yang benar, kita dapat memperoleh beberapa wawasan bagaimana cara menangani suatu masalah tertentu yang dihadapi. Misalnya seseorang yang mengetahui keberadaan cawan beracun, maka ia akan menghindari untuk memakannya. Selain itu seorang sejarawan yang mengenal konsep fasisme, tentunya sudah dibekali kesiapan-kesiapan konseptual terhadap fenomena-fenomena serupa disuatu waktu dan tempat lain.
5. Konsep-konsep memungkinkan dilakukannya penjelasan (eksplanasi) yang lebih rumit. Banyak konsep yang kita ketahui sekarang melalui suatu proses pembelajaran, atau pengenalan dari konsep-konsep sebelumnya. Konsep-konsep itu mengandung ide, prinsip, dan ide. Yang telah dipelajari dapat mencegah kembali mengulang-ngulang kata dasar yang sama, dan bertolak belakang dari apa yang telah diketahui itu kita akan dapat menjelaskan suatu fenomena yang lebih rumit. Sehingga konsep seacam ini adalah alat (tools) yang mengandung karakteristik umum yang terhimpun dalam pikiran-pikiran kita sehingga membuat kita sanggup memberikan analisis terhadap problema-problema yang lebih rumit.
6. Manusia memiliki kelebihan untuk mengkonseptualisasikan sesuatu. Konsep mewakili gambaran manusia tentang “kenyataan” (realitas) yang berada di sekelilingnya dan konsep-konsep itu mendeskripsikan dunia manusia ini untuk dipahami oleh manusia itu sendiri. Tanpa konsep ini manusia tidak dapat berkomunikasi; membentuk suatu masyarakat, melaksanakan pekerjaan yang teramat sederhana, dan tidak akan dapat berpikir tentang keadaan disekelilingnya. Bahasa adalah media komunikasi dan sesensial dari konsep yang harus dimiliki dan dikuasai oleh manusia. Bahasa merupakan alat interaksi sesama manusia untuk memahami masa lalu, masa sekarang, dan nanti. (Sjamsuddin, 2007:38).
7. Konsep yang mengandung konotasi negatif disebut steorotip (steorotif). Misalnya interaksi antara kelompok ras (ras, bangsa, etnis), salah satu atau keduanya akan memberikan “ label” pada kelompok lain yang sifatnya negatif. Apabila terdapat tingkah yang ganjil, maka kelompok lain akan mendapat gambaran mengenai watak seluruh kelompok tersebut (mewakili). Misalnya saja mengenai orang kulit putih di Amerika yang selalu menganggap orang kulit hitam, malass, bodoh, dan tidak dapat dipercayai. Maka orang kulit hitam akan mempunyai steorotip bahwa orang kulit putih adalah orang yang berpikir dangkal dan tidak dapat dipercayai. Nazi Jerman juga pernah melakukannya terhadap orang Yahudi sebelum Perang Dunia II (apartheid di Republik Afrika Selatan). Di Indonesia terdapat steorotip yang disebabkan oleh prasangka, atau superioritas diri, kelompok atau golongan.
8. Konsep berguna sebagai mata rantai penghubung antara disiplin dan atau kajian. (Sjamsuddin, 2007:39). Banyak konsep mempunyai relevansi dengan berbagai disiplin yang berbeda seperti kebudayaan, konflik, kooperasi, interdepensi, kausalitas. Pada tahun 1960-1970-an diidentifikasikan terdapat 70 macam konsep yang sama yang digunakan oleh pakar dari berbagai disiplin dalam tulisan-tulisan mereka. Diantaranya ilmu-ilmu sosial. (Sjamsuddin, 2007:40).

Konsep-konsep Ilmu Sosial yang sering kali dipakai

Sikap Perubahan Demokrasi Pemerintahan
Perilaku Kebudayaan Lingkungan Kelompok
Intuisi Interaksi Mobilitas Motivasi
Norma Personalitas Kekuasaan Sumber-sumber
Peranan Struktur Masyarakat Sosialisasi
Sosial
Sistem Perdagangan Nilai-nilai
Kausalitas Konflik Perubahan-perubahan
Perbedaan-perbedaan Intuisi Interdepensi
Modifikasi Kekuasaan Kontrol Sosial
Tradisi Nilai-nilai
Kewarga Perubahan Konflik
negaraan
Kebudayaan Diversitas Lingkungan
Kemerdekaan Keadilan Interdepensi
Kausalitas Moralitas Kekuasaan/Kewenangan
Ganda
Pemilikan Sumber-sumber Kebutuhan-kebutuhan
Kelangkaan Kontrol Sosial Kebenaran (Fraenkel, 1980:68-69).
Lebih khsusus lagi konsep-konsep sentral yang acapkali digunakan oleh para sejarawan teori sosial (social theory historian) :
Peran sosial (social role),
Seks dan jender (sex dan gender),
Keluarga dan kekerabatan (family dan kinship),
Komunitas dan identitas (community dan identity),
Kelas (class),
Status (status),
Mobilitas sosial (social mobility),
Konsumsi boros dan modal simbolik (conspicuous consumption and symbolic capital),
Timbale-balik (reciprocity).
Patronase dan korupsi (patronage and corruption),
Kekuasaan (power),
Pusat dan pinggiran (centre and periphery),
Hegemoni dan perlawanan (hegemony and resistance),
Gerakan-gerakan sosial (social movements),
Mentalitas dan ideology (mentality and ideology),
Komunikasi dan penerimaan (communication and reception),
Oralitas dan tekstualitas (orality and textuality),
Mitos (myth) (Burke, 1995:44-103).

Seperti halnya dengan fakta-fakta, dengan sendirinya para sejarawan dapat pula memanfaatkan konsep-konsep yang relavan untuk membantu mereka dalam metodologi dan analisis-analisis historiografi mereka. (Sjamsuddin, 2007:41).












SIMPULAN
Sejarah dalam bahasa Inggris disebut “history” yang artinya inkuiri, wawancara, interogasi dari saksi-saksi mata, dan juga laporan mengenai hasil tindakan-tindakan itu; seorang saksi (witness), seorang hakim (judge), seorang yang tahu. Sedangkan Historia adalah : Penelitian (research) dan laporan tentang penelitian itu, Suatu cerita puitis, dan Suatu deskripsi yang persis tentang fakta-fakta. Di Jerman istilah yang mengandung pengertian diatas dikenal dengan Rest Gestae. Perkembangan istilah-istilah ini menuntut istilah annal dan kronikel menghilang pada abad ke 16. Padahal istilah annals (Annales) resmi digunakan pada masa klasik (antiquity ; Yunani Romawi) yang kemudian dilanjutkan kronikel (chronicles). Pada Abad Pertengahan istilah Annal dan kronikel dikaitkan dengan praktik gereja untuk membuat siklus paskal (paschal, cycles, siklus paskah) dan kalender (calendars). Pada perkembangannya, maka kata yang dipergunakan sampai sekarang ialah : history, historie, histoire, storia, istoria, historia. Selain itu terdapat bahasa lain yang punya arti sama seperti Geshichte (geschiedenes), dan geschiedenis”. Sedangkan pengertian sejarah di Indonesia diperoleh dari historiografi tradisional yaitu : Sajarah, Carita, Riwayat, Babad, Tarikh, Tambo, Kidung, Seratkanda, Wawacan, Tutur, Hikayat, Salsilah, Cerita-cerita manurung. Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi (syair). Adapun inti dari pengertian sejarah sebenarnya mengacu pada peristiwa masa lalu yang berkaitan dengan : mencari (to search), meneliti atau menanya (to inquire), memeriksa (to axamine).
Di dalam sejarah terdapat metode dan metodologi yang berperan pada fase sama untuk tugas berbeda. metode ialah “suatu cara untuk berbuat sesuatu : suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu : keteraturan dalam berbuat, berencana, dll.; suatu susunan atau sistem yang teratur”. Sedangkan ,metodologi adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau prosedur; suatu sistem tentang metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains (science). Menurut Sartono Kartordirdjo, metode adalah “bagaimana oraang memperoleh pengetahuan” (how to know), dan metodologi sebagai “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know) atau adalah Filsafat Sejarah Kritis-Analitis.. Dengan demikian, maka metode sejarah “ialah bagaimana mengetahui sejarah”, dan metodologi “mengetahui bagaimana mengetahui sejarah”. Dalam hal ini seorang sejarawan harus mempunyai pengetahuan metodologis, teoretis, dan filsafat “artinya bagaimana sejarawan itu menggunakan ilmu metode pada tempat yang seharusnya”.
Sejarawan memerlukan informasi faktual, fakta adalah bangunan kajian sejarah. Fakta ialah sesuatu yang diketahui benarnya; suatu pernyataan tentang sesuatu yang telah terjadi. Fakta itu erat dengan pertanyaan tentang apa, siapa, kapan dan di mana; hal yang benar-benar terjadi. Di dalam melakukan penelitian sejarawan dituntut untuk mempunyai konsep. Menurut Webster, konsep adalah sesuatu yang dibentuk dalam pikiran: pikiran, ide, pendapat : seperti sebuah filsafat : suatu ide umum atau abstrak: sebuah opini universal. Konsep itu berbeda dengan fakta, konsep pada hakikatnya adalah defenisi. Dalam hal ini konsep mengandung karakteristik (ciri) yang umum dari suatu kelompok pengalaman karena konsep merupakan ciptaan manusia untuk memerikan dan mengevaluasi karakteristik-karekteristik umum yang terdapat pada sejumlah pengalaman manusia sendiri. Sehingga konsep itu diciptakan (invented) bukan ditemukan (discovered). Adapun jenis konsep terbagi atas : Konsep Konjungtif (Conjuntive), Konsep Disjungtif (Disjuntive), Konsep Relasional (Relational), Konsep Deskriptif (Descriptive), Konsep Valuatif (Valuative), dan Campuran Antara Konsep Deskriptif dan Konsep valuatif
Berkaitan dengan konsep, maka konsep itu mempunyai atribut. Menurut Pakar Pendidikan Jerome Kagan, terdapat empat sifat (kualitas) penting yang dapat diterapkan pada semua konsep sebagai berikut : Tingkat Abstraksi, Kompleksitas, Difenresiasi, dan Sentralitas Dari Dimensi-dimensi. Konsep yang diciptakan itu tentunya mempunyai kegunaan sebagai berikut : konsep berperan mereduksi informasi yang telah dirumuskan dengan proporsi-proporsi yang dapat ditanganinya, konsep membantu kita mengidentifikasi dan memahami berbagai objek, peristiwa, indiviu, atau ide yang ditemukan di sekitar kehidupan kita, konsep dapat mereduksi keperluan untuk mengulang-ngulang kembali kajian yang sudah diketahui, konsep dapat membantu memecahkan masalah dengan menempatkan objek, individu, atau peristiwa ke dalam kelas-kelasnya yang benar, kita dapat memperoleh beberapa wawasan bagaimana cara menangani suatu masalah tertentu yang dihadapi, konsep memungkinkan dilakukannya penjelasan (eksplanasi) yang lebih rumit. konsep mewakili gambaran manusia tentang “kenyataan” (realitas) yang berada di sekelilingnya dan konsep-konsep itu mendeskripsikan dunia manusia ini untuk dipahami oleh manusia itu sendiri, dan yang terpenting konsep berguna sebagai mata rantai penghubung antara disiplin dan atau kajian. Seperti halnya dengan fakta-fakta, dengan maka para sejarawan dapat pula memanfaatkan konsep-konsep yang relavan untuk membantu mereka dalam metodologi dan analisis-analisis historiografi mereka. (Sjamsuddin, 2007:41).

DAFTAR SUMBER
Helius, Sjamsudin. 2007. Metodologi Sejarah.
Yogyakarta : Ombak.