Minggu, 31 Oktober 2010

Tipe Sejarah Lokal

Tugas 3 Kamis, 30 September 2010


Oleh : kelompok 4
1. Merlina Agustina Orllanda (18031008002)

 Abdulah, Taufik (ed). 2005. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sejarah lokal (daerah) merupakan sejarah dari daerah daerah-daerah administratif. Sejarah lokal dapat pula dikatakan sebagai pelengkap dari sejarah nasional, akan tetapi sejarah lokal itu tergantung dari pembatasan ruang lingkup geografisnya. Hal ini bertujuan untuk menghadapkan kita kepada manusia secara langsung dan intim. Sehingga sejarah lokal harus mempunyai otonomi untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi sejarah nasional untuk lebih idealistis lagi. Selain itu mempelajari sejarah lokal berperan untuk memperdalam pengetahuan tentang manusia. Hal ini karena sasaran sejarah lokal merupakan ruang lingkup geografi yang tentunya akan berkaitan erat dengan sejarah sosial. Maka dari itu sejarah lokal harus memperhitungkan peranan, jaringan, bergantung pada aktor sosial, semua dilihat dari hubungan sebab-akibat dan kerangka sosial kultural sebagai peristiwa.

Untuk memahami sejarah lokal, maka terlebih dahulu harus mengetahui tipe-tipe dari sejarah lokal. Adapun tipe sejarah lokal dan contoh bukunya adalah sebagai berikut :
1. Tipe Sejarah Lokal Tradisional (naratif), berkaitan dengan historiografi tradisional yang
difokuskan pada sekitar keraton.
 Florida, Nancy. ”Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang”.
Yogyakarta : Bentang Budaya
(oleh : Eva Wati)
 Dalam buku ”Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang” ini menggunakan sumber berupa babad, yaitu Babad Jaka Tingkir. Jaka Tingkir merupakan tokoh penting dalam sejarah Jawa. Kisah – kisah hidup dan kejayaan petualangannya cukup luas dalam arsip – arsip kesastraan Jawa. Dimana kisahnya menduduki tempat yang paling menonjol dalam tradisi – tradisi lisan yang telah mewarnai kesadaran kesejarahan Jawa.
Jaka Tingkir dalam tradisi kesejarahan memiliki prilaku prihatin, pembuangan, buaya – buaya yang merangsek, banteng yang mengamuk, daun sirih yang mematikan, serta Kerajaan Pajang di Jawa Tengah yang telah ia dirikan. Pajang terletak beberapa kilometer di sebelah barat kota Surakarta saat ini. Kerajaan Islam yang pertama di pedalaman Jawa. Kerajaan Pajang didirikan dan mengenyam masa keemasan yang singkat pada paruh kedua abad keenam belas. Setelah kedua orang tua Mas Krebet meninggal, ia dibesarkan oleh seorang Janda yang bernama Ni Ageng Tingkir yang tinggal di Desa kecil Tingkir, di Lereng Gunung dekat Salatiga, karenanya ia diberikan nama Jaka Tingkir. Laku prihatin yang dijalankan atas saran ibunya, kemudian Jaka Tingkir berguru pada Ki Ageng Sela (seorang Kiai di suatu desa kecil yang terletak di Tenggara Demak ). Kiai tersebut merupakan Guru Agama Islam sekaligus leluhur langsung dari Dinasti Mataram. Kiai tersebut menyarankan Jaka Tingkir untuk mengabdi pada Kerajaan Demak karena ia yakin bahwa Jaka Tingkir kelak menjadi Raja. Sebelum berangkat menuju ke Demak, Jaka Tingkir kembali ke rumah untuk berpamitan dengan ibu angkatnya dan membantu ibunya menyiangi rumput di Sawah. Saat itulah muncul seorang yang tak dikenal, yaitu Sunan Kalijaga. Ia memberikan saran kepada Jaka Tingkir untuk meninggalkan pekerjaan rendah yang dianggap tidak sesuai dengan martabat seorang calon Raja.
Jaka Tingkir pun berangkat ke Demak untuk kemudian diterima sebagai Abdi Kerajaan melalui koneksi ibu angkatnya. Setelah itu, ia pun naik pangkat. Kemudian Jaka Tingkir pun menjadi panglima pasukan elite Sultan Trenggana. Tak lama kemudian Sultan tersebut menunjuk Jaka Tingkir untuk menguji para pelamar yang ingin menjadi bagian dari anggota pasukan elite. Salah seorang bernama Dhadhungawuk yang bertampang buruk dan menyeramkan memberanikan diri maju untuk diuji. Di lain pihak, Jaka Tingkir merasa muak dengan tampang sang pelamar, seperti menusuknya dengan sadak ( tusuk konde/dalam penggunaan modern, gulungan daun sirih ). Kemudian Dhadhungawuk tewas. Disertai dengan perintah Tingkir, tubuh Dhadhungawuk dicincang oleh para pengawal. Hal tersebut segera diketahui oleh Sultan Trenggana. Sultan tersebut merasa takut ketika berita kekejaman itu sampai ke telinganya. Jaka Tingkir pun dilucuti dari segala jabatannya dan dibuang dari Negerinya. Setelah masa sulit yang dilalui Jaka Tingkir, akhirnya ia pun bergabung dengan jaringan Para Kiai Jawa Tengah bagian Selatan ( yang pernah berhubungan dengan mendiang ayahnya). Atas saran mereka, dia memutuskan untuk kembali ke Demak dan meraih kembali gelar Sultan. Dalam perjalanannya ke Utara dengan rakit di Bengawan Solo, akhirnya ia berhasil mengalahkan pertarungan dengan Raja Buaya beserta bala tentaranya di tempat yang dekat kota Surakarta saat ini. Karena hal tersebutlah, buaya – buaya itu menjadi tunduk kepada JakaTingkir dan membawanya sampai di tempat dekat istana Pesanggrahan Sultan yang ada di Timur, ibu kota Demak. Berdasarkan teks dari tradisi yang dominan, Tingkir menggunakan muslihat licik untuk meraih kembali posisinya di istana. Dengan azimat yang diperoleh dari salah satu Kiai, Tingkir pun membuat gila salah seekor Banteng dan dia giring agar menyerang Pesanggrahan. Para prajurit Sultan tak ada yang berhasil menghadapi serudukan sang Banteng. Hanya Jaka Tingkir lah yang mampu menyelamatkan Sultan dari serangan Banteng tersebut (dengan diam – diam, ia mengambil azimat dari mulut banteng). Tak lama, Sultan pun mengangkat Jaka Tingkir sebagai Adipati untuk wilayah Pajang serta memberikan anaknya dipersunting sebagai ucapan terima kasihnya. Hanya sepeninggal Sultan Trenggana lah, Sang Adipati Pajang ini menundukkan diri sebagai penguasa seluruh Jawa. Tak lama kemudian kekuasaan yang baru diraih tersebut ditentang oleh seorang keturunan Demak. Meskipun demikian, pihak Pajang lah yang memenangkan perang dengan mendapat dukungan dari Lingkaran Kecil Abdi yang setia (juga dengan menggunakan muslihat licik). Hal menonjol dari para abdi tersebut adalah Ki Ageng Pemanahan (Cucu Ki Ageng Sela ) dan Puteranya, Lor ing Pasar. Kemudian Sultan Pajang (yaitu mantan Jaka Tingkir) memberikan sepenggal ”Hutan Mataram” kepada Pemanahan untuk kemudian dijadikan tempat berkuasanya sebagai Ki Ageng Mataram. Putra Mataram (Lor ing Pasar) diangkat sebagai anak oleh mantan Jaka Tingkir. Pada saat dewasa, anak tersebut dikenal sebagai Panembahan Senapati yang nantinya menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul ( makhluk halus penguasa Laut Selatan). Akhirnya, ia membentuk Kerajaan Mataram dan mengakhiri hegemoni Pajang. Mantan Jaka Tingkir (Sang Adipati Pajang ) wafat sebagai orang yang gagal dan putus asa. Anak kandungnya menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Pajang, yang mana kedudukannya itu berada di bawah kekuasaan (hegemoni) Mataram. Demikian Cerita mengenai Jaka Tingkir. Adapun kelemahan dari Jaka Tingkir yang dikisahkan dalam tradisi dominan tersebut adalah bila berhadapan dengan perempuan cantik, sehingga bisa jadi ia wafat karena hal tersebut.
Dari penjelasan di atas, maka babad Jaka Tingkir digolongkan dalam jenis sejarah lokal Tradisional. Dimana dijelaskan terdapat unsur mitos di dalamnya yang berfungsi untuk legitimasi kekuasaan yang difokuskan sekitar Kerajaan Pajang dan Demak. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai Jaka Tingkir yang ingin membela Kerajaan yang diwariskan ayahnya dan ingin merebut kembali haknya dengan motivasi dari Sunan Kalijaga. Hal tersebut digolongkan dalam sejarah lokal Dilentatis yang terus berkembang hingga kini.
 Maria, Siti (ed). 1992. Babad Panjalu (proyek penelitian).
Jakarta : Depdikbud
(oleh :Merlina)
 “Babad Panjalu” merupakan karya sastra sejarah yang berasal dari Jawa Barat. Di dalam buku “Babad Panjalu” yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini menceritakan kisah berdirinya Negeri Panjalu dan menggambarkan silsilah dari penguasanya (terutama mengenai para bupati yang pernah memimpin Panjalu). Hal ini terlihat pada permulaan babad yang menggambarkan penemuan warisan pusaka oleh keturunan dari Bupati Panjalu terdahulu. Di dalam babad dipaparkan bahwa Bupati Panjalu yang dimaksud adalah bupati yang diperkirakan meninggal pada usia 100 tahun (sekitar tahun 1851). Selain itu dijelaskan bahwa nama keturunan bupati yang kelak menyalin naskah babad ini bernama Prajadinata (yang menjadi kemudian menjadi lurah di Mawarah). Adapun isi buku yang ditinggalkan memuat tentang asal usul telaga Lengkong yang ditujukan agar sejarah tersebut dapat ditularkan kepada keturunan mendatang. Dengan demikian maka Prajadinata akhirnya selesai melakukan penyalinan naskah pada tanggal 10 Juli 1905 dan kemudian mendapat penghargaan dari Sri Maharaja pada 14 Desember 1905. Dari hasil bacaan yang diperoleh, maka “Babad Panjalu” ini diawali dengan kisah mengenai kepemimpinan seorang bupati pertama yang memimpin Panjalu. Adapun bupati yang begitu diagungkan oleh rakyatnya tersebut ialah Prabu Boros Ngora. Prabu Boros Ngora merupakan pemimpin Panjalu yang disebut melanjutkan tahta ayahnya. Sedangkan Negeri Panjalu disebut sebagai pusaka yang diwariskan terhadap Prabu Boros Ngora. Dibawah kepemimpinan Prabu Boros Ngora, Negeri Panjalu menjadi kaya raya, subur tanpa ada kekurangan. Hal ini karena semua keinginan rakyat dapat terpenuhi pada masa itu. Selain itu Prabu Boros Ngora digambarkan sebagai sosok pemimpin yang baik hati, tidak pernah mencela pekerjaan rakyatnya. Sehingga sangat diharapkan oleh penyalin naskah Panjalu (keturunan bupati) agar kemurahan hati dan watak dari sang Prabu ini dapat dikenal sampai keanak cucunya. Terciptanya kemakmuran Panjalu pada masa kepemimpinan Prabu Boros Ngora dapat dilukiskan dengan keberadaan telaga luas yang bernama Lengkong. Adapun telaga tersebut diperkirakan memiliki luas 140 bata atau 14 m2 pada masa itu. Dengan adanya Situ Lengkong, maka terdapat pula Nusa (pulau) ditengahnya. Dengan adanya Nusa maka terdapat pula jembatan Cukang Padung yang berperan untuk menghubungkan orang-orang agar dapat menuju Nusa. Adanya dua lokasi berupa Lengkong dan Nusa diatas merupakan wujud dari kekayaan Negeri Panjalu saat itu. Hal ini karena keberadaan Lengkong saat itu identik dengan banyak ikan didalamnya, dan Nusa sendiri berisikan hasil alam yang melimpah ruah seperti tumbuh-tumbuhan, bunga-bunga, dan buah-buahan (Mangga dan sebagainya). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nusa dan Lengkong merupakan peninggalan Panjalu yang sampai saat ini masih bisa dijumpai oleh keturunan pemimpin Panjalu. Prabu Boros Ngora adalah pemimpin rakyat Panjalu dan sosok ayah penyayang bagi kedua puteranya. Kedua pangeran yang dimaksud adalah Raden Aria Kuning (putera sulung) dan Raden Aria Kencana (putera bungsu). Adapun Raden Aria Kencana sangat menyukai bercocok tanam, sehingga di Panjalu ditemukan Nusa Pakel yang dikenal sebagai tempat rekreasi. Pada masa dulu, tempat ini dikenal sebagai tempat pangeran bungsu menanam buah-buahan seperti Mangga. Pada suatu hari, Prabu Boros Ngora merasa dirinya sudah cukup umur untuk memimpin Panjalu. Maka dari itu sang bupati ingin beristirahat dari kedudukannya. Prabu Boros Ngora berniat untuk menyerahkan tahta kepemimpin kepada putera sulungnya. Saat itu diadakan musyawarah dengan Patih, Sesepuh dan rakyat Panjalu. Adapun hasil musyawarah sepakat untuk menuruti keinginan Prabu Boros Ngora. Hal ini karena penghuni Panjalu sangat menghormati keputusan Prabu Boros Ngora yang dianggap telah banyak berjasa dalam memimpin Negeri dan rakyat Panjalu. Singkat cerita, akhirnya dilantik lah Raden Aria Kuning sebagai pemimpin Panjalu yang menggantikan tahta Prabu Boros Ngora. Pada pergantian tersebut diserahkanlah pusaka berupa sebilah pedang, kain cita, lonceng, emas, uang dan Negeri Panjalu yang kaya raya. Harapan dari penyerahan tersebut agar amanah yang diberikan dapat dirawat dan diturunkan kepada anak cucu kelak. Peresmian diadakan pada hari Senin, dan pada hari Kamisnya Prabu Boros Ngora melaksanakan pindah ke Jampang. Raden Aria Kencana ikut dibawa pindah ke Jampang, hal ini berkaitan dengan kepribadiannya yang kreatif dan suka bertani. Sehingga diharapkan agar dapat mengolah dan membuka Negeri Jampang. Pada kenyataannya kedatangan pasukan dari Panjalu ini disambut dengan suka cita di Jampang. Sepeninggalan Prabu Boros Ngora ke Jampang, maka Raden Aria Kuning akhirnya mengemban amanah yang telah diberikan kepadanya. Kepemimpinannya membawa Negeri Panjalu menjadi negeri yang lebih makmur dari sebelumnya. Hal ini karena Raden Aria Kuning memimpin secara adil tanpa pilih kasih. Sosok Raden Aria merupakan pemimpin yang tidak membedakan rakyat. Dengan demikian, maka rakyat yang dipimpinnya hidup secara rukun, kaya raya dan banyak harta benda. Suatu ketika Raden Aria Kuning berniat untuk menguras Situ Lengkong. Sebagai seorang anak yang menghormati ayahnya maka Raden Aria tidak berani melaksanakan keinginannya tanpa memperoleh izin dari sang ayah. Maka itu akhirnya Raden Aria mengutus Ki Buni Sakti untuk menyampaikan keinginan tersebut kepada Prabu Boros Ngora yang ada di Jampang. Setelah amanah disampaikan akhirnya Prabu Boros Ngora menyetujui keinginan putera sulungnya tersebut, akan tetapi ia berpesan belum tentu bisa menghadiri acara pengurasan Situ Lengkong Tersebut. Prabu Boros Ngora memberikan pesan bahwa ia akan mengutus Raden Aria Kencana apabila ia berhalangan hadir ke Panjalu. Apa yang dipesankan dari Jampang akhirnya disampaikan Ki Buni Sakti kepada Raden Aria Kuning. Pada saat itu Raden Aria Kuning terlihat tidak sabar dan agak kurang sopan kepada Ki Buni Sakti yang umurnya lebih tua. Dalam diri pemimpin muda itu hanyalah ketergesaan dan keinginan untuk menguras Lengkong. Sementara di Jampang, telah disiapkan pasukan untuk mengiringi Raden Aria Kencana untuk menghadiri acara pengurasan Lengkong. Saat itu Raden Aria didampingi oleh dua panglima perang yaitu Kodal dan Kojal. Sebelum berangkat Prabu Boros Ngora berpesan kepada putera bungsunya agar dapat menjaga sikap ketika di Panjalu, mampu menghormati Raden Aria Kuning sebagai Bupati Panjalu, maka itu diharapkan agar dapat membantu dan tidak mengecewakan. Sebelum pasukan Aria Kencana tiba di Panjalu kegiatan untuk menguras Situ Lengkong telah dilaksanakan terlebih dahulu. Tiga malam sudah rakyat dikerahkan untuk membersihkan Lengkong. Sebenarnya dalam hati Raden Aria Kuning merasa cemas, hal ini karena ia terlalu diburu waktu dalam menunggu kedatangan adiknya dan ia merasa takut kalau Raden Aria Kencana nantinya merasa sakit hati. Saat rombongan dari Jampang tiba di Panjalu dan saat Raden Aria Kencana berhadapan dengan Raden Aria Kuning timbul suasana tidak enak. Disatu sisi Raden Aria Kuning berusaha menghindar karena malu dan tidak enak hati, namun sikap tersebut justru menimbulkan salah tafsir dari Raden Aria Kencana. Saat itu Raden Aria Kencana merasa bahwa kehadirannya dan rombongan dari Jampang sama sekali tidak dihargai. Alasannya bukan hanya karena pengurasan Lengkong yang dilakukan lebih dulu, akan tetapi juga saat pasukan dari Jampang tiba di Panjalu merasa tidak mendapat sambutan, malah rakyat yang ada sibuk dengan menangkap ikan dan urusan sendiri. Tidak mungkin berharap untuk disambut dan dihormati, Raden Aria Kencana malah merasa terhina saat melihat fenomena rakyat Panjalu yang tidak mampu lagi untuk menutupi rasa malu (hanya karena ikan yang diperebutkan lupa akan tradisi dalam menyambut bangsawan). Selain itu, hal yang paling membuat Raden Aria Kencana naik pitam ketika mendapat sikap dingin dari kakaknya. Ia merasa bahwa kedatangannya dari Jampang untuk memenuhi utusan ayahnya agar dapat membantu kegiatan di Panjalu, namun dengan perlakuan yang ia terima dan rasa dalam hatinya membuat Raden Aria Kencana tidak dibutuhkan. Sehingga ia pun tidak sudi untuk mengalah, hati dan jiwa sang pangeran telah dipenuhi emosi. Maka dari itu akhirnya Raden Aria Kencana menanjak bukit, menurut isi buku “Babad Panjalu” ketika itu Aria Kencana membongkar tanah dari bukit. Pada saat itu puncak bukit dikeduk dengan kedua tangannya sehingga air meluap dan memenuhi Situ Lengkong. Adapun keadaan disekitar pekerja yang akan menguras Lengkong menjadi kacau, suasana heboh dan air pun sampai ke kepala Prabu Anom Aria Kuning. Keadaan yang kacau akhirnya membuat Raden Aria Kuning mengutus Ki Buni Sakti untuk menyelidiki hal yang telah terjadi. Adapun hal yang dimaksud kalau tanggul yang dibuat jebol, maka dari itu Raden Aria meminta untuk dicari tahu apakah telah terjadi tanah longsor. Saat diselidiki, ternyata ditemui bendungan yang sudah rusak dan didekatnya ditemukan pula Raden Aria Kencana yang sedang duduk. Saat itu Raden Aria Kencana mengakui perbuatannya dan dengan lantangnya ia menyampaikan pesan kepada Ki Buni Sakti berupa tantangan kepada Raden Aria Kuning. Awalnya Ki Buni Sakti sudah menasehati bahwa perbuatan demikian adalah tidak baik, namun ternyata Raden Aria Kencana semakin manjadi dan menunjukan sifat egoisnya. Sekembalinya Ki Buni Sakti dari bendungan yang rusak, ia menyampaikan pesan yang diperolehnya dari Raden Aria Kencana. Saat itu Raden Aria Kuning tidak dapat lagi menahan kelakuan adiknya, dengan emosi yang tidak kalah dari Raden Aria Kencana akhirnya pemimpin Panjalu tersebut menanggapi niat berperang. Sebenarnya peperangan tersebut sudah dilarang oleh Kakek Den Patih, namun akhirnya perang saudara itu tetap berlangsung. Raden Aria Kencana seolah menantang, ia naik dan meluap-luap diatas bukit. Saat itu pasukan Jampang dan Panjalu bertempur satu sama lain. Adegan peperangan kakak adik ini perang menggambarkan peristiwa menusuk, menangkis, dan menyebabkan banyak sekali korban berguguran dalam peperangan ini. Adapun darah yang mengalir sudah tidak bisa dielakan lagi (adanya daerah Ranca Beureum merupakan tempat mengalirnya darah yang menjadi korban). Pada akhir perang terdapat pertarungan antara kedua putera Prabu Boros Ngora ini. Keduanya sama-sama hebat dan sama-sama tidak bisa terkalahkan. Peristiwa saling tusuk dan saling bunuh itu disaksikan banyak orang (baik rakyat Panjalu maupun rombongan dari Jampang). Keadaan demikian membuat Ki Buni Sakti pergi ke Jampang dan memberitahu keadaan sebenarnya kepada Prabu Boros Ngora. Prabu saat itu memanggil Raden Kampuh Jaya untuk menengahi konfik tersebut. Raden Kampuh Jaya dan Ki Buni Sakti kemudian pergi menuju Panjalu dengan amanah agar membawa pulang ke Jampang pihak yang kalah dan menetapkan yang menang untuk tinggal di Panjalu. Setiba di Panjalu Raden Kampuh Jaya akhirnya melaksanakan tugasnya. Ia menyelidiki asal terjadinya perang, selain itu Raden Kampuh Jaya mempertemukan Raden Aria Kencana dan Raden Aria Kuning untuk meminta alasan dan kejelasan dari masing-masing. Dari adanya pertemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pangeran ini sadar bahwa tindakan mereka adalah salah, mereka menunjukan penyesalan dan mengakui bahwa diri mereka telah dikuasai oleh emosi. Dengan demikian akhirnya Raden Kampuh Jaya memahami kejadian sebenarnya. Berdasarkan perintah Prabu Boros Ngora, maka Raden Aria Kencana yang kemudian ditetapkan sebagai Bupati Panjalu, sedangkan Raden Aria Kuning akan dibawa ke Jampang (hal ini karena pada perang pasukan Raden Aria Kuning yang paling banyak berguguran). Setelah Raden Aria Kencana diresmikan sebagai Pemimpin Panjalu yang baru, maka Raden Kampuh Jaya membawa Raden Aria Kuning untuk pulang ke Jampang. Raden Aria Kuning yang merasa bersalah dan tidak siap untuk bertemu sang ayah di Jampang tiba-tiba melarikan diri diperjalanan (diduga ia lari ke Sukapura dan kelak menjadi Bupati di Cilangkung). Setibanya di Jampang Raden Kampuh Jaya menyampaikan peristiwa yang terjadi diperjalanan, namun tanggapan dari Prabu Boros Ngora adalah pasrah. Saat itu ia menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Yang Maha Kuasa. Di Negeri Panjalu, rakyat yang hidup dibawah pimpinan Raden Aria Kencana mengalami kemakmuran, namun demikian Prabu Boros Ngora merasa bahwa anak bungsunya tersebut masih memiliki sifat kekanak-kanakan, maka dari itu ia mengutus Raden Kampuh Jaya untuk tinggal bersama Raden Aria Kencana di Panjalu. Adapun keinginan Prabu Boros Ngora agar Raden Kampuh Jaya dapat membimbing Raden Aria Kencana sebagai pemimpin Panjalu. Dengan demikian maka nama Raden Kampuh Jaya diubah menjadi Raden Guru Haji. Nama pemberian Prabu Boros Ngora tersebut akhirnya memulai pengabdian Raden Guru Haji terhadap Raden Aria Kencana. Dibawah bimbingan Raden Kampuh Jaya, Raden Aria Kencana akhirnya berhasil memimpin Panjalu, namun sengat disayangkan dengan kekayaan yang melimpah ruah Raden Aria Kencana jadi lupa keimanan dan jadi tidak tahu tata hormat. Apabila pemimpinnya demikian, maka rakyatnya tidak akan jauh berbeda. Hal ini membuat Prabu Boros Ngora bersedih, ia menyesali keadaan anaknya yang tidak lagi sholeh. Bagi Prabu Boros Ngora harta dan kekayaan hanyalah penyakit yang membuat pikiran. Pada perkembangan Panjalu selanjutnya, sebelum Raden Aria Kencana meninggal, ia berpesan kepada patih untuk menyerahkan anak-anak dan mengurus, serta merawat harta kekayaan. Selain itu ia berpesan agar tahtanya diserahkan kepada Sanghyang Teko (anak pertamanya yang terkenal dengan nama Dalem Cilangkung) untuk diserahi Kabupaten. Pemimpin tersebut juga berpesan agar kelak dimakamkan disebelah Timur Perkampungan Munar (Perkuburan Nusa ini). Sepeninggalan sang ayah keadaan anak-anak yang ditinggalkan tidak memperdulikan orangtua yang baru wafat (mereka sibuk memperebutkan harta warisan yang ditinggalkan). Namun demikian, berdasarkan amanah raja kepada Den Patih, maka tahta memimpin diserahkan kepada Dalem Cilangkung (pada masa kepemimpinanya rakyat dan pengawal patuh sehingga Panjalu makmur). Selain dari uraian diatas, maka silsilah pemimpin Panjalu berikutnya akan diteruskan oleh keberadaan Tumenggung yang mempunyai dua orang putera (Raden Dulang Kancana dan Raden Kadaliru). Saat Tumenggung ini ingin pensiun ia pun sama dengan pemimpin Panjalu sebelumnya, yaitu mengadakan musyawarah dengan sesepuh untuk menyerahkan tahta kepada puteranya. Adapun tahta kepemimpinan Panjalu akhirnya diserahkan kepada Raden Dulang Kencana dan tak lama kemudian ayah sang bupati akhirnya meninggal. Sepeninggalan ayahnya kedua kakak beradik yang ditinggalkan hidup rukun dan damai. Suatu ketika sang kakak berniat menyerahkan tahta kepada adiknya. Saat itu Raden Kadaliru tidak dapat menolak keinginan Sang Prabu. Seiring waktu yang berputar Raden Kadaliru akhirnya merasa untuk melepaskan jabatannya dan kemudian jabatan bupati digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Marta Badadahin (Den Marta Baya Tumenggung). Tak lama setelah penyerahan jabatan akhirnya Raden Kadaliru wafat. Kelanjutan dari kepemimpinan Panjalu kemudian digantikan oleh Raden Arya Nati Baya (Putera Den Marta Baya Tumenggung). Adapun Raden Arya Nati Baya memiliki dua orang putera yaitu Dalem Sumalah (putera sulung) dan Arya Sacanata. Ketika Raden Arya Nati Baya wafat maka Raden Dalem Sumalah diangkat sebagai pengganti ayahnya. Kepemimpinan Dalem Sumalah hanya berlangsung tiga tahun (setelah tiga tahun ia tiba-tiba wafat), maka dari itu akhirnya Arya Sacanata mengambilalih kepemimpinan Panjalu. Beralih dari Raden Arya Sacanata, maka tahta kemudian diserahkan kepada kemenakannya Raden Wira Baya (Putera Dalem Sumalah yang ketika ayahnya meninggal masih berusia kecil). Sementara Arya Sacanata akhirnya pergi ke Ganda Kerta suatu tempat pertapaan (didalam cerita babad sedikit disinggung bahwa disana tempat ditinggalkan puteranya yang masih kecil, yaitu Raden Wira Dipa).Dari masa ke masa Negeri Panjalu yang diceritakan selalu mengalami pergantian pemimpin yang mampu memberikan kemakmuran terhadap kehidupan rakyat. Hal ini juga terjadi ketika peralihan kepemimpinan dari Raden Wira Baya kepada puteranya Raden Wira Praja. Dalam kisah Panjalu digambarkan mengenai Den Wira Jaya Wira Dipa yang memiliki seorang putera bernama Cakranagara. Adapun Cakranagara adalah pemuda yang baik pekertinya, ia amat disukai oleh bupati saat itu. Sehingga ketika Raden Wira Praja wafat, maka Cakranagara diangkat menjadi bupati Panjalu. Suatu hari Panjalu digemparkan oleh keberadaan Harimau, untungnya hal tersebut bisa diatasi. Hal ini tentunya berkat Mas Warga Naya (Ki Malim;orang yang dapat menundukan hewan) dan Den Patih. Pemimpin Panjalu Den Tumenggung Cakranagara adalah pemimpin yang sangat rajin dan suka menuntut ilmu. Suatu hari ia pergi berkelana ke Cirebon. Tabiat baik dan rajin menuntut ilmu yang dimiliki Cakranagara membuat ia sangat disayangi Sultan Cirebon, maka dari itu akhirnya Cakranagara dinikahkan dengan Den Salengga Anom (kemenakan Sultan). Adapun pernikahan merupakan saran dari putera Sultan Cirebon yang bernama Demang Gajipura Sepuh. Setelah pernikahan maka pindahlah Den Tumenggung ke Panjalu. Di Panjalu Den Salengga Anom melahirkan anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Barsalam (diperkirakan lahir 1765). Adapun nama merupakan akulturasi yang ada antara Cirebon dan Panjalu. Di usia 24 tahun anak tersebut diangkat menjadi bupati dan berganti nama menjadi Den Cakranagara Anom. Tidak lama kemudian pun, maka sang ayah akhirnya wafat. Pada tahun 1810 terdapat seseorang yang lama menjabat sebagai Tumenggung dan diduga menjadi bupati selama tiga puluh tahun. Ketika tahun 1819 bupati tersebut menerima pensiun. Sejak saat itu tidak ada lagi yang menggantikan untuk menjadi bupati. Hal ini membuat Panjalu menjadi distrik dan banyak yang pindah ke Galuh. Dengan demikian, maka wilayah Galuh menjadi sangat luas. Saat itu Panjalu dan Kawali adalah kawasan Galuh (hal ini sampai sekarang). Diperkirakan bupati terakhir dari Panjalu memegang masa pensiun selama tiga puluh tiga tahun. Bupati ini memiliki dua belas orang anak (ia merupakan ayah yang selalu memberi nasihat dan petuah kepada anaknya). Tak lama bupati meninggal, maka terdapat salah seorang anaknya yang kelak akan menjadi lurah (sekitar 1868). Dalam menjalankan tugasnya keturunan Bupati Panjalu ini menjabat selama tiga puluh delapan tahun (ia dikenal dengan Prajadinata). Dari adanya pusaka yang ditinggalkan akhirnya ia berusaha untuk mempelajari Bahasa Sunda (walau terkesan kasar dan jelek). Adapun tujuannya untuk menjelaskan kepada anak cucu kelak mengenai keberadaan tokoh-tokoh penguasa Panjalu dan kebenaran keberadaan desa Panjalu di masa lalu.
 Dari ringkasan isi buku diatas, maka buku ini digolongkan sebagai karya sejarah lokal yang bertipe sebagai sejarah lokal tradisional. Sebenarnya karya ini bisa dikatakan sebagai karya sastra sejarah atau dikenal dengan historiografi tradisional, hal ini karena Karya-karya sastra sejarah (historiografi tradisional) seperti babad, wawacan, carita, sajarah, dan lain-lain amatlah kaya dengan data yang secara implisit terkandung didalamnya, khususnya mengenai aspek sosio –kultural yang berlaku pada masa itu. (Herlina, 1998: 14). Didalam buku ini diceritakan mengenai kehidupan suatu daerah dengan keberadaan pemimpin. Buku ini menceritakan mengenai adanya pergantian pemimpin serta lika luku menjelang pergantian pemimpin. Atau lebih jelas digambarkan mengenai adanya pergantian tahta, baik itu secara damai dan adapula dengan menceritakan emosi. Selain raja/ bupati, pada buku ini juga dikisahkan mengenai kehidupan rakyat, bagaimana kebudayaa dan kehidupan sosialnya. Semua diuraikan dalam buku ini. Dikatakan sejarah lokal tradisional karena didalamnya menceritakan tentang suatu Negara, pemimpin, dan rakyat. Pusat penulisan difokuskan pada keraton atau kerajaan yang didalamnya terdapat beberapa uraian yang menggambarkan adanya legitimasi kekusaan. Hal demikianlaah identik dengan karya-karya tradisional. Dimana dalam ceritanya terdapat peristiwa masa lalu yang sifatnya masih alami/ tradisional (bisa dikatakan kuno atau terdapat pula unsur magis).
2. Tipe Sejarah Lokal Dilentatis (berkembang), didalamnya memuat kepentingan pendidikan (memupuk nasionalisme, cinta tanah air) yang terdapat ideologi untuk menggiring seseorang kepada kepentingan dan keinginan tertentu.
 Lubis, Nina H. 2001. “Konflik Elite Birokrasi; Biografi Politik R.A.A Martanagara”.
Bandung : Humaniora Utama Press
(oleh :merlina)
 Buku ini merupakan karya sejarah lokal. Hal tersebut karena pembahasan yang dilakukan penulis terbatas pada ruang lingkup yang difokuskan untuk Elite Birokrasi Kabupaten Bandung. Buku ini menguraikan mengenai awal berdirinya Kota Bandung dengan struktur pemerintahannya. Di dalam buku diceritakan mengenai keadaan Bandung dengan berbagai aspek didalamnya. Adapun aspek yang diuraikan mencakup keadaan geografi, sosial, ekonomi, dan politik. Dalam buku ini kegiatan yang berhubungan dengan politik adalah hal yang paling dikemukakan. Dimana yang menjadi obyeknya ialah keberadaan sosok Bupati yang memimpin Kota Bandung. Pada masa Daendels (1808) pembagian wilayah di Priangan ditujukan untuk memilah daerah penghasil kopi. Dengan adanya pembagian tersebut tentunya akan memberikan keuntungan terhadap pihak kolonial. (Herlina, 2001:22). Adanya pembagian wilayah tentunya akan menunjukan peran dari keberadaan Bupati. Akan tetapi pada masa Dandel kedudukan Bupati tidak berperan besar sebagai pemimpin tradisional yang memegang kekuasaan. Hal ini karena sejak masa Hindia Belanda Bupati yang diangkat hanya menerima gaji dan diawasi oleh pemerintah pusat. (Herlina, 2001:3). Dengan dihapuskannya Preangerstelsel pada tanggal 1 Januari 1871 menyebabkan terjadinya Reorganisasi. Hal ini terlihat dengan terbaginya Priangan menjadi Sembilan affdeling yang tiap wilayahnya dipimpin oleh asisten residen. (Herlina, 2001:4). Akan tetapi diantara afdeling tersebut masih ada yang bersatu dengan kabupaten, dan ada yang berdiri sendiri. Bandung pada masa itu termasuk pada golongan pertama. (Herlina, 2001:4). Maka dari itu kedudukan Bupati di Bandung masih memegang peranan, walaupun saat itu bupati hanya dijadikan sebagai figure seremonial belaka. Pada buku ini dijelaskan mengenai struktur birokrasi pada pemerintahan kolonial yang didalamnya terdapat peran bupati. Pembahasan yang dituangkan oleh penulis kedalam buku ini berinti pada persaingan kaum Elite Birokrasi. Sebagai objek yang menjadi pusat pembahasannya ialah Bupati Raden Adipati Martanagara. Pada buku penulis menjelaskan riwayat hidup R.A.A Martanagara yang menjadi Bupati Bandung namun keturunan bangsawan Sumedang. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya percobaan pembunuhan terhadap R.A.A Martanagara sehari menjelang pelantikannya sebagai bupati. Adanya peristiwa tersebut merupakan gambaran adanya persaingan tidak sehat dikalangan elite birokrasi. Walaupun kedudukan bupati pada masa itu terbatas, akan tetapi jabatan tersebut masih sangat terhormat dikalangan masyarakat pribumi. Penulis menguraikan bahwa Bupati Bandung ke-9, Raden Adipati Kusumadilaga meninggal dunia sehingga kedudukan bupati diserahkan kepada R.A.A Martanagara. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial. Sebut saja saat itu terdapat patih Raden Rangga Sumanagara yang diduga bersekongkol dengan pihak Belanda untuk menyingkirkan R.A.A Martanagara. (Herlina, 2001:117). Pasca kejadian itu R.A.A Martanagara melakukan berbagai upaya untuk memulihkan keadaan. Sosok Martanagara merupakan bupati yang berperan dalam pembangunan Bandung. Sebagai Elite Birokrasi ia telah berjasa terhadap rakyatnya. Selain itu ia dikenal sebagai tokoh pembaharuan yang memajukan pendidikan perempuan dan anak-anak untuk masuk dalam pendidikan barat. (Herlina, 2001:119). Martanagara juga dikenal sebagai bupati yang memajukan birokrasi pemerintahan Bandung kearah legal-rasional-formal. Maka dari itu ia dijuluki sebagai pemimpin yang bersifat terbuka terhadap zaman. Adapun kemajuan yang diperolehnya tidak membuat ia lupa akan sikap-sikap tradisional. Ia dikenal sebagai pemimpin yang mengabdi dan menaruh perhatian pada rakyatnya. (Herlina, 2001:120).
 Studi yang dikemukakan penulis menceritakan asal usul serta struktur yang berkaitan dengan pemerintahan Bandung serta peran Bupatinya. Walau demikian studi yang dikemukakan tentunya memiliki inti dari peristiwa tertentu. Adanya percobaan pembunuhan terhadap Martanagara merupakan hal inti pada buku ini. Dari situlah akan muncul berbagai uraian yang akan menjawab sebab permasalahan tertentu. Sikap Martanagara dalam menanggapi peristiwa didalamnya tentunya akan kita ambil sebagai bagian dari sejarah lokal dengan tipe dilentatis. Dimana ada pendidikan tertentu yang ingin dikembangkannya. Martanagara mencoba merespons peristiwa yang menimpanya dengan sisi positif. Dimana saat ia menjalankan pemerintahannya ia mengusahakan berbagai kemajuan. Hal ini menunjukan bahwa ia seorang yang tanggung jawab dan mampu mengemban tugas. Selain itu Martanagara menunjukan adanya sikap netral pada Sarekat Islam. Hal ini berkaitan dengan kedudukannya yang dekat dengan pemerintah kolonial. Apabila ingin mencari posisi aman, maka tindakan Martanagara tidak dapat disalahkan. Hal ini bisa dijadikan prinsip untuk maju. Namun bukan bearti Martanagara tidak cinta akan tanah air. Hal ini ia buktikan dengan tidak meninggalkan sikap tradisionalnya dan pengabdiannya terhadap rakyat.
3. Tipe Sejarah Lokal Educatif ; Inspiratif (naratif), tipe ini menimbulkan inspirasi yang lebih baik, nilai-nilai dalam kehidupan, pengaman (institusi, peristiwa yang sifatnya membanggakan daerah).
 Frederick, William H. 1989. Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). (Terjemahan Oleh Hermawan).
Jakarta : Gramedia
(oleh : merlina)
 Buku yang berjudul “Pandangan dan Gejolak ini” merupakan karya dari seorang profesor sejarah di Ohio University , Amerika Serikat. Pengalaman William H Frederick dalam menyunting buku Pedoman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, membuat ia melakukan penulisan kembali mengenai Sejarah Indonesia yang berjudul “Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)”. Adapun hasil karya yang diterbitkan dalam lima bahasa ini (Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang, dan Belanda) merupakan wujud kontribusinya dalam melakukan penulisan mengenai sejarah lokal di Indonesia.
 Pada isi buku menceritakan mengenai keberadaan masyarakat Surabaya dengan struktur dan tatanan kehidupannya mulai dari masa kolonial hingga masa pergerakan. Pada pemaparan dijelaskan mengenai keberadaan kelas, golongan, peran pemuda, sistem ekonomi, pemerintahan, perebutan kekuasaan yang terlihat pada kedatangan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Seluruh aspek yang menyangkut tatanan kehidupan diuraikan pada buku ini, namun demikian diantara hal yang diuraikan respons masyarakat Surabaya atas kemerdekaan Indonesia lah yang merupakan bagian terpenting. Dimana semangat kemerdekaan yang ada kemudian akan terwujud pada peristiwa 10 Nopember yang sampai saat ini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Adapun hal yang menjadikan semangat masyarakat Surabaya berkobar-kobar karena kaum terpelajar Surabaya menekankan bahwa tanggung jawab atas kemerdekaan itu sangatlah berat. (Frederick, 1989:234). Kaum terpelajar Surabaya yang dalam pembagian kelasnya disebut golongan priyayi (elite Indonesia) oleh masyarakat kampung ini menyatakan diri mereka sebagai pewaris posisi kewenangan, dan dalam kapasitas yang mereka miliki berharap agar peralihan menuju negara Indonesia seutuhnya dapat berjalan lancar. Apalagi mereka tidak menginginkan adanya penjajahan. Bukti dari ketidaksenangan masyarakat Surabaya atas penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada masa lalu adalah bentuk pemogokan dan protes penting yang terjadi pada tahun 1920,1921, 1923, 1925-1926. Pada masa itu terdapat golongan kampung Surabaya yang melawan perusahaan Belanda. Adapun golongan tersebut ada yang berprofesi sebagai buruh kereta api, kuli pelabuhan dan sebagainya. Bahkan pada tahun 1931 terjadi kerusuhan besar di kampung karena terdapat pertentangan dengan pemerintah. (Frederick, 1989:14). Dengan masuknya pendidikan barat sekitar tahun 1920-1930 an tentunya melahirkan golongan terpelajar pribumi. Pada tahun tersebut Surabaya dapat dikatakan sebagai pangkalan dari sejumlah besar kelompok pergerakan. Kaum pelajar pribumi yang mulai memiliki semangat nasionalisme mulai menyuarakan gagasan kemerdekaan dengan berbagai cara. (Frederick, 1989:51). Kemerdekaan yang telah diperoleh oleh Indonesia tidaklah diakui oleh Belanda. Hal ini karena Belanda memiliki NiCA (The Netherlands East Indies Civil Administration/ Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) yang dibentuk oleh Australia pada akhir tahun 1944. (Frederick, 1989:252). Bagi arek-arek Surabaya NICA merupakan alat yang bertujuan untuk mengembalikan kedudukan Belanda di tanah jajahan seperti semula. Namun demikian pribumi di Surabaya seolah pantang menyerah. Bahkan anak-anak kecil di Surabaya mulai memisahkan diri dari anak-anak Belanda. Di setiap sekolah yang ada di Surabaya anak-anak mulai ingin menunjukan adanya pertikaian satu sama lain. Pada tanggal 19 September 1945 berkibarnya bendera merah-putih biru milik Belanda memicu kemarahan pemuda Surabaya. Ketika itu terjadi peristiwa baku hantam yang dalam cerita revolusi Surabaya sejarah ini mendapatkan tempat terhormat. Adapun semangat nasionalisme yang ditunjukan oleh pemuda Surabaya ini kemudian terwujud dalam peristiwa 10 Nopember 1945. Peristiwa ini diawali oleh persekutuan antara pasukan Inggris-India serta pengikut Belanda yang mencapai penjara Kalisosok untuk menembaki orang Indonesia yang tak bersenjata. (Frederick, 1989:355). Adapun peristiwa berlangsung selama tiga minggu dan bersifat destruktif. (Frederick, 1989:356). Pada peristiwa ini banyak sekali menjatuhkan korban. Dari pihak Indonesia dalam laporan tercatat ada 430 korban. Sebenarnya pada peristiwa ini memakan ribuan korban, dari pihak Inggris saja tercatat 7500 korban luka dan 2500 orang tewas. Pada peristiwa ini secara teknis pihak sekutu dinyatakan menang, namun adanya pertempuran yang banyak memakan korban dari pihak Inggris membuat Inggris harus mempertimbangkan kembali kedudukan di Indonesia. Adanya pertempuran yang terjadi di Surabaya ini telah mengundang perhatian dunia karena peristiwa ini perjuangan Indonesia kemudian diinternasionalisasikan. Adanya pertahanan rakyat Surabaya merupakan wujud semangat kepahlawanan dengan yang menanamkan kekuatan emosional yang simbolik serta luar biasa. Penulis membuat buku ini karena peristiwa yang terjadi tentunya memberikan inspirasi dan menanamkan semangat kedaerahan yang mampu berkontribusi untuk nasional. Apalagi peristiwa yang teerjadi mampu mengundang perhatian dunia, maka wajar saja kalau tanggal 10 Nopember ditetapkan sebagai hari pahlawan. Hal itu untuk menghargai semangat perjuangan rakyat Surabaya dalam mempertahankan Indonesia. Buku ini kami golongkan ke dalam tipe sejarah lokal yang inspiratif dan edukatif karena isinya menunjukan semangat dan mengajarkan untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih. Dari buku ini kita dapat belajar kalau memperoleh kemerdekaan itu adalah beban yang amat berat maka itu harus dipertanggung jawabkan. Semangat kebangsaan yang terjadi secara lokal telah memberikan kontribusi yang besar. Adanya pendidikan untuk memegang teguh rasa tanggung jawab merupakan hikmah yang diambil pada peristiwa Surabaya.
4. Tipe Sejarah Lokal Kolonial, adapun tipe ini biasanya berisi mengenai peran kolonial yang tujuannya untuk melanggengkan kedudukan pemerintah kolonial di tanah jajahan (mentalitas).
 Mees, Fruis. Geschiedenis Van Java (Sejarah Jawa)
(oleh merlina dan asep rahmat)
 Arsip diatas dapat katakan sebagai sejarah kolonial. Hal ini karena isi dari arsip tersebut memuat tulisan yang berkaitan dengan pribumi. Dimana pada bab isi diceritakan mengenai ”Keadaan Politik disekitar Jawa pada 1530, Kedatangan Orang Belanda di Jawa 1596, Kekerabatan Orang Belanda Terhadap Jawa 1596-1602, dan terdapat pula mengenai ”Perseroan/Perdagangan/Serikat Dagang Hindia Timur 1610”. Arsip yang belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tersebut tentunya sudah memberikan kita gambaran bahwa penulisan tersebut ditujukan untuk memperkuat kedudukan pemerintah kolonial di tanah jajahan. Walaupun kita ketahui, bahwa sejarah kolonial itu memuat visi nerlandosentris yang memisahkan antara orang Eropa dan Pribumi, tapi kita tidak boleh lupa kalau didalamnya terdapat orang-orang pribumi yang terkadang ikut diceritakan apabila berkaitan dengan kepentingan penjajah. Dari sinilah kita akan melihat kalau ternyata studi sejarah kolonial itu bisa bersifat netral. Yang intinya bisa berperan untuk memisahkan barat dan timur, namun bisa pula menyatukan antara barat dan timur. Isi dari sejarah kolonial yang ditemukan sering memuat cerita-cerita mengenai peran kolonial yang seolah bersahabat dengan pribumi. Isi dari sejarah kolonial yang dapat kita tangkap tentunya akan memunculkan peran-peran dari orang Eropa. Hal ini karena adanya sejarah kolonial tentunya akan selalu memberikan manfaat sepihak saja. Yaitu kepada orang-orang Eropa.
 Raffles, Thomas Stamford.1982. “History Of Java”.
Kuala Lumpur : Oxford University
(oleh : asep rahmat)
 Selain dari arsip diatas, maka kami juga akan memberi contoh mengenai keberadaan buku ”History Of Java” yang ditulis oleh Letnan Gubernur Inggris di Nusantara (1811-1816). Buku ini merupakan buku terjemahan yang kami temukan diperpustakaan daerah. Adapun penulisan Raffles merupakan penulisan kolonial yang memuat visi Indonesia-sentris, dimana Rafles menceritakan mengenai keadaan pulau Jawa dengan keadaan geografis, sosio-kultur, ekonomi dan politik didalamnya. Pada penulisan Raffles bahkan menggunakan sumber lokal. Apabila kita kaitkan dengan pengertian sejarah kolonial, maka buku ini tidak memuat unsur nerlandosentrisnya. Akan tetapi, kita tidak boleh lupakan bahwa pada saat itu antara pihak Inggris dan Belanda melakukan persaingan untuk merebut daerah jajahan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa tulisan Raffles adalah ungkapan kebencian terhadap Belanda. Dilain sisi adanya tulisan Raffles bisa kita lihat sebagai sarana untuk menarik perhatian pribumi agar pihak Inggris mendapat tempat dihati masyarakat. Kembali pada pengertian sejarah lokal kolonial itu sendiri. Hal ini karena sejarah lokal kolonial tentunya berperan untuk melanggengkan kedudukan pihak penjajah di daerah koloni.
5. Tipe Sejarah lokal kritis analitis, merupakan sejarah yang menggunakan pendekatan (struktural, modern).
 Contoh bukunya, adalah ;
 Lubis, Nina H, dkk. 2003. “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi”.
Bandung : Satya Historika
(oleh : merlina)
 Buku yang berjudul “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi” ini merupakan karya penelitian sejarah yang dapat digolongkan kedalam sejarah lokal. Hal ini karena pembahasan difokuskan pada ruang lingkup kota “Bontang” serta aspek yang terdapat didalamnya. Pada isi buku menceritakan mengenai : Asal usul “Bontang”, Industri Besar, Perkembangan Sosial Ekonomi, Industri Perekonomian Daerah, Kependudukan Dan Tata Ruang, Pemerintahan Dan Kehidupan Sosial Politik, Kehidupan Sosial Budaya : (“Pada Pembukaan buku penulis menceritakan asal usul “Bontang”. Pada bagian awal uraian dijelaskan mengenai keberadaan nama “Bontang”, bahkan nama “Bontang” dikaitkan dengan keadaan sosial ekonomi yang terdapat didalamnya. Pada masa lalu “Bontang” diduga sebagai sebuah pasar yang ramai dikunjungi. Ketika itu banyak pedagang Cina yang berjualan dengan cara menawarkan barang “ambil dulu baru bayar”. Sehingga hal yang dikenal sebagai “Bon-Utang” berkembang menjadi nama “Bontang” (tidak bisa bayar “Bon jadi Utang”). (Herlina, 2003:13). Selain itu terdapat versi lain mengenai nama “Bontang” yang berasal dari “Bond” berarti perkumpulan dan “Tang” berarti pendatang. Adapun perkumpulan pendatang yang dimaksud tentunya akan melakukan kegiatan ekonomi pada masyarakat “Bontang” yang terdiri atas komunitas majemuk seperti; Bugis, Banjar, Bajau, dan suku lain yang menyebut dirinya orang “Bontang”. (Herlina, 2003:14). Secara historis asal usul “Bontang” dikaitkan dengan keberadaan “Kerajaan Kutai” yang disebut dalam kitab Negarakertagama (oleh Mpu Prapanca, tahun 1365). Hal ini karena yupa dan beberapa buah arca pasir di Gua Kombeng Kecamatan Muara Wahau, + 100km di sebelah utara Muara Kaman diduga sebagai pusat kerajaan Hindu dengan rajanya yang bernama Mulawarman; merupakan anak dari Aswawarman cucu Kundungga. (Herlina, 2003:21). Kaitan antara kota “Bontang” dan Kerajaan Kutai Karena pada awal abad ke-19 diceritakan seorang kerabat Sultan Kutai Kertanegara yang bernama “Aji Pao” memutuskan untuk pindah dan membuka daerah baru yang kini kita kenal dengan kota ““Bontang””. (Herlina, 2003:16). Selain menguraikan asal usul diatas, maka pada bab ini penulis juga memaparkan letak geografis “Bontang” yang berada di pantai Propinsi Kalimantan Timur. Penulis menyatakan bahwa Topografi “Bontang” boleh dikatakan datar dan landai. Adapun wilayah ini pada awalnya didatangi oleh kelompok etnis yang berasal dari daerah Selat Makasar pada pertengahan abad-20. Pada perkembangan selanjutnya diceritakan pula mengenai itu kedatangan VOC ke Kalimantan Timur pada tahun 1635. Adapun tujuan kedatangan tersebut karena ingin melakukan monopoli dan memperluas kekuasaan. Maka dari itu VOC melakukan perubahan di bidang pemerintahan. Selanjutnya Pada tahun 1846 pemerintahan Hindia Belanda menempatkan H. von de Wall sebagai Asisten Residen pertama yang berkedudukan di Samarinda. Selama Perang Dunia ke II, Kalimantan Timur berada di bawah pendudukan militer Jepang. (Herlina, 2003: 23). Pada tahun 1920-an dan sekitar tahun 1930-an wilayah ini menjadi bagian dari adanya pergerakan kebangsaan. Adanya ini Perjanjian Linggajati (diparaf pada bulan November 1946) dengan memuat pengakuan secara de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Sumatra, Jawa, dan Madura mendorong didirikan Federatie Oost-Borneo (Federasi Kalimantan Timur) pada Februari, 1948. Pada 1950 Kalimantan Timur kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia. (Herlina, 2003: 23). Adanya sejarah mengenai nama “Bontang” yang dikaitkan dengan “Bon-Utang” bisa dinilai sebagai gambaran untuk memperlihatkan adanya peralihan mengenai situasi sosial-ekonomi di wilayah tersebut. Pada awalnya kehidupan ekonomi di “Bontang” diawali dengan pembukaan lahan pertanian yang kemudian diteruskan dengan adanya kegiatan perdagangan. Hal ini bisa dilihat adanya jalan laut antara “Bontang-Samarinda” (1970-an). Adanya kekayaan alam dan lokasi “Bontang” yang menguntungkan mendorong berdirinya dua industri besar seperti; Industri Gas Bumi ( LNG, Liquefied Natural Gas) oleh PT Badak NGL “Bontang” dan Industri Pupuk. Keberadaan industri ini tentunya mendorong kehidupan sosial-ekonommi “Bontang” semakin berkembang. Apalagi sejak tahun 1977, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 tahun 1977 tanggal 23 Mei 1977 Menetapkan pembentukan PT Pupuk Kalimantan Timur (Persero) di “Bontang”. (Herlina, 2003:61). Adanya PT Badak dan PT Pupuk tentunya membawa perubahan bagi masyarakat setempat. Sebelumnya masyarakat hanya mengenal sistem ekonomi subsistensi, namun dengan adanya industri maka masyarakat mulai mengalihkan kegiatan ekonomi pada industri. Kegiatan semula masyarakat “Bontang” dan Kutai disekitar yang fokus pada sektor pertanian mulai mengalihkan mata pencahariannya pada kegiatan industri yang ada. Selain itu dengan adanya kegiatan ekonomi industri di “Bontang”, maka jalan-jalan yang menghubungkan pada lokasi industri tersebut mulai dibangun. Dengan demikian lambat laun “Bontang” berkembang menjadi sebuah kota dengan pembangunan berbagai infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu perkembangan yang dialami oleh daerah Bontang dengan keberadaan dua industri penunjang perekonomian mampu mendorong peningkatan perkapita (dengan migas) Kota “Bontang” yang mencapai Rp. 198.152.322 pada tahun 2000. Adanya peningkatan ekonomi-industri di Kota “Bontang” bukan saja memberi dampak positif, tapi juga melahirkan opini negatif bagi masyarakat non-industri sekitar. Misalnya terjadinya perbedaan mencolok antara penduduk yang hidup mewah dengan gaya hidup elitis (kesenjangan sosial). Walau demikian tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang memanfaatkan jasa bantuan, terutama modal, dan pembinaan teknis serta keterampilan dari PT Pupuk Kalimantan Timur. Ini menunjukan adanyaa kegiatan industri yang membumi di Kalimantan ini berperan dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Pada buku ini penulis juga menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah “Bontang” adalah perairan sehingga tidak heran kalau “Bontang” disebut juga “Bontang Kuala”. Adapun perjalanan Kota Bontang: pada tahun 1952 dibentuk kampung “Bontang”, pada tahun 1954 dibentuk Pemerintah Kecamatan yang berkedudukan di “Bontang”, pada tahun 1972 ibukota kecamatan dipindahkan ke “Bontang Baru”, pada tahun 1979 dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati, pada tahun 1989 dibentuk Kecamatan Bontang Selatan dan Bontang Utara yang diresmikan pada tahun 1990, dan pada tanggal 12 Oktober “Bontang” menjadi Kota Otonom Bontang berdasarkan UU 47 Tahun 1999 dengan tiga kecamatan; Bontang Utara, Bontang Selatan, dan Bontang Barat. (Herlina, 2003:174). Sama dengan daerah lain di Indonesia “Bontang” juga memiliki partisipasi dalam menyampaikan aspirasi politik masyarakatnya yang diwakili oleh dua partai: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan Golongan Karya (Golkar) juga ada, namun tidak disebut partai. (Herlina, 2003:180). Perkembangan yang dialami Kota Bontang membuat pendidikan sangat diutamakan, sehingga Pemerintah Kota Bontang melakukan pengembangan pada sistem pendidikan dengan menyediakan gedung sekolah dan tenaga pendidik. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia. Sedangkan dalam bidang kesehatan pemerintah juga menyediakan sarana kesehatan seperti klinik, puskesmas, dan balai kesehatan yang diperuntukan untuk menangani 10.000 penduduk. (Herlina, 2003:199). Adanya istilah Kertanegara yang melekat pada Kerajaan Kutai menandakan bahwa kekuatan Hindu telah digantikan oleh Islamisasi. Hal ini berdampak pada kepercayaan yang berkembang di Kota Bontang. Maka dari itu keberadaan Agama Islam memiliki kedudukan yang kuat di Bontang sehingga hasil kesenian yang ada di Bontang dipengaruhi oleh Islam. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa masyarakat Bontang juga percaya akan takhayul. Hal ini disebabkan oleh kemajemukan suku Bontang pada masa lampau)
 Dari isi ringkasan buku sejarah lokal yang berjudul “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi” diatas, maka dapatlah dilakukan suatu penilaian terhadap karya historiografi (penulisan). Menurut kami pada karya diatas penulis telah melakukan penelitian yang sangat ilmiah. Hal ini karena dalam melakukan historiografi sejarah lokal penulis menggunakan metode ilmiah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dimana pada kegiatan heuristik, penulis telah memperoleh sumber-sumber yang berkaitan dengan judul penelitiannya. Adapun sumber yang ada tentunya melewati tahap kritik yang terdiri atas : kritik eksternal dan kritik internal. Pada daftar sumber penulis menggunakan adanya buku-buku yang berkaitan dengan kehidupan sosial-ekonomi Kota Bontang dan laporan-laporan yang terkait. Selain itu penulis menggunakan surat kabar sebagai sumber. Adapun surat kabar yang digunakan memuat berita dan informasi yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi-sosial mengenai Kalimantan Timur. Dilain sisi surat kabar baik yang dimuat pada tahun 1970-an maupun surat kabar yang terbitnya berdekatan dengan perkembangan industri di Bontang. Adapun yang surat kabar yang terbit sezaman pada perkembangan ekonomi-sosial Bontang ketika industri, maka bisa digolongkan primer karena hidup sezaman dengan keberadaan industri dan kehidupan ekonomi yang ada dalam penelitian penulis. Adapun surat kabar yang dipergunakan penulis antara lain :
1. Kaltim Post, 3 Maret 2001. Kaltim Post, 20 Oktober 2002. Kaltim Post, 9 Nopember 2002.
2. Kompas, 2 Agustus 1977. Kompas, 30 Oktober 1984. Kompas, 5 Apri 1989. Kompas, 4 Juli 2002.
Selain dari sumber surat kabar dan buku, maka penulis juga menggunakan sumber dari kegiatan wawancara. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah :
1. Bapak Sultan Haji Adji Mohamad Solehoedin II. tanggal 27 Oktober 2002
2. Bapak Abdul Haris Tundang, tanggal 26 Oktober 2002
3. Bapak Acil, tanggal 26 Oktober 2002
4. Bapak Cak Ali, tanggal 28 Oktober 2002
5. Bapak Drs. Artahnan Saidi, M.M, tanggal 25 Oktober 2002, dan lain-lain.
 Menurut pendapat kami, buku yang penulisannya diketuai oleh Prof Nina Herlina Lubis, M.S, dan anggotanya terdiri atas Drs. Ade Makmur, M. Phil, Drs. Abdurrahman Patji, M.A, dan Drs. Awaludin Nugraha M.Hum ini, merupakan karya sejarah lokal yang hasil eksplanasinya tidak perlu diragukan lagi. Hal ini karena dari setiap peristiwa yang dipaparkan penulis selalu didasarkan atas sumber yang tidak hanya diperoleh tapi juga dikritisi. Peran penulis sebagai sejarawan profesional yang bergelut dalam bidang penelitian ilmiah membuat kami menyatakan buku ini sebagai karya sejarah lokal yang kritis-analisis. Keberadaan struktur penulisan yang tematis, serta dilengkapi tabel, daftar kata, singkatan, gambar, maupun beberapa kata sambutan dari pihak-pihak tertentu pada awal buku membuat kami memberi penilaian plus terhadap buku ini. Dari situlah kami melihat hasil karya sejarah lokal yang benar-benar ilmiah dan kritis. Penulis terlihat sangat berhati-hati dalam melakukan interpretasi dan historiografi. Semua yang dipaparkan penulis sangat jelas dan berkaitan antara satu pembahasan dan pembahasan yang lain. Pada isi penulis memang menguraikan asal usul Bontang, bahkan menyinggung mengenai adanya pendidikan dan kesenian, namun pada kesimpulan akhirnya penulis benar-benar konsekwensi memfokuskan inti awal penelitian yang sesuai pada judul buku, yaitu pada aspek “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi”. Adanya penjelasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya membuat buku ini kaya akan informasi. Penulis menjadikan buku ini sebagai karya sejarah lokal yang modern dengan meyajikan kesan ilmiah didalamnya.

Corak Dalam Studi Lokal

oleh : Merlina Agustina Orllanda



Sejarah lokal ialah sejarah daerah yang dibatasi oleh keadaan geografis, dan etnis-kultural di dalamnya. Sehingga sejarah lokal dapat dikatakan mempunyai otonomi sendiri. Pada pembagiannya, sejarah lokal terdiri atas empat golongan, yaitu :
1. Studi yang di fokuskan pada suatu peristiwa tertentu (evenemental)
2. Studi yang lebih menekankan pada struktur.
3. Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (tematis), dan
4. Studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi,kota, kabupaten) dari masa ke masa.

Untuk mengetahui sejarah lokal berdasarkan pembagian golongan diatas, maka dibawah ini terdapat beberapa contoh buku :
1. Kartika, N. 2007. Sejarah Majalengka.
Bandung : Uvula Press
 Buku ini merupakan buku sejarah lokal. Hal ini karena bila dikaji buku ini dapat menerangkan masalah sosial-historis yang mendasar. Didalamnya dipaparkan adanya sebab akibat. Pada buku terdapat penjelasan mengenai pembentukan Kabupaten Majalengka pada tanggal 11 Februari tahun 1840 dengan staatsblad no 7. Dimana sejak pembentukan Kabupaten Majalengka tersebut mengakibatkan adanya perkembangan tata kota dan kehidupan (aspek sosial, ekonomi, dsb). Sehingga buku ini bisa dikatakan sebagai buku sejarah lokal yang digolongkan dalam bentuk “evenemental” (khusus). Mengapa demikian??. Hal ini karena jangka waktu mengenai perubahan status dari Sindangkasih-Maja-hingga Majalengka tergolong dalam jangka waktu yang bisa dikatakan lama. Begitu juga dengan adanya proses perubahan yang terjadi didaerah tersebut sejak adanya perombakan yang dilakukan oleh perintah kolonial (sejak 1819-1903, ketika dikeluarkannya peraturan desentralisasi). Adapun perubahan yang dialami oleh Majalengka dari berbagai aspek adalah peristiwa yang terjadi secara lokal, khusus di Majalengka.
 Dengan adanya penjelasan pada tipe diatas, maka apabila dikaji lebih lanjut buku ini juga termasuk kedalam golongan struktur. Hal ini karena pada buku terdapat penjelasan mengenai keberadaan bupati, dan Gubernur Jenderal. Dari sini kita bisa lihat, bahwa pada buku terdapat ulasan mengenai struktur pemerintahan. Dimana Gubernur Jenderal adalah pemimpin pemerintah Hindia ditanah Jajahan, dan Bupati merupakan pemimpin tradisional. Dalam proses pembangunan Majalengka tentunya diceritakan bahwa Gubernur Jenderal membutuhkan peran dari Bupati. Selain itu dengan adanya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial menyebabkan lahirnya beberapa sistem baru pada kehidupan masyarakat Majalengka, dari masyarakat yang tidak mengenal uang, jadi mengenal dan mulai diceritakan adanya sistem ijon, dan rentenir. Dengan adanya pembagian Kabupaten dari Karesidenan Cirebon atas Majalengka dengan 2 kontrol Afdellingnya seperti: Majalengka dengan ibukota Majalengka (dengan distrik Majalengka dan Talaga), dan Raja Galuh dengan ibukota Leuwimundig (dengan distrik Raja Galuh dan Jatiwangi), telah menunjukan adanya struktur dalam pembagian wilayah yang tentunya akan memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat Majalengka baik itu secara sosial, maupun ekonomi. Struktur yang dimaksud disini bukanlah peristiwa yang dilahirkan oleh struktur, namun lebih menekankan pada struktur. Pemaparan mengenai struktur dalam susunan pemerintahan dan sistem pada kegiatan ekonomi merupakan hal yang ditekan kan oleh penulis. Artinya penulis menjelaskan aspek tersebut sebagai bagian dari pembuatan Sejarah Majalengka. Sehingga tipe golongan yang mencakup studi struktur juga ditemukan pada buku Sejarah Majalengka.
 Selain itu buku yang berjudul Sejarah Majalengka ini juga bisa digolongkan sebagai studi yang tematis. Alasannya karena pada struktur sejarahnya dijelaskan secara kronologis. Dan apabila dilihat dari latar belakang penulisnya yang merupakan sejarawan. Dimana isi dari uraian buku ini menggunakan konsep dan metode ilmiah. Pada daftar pustaka sangat jelas dicantumkan penulis mengenai keberadaan sumber, baik itu sumber buku, hingga hasil wawancara. Penulis menjelaskan isi cerita yang disertai pula oleh teori. Dimana sangat jelas kalau didalam penjelasan buku yang berjudul Sejarah Majalengka ini terdapat aspek tertentu yang dikembangkan, (dari Sindangkasih-Maja-Majalengka, pembentukan otonomi daerah berdampak pada perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan pembangunan diwilayah tersebut). Dalam kajian sejarah secara tematis, maka akan terlihat adanya pendekatan multidimensional. Dari pemaparan penulis sangat terlihat bahwa penulis tidak hanya menguraikan aspek sejarah, tapi juga social, ekonomi, politik, dan sebagainya.
 Apabila melihat buku ini sebagai bagian dari golongan sejarah lokal yang sifatnya sebagai studi umum, maka sangatlah jelas. Hal ini karena dari judul buku saja “Sejarah Majalengka”. Dari judul buku tersebut jelas kalau yang dibahas mengenai Majalengka (daerah, batasan wilayah dengan sejarah perkembangannya). Dimana pemahaman mengenai sejarah umum pada sejarah lokal itu meliputi aspek politis yang kemudian akan memberi dampak ekonom-sosial. Hal ini ditemukan karena adanya pemerintahan kolonial, maka kebijakan yang diterapkan memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat setempat. Lihat saja dengan pembagian wilayah, dan sistem pemerintahan, maka berdampak sosial dan ekonomi. Berdasarkan pengertian studi umum itu yang membahas perkembangan dari awal hingga perkembangan terbaru,maka kategori umum juga bisa dilekatkan pada “Buku Sejarah Majalengka” ini.
 Isi dari buku “Sejarah Majalengka” memaparkan struktur pemerintahan, wilayah, dan kegiatan ekonomi. Selain itu terdapat sebab akibat dari peristiwa satu dan yang lain. Misalnya adanya surat keputusan pembentukan Kabupaten Majalengka, hal ini membuat Majalengka memiliki otonomi sendiri dan menata kehidupannya. Secara ilmiah sudah jelas kalau isi buku diceritakan secara kronologi, apalagi penulisnya adalah sejarawan yang menggunakan konsep dan metode ilmiah. Akan tetapi, apabila dikaji secara mendetail dari isi dan pemaparan, maka dari empat golongan diatas buku ini lebih identik masuk kedalam golongan keempat. Alasannya karena isi dari buku menceritakan perkembangan yang terjadi dari Kabupaten Majalengka, mulai dari pergantian nama Sindangkasih-Maja-Majalengka. Selain itu perubahan yang dialami oleh Kabupaten Majalengka tidak terlepas dari unsur politis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Dimana pemerintah kolonial ingin melakukan eksplorasi ke pedalaman Jawa Barat. Sehingga suatu wilayah bernama Majalengka akhirnya dibuka dan dirombak. Adanya kebijakan yang perubahan yang terlaksana tentunya akan berdampak pada kehidupan masyarakat Majalengka. Bisa dilihat dengan pembangungan fasilitas, transportasi, kegiatan ekonomi, pemerintah, dan kehidupan sosial. Dari sini lah kita bisa melihat adanya peran studi umum, karena berdasarkan pemahaman mengenai studi umum dalam sejarah lokal adalah sejarah yang terurai mengenai kegiatan politis yang berdampak pada kehidupan sosial-ekonomis.

2. Niel, Robert Van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa ( cetakan 1).
Jakarta : LP3ES.
 Dari beberapa golongan studi sejarah lokal, maka buku ini dapat dikatakan memiliki studi yang menjelaskan struktur. Hal ini dilihat dari pembahasan mengenai adanya Gubernur Jenderal sebagai pemegang kekusaan tertinggi di Hindia Belanda yang kemudian mengeluarkan aturan tanam paksa. Selain itu untuk menerapkan sistemnya maka Gubernur Jenderal membutuhkan peranan dari bupati, dan disini interaksi antara bupati (supradesa). dan masyarakat yang terjalin di Pulau Jawa terlihat dari peran kepala desa. Dimana dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa bupati atau pemimpin tradisional memiliki tempat dan posisi yang dihormati. Selain itu adanya beberapa ketentuan mengenai tanam paksa, kebijakan yang dikeluarkan, tolak ukur tanam paksa, dan komponen tenaga yang dibutuhkan, maka sangat jelas kalau tiap kumpulan tulisan yang diuraikan pada tiap bab nya mengandung unsur sistem. Dimana antara satu kegiatan dan peristiwa yang terjadi tidak lepas dari struktur dan susunan yang ada. Sedangkan apabila digolongkan dalam studi tematis, buku ini juga terlihat memaparkan adanya kajian sosial dan antropologi. Bisa kita lihat dari adanya hubungan masyarakat saat itu dengan pemimpin tradisional, maupun dengan pemerintah kolonial. Bisa pula dilihat dari peraturan tanam paksa yang diperkenalkan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi di Jawa. Hal itu menggambarkan hubungan yang tercipta antara barat dan timur. Sedangkan untuk golongan ketiga yang bersifat umu, buku ini kurang mendekati kriteria tersebut, hal ini karena pembatasan wilayah mengenai kebijakan tanam paksa di Jawa pada uraian bisa dikatakan luas, mencakup pulau bukan kabupaten atau propinsi.
 Kumpulan tulisan yang terdapat pada buku yang berjudul “Sistem Tanam Paksa di Jawa” ini, merupakan buku yang berisi mengenai ekploitasi yang dilakukan oleh bangsa asing/ penjajahan terhadap kekayaan sumber daya alam Nusantara melalui peranan sumber daya manusia yang ada. Dalam mempelajari sejarah lokal, maka buku ini digolongkan dalam studi sejarah lokal yang menekankan pada “evenemental” khusus. Hal ini karena studi memaparkan adanya dominasi bangsa asing melalui kekuatan politis. Dimana hal tersebut yang kemudian melahirkan sistem baru. Adanya ideologi yang mampu melahirkan peristiwa. Dimana adanya kegiatan tanam paksa yang diterapkan di Jawa kemudian akan melahirkan berbagai pemberontakan, misalnya saja pemberontakan yang dilakukan oleh petani Banten pada tahun 1888 merupakan respons atas kebijakan kolonial. Maka dari itu dua hal yang dikemukakan oleh Niel pada awal pembahasannya adalah mengenai tanam paksa sebagai sejarah orang Jawa, dan pergerakan yang terjadi dipulau Jawa pada abad ke-19 bukan bersifat holistik, akan tetapi dikatakan lokal. Buku ini lebih identik kedalam golongan sejarah lokal pada studi peristiwa khusus, walaupun pada daftar isinya ditemukan judul yang menjelaskan struktur yang dalam kaajian pembahasan memaparkan adanya sistem pemerintahan dan jaringan sosial, namun pada uraian akan terlihat mengenai kebijakan khusus yang bernama “tanam paksa di Jawa” dan kemudian dari kebijakan ini akan menghasilkan peristiwa khusus, misalnya saja pemberontakan yang terjadi di Jawa.

3. Frederick, William H. 1989. Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). (Terjemahan Oleh Hermawan).
Jakarta : Gramedia
 Buku yang berjudul “Pandangan dan Gejolak ini” merupakan karya dari seorang profesor sejarah di Ohio University , Amerika Serikat. Pengalaman William H Frederick dalam menyunting buku Pedoman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, membuat ia melakukan penulisan kembali mengenai Sejarah Indonesia yang berjudul “Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)”. Adapun hasil karya yang diterbitkan dalam lima bahasa ini (Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang, dan Belanda) merupakan wujud kontribusinya dalam melakukan penulisan mengenai sejarah lokal di Indonesia.
 Pada isi buku menceritakan mengenai keberadaan masyarakat Surabaya dengan struktur dan tatanan kehidupannya mulai dari masa kolonial hingga masa pergerakan. Pada pemaparan dijelaskan mengenai keberadaan kelas, golongan, peran pemuda, sistem ekonomi, pemerintahan, perebutan kekuasaan yang terlihat pada kedatangan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Diantara hal yang diuraikan pada buku ini respons masyarakat Surabaya atas kemerdekaan Indonesia lah yang merupakan bagian terpenting. Dimana semangat kemerdekaan yang ada kemudian akan terwujud pada peristiwa 10 Nopember yang sampai saat ini dikenal sebagai Hari Pahlawan.
 Apabila dikaji dalam sejarah lokal, maka buku ini memiliki studi yang menekankan pada struktur. Misalnya saja pada kehidupan masyarakat Surabaya terdapat adanya bagian kelas, ada yang disebut menengah, bahkan ada yang dikenal masyarakat kampung. Selain itu pada pembahasan dijelaskan mengenai keberadaan Kaum Priyayi dan perannya baik dalam pendidikan maupun dalam organisasi. Disini terlihat adanya lapisan dalam susunan masyarakat Surabaya yang berkaitan dengan kedudukan atau stratifikasi secara sosialnya. Secara tematis, maka studi yang terdapat didalam buku ini menjelaskan perkembangan yang terjadi di Surabaya, bukan hanya pada aspek politik saja, tapi juga ekonomi, dan kehidupan sosialnya. Di dalam buku diceritakan mengenai pergantian kekuasaan dari Belanda, ketangan Jepang, kemerdekaan Indonesia, hingga masuknya kembali Belanda di wilayah Indonesia. Mengenai studi sejarah umum pada buku ini juga bisa ditemui, karena buku ini memuat peristiwa lokal, yaitu di Surabaya yang sejarah daerahnya itu berdasarkan pesanan atau dorongan “nasionalisme”. Terlihat dari peristiwa arek-arek pada tanggal 10 Nopember. Sebenarnya dalam unsur studi sejarah yang bersifat umum terkadang dibutuhkan partisipasi sejarah daerah yang bersifat sejarah perjuangan. Namun pada buku ini unsur umum yang terjadi pada Surabaya (perkembangan dari masa ke masanya lebih terlihat pada politik dan perjuangan saja).
 Diantara beberapa golongan studi sejarah lokal diatas sengaja tidak saya uraikan mengenai studi yang fokus pada peristiwa tertentu “evenemental
“ . Hal ini karena buku yang “Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)”.ini telah memuat persoalan mengenai struktur kekuasaan dan sistem sosial, jaringan kekerabatan, sistem ekonomi, serta nilai-nilai kultural yang dihayati. Dimana unsur tersebut tercermin dalam gejolak masyarakaat Surabaya. Nilai kultural yang tercermin dari penjelasan buku ini tentunya terlihat dari peristiwa 10 Nopember. Dimana peristiwa tersebut telah menunjukan kesadaran nasionalisme untuk mengusir penjajahan. Hal tersebut adalah wujud kecintaan warga Surabaya terhadap kemerdekaan yang diraih. Unsur nasional memang terlihat, namun peristiwa sejarah yang terjadi bersifat lokal. Disinilah bisa dilihat bahwa buku ini lebih cenderung “evenemental”, karena sebab yang ada menyebabkan terjadinya akibat. Untaian peristiwa dan sequence yang diuraikan oleh Frederick bisa digolongkan sangat panjang dan lebar. Dari awal hingga jalannya revolusi dijelaskan pada buku ini. Kekhususan peristiwa akan lebih terlihat apabila kita berpedoman pada studi evenemental itu sendiri yang memiliki ciri lahirnya pemberontakan. Disini memang bukanlah pemberontakan, akan tetapi lebih tepatnya perjuangan mengusir penjajah dan mempertahankan kedaulatan Indonesia yang dilakukan oleh rakyat Surabaya. Kesan lokal yang khusus juga akan terlihat karena peristiwa Nasional, dimana Belanda ingin menguasai Indonesia, namun menimbulkan respons di bagian wilayah Indonesia, atau propinsi yang ada, misalnya Surabaya. Kekhususan yang terlihat bukan dari kerangka struktural yang ada akan tetapi dari peristiwa yang terjadi.

4. Lapian, Andrian. B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Jakarta : Komunitas Bambu.
 Bagi Lapian Indonesia merupakan kawasan negara kepulauan yang kaya akan perairan. Hal ini karena Indonesia adalah ”negara laut utama” yang ditaburi dengan pulau-pulau. (Lapian, 2009:2). Keberadaan Pulau Sulawesi yang identik dengan kehidupan laut dan perairan mendorong Lapian membuat penulisan mengenai kehidupan suku laut yang ada di Sulawesi. Adapun aspek yang dijumpai dalam pembahasan buku yang berjudul “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX” ini mencakup meengenai keadaan fisik Laut Sulawesi, penduduk, Kebudayaan Maritim, serta sejarah singkat mengenai Orang laut, Bajak Laut, Suku Laut, dan Raja Laut. Adapun penjelasan yang dipaparkan dalam buku ini merupakan fenomena historis yang menggambarkan keadaan hidup diperairan di Indonesia, lebih tepatnya Laut Sulawesi.
 Buku ini merupakan buku yang penting dalam menambah wawasan sejarah kita, dimana kita ketahui bahwa Perairan Nusantara sangatlah kaya, dan kekayaan itu tidak terlepas dari adanya Perairan Sulawesi. Dengan demikian, maka akan ditemukan adanya kehidupan pada cerita Perairan Sulawesi yang berkontribusi dalam menambah sejarah kekayaan laut.
 Dalam studi sejarah lokal. Adanya pembatasan wilayah, misalnya saja studi pada Perairan Sulawesi, merupakan hal yang dapat diterima dalam pelajaran ini. Hal ini karena sejarah lokal itu sendiri merupakan unit/ batasan wilayah tertentu yang didalamnya terdapat peristiwa. Untuk menggolongkan buku ini pada corak sejarah lokal, maka unsur studi pada studi khusus bisa terlihat ketika berbicara mengenai pemberontakan yang dilakukan orang laut, dan keberadaan bajak laut itu sendiri. Dimana kita ketahui bahwa adanya studi peristiwa khusus itu bisa terlihat dari adanya pemberontakan. Dimana dalam buku dijelaskan bahwa yang disebut bajak laut adalah kelompok yang melakukan kekerasan. Namun hal tersebut belum lah tentu dapat dijadikan patokan, karena pada buku ini masih terdapat dua golongan lagi yang dapat dikategorikan identik dengan buku ini, pertama studi yang menekankan pada struktur, struktur disini akan terlihat pada kehidupan masyarakat Suku Bahari yang dijelaskan. Hal ini karena terlihat susunan sosial seperti lapisan kehidupan secara sosial ditarik berdasarkan gari keturunan laki-laki. Pada suku laut laki-laki dijadikan pemimpin. Apalagi keberadaan laki-laki dijadikan penengah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Selain itu struktur yang terlihat pada penjelasan buku, terdapat susunan pemerintahan, sistem ekonomi, pengetahuan, dan hasil kebudayaan. Suku laut yang dimaksud pada susunan tersebut tentu saja tidak hanya orang laut, tapi juga bajak laut, dan raja laut. Raja Laut yang dimaksud adalah pemegang kekuasaan, misalnya pemimpin pribumi, kekuatan asing (Spanyol, Belanda, Inggris). Dari sini, maka kita akan melihat adanya susunan stratifikasi, dimana antara pribumi dan pihak asing terdapat perbedaan, dan dalam struktur organisasi yang diciptakan oleh gambaran pemerintahan tentunya menunjukan tingkatan. Sedangkan aspek tematis yang terlihat pada pembahasan tentunya akan dijumpai kehidupan sosial dimasyrakat laut, dimana kehidupan itu berjalan sesuai dengan tingkatannya, tercipta hubungan antara kelas tinggi dan masyrakat kelas menengah. Dari situ bisa dilihat kalau pada pembahahasan ini ditemukan unsur antropologi. Selain itu studi secara umum bisa dilihat dari bab pembuka dalam pembahasan yang diuraikan oleh Lapian, dimana, lapian memaparkan mengenai keadaan alam Laut Sulawesi, penduduk, dan kebudayaannya. Perkembangan yang ada sedikit diuraikan. Dari studi sejarah lokal, buku ini memiliki unsure masing-masing dari keempatnya, akan tetapi menurut pendapat saya golongan yang paling identik dengan pembahasan yang menjadi inti dari tujuan penulis tentunya akan terlihat dari studi yang menekankan pada strukturnya. Hal ini karena lahirnya Sejarah Laut Sulawesi dikarenakan kekayaan laut itu sendiri, sehingga memancing bangsa asing untuk berlomba-lomba menguasai. Unsure politik dan perebutan kekuasaan sangatlah terlihat, baik itu dalam pembahasan mengenai orang laut, bajak laut, maupun raja laut. Apalagi pada struktur yang ada sudah menunjukan diferensiasi yang menonjol antara satu kelas dangan kelas yang lain. Adanya pembagian stratifikasi sangat jelas. Walaupun dari adanya struktur tersebut menimbulkan reaksi sosial dan kelas, namun studi pada materi ini lebih menunjukan adanya struktur, baik itu dalam masyarakat pribumi secara internal, maupun dominasi yang coba diwujudkan oleh pihak asing, atau yang dikenal Raja Laut.
5. Wildan, Dadan, dkk. 2005. Sejarah Ciamis.
Bandung : Humaniora
 Buku yang berjudul “Sejarah Ciamis” ini merupakan karya sejarawan yang diluncurkan pada tanggal 12 Juni 2005 bertepatan dengan hari jadi Ciamis ke-363. Adapun buku ini dibuat oleh penelitian yang dilakukan sejarawan sehingga hasil pembahasan yang diperoleh tentunya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Buku ini menjelaskan mengenai keadaan Ciamis mulai dari letak geografisnya (Sebelah Utara Ciamis berbatasan dengan Majalengka dan Kuningan, sebelah Timur : Jawa Tengah, sebelah Selatan : Samudera Indonesia, sebelah Barat : Tasikmalaya. Adapun luas Ciamis + 2. 559, 10 km2), keadaan alam (sebelah utara Ciamis memiliki ketinggian 500-1000 m dari permukaan laut, dan terdapat perbukitan dibagian tengah Ciamis) , kehidupan prasejarah (banyak peninggalan arkeologis, misalnya pada situs purbakala Tambaksari, Karang Kamulyan yang diduga sebagai peninggalan tertua dari tokoh Ciung Wanara) , maupun kehidupan sosial seperti adanya stratifikasi, dijelaskan adanya bupati sebagai pemimpin tradisional, serta dijelaskan mengenai pergantian kedudukan dari adanya jabatan bupati (misalnya R.A Anggaraya 1679-1693 yang kemudian diteruskan R. Adipati Surtadinata 1693-1706), ekonomi seperti mata pencaharian masyarakat Ciamis (di dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian kelompok masyarakat Ciamis ialah Pangasalasan, Juru Lukis, Pandai Emas, Peladang, Petani, Penjaga Keamanan, Peternak, Kelompok Rohani, Prajurit, dan sebagainya), politik yang menjelaskan mengenai hubungan yang terjalin antara Pemerintah Ciamis dengan pihak asing pada masa kolonial, (misalnya diceritakan mengenai keberadaan pemerintah kolonial yang menerapkan kebijakannya di Ciamis; kebijakan tentang penyerahan lada, penetapan wilayah Ciamis dengan menggunakan peran Bupati, peraturan-peraturan pemerintah kolonial dan sebagainya). Dari aspek keseniannya Ciamis dikenal dengan adanya Ronggeng Gunung, dan dari pendidikannya; pada tahun 1927 terdapat pesantren K.H Abidin di Maparah Kec Panjalu, dan pada tahun 1952 terdapat pesantren di Gegempalan. Sejak lahirnya Politik Ethis maka sekolah rakyat mulai dijumpai di Ciamis (1907). Sejak 1 Januari 1926 Jawa dibagi atas tiga propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Sehingga Jawa Barat dibagi lagi atas 5 Karesidenan, 18 Kabupaten, dan 6 Kota Praja.
 Dari penjelasan diatas buku yang berjudul “Sejarah Ciamis” dapat dikategorikan sebagai sejarah lokal. Hal ini karena Obyek yang di bahas adalah wilayah Ciamis dengan berbagai peristiwa didalamnya. Selain itu buku ini juga memiliki corak dari golongan studi sejarah. Buku ini dapat dikatakan memiliki unsur struktur dan tematis, hal ini bisa dilihat dari adanya aspek sosial, ekonomi, politik yang dikemukaan, adapun struktur dapat terlihat dari sistem yang ada ditengah masyarakat. Contohnya tadi, pada penjelasan yang bersifat kelas sosial, pada kegiatan ekonomi ditemukan adanya ketentuan budidaya koi, dan penyerahan lada, serta kedudukan bupati dan gubernur jenderal dimasyarakat. Kedua aspek studi tersebut kita temui dalam pemaparan Sejarah Ciamis, akan tetapi studi yang paling mendekati pada materi buku ini merupakan studi sejarah umum. Hal ini karena isi dari buku ini bersifat menguraikan perkembangan daerah atau propinsi dari masa ke masa. Hal yang disampaikan oleh penulis adalah sejarah Ciamis dari awal hingg perkembangannya, dari masa prasejarah sampai sekarang ini. Bahkan ketika masuknya pengaruh komunis di Ciamis juga disampaikan oleh penulis. Terlihat bahwa bahwa penulisan ini bersifat umum, karena dampak dari politis yang dijelaskan juga memiliki pengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi. Misalnya ada pendidikan dan kegiatan ekonomi yang menggambarkan perkembangan Kabupaten Ciamis dari masa dulu ke masa sekarang.
6. Lubis, Nina H. 2003. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Indonesia : Pustaka LP3ES
=> Isi dari buku ini menceritakan Sejarah terbentuknya Banten. Dimulai dari masa pra sejarah, sejarah, keadaan Banten terbentuk, hingga terciptanya kebudayaan tertua. Selain itu, diulas juga mengenai dinamika Banten. Dalam kata pengantarnya, yang dituliskan oleh Taufik Abdullah , maka disebutkan bahwa Banten lebih dikenal oleh bangsa penjajah sebagai bangsa yang suka membantah. Kemudian lahir kata “Banten”, yang berarti bantahan walau hanya dari satu sisi.
Dalam bukunya, Nina Lubis juga menjelaskan Sejarah singkat terbentuknya Kabupaten Serang. Dimana disebutkan bahwa pusat kota Serang dibangun setelah Kesultanan Banten dibumihanguskan oleh Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Deandels pada tahun 1808 dengan dibakarnya Keraton Surosowan. Kemudian Serang ditetapkan menjadi kawasan landrosambt ( semacam pengawas ) yang meliputi Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Penataan Kota dan pembangunan kolonial dimulai sejak Belanda menempatkan residen pertama J. De Bruijn WD pada tahun 1817. Kemudian terbentuklah struktur keresidenan Banten.Penguasa tertinggi di Karesidenan adalah sekretaris residen, asisten residen, dan kontrolir. Asisten Residen dan Kontrolir biasanya ditempatkan di Kabupaten yang berfungsi sebagai pembantu Residen dalam menangani masalah pemerintahan di wilayah Kabupaten. Sedangkan penguasa tertinggi di Kabupaten adalah Bupati, yang bertanggung jawab langsung ke Residen. Dalam melaksanakan tugasnya, Bupati dibantu oleh patih, wedana, asisten wedana, dan Lurah. Dari penjelasan di atas, maka disimpulkan bahwa Buku tersebut merupakan study Sejarah Lokal yang menekankan pada struktur
Pada bab terakhir, dijelaskan mengenai perjuangan masyarakat Banten untuk mendapatkan Kebebasan dari Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa isi dari buku ini menjelaskan juga mengenai study yang difokuskan pada suatu peristiwa.
Sedangkan secara keseluruhan isi buku, Banten Dalam Pergumulan Sejarah merupakan study sejarah umum dalam lingkup Sejarah Lokal. Dimana dijelaskan dari zaman pra sejarah, sejarah ( yaitu kedatangan penjajah dari mulai Belanda sampai Jepang ) hingga Perkembangan Banten hingga saat ini yang ingin melepaskan diri dari Provinsi Jawa Barat.
=> dari penjelasan diatas, maka sangat terlihat bahwa buku ini merupakan studi sejarah lokal. Hal ini karena peristiwa yang dipaparkan merupakan peristiwa lokal dengan Banten sebagai batasan wilayahnya. Diantara corak studi diatas, maka buku ini tentunya identik sebagai studi sejarah lokal yang bersifat sejarah umum. Hal ini karena pemaparan yang dilakukan penulis bertujuan untuk menceritakan Banten dari masa awal hingga kejadian-kejadian yang ada didalamnya. Memang aspek struktur dan temati dipaparkan oleh penulis. Namun apabila kita mengkajinya lagi maka studi yang dimaksud oleh penulis ialah sejarah secara umum mengenai perkembangan suatu kabupaten atau Propinsi Banten. Dimana didalam buku ini terlihat jelas bahwa adanya sistem politis yang kemudian mengubah tatanan kehidupan yang kemudian menghasilkan perkembangan.

SEJARAH LOKAL

Nama : Merlina Agustina Orllanda
Npm : 180310080026
1. Jelaskan pengertian sejarah menurut berbagai versi seperti kamus, buku, dan sebagainya?
- Jawab :
- Menurut Pusposaputro (1982: vii ), “Sejarah adalah pertanggungjawaban masa
silam (Huizinga). Masa silam yang dimaksud ialah lembaran yang telah ditulisi oleh
manusia dengan tindakan-tindakannya. Dalam hal ini tindakan tersebut yang dinamakan
sejarah-sebagai-peristiwa”. (Kartordirdjo, 1982: vii).
- Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, “Sejarah adalah silsilah , asal usul (keturunan),
kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, cerita yang berdasar
pada kejadian yang benar-benar terjadi, pengetahuan atau uraian tentang peristiwa
peristiwa dan kejadian kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau”.
- Sejarah adalah istilah yang berasal dari bahasa arab , “syajarah” yang artinya “pohon”,
dalam hal ini pengvgertian sejarah sama dengan yang ada di Indonesia yakni daftar asal
usul atau keturunan. (Ensiklopedi : 1990)
- Menurut buku “Pengantar Ilmu Sejarah”, Kuntowijoyo. Pengertian sejarah secara
terdiri atas dua, yaitu :
1. Pengertian secara negatif : sejarah itu bukan mitos, sejarah bukan filsafat, sejarah itu bukan ilmu,sejarah bukan sastra
2. Pengertian sejarah secara positif : sejarah merupakan ilmu tentang manusia, sejarah ialah ilmu tentang waktu, sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial, sejarah ialah ilmu tentang sesuatu tertentu, satu satunya, dan terinci. Jadi defenisi sejarah ialah rekonstruksi masa lalu.
- Sejarah selalu berbicara tentang peristiwa yang benar-benar pernah terjadi dan menempatkan manusia sebagai actor sentralnya. (Dienaputra, 2006: 2).
- Menurut Taufik Abdullah didalam buku yang berjudul “ Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif, “Sejarah ialah proses penghamparan dari cita kemanusiaan yang tertinggi, demikian kira-kira kata seorang filosof”.

2 Jelaskan defenisi sejarah menurut ilmu sejarah?
Sejarah merupakan ilmu yang mandiri. Artinya sejarah itu mempunyai filsafat sendiri, masalah sendiri, dan penjelasan sendiri. Dibawah ini merupakan hakikat penjelasan sejarah sebagai bagian dari ilmu antara lain:
SEJARAH : menafsirkan, memahami, mengerti. Kekhasan sejarah sebagai ilmu menurut Wilhem Dilthey (1833-1911) terbagi atas 2, yaitu ilmu tentang dunia luar (naturwissenschaften/ ilmu alam) dan ilmu kemanusiaan atau geisteswissenschaften (humanities, cultural sciences). Dalam sejarah sebagai ilmu mengenai kemanusiaan, maka akan melakukan pendekatan dengan hermeutika (tafsir, interpretasi) ialah memahami “inner context”. Sehingga Dilthey akhirnya menerapkan metode yang khusus diajukan guna mendekati sejarah (Verstehen/ pengalaman “dalam” menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan). Sehingga dengan adanya verstehen dapat mempermudah pemahaman makna yang ada didalam sejarah “ mengerti subjective mind dari pelaku sejarah”. Dari penjelasan ini, maka kekhasan sejarah sebagai ilmu terletak karena adanya pendekatan yang khusus untuk menerangkan gejala sejarah (peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan). (Kuntowijoyo. 2008: 1-4). Selain itu sejarah sebagai ilmu yang mampu memberi eksplanasi tentang peran manusia diatas panggung kehidupan. (Dienaputra, 2006: 2). Untuk melaksanakan eksplanasinya, maka sejarah memiliki metode. Menurut Gottschalk tahapan analisis disebut metode sejarah. (Herlina, 2008: 3). Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peristiwa masa lampau. (Herlina, 2008: 2). Keberadaan metode ini ditujukan untuk mengetahui keberadaan fakta didalam sejarah. Fakta merupakan bahan mentah bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Fakta bisa diperoleh melalui sumber berupa data atau dokumen. Untuk memperoleh fakta sejarah diperlukan adanya koroborasi (pendukungan) suatu data dari suatu sumber sejarah dengan sumber lain (dua atau lebih). (Herlina, 2008: 34). Hal serupa juga didukung dengan adanya ungkapkan oleh Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbornne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian work with documents….There is no substitute for documents: no documents, no history”. (Dienaputra, 2006: 6). Sehingga kepercayaan tidaklah sama sekali asing bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Dari situ kita bisa melihat bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu dan terbatas dalam ruang, sehingga defenisi sejarah yang dapat kita peroleh dari ilmu sejarah akan menempatkan pengertian sejarah yang bersifat objektif (sejarah sebagai peristiwa atau realitas sejarah yang benar-benar terjadi) dan subjektif ( “sejarah dari sejarah” artinya sebagai perkembangan dari penulisan sejarah). (Herlina, 2009: 9-10). Dari penjelasan diatas sejarah sebagai bagian dari ilmu tentunya tidak akan lepas dari adanya metode kritis yang berfungsi untuk mempertahankan sejarah sebagai disiplin ilmu. Adapun metode tersebut merupakan wujud dari adanya tiga ledakan seperti metode kritik teks “On Diplomatic” oleh Jean Mabillon (kritik eksternal), gagasan Ranke berupa penulisan sejarah sebagai mana peristiwanya terjadi (kritik internal), dan keberadaan socio-scientific approach yang pada awal abad 20 muncul lewat peranan Mahzab Annales dari Perancis. (Herlina, 2009: 159).
 Kesimpulannya : sejarah berkaitan dengan ruang dan waktu, dimana terdapat peran manusia didalamnya, sejarah itu sifatnya diakronis, sebagai disiplin ilmu tentunya memiliki metode kritis untuk bisa mendukung hasil dari penulisan sejarah, selain itu sejarah perlu melakukan pendekatan dengan ilmu sosial lainnya.hal ini sependapat dengan Kuntowijoyo dalam pengertian sejarah secara positif : Pengertian sejarah secara positif : sejarah merupakan ilmu tentang manusia, sejarah ialah ilmu tentang waktu, sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial, sejarah ialah ilmu tentang sesuatu tertentu, satu satunya, dan terinci. Jadi defenisi sejarah ialah rekonstruksi masa lalu

3 Jelaskan defenisi lokal?
- Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Lokal adalah ruang yang luas, terjadi disuatu tempat saja, setempat, disuatu tempat,
- Lokal merupakan suatu tempat yang merupakan unit bagian
- Lokal juga bisa dikatakan sebagai bagian dari suatu wilayah yang lebih khusus
- Lokal merupakan tempat, suatu tempat, atau ruangan wilayah yang didalamnya bisa ditemukan kelompok masyarakat (bisa petani dan sebagainya), lembaga sosial, kultural,ekonomi, politik, dan religius.
- Lokal merupakan tempat, suatu tempat, ruangan, biasanya diartikan dengan keadaan yang sifatnya tradisional

4 Setelah melihat pengertian sejarah danf lokal. Menurut anda sebutkan pengertian sejarah lokal ?
Berdasarkan hasil dari beberapa pengertian diatas mengenai sejarah dan lokal, Maka saya berpendapat bahwa sejarah lokal merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi dalam ruang dan waktu dengan meletakan manusia sebagai pelaku sejarah yang berada pada bagian wilayah tertentu, dimana didalam peristiwa yang terdapat pada sejarah lokal akan disertai oleh adanya berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, religius, dan sebagainya . atau dengan pengertian lain sejarah lokal ialah peristiwa sejarah yang terjadi terdapat disuatu tempat yang lebih khusus atau pada unit daerah tertentu atau batasan tertentu (sejarahnya khusus, lebih mengerucut, dan ruang lingkupnya lebih kecil atau tidak meluas). Menurut saya sejarah lokal bisa berfungsi sebagai objek apabila ingin membuat sejarah nasional (sejarah lokal dapat berpartisipasi sebagai bagian dari sejarah nasional, dalam hal ini karena penulisan sejarah nasional melakukan pengumpulan fakta pola dan unit), akan tetapi tidak semua sejarah nasional adalah sejarah lokal. Contoh untuk memahami sejarah lokal bisa kita lihat pada sejarah bangsa Indonesia dalam penjajahan VOC. Dari hal tersebut bukan kebijakan kolonial yang menjadi perhatian, akan tetapi kehidupan rakyat dan pertentangan yang terjadi antara rakyat dengan adanya kebijakan kolonial. (Kartordirdjo, 1982: 35).

KABINET ALI SASTROAMIDJOJO I (Juli 1953- Juli 1955)

PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Setelah mengalami penjajahan dan pendudukan akhirnya waktu jua lah yang menjawab kemerdekaan Indonesia. Adanya upacara proklamasi 1945 yang dirayakan oleh semua rakyat Indonesia dengan penuh khidmad dan rasa haru belum mampu untuk membuat Belanda melepaskan Indonesia. (Yulianti, 2007: 221). Pasca Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 1945, Belanda tetap memperteguh pendirian dengan menganggap kemerdekaan itu tidak pernah ada. Akan tetapi, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum internasional status itu diakui dan memperoleh tempat. Dengan adanya kemerdekaan, maka Indonesia tentunya akan menghadapi babak baru pada prospek untuk menentukan masa depan bangsa. (Ricklefs, 1998:355).
Kemerdekaan yang saat itu baru direngkuh Indonesia tentunya membutuhkan berbagai pembenahan. Ketika itu, Indonesia menunjukan adanya kemiskinan ditengah taraf pendidikan yang rendah. Adanya tradisi otoriter ditengah kehidupan bangsa menuntut negeri ini untuk bergantung nasib pada kearifan suatu pemimpin yang baik di negeri itu. (Ricklefs, 2005:471). Telah diketahui bahwa Soekarno merupakan “Pahlawan Proklamator”. Ia merupakan pemimpin proklamasi sekaligus pemimpin bangsa Indonesia. Kemerdekaan Indonesia tidaklah cukup dengan pertahanan kedaulatan yang hanya dilakukan oleh Soekarno. Akan tetapi, kepemimpinan tersebut membutuhkan adanya unsur-unsur yang dapat mendukung roda pemerintahan. Langkah awal yang ditempuh oleh Indonesia dalam menata rumah tangga negaranya ialah dengan menghasilkan keputusan; untuk menetapkan Undang-undang 1945 sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, menetapkan pemimpin bangsa, serta membentuk komite yang akan berperan dalam membantu tugas kepala Negara. Selain aspek diatas, maka dalam pembangunan pemerintahan ini, Indonesia juga mulai membagi wilayah RI dengan pemimpin tiap daerah masing-masing, membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan kemudian menetapkan PNI sebagai satu-satunya partai politik di Indonesia. (Yulianti, 2007: 225). Hal ini karena basis utama Partai Nasional ini berada dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor. (Ricklefs, 2005:361).
Dari adanya pembenahan pada awal kemerdekaan, maka pada 19 Agustus dihasilkan suatu keputusan untuk menetapkan 12 kementerian yang akan membantu tugas presiden. (Yulianti, 2007: 225). Apalagi pada permulaan kemerdekaan keadaan Indonesia sedang tidak menentu ditengah berbagai gejolak, baik itu masalah ekonomi, maupun ketidakstabilan keamanan. Pendudukan Jepang dan imperialisme Belanda telah mewariskan hal-hal yang menyulitkan Indonesia untuk membenahi bangsanya. Akan tetapi semangat revolusi merupakan komitmen yang harus dipenuhi. Sehingga dampak dari adanya keputusan diatas mendorong dibentuknya susunan Kabinet Indonesia yang pertama. (Yulianti, 2007:226). Dengan adanya pembentukan kabinet yang pertama, maka sejarah Indonesia akan memaparkan berbagai peralihan mengenai kabinet-kabinet yang selanjutnya akan memimpin Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Sehingga wujud sistem parlementer yang kemudian diterapkan Indonesia dalam susunan organisasinya. Adapun cara ini merupakan pengetahuan yang dimiliki Indonesia dan diperoleh dari Penjajahan Belanda. Dengan demikian, maka pada penetapannya, kabinet bertanggung jawab terhadap parlemen suatu majelis (Dewan Perwakilan Rakyat) yang saat itu jumlah anggotanya 232. Jumlah ini merupakan cerminan basis kekuatan –kekuatan partai. Dalam hal ini partai-partai yang dimaksud ialah, Masyumi dengan 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katolik 9 kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%), dan Murba 4 kursi (1,7%). Dengan hasil tersebut, maka 42 kursi terbagi atas partai-partai atau peorangan lainnya, dan dari seluruhnya tidak satu pun mendapat lebih dari 17 kursi (Ricklefs: 1998, 363).
Adanya roda pemerintahan yang dijalankan oleh kebanyak politisi dari Jakarta membuat unsur yang ada menekankan pada pola parlementer. Sehingga kekuatan parlementer saat itu melebihi dari kabinet yang ada. Pada percobaan demokrasi di Indonesia, maka kabinet yang memimpin saat itu mengalami pergantian seperti : Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1953), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1953), Kabinet Wilopo (April 1952- Juni 1953), Kabinet Ali Satroamidjojo 1 (Juli 1953- Juli 1955), Kabinet Burhanudin (Agustus 1955- Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956- Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (April 1957- Juli 1959). (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 516), (Ricklefs: 1998, 376)
Pada proses Indonesia menuju pemerintahan, maka kabinet-kabinet diatas mempunyai cerita tersendiri dalam menempati posisinya. Kabinet Natsir ialah kabinet awal yang inti didalamnya adaalah koalisi antara Masyumi dan PSI. begitu pula dengan kabinet selanjutnya; Sukiman yang memuat koalisi Masyumi-PNI, dimana koalisi antara kedua partai ini masih dilanjutkan oleh kabinet yang kemudian menggantikan Kabinet Sukiman; Kabinet Wilopo. Pada koalisi ini, maka orang PNI yang ambil peran sebagai perdana menteri. Hal ini menimbulkan ketidakharmonisan antara koalisi yang sebelumnya terjalin itu. (Ricklefs: 2005, 485- 489).
Adanya pertahanan kabinet yang tidak utuh membuat pertanggungjawaban yang diajukan kepada parlemen sering ditolak. Bahkan parlemen menyatakan mosi tidak percaya. Dari reruntuhan kabinet diatas, maka PKI dan PNI selanjutnya mengadakan koalisi untuk mengembalikan mosi percaya dari pihak DPR. Koalisi ini kemudian membentuk kabinet yang langsung mengambil mandatnya kepada Soekarno. (Ricklefs: 2005, 485- 489).
Diantara kabinet-kabinet diatas, maka pada laporan bacaan ini penulis akan membahas mengenai Ali Satroamidjojo 1 (Juli 1953- Juli 1955). Dalam hal ini, penulis ingin menguraikan komparatif dari hasil koalisi antara PNI-PKI terhadap kabinet sebelumnya. Untuk menjawab pembuktian dari kabinet ini, maka penulis akan memaparkan sekaligus menguraikan mengenai aspek yang terdapat Ali Satroamidjojo 1 (Juli 1953- Juli 1955), serta pencapaian yang dihasilkan, dan tidak lupa penulis menjelaskan mengenai penyebab pengembalian mandat yang dilakukan oleh Ali pada akhir Kabinet Ali 1 ini.
BAB II
PEMBAHASAN
KABINET ALI SASTROAMIDJOJO I
(Juli 1953- Juli 1955)

2.1 Pembentukan
Krisis pemerintahan di Indonesia membuat negara yang baru terbentuk ini mengalami ketidakstabilan. Dimana dalam upaya menjalankan roda pemerintahanannya, Indonesia mengalami jatuh bangun. Hal ini yang kemudian mendorong terbentuknya Kabinet Ali untuk mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo). (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 526),
Setelah melakukan perundingan selama enam minggu dan melakukan berbagai upaya pembentukan partai. (Ricklefs: 1998, 371). Maka pada tanggal 31 Juli 1953 ” Kabinet Ali I” ini diresmikan dan dikenal dengan nama Kabinet Ali-Wongso. Mr. Ali Sastroamidjojo dari PNI merupakan perdana menteri dalam kabinet ini. Adapun Kabinet Ali merupakan kabinet yang terakhir sebelum Pemilihan Umum I. (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 526).
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 526). Selain itu terdapat tokoh yang bersimpati kepada PKI dimasukkan dalam kabinet ini dan Muh Yamin yang dianggap sayap kiri dijadikan sebagai Menteri Pendidikan. (Ricklefs: 1998, 371).
Adapun struktur yang mengisi kabinet Ali, terdiri atas ini unsur-unsur dari PNI, Ali Sastroamidjojo melakukan perluasan birokrasinya dalam tubuh PNI. Ia menganggap tindakan tersebut sangat penting bagi pemilihan yang akan datang (Ricklefs: 1998, 371). Politik kebijakan yang diterapkan tersebut terlihat lebih mengutamakan mengenai pertahanan kekuasaan serta membagi hasil hasilnya atas penguasaan.(Ricklefs: 1998, 371).
2.2 Program Kerja
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Kabinet Ali memiliki program kerja sebagai berikut :
1. Menjaga Keamanan.
 Menjaga keamanan merupakan bagian dari program kerja Kabinet Ali 1. Hal ini karena Kabinet Ali berani mengambil alih pemerintahan setelah kabinet sebelumnya runtuh. Adanya tanggungjawab kabinet ini yang kemudian akan dilaporkan terhadap DPR tentunya akan memuat suatu solusi untuk meredam ketidakstabilan Negara saat itu. Pada masa kabinet sebelumnya telah terjadi berbagai goncangan keamanan. Misalnya saja perpecahan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, perselisihan yang terjadi dikalangan militer, Bahkan pembunuhan yang dilakukan kepolisian terhadap lima petani di dekat Medan (Ricklefs: 1998, 367-368, 369-370). Saat itu Kabinet Ali mengerahkan pasukan untuk meredam pemberontakan dari kota kota yang penting. Adapun keadaan ini membuat stabilitas yang dijalankan pemerintahan terganggu, selain itu juga terdapat berbagai pemberontakan di daerah-daerah. Sehingga pada Kabinet Ali 1 ini, pemerintah berupaya untuk menjaga keamanan dan memulihkan.
2. Menciptakan Kemakmuran & Kesejahteraan Rakyat.
 Adanya Perang Korea antara Februari 1952- Maret 1952 memberikan dampak malasnya perekonomian Indonesia. Hal ini karena ekspor karet nasional Indonesia menjadi turun 71%. Adanya upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan pada kabinet sebelum Kabinet Ali tidak berhasil. Apalagi solusi ekonomi yang dilakukan pemerintahan sebelumnya justru berdampak memperkeruh ketidakstabilan politik dan keamanan. (Ricklefs: 1998, 367-368). Pada tahun 1952-1953 terjadi inflasi di Indonesia. Sehingga nilai tukar rupiah turun menjadi 44,7 % dari nilai resmi menjadi 24,6 %. Pada masa Kabinet ini persediaan uang meningkat 75%, Hal ini akhirnya menyebabkan eksportir diluar Pulau Jawa yang terdiri atas orang-orang Masyumi terkena imbas dan mengalami dampak buruk pada kegiatan ekonominya (kerugian). (Ricklefs: 1998, 371). Dari adanya situasi ini menyebabkan penyelundupan semakin meningkat (tidak hanya orang miskin yang terlibat penyelundupan, tapi juga tentara-tentara). (Ricklefs: 1998, 371). Keadaan ini semakin menambah kemiskinan bangsa Indonesia. Rakyat saat itu hidup dalam kelaparan dan jauh dari kesejahteraan. Maka dari itu pada masa Kabinet Ali program kerjanya juga berupaya untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. (Kahin, 2005:212). Adapun wujud dari upaya tersebut dengan Menekankan pengindonesiasian terhadap perekonomian dan memberi dorongan kepada pengusaha pribumi.
3. Menyelenggarakan Pemilu.
 Dengan memasuki babak demokrasi liberal, maka sistem Pemerintahan Indonesia menjalani sistem yang sebelumnya diterapkan oleh Belanda. Dimana imperialism kemudian mengenalkan Indonesia pada struktur atau susunan pemerintahan yang masuk ke dalam jenis parlementer. Sebagai kabinet yang memimpin pemerintahan, maka Kabinet Ali menyanggupi inti dari pemerintahan Indonesia yang bersifat parlementer tersebut. Dalam hal ini, Kabinet Ali mengupayakan penyelenggaraan Pemilu. (Turnan, 1995: 221). Pada tanggal 31 Mei 1954 Kabinet Ali membentuk Panitia Pemilu Pusat yang diketuai oleh Hadikusumo (PNI). Selanjutnya Pada 16 April 1955 Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilu akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Hal ini lah kemudian membuat berbagai kampanye yang diadakan menjadi meningkat. Adapun kampanye diadakan sampai pelosok desa. (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 526). Adapun pemilu merupakan program kerja yang utama dalam kabinet ini. (Turnan, 1995: 208).
4. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
 Kemerdekaan Indonesia, menuntut kabinet ini untuk tidak menyetujui adanya RIS. Hal ini karena pemerintahan yang ada saat itu ingin berdaulat dalam menjalankan kehidupan bernegara. Maka dari itu, pada tanggal Agustus 1954 Kabinet Ali memuat usul mengenai penghapusan Uni Belanda- Indonesia (sesuatu yang kecil) dan beberapa penyesuaian atas hasil KMB , namun hal ini tidak mencapai kemajuan. Adanya masalah pembebasan Irian yang tidak memuat hasil membuat Kabinet Ali saat itu mengajukan masalah ini ke PBB, dan dalam bulan yang sama pengaduan tersebut tidak diterima. (Ricklefs: 1998, 371).
5. Melaksanaan politik bebas-aktif
 Adanya bipolarisasi dan politik konstelasi dunia membuat Indonesia tidak ingin terlibat didalamnya. Apalagi Indonesia sendiri merupakan Negara yang baru merdeka, bahkan dalam menata negaranya, Indonesia masih belum tentu arah. (Turnan, 1995: 43). Apalagi kemerdekaan Indonesia masih belum diakui oleh Belanda. Adanya ancaman kedatangan Belanda maupun Jepang bisa kapan saja menghampiri Indonesia. Maka dari itu pada masa Kabinet Ali ini menetapkan Indonesia untuk menjalankan Politik Bebas-Aktif. Adapun bebas disini terwujud dengan sifat tidak memihak Indonesia terhadap pertikaian dunia. Misalnya pada ketegangan antara Amerika dan RRC saat itu. Sedangkan aktif disini ditujukan pada perjuangan untuk membebaskan Irian dari Belanda. Indonesia ingin berperan aktif dalam menyuarakan anspirasinya pada dunia. Hal ini yang kemudian akan diwujudkan dengan pelaksanaan KAA 1955 yang mengikutsertakan Indonesia dalam menggalang perdamaian Asia-Afro. Program ini sangat didukung Soekarno.
6. Menyelesaikan Pertikaian politik
 Telah diketahui bahwa keadaan politik di Indonesia sangat tidak stabil pada masa itu. Perpecahan terjadi dikalangan elite politik. Tahta, jabatan, dan kekuasaan membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kehidupan bernegara. Salah satu perpecahan yang ada terlihat dengan keluarnya NU dari Masyumi. Adapu hal ini dikarenakan adanya kesenjangan dalam perebutan jabatan Menteri Agama. (Ricklefs: 1998, 368). Selain itu ketidakharmonisan juga terlihat dalam hubungan PNI dan PSI. adanya aksi tuding menuding semakin gencar diarahkan satu sama lain. (Ricklefs: 1998, 369). Tidak hanya pada dunia politii, tapi juga dikalangan militer dan sebagainya terjadi kesenjagan yang tidak layak. Dan pada bulan Januari Hamengkubuwana IX mengundurkan diri dari Jabatan Menteri Pertahanan. Hal ini adalah wujud dari adanya pertikaian politik. (Ricklefs: 1998, 369). Pada masa Kabinet Ali, masalah demikian merupakan bagian dari kegiatan kerja kabinet.
2.3 Masalah Yang Dihadapi
Dalam menjalankan pemerintahannya, Kabinet Ali menghadapi beberapa masalah seperti :
1. Pada waktu itu keamanan dibeberapa daerah tidak stabil
a) DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat
 Di Jawa Barat kegiatan Darul Islam semakin memuncak, bahkan aktivitas yang dilakukan meningkat. (Ricklefs: 1998, 369). Selain itu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di (DI/TII) ini disebut berasal dari Jawa Barat dan kemudian menyebar ke daerah lain. Adapun pemimpinnya adalah Kartosuwirjo. (Yulianti, 2007:249)
b) Daud Beureh di Aceh
 Kaum muslim di Aceh mulai merasakan politik Jakarta hidup dalam keadaan, tidak beriman, dan tidak cakap. Pada tahun 1949 Aceh menjadi Propinsi Republik yang otonom.selanjutnya pada tahun 1950 Aceh digabungkan dengan Propinsi Sumatera Utara. Daud Beureu’eh, sebagai orang kuat Aceh dan benteng Republik Revolusi menolak untuk menerima pekerjaan di Jakarta dan lebih memilih untuk bermukim di Aceh dan memperhatikan perkembangan-perkembangannya. Adapun hal ini karena adanya isi kabinet terdiri atas tokoh-tokoh Masyumi (Ricklefs: 1998, 369). Pada masa Kabinet Ali. Bahkan Darul Islam berhasil memperluas wilayahnya dengan meliputi Aceh, Jawa Barat , dan Sulawesi. Pada Mei 1953, terdapat bukti bahwa ia menjalin hubungan dengan Kartosuwirjo dari Darul Islam. Daud merasa keberadaan Kabinet Ali bermaksud menangkapi orang-orang Aceh yang terkemuka. (Ricklefs: 1998, 71). Sampai tahun 1959 Daud mundur keatas bukit. Kemudian pada tanggal 19 September 1953 Daud dan PUSA terangan-terangan melakukan pemberontakan terhadap Jakarta. Ini mendapat dukungan orang-orang Aceh yang menjadi pegawai dan tentara. Saat itu Daud menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Darul Islam bukan Pemerintah Pancasila. Ketika Kabinet Ali gerakan ini dianggap sebagai hambatan yang berpengaruh terhadap ketidakstabilan Negara. Apalagi Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintahan Kabinet Ali dan menjadi penguras utama dana. (Ricklefs: 1998, 37).
c) DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan
 Pada Januari 1952 Kahar Muzakar menyatakan Sulawesi Selatan merupakan wilayah dari kepemimpinan Kartosuwirjo. Namun pada akhirnya Kahar Muzakar ini berhasil ditembak oleh Tentara dari Divisi Siliwangi. (Yulianti, 2007:249).
d) DI/TII di Jawa Tengah
 Pemberontakan ini dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfud Abdur Rahman. Pada tahun 1954 pemberontakan ini berhasil ditundukan oleh TNI. (Yulianti, 2007:249).
e) Persoalan dalam negeri dan luar negeri misalnya persiapan pemilihan umum yang saat itu direncanakan pada pertengahan Mei 1955 mengalami kegagalan.
f) Konflik dengan TNI-AD dalam persoalan pengangkatan seorang kepala staf .
 Ketegangan yang terjadi dilingkungan TNI-AD sejak peristiwa 17 Oktober 1952 (Pada waktu itu Nasution mendapat skors atau dinonaktifkan selama tiga tahun) kemudian berlanjut. (Ricklefs: 1998, 369). Adapun peristiwa disebabkan Kepala Staf TNI-AD “Bambang Sugeng” mengajukan permohonan. Dalam hal ini keinginan tersebut disetujui oleh kabinet. Tindak lanjut dari hal tersebut ialah pengangkatan Kolonel Bambang Utoyo oleh Mentri Pertahanan . menurut Panglima TNI-AD hal tersebut sangat tidak menghormati norma-norma yang ada di dalam lingkungan TNI-AD. Kabinet yang ada saat itu dipersalahkan, bahkan dalam Upacara Pelantikan dan Serah Terima Panglima tinggi TNI-AD tidak ada yang hadir.
(Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 526).
Selain dari masalah diatas, hambatan pada kabinet ini juga meliputi masalah ekonomi. Pada program kerjanya Kabinet Ali menekankan pengindonesiasian terhadap perekonomian dan memberi dorongan kepada pengusaha pribumi. Namun pada kenyataannya tidak demikian, karena banyak perusahaan-perusahaan baru yang berkedok palsu bagi persetujuan antara pendukung pemerintah dan orang-orang Cina/Perusahaan Ali Baba. Maka dari itu Kabinet ini dikenal juga dengan Kabinet Ali Baba. Ali Baba artinya seorang pengusaha pribumi yang mewakili pengusaha Cina yang memiliki perusahaan. Dalam praktiknya duta besar Cina akan menekan orang-orang Cina untuk bekerja sama dengan pribumi, tapi keadaannya tidak demikian. Sedangkan pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi, pergolakan ditanah air yang menguras dana semakin membuat kemiskinan (Ricklefs , 1998:371). Apalagi pada 1955 PSI melakukan pemogokan dan untuknya diredam oleh SOBSI. (Ricklefs , 1998:371).
2.4 Hasil Yang Di Capai
 Kabinet Ali Sastroamidjojo ini tidak mampu mencapai semua program kerjanya. Walaupun digolongkan sebagai kabinet yang bertahan lama, tapi tidak semua hasil diperoleh secara maksimal. Akan tetapi, kabinet ini telah berhasil memberi sumbangan bagi Indonesia , maupun benua Asia-Afrika. Adanya peristiwa diplomari pada 18 April-24 April 1955 itu disaksikan oleh Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika. (Kunto, 1996: 128). Merangkul saudara Asia-Afrika untuk melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya. (Kunto, 1996:131). Pada April-Mei-1954 terdapat pertemuan antara Perdana Menteri India, Pakistan, Sri Lanka, Birma, dan Indonesia (diselenggarakan di Colombo). Sebenarnya situai politik yang tidak stabil di Indonesia dialihkan ali pada suatu peristiwa yang bisa dikatakan mampu mengangkat nama Indonesia. (Kunto, 1996: 288). Disana Ali mengusulkan KAA, hal ini didukung Negara lain, (Ricklefs , 1998:372). Adapun KAA telah menunjukan kemenangan bagi pemerintahan Ali, ketika itu terdapat 29 negara yang hadir (Negara-negara besar Afrika, Asia hanya kedua Korea, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia luar yang tidak diundang).
Adapun Pemimpin Asia yang hadir, yaitu :
1. Zhou Enlai (Cou En-Lai)]
2. Nehru
3. Sihanouk
4. Pham Va Dong
5. Unu
6. Mohammad Ali
7. Nasser
8. Sukarno (Ricklefs , 1998:373).
 Adanya KAA membuat hubungan antara Amerika dan RRC menjadi. Sementara itu, RRC melupakan permusuhan dengan Negara-negara Asia yang nonkomunis, netral. Pada tahun 1953 Republik Indonesia mengirim 2 duta besarnya ke Cina. Dimana pada Desember Ali menandatangani persetujuan perdagangan antara Cina dan Indonesia yang pertama. Pada tahun 1955 terdapat persetujuan ganda yang mengharuskan orang-orang Cina Indonesia untuk memilih kewarganegaran Cina atau Indonesia. (hal ini dianggap orang-orang Cina menyulitkan karena sebelumnya tidak pernah dipermasalahkan). (Ricklefs: 1998, 371). Ali Sastroamidjojo sangat puas karena dipandang sebagai pemimpin Asia-Afrika. Pelaksanaan konferensi ini merupakan wujud perjuangan RI untuk mempromosikan hak Indonesia dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat. (Ricklefs: 1998, 371). Adapun hasil dari konfrensi ini mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Jaya. Dari sini kemungkinan bagi Indonesia untu memainkan peranan penting dunia, hal ini dijadikan soekarno sebagai tanggung jawabnya pribadi. Ketika itu Ali mengatakan dan meluluskan Dasasila atau Sepuluh Prinsip Bandung, sebagai upaya untuk mengubah dominasi dua negara adikuasa terhadap hubungan internasional pasca Perang Dunia II. Serta menilai kembali arti penting Konferensi Bandung serta membahas perubahan baru dalam hubungan internasional dan tantangan baru yang dihadapi dunia mempunyai arti penting. (Kunto, 1996: 121).

2.5 Fenomena PKI Pada Masa Kabinet Ali
 Setelah Konfrensi Asia Afrika Berakhir, maka persiapan pemilu, kekuatan baru sudah terbentuk. Untuk menarik anggota, PKI serius melakukan usaha BTI (Barisan Tani Indonesia). PKI diminati oleh rakyat karena PKI tidak tampak menganut kekerasan dan bersifat lunak. Sehingga penduduk dosa berduyun-duyun untuk menjadi anggotanya. Apalagi penduduk desa dipengaruhi dan dipimpin guru, kepala desa, petani kaya dan menengah. (hampir seluruhnya muslim abangan). Hal ini yang membuat PKI memiliki basis masa yang dapat menekan kekuatan politik lain dan mampu tampil mengesankan pada pemilu. (mengungkapkan marxis-leninis). PKI berhasil mengunguli semua organisasi lainnya. (Ricklefs , 1998:376). Hal ini dibuktikan dengan : Maret-November 1954 jumlah anggota partai ini naik menjadi tiga kali lipat (165.206-500.000). pada Akhir 1955 mencapai 1 juta. (Ricklefs , 1998:375). September 1953 menyatakan mempunyai 360.000 anggota dan kemudian mencapai Sembilan kali lipa (3,3 juta) pada akhir tahun 1955. 90% anggota di Jawa, 70% dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Anggota pemuda rakyat meningkat 3 kali lipat menjadi 202.605, Juli 1954 616.605 akhir tahun 1955; 80% anggotanya adalah pemuda tani yang sebagian dari Jawa. Selain itu PKI juga mempunyai surat kabar yang Oplah Surat Kabar PKI, Harian Rakyat dari 1954 beerjumlah (15.000 eksemplar) menjadi 1956 (55.000 eksemplar); surat kabar terbesar dalam afiliasi partai. Sehingga PKI menjadi partai politik terkaya dengan penerimaan iuran dari anggota (pungutan iuran sering kurang teratur), dari gerakan-gerakan pemungutan dana, sumber lain. Adapun sebagian besar uang berasal dari komunitas dagang Cina (yang memberikan dengan senang hati, atau melalui tekanan dari Kedutaan Besar Cina).(Ricklefs , 1998:375). Akan tetapi PKI kemudian tenggelam, hal ini karena banyak yang bergabung namun tiba-tiba pergi tanpa alasan. Lawan dari adalah TNI, hal ini sangat terlihat kontras, bahkan dari persaingan politik ini kemudian hari akan menghasilkan peristiwa tertentu. Pada tanggal 17oktober 1954 PKI dan tentara rujuk kembali. Kemudian pada Nopember 1955 diselenggarakan Konfrensi diyogyakarta dan dihadiri 270 perwira yang kemudian menyetujui piagam persatuan dan kesepakatan. Pada tanggal 27 Juni perwira menolak mengakui orang yang diangkat kabinet. Dari uraian tersebut sangat terlihat bahwa PKI mendapat tempat pada masa Kabinet Ali, hal ini bisa dilihat dari eksistensi PKI pada ajang pemilu.
2.6 Kemuduran Kabinet Ali
 Sama dengan kabinet sebelumnya, kabinet ini pun akhirnya mengundurkan diri. Adapun alasannya karena banyak sekali masalah yang tidak bisa diatasi, misalnya pergolakan yang terjadi di daerah (DI/TII), Tingkat korupsi yang memuncak, membuat perekonomian menurun dan kepercayaan masyarakat merosot. Masalah Irian yang tidak selesai, Pemilu yang tidak terlaksana, bahkan skandal korupsi ini sendiri ada di tubuh PNI. NU tidak puas dengan kerja kabinet (personel, ekonomi, keamanan,) dan didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada tanggal 20 Juli NU mengutus menteri-menterinya untuk mundur dari pemerintah. Hal ini diikuti oleh partai lain. Adanya kelemahan Kabinet Ali mendorong Masyumi untuk mengajukan mosi pada bulan Desember mengenai kemunduran (ketidak percayaan kepada kebijakan pemerintah). Sebagai imbalan atas perlindungan PNI, PKI meredam kecaman-kecaman terhadap korupsi dan masalah ekonomi. Adanya kesenjangan politik yang demikian menimbulkan keretakan didalam kabinet dan membuat Ali mengembalikan mandatnya.Pada 18 Juni. Soekarno memutuskan untuk naik haji dan kemudian mengunjungi Mesir. karena dukungan dari DPR tidak mencukupi empat hari kemudian akhirnya Ali mengundurkan diri.Kabinet ini mengembalikan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.

SIMPULAN

Kemerdekaan yang sudah diraih dengan susah payah ternyata harus dipertahankan pula dengan lebih susah. Laporan mengenai Kabinet Ali (1953-1955) ini merupakan bagian dari sejarah pemerintahan Indonesia dalam mencoba masa demokrasi. Dari sini kita akan memperoleh sudut pandang tentang sulitnya membangun sebuah pemerintahan dalam suatu Negara. Indonesia ketika itu memiliki berbagai masalah disemua aspek kehidupan. Bahkan warisan demikian mash terasa saat ini. Adapun kisah politik, radikal, den ekonomi adalah masalah besar yang tidak pernah pergi dari kehidupan Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Sejarah pemerintahan Indonesia tidak pernah lepas dari perebutan kekuasaan dan persaingan yang tidak sehat tanpa memperdulikan nasib rakyat dan tanpa menyadari Negara kita “Indonesia” sudah jauh tertinggal dari Negara lain.






DAFTAR PUSTAKA

Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi (Sumatera Barat dan Politik
diIndonesia) 1926-1998.Yayasan Obor.Jakarta
Kunto, Haryoto. 1996. Balai Agung di Kota Bandung.
Bandung .: Granesia
Turnan, George Mc. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
UNS : Pustaka sinar harapan.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.
Ricklefs. 1998. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.






.


LAMPIRAN
Mr Ali Sastroamidjojo

www.Indonesia.co.
Kabinet Ali Sastroamidjojo 1

www.menpan.go.id
Gedung Merdeka

www.merdeka.jpg
Konferensi Asia Afrika Bandung

www.menpan.go.id
Konferensi 1955

www.menpan.go.id
Keadaan Konferensi Asia Afrika

www.menpan.go.id

Delegasi Negara-negara Asia Afrika