oleh : Merlina Agustina Orllanda
Sejarah lokal ialah sejarah daerah yang dibatasi oleh keadaan geografis, dan etnis-kultural di dalamnya. Sehingga sejarah lokal dapat dikatakan mempunyai otonomi sendiri. Pada pembagiannya, sejarah lokal terdiri atas empat golongan, yaitu :
1. Studi yang di fokuskan pada suatu peristiwa tertentu (evenemental)
2. Studi yang lebih menekankan pada struktur.
3. Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (tematis), dan
4. Studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi,kota, kabupaten) dari masa ke masa.
Untuk mengetahui sejarah lokal berdasarkan pembagian golongan diatas, maka dibawah ini terdapat beberapa contoh buku :
1. Kartika, N. 2007. Sejarah Majalengka.
Bandung : Uvula Press
Buku ini merupakan buku sejarah lokal. Hal ini karena bila dikaji buku ini dapat menerangkan masalah sosial-historis yang mendasar. Didalamnya dipaparkan adanya sebab akibat. Pada buku terdapat penjelasan mengenai pembentukan Kabupaten Majalengka pada tanggal 11 Februari tahun 1840 dengan staatsblad no 7. Dimana sejak pembentukan Kabupaten Majalengka tersebut mengakibatkan adanya perkembangan tata kota dan kehidupan (aspek sosial, ekonomi, dsb). Sehingga buku ini bisa dikatakan sebagai buku sejarah lokal yang digolongkan dalam bentuk “evenemental” (khusus). Mengapa demikian??. Hal ini karena jangka waktu mengenai perubahan status dari Sindangkasih-Maja-hingga Majalengka tergolong dalam jangka waktu yang bisa dikatakan lama. Begitu juga dengan adanya proses perubahan yang terjadi didaerah tersebut sejak adanya perombakan yang dilakukan oleh perintah kolonial (sejak 1819-1903, ketika dikeluarkannya peraturan desentralisasi). Adapun perubahan yang dialami oleh Majalengka dari berbagai aspek adalah peristiwa yang terjadi secara lokal, khusus di Majalengka.
Dengan adanya penjelasan pada tipe diatas, maka apabila dikaji lebih lanjut buku ini juga termasuk kedalam golongan struktur. Hal ini karena pada buku terdapat penjelasan mengenai keberadaan bupati, dan Gubernur Jenderal. Dari sini kita bisa lihat, bahwa pada buku terdapat ulasan mengenai struktur pemerintahan. Dimana Gubernur Jenderal adalah pemimpin pemerintah Hindia ditanah Jajahan, dan Bupati merupakan pemimpin tradisional. Dalam proses pembangunan Majalengka tentunya diceritakan bahwa Gubernur Jenderal membutuhkan peran dari Bupati. Selain itu dengan adanya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial menyebabkan lahirnya beberapa sistem baru pada kehidupan masyarakat Majalengka, dari masyarakat yang tidak mengenal uang, jadi mengenal dan mulai diceritakan adanya sistem ijon, dan rentenir. Dengan adanya pembagian Kabupaten dari Karesidenan Cirebon atas Majalengka dengan 2 kontrol Afdellingnya seperti: Majalengka dengan ibukota Majalengka (dengan distrik Majalengka dan Talaga), dan Raja Galuh dengan ibukota Leuwimundig (dengan distrik Raja Galuh dan Jatiwangi), telah menunjukan adanya struktur dalam pembagian wilayah yang tentunya akan memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat Majalengka baik itu secara sosial, maupun ekonomi. Struktur yang dimaksud disini bukanlah peristiwa yang dilahirkan oleh struktur, namun lebih menekankan pada struktur. Pemaparan mengenai struktur dalam susunan pemerintahan dan sistem pada kegiatan ekonomi merupakan hal yang ditekan kan oleh penulis. Artinya penulis menjelaskan aspek tersebut sebagai bagian dari pembuatan Sejarah Majalengka. Sehingga tipe golongan yang mencakup studi struktur juga ditemukan pada buku Sejarah Majalengka.
Selain itu buku yang berjudul Sejarah Majalengka ini juga bisa digolongkan sebagai studi yang tematis. Alasannya karena pada struktur sejarahnya dijelaskan secara kronologis. Dan apabila dilihat dari latar belakang penulisnya yang merupakan sejarawan. Dimana isi dari uraian buku ini menggunakan konsep dan metode ilmiah. Pada daftar pustaka sangat jelas dicantumkan penulis mengenai keberadaan sumber, baik itu sumber buku, hingga hasil wawancara. Penulis menjelaskan isi cerita yang disertai pula oleh teori. Dimana sangat jelas kalau didalam penjelasan buku yang berjudul Sejarah Majalengka ini terdapat aspek tertentu yang dikembangkan, (dari Sindangkasih-Maja-Majalengka, pembentukan otonomi daerah berdampak pada perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan pembangunan diwilayah tersebut). Dalam kajian sejarah secara tematis, maka akan terlihat adanya pendekatan multidimensional. Dari pemaparan penulis sangat terlihat bahwa penulis tidak hanya menguraikan aspek sejarah, tapi juga social, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Apabila melihat buku ini sebagai bagian dari golongan sejarah lokal yang sifatnya sebagai studi umum, maka sangatlah jelas. Hal ini karena dari judul buku saja “Sejarah Majalengka”. Dari judul buku tersebut jelas kalau yang dibahas mengenai Majalengka (daerah, batasan wilayah dengan sejarah perkembangannya). Dimana pemahaman mengenai sejarah umum pada sejarah lokal itu meliputi aspek politis yang kemudian akan memberi dampak ekonom-sosial. Hal ini ditemukan karena adanya pemerintahan kolonial, maka kebijakan yang diterapkan memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat setempat. Lihat saja dengan pembagian wilayah, dan sistem pemerintahan, maka berdampak sosial dan ekonomi. Berdasarkan pengertian studi umum itu yang membahas perkembangan dari awal hingga perkembangan terbaru,maka kategori umum juga bisa dilekatkan pada “Buku Sejarah Majalengka” ini.
Isi dari buku “Sejarah Majalengka” memaparkan struktur pemerintahan, wilayah, dan kegiatan ekonomi. Selain itu terdapat sebab akibat dari peristiwa satu dan yang lain. Misalnya adanya surat keputusan pembentukan Kabupaten Majalengka, hal ini membuat Majalengka memiliki otonomi sendiri dan menata kehidupannya. Secara ilmiah sudah jelas kalau isi buku diceritakan secara kronologi, apalagi penulisnya adalah sejarawan yang menggunakan konsep dan metode ilmiah. Akan tetapi, apabila dikaji secara mendetail dari isi dan pemaparan, maka dari empat golongan diatas buku ini lebih identik masuk kedalam golongan keempat. Alasannya karena isi dari buku menceritakan perkembangan yang terjadi dari Kabupaten Majalengka, mulai dari pergantian nama Sindangkasih-Maja-Majalengka. Selain itu perubahan yang dialami oleh Kabupaten Majalengka tidak terlepas dari unsur politis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Dimana pemerintah kolonial ingin melakukan eksplorasi ke pedalaman Jawa Barat. Sehingga suatu wilayah bernama Majalengka akhirnya dibuka dan dirombak. Adanya kebijakan yang perubahan yang terlaksana tentunya akan berdampak pada kehidupan masyarakat Majalengka. Bisa dilihat dengan pembangungan fasilitas, transportasi, kegiatan ekonomi, pemerintah, dan kehidupan sosial. Dari sini lah kita bisa melihat adanya peran studi umum, karena berdasarkan pemahaman mengenai studi umum dalam sejarah lokal adalah sejarah yang terurai mengenai kegiatan politis yang berdampak pada kehidupan sosial-ekonomis.
2. Niel, Robert Van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa ( cetakan 1).
Jakarta : LP3ES.
Dari beberapa golongan studi sejarah lokal, maka buku ini dapat dikatakan memiliki studi yang menjelaskan struktur. Hal ini dilihat dari pembahasan mengenai adanya Gubernur Jenderal sebagai pemegang kekusaan tertinggi di Hindia Belanda yang kemudian mengeluarkan aturan tanam paksa. Selain itu untuk menerapkan sistemnya maka Gubernur Jenderal membutuhkan peranan dari bupati, dan disini interaksi antara bupati (supradesa). dan masyarakat yang terjalin di Pulau Jawa terlihat dari peran kepala desa. Dimana dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa bupati atau pemimpin tradisional memiliki tempat dan posisi yang dihormati. Selain itu adanya beberapa ketentuan mengenai tanam paksa, kebijakan yang dikeluarkan, tolak ukur tanam paksa, dan komponen tenaga yang dibutuhkan, maka sangat jelas kalau tiap kumpulan tulisan yang diuraikan pada tiap bab nya mengandung unsur sistem. Dimana antara satu kegiatan dan peristiwa yang terjadi tidak lepas dari struktur dan susunan yang ada. Sedangkan apabila digolongkan dalam studi tematis, buku ini juga terlihat memaparkan adanya kajian sosial dan antropologi. Bisa kita lihat dari adanya hubungan masyarakat saat itu dengan pemimpin tradisional, maupun dengan pemerintah kolonial. Bisa pula dilihat dari peraturan tanam paksa yang diperkenalkan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi di Jawa. Hal itu menggambarkan hubungan yang tercipta antara barat dan timur. Sedangkan untuk golongan ketiga yang bersifat umu, buku ini kurang mendekati kriteria tersebut, hal ini karena pembatasan wilayah mengenai kebijakan tanam paksa di Jawa pada uraian bisa dikatakan luas, mencakup pulau bukan kabupaten atau propinsi.
Kumpulan tulisan yang terdapat pada buku yang berjudul “Sistem Tanam Paksa di Jawa” ini, merupakan buku yang berisi mengenai ekploitasi yang dilakukan oleh bangsa asing/ penjajahan terhadap kekayaan sumber daya alam Nusantara melalui peranan sumber daya manusia yang ada. Dalam mempelajari sejarah lokal, maka buku ini digolongkan dalam studi sejarah lokal yang menekankan pada “evenemental” khusus. Hal ini karena studi memaparkan adanya dominasi bangsa asing melalui kekuatan politis. Dimana hal tersebut yang kemudian melahirkan sistem baru. Adanya ideologi yang mampu melahirkan peristiwa. Dimana adanya kegiatan tanam paksa yang diterapkan di Jawa kemudian akan melahirkan berbagai pemberontakan, misalnya saja pemberontakan yang dilakukan oleh petani Banten pada tahun 1888 merupakan respons atas kebijakan kolonial. Maka dari itu dua hal yang dikemukakan oleh Niel pada awal pembahasannya adalah mengenai tanam paksa sebagai sejarah orang Jawa, dan pergerakan yang terjadi dipulau Jawa pada abad ke-19 bukan bersifat holistik, akan tetapi dikatakan lokal. Buku ini lebih identik kedalam golongan sejarah lokal pada studi peristiwa khusus, walaupun pada daftar isinya ditemukan judul yang menjelaskan struktur yang dalam kaajian pembahasan memaparkan adanya sistem pemerintahan dan jaringan sosial, namun pada uraian akan terlihat mengenai kebijakan khusus yang bernama “tanam paksa di Jawa” dan kemudian dari kebijakan ini akan menghasilkan peristiwa khusus, misalnya saja pemberontakan yang terjadi di Jawa.
3. Frederick, William H. 1989. Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). (Terjemahan Oleh Hermawan).
Jakarta : Gramedia
Buku yang berjudul “Pandangan dan Gejolak ini” merupakan karya dari seorang profesor sejarah di Ohio University , Amerika Serikat. Pengalaman William H Frederick dalam menyunting buku Pedoman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, membuat ia melakukan penulisan kembali mengenai Sejarah Indonesia yang berjudul “Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)”. Adapun hasil karya yang diterbitkan dalam lima bahasa ini (Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang, dan Belanda) merupakan wujud kontribusinya dalam melakukan penulisan mengenai sejarah lokal di Indonesia.
Pada isi buku menceritakan mengenai keberadaan masyarakat Surabaya dengan struktur dan tatanan kehidupannya mulai dari masa kolonial hingga masa pergerakan. Pada pemaparan dijelaskan mengenai keberadaan kelas, golongan, peran pemuda, sistem ekonomi, pemerintahan, perebutan kekuasaan yang terlihat pada kedatangan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Diantara hal yang diuraikan pada buku ini respons masyarakat Surabaya atas kemerdekaan Indonesia lah yang merupakan bagian terpenting. Dimana semangat kemerdekaan yang ada kemudian akan terwujud pada peristiwa 10 Nopember yang sampai saat ini dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Apabila dikaji dalam sejarah lokal, maka buku ini memiliki studi yang menekankan pada struktur. Misalnya saja pada kehidupan masyarakat Surabaya terdapat adanya bagian kelas, ada yang disebut menengah, bahkan ada yang dikenal masyarakat kampung. Selain itu pada pembahasan dijelaskan mengenai keberadaan Kaum Priyayi dan perannya baik dalam pendidikan maupun dalam organisasi. Disini terlihat adanya lapisan dalam susunan masyarakat Surabaya yang berkaitan dengan kedudukan atau stratifikasi secara sosialnya. Secara tematis, maka studi yang terdapat didalam buku ini menjelaskan perkembangan yang terjadi di Surabaya, bukan hanya pada aspek politik saja, tapi juga ekonomi, dan kehidupan sosialnya. Di dalam buku diceritakan mengenai pergantian kekuasaan dari Belanda, ketangan Jepang, kemerdekaan Indonesia, hingga masuknya kembali Belanda di wilayah Indonesia. Mengenai studi sejarah umum pada buku ini juga bisa ditemui, karena buku ini memuat peristiwa lokal, yaitu di Surabaya yang sejarah daerahnya itu berdasarkan pesanan atau dorongan “nasionalisme”. Terlihat dari peristiwa arek-arek pada tanggal 10 Nopember. Sebenarnya dalam unsur studi sejarah yang bersifat umum terkadang dibutuhkan partisipasi sejarah daerah yang bersifat sejarah perjuangan. Namun pada buku ini unsur umum yang terjadi pada Surabaya (perkembangan dari masa ke masanya lebih terlihat pada politik dan perjuangan saja).
Diantara beberapa golongan studi sejarah lokal diatas sengaja tidak saya uraikan mengenai studi yang fokus pada peristiwa tertentu “evenemental
“ . Hal ini karena buku yang “Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)”.ini telah memuat persoalan mengenai struktur kekuasaan dan sistem sosial, jaringan kekerabatan, sistem ekonomi, serta nilai-nilai kultural yang dihayati. Dimana unsur tersebut tercermin dalam gejolak masyarakaat Surabaya. Nilai kultural yang tercermin dari penjelasan buku ini tentunya terlihat dari peristiwa 10 Nopember. Dimana peristiwa tersebut telah menunjukan kesadaran nasionalisme untuk mengusir penjajahan. Hal tersebut adalah wujud kecintaan warga Surabaya terhadap kemerdekaan yang diraih. Unsur nasional memang terlihat, namun peristiwa sejarah yang terjadi bersifat lokal. Disinilah bisa dilihat bahwa buku ini lebih cenderung “evenemental”, karena sebab yang ada menyebabkan terjadinya akibat. Untaian peristiwa dan sequence yang diuraikan oleh Frederick bisa digolongkan sangat panjang dan lebar. Dari awal hingga jalannya revolusi dijelaskan pada buku ini. Kekhususan peristiwa akan lebih terlihat apabila kita berpedoman pada studi evenemental itu sendiri yang memiliki ciri lahirnya pemberontakan. Disini memang bukanlah pemberontakan, akan tetapi lebih tepatnya perjuangan mengusir penjajah dan mempertahankan kedaulatan Indonesia yang dilakukan oleh rakyat Surabaya. Kesan lokal yang khusus juga akan terlihat karena peristiwa Nasional, dimana Belanda ingin menguasai Indonesia, namun menimbulkan respons di bagian wilayah Indonesia, atau propinsi yang ada, misalnya Surabaya. Kekhususan yang terlihat bukan dari kerangka struktural yang ada akan tetapi dari peristiwa yang terjadi.
4. Lapian, Andrian. B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Jakarta : Komunitas Bambu.
Bagi Lapian Indonesia merupakan kawasan negara kepulauan yang kaya akan perairan. Hal ini karena Indonesia adalah ”negara laut utama” yang ditaburi dengan pulau-pulau. (Lapian, 2009:2). Keberadaan Pulau Sulawesi yang identik dengan kehidupan laut dan perairan mendorong Lapian membuat penulisan mengenai kehidupan suku laut yang ada di Sulawesi. Adapun aspek yang dijumpai dalam pembahasan buku yang berjudul “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX” ini mencakup meengenai keadaan fisik Laut Sulawesi, penduduk, Kebudayaan Maritim, serta sejarah singkat mengenai Orang laut, Bajak Laut, Suku Laut, dan Raja Laut. Adapun penjelasan yang dipaparkan dalam buku ini merupakan fenomena historis yang menggambarkan keadaan hidup diperairan di Indonesia, lebih tepatnya Laut Sulawesi.
Buku ini merupakan buku yang penting dalam menambah wawasan sejarah kita, dimana kita ketahui bahwa Perairan Nusantara sangatlah kaya, dan kekayaan itu tidak terlepas dari adanya Perairan Sulawesi. Dengan demikian, maka akan ditemukan adanya kehidupan pada cerita Perairan Sulawesi yang berkontribusi dalam menambah sejarah kekayaan laut.
Dalam studi sejarah lokal. Adanya pembatasan wilayah, misalnya saja studi pada Perairan Sulawesi, merupakan hal yang dapat diterima dalam pelajaran ini. Hal ini karena sejarah lokal itu sendiri merupakan unit/ batasan wilayah tertentu yang didalamnya terdapat peristiwa. Untuk menggolongkan buku ini pada corak sejarah lokal, maka unsur studi pada studi khusus bisa terlihat ketika berbicara mengenai pemberontakan yang dilakukan orang laut, dan keberadaan bajak laut itu sendiri. Dimana kita ketahui bahwa adanya studi peristiwa khusus itu bisa terlihat dari adanya pemberontakan. Dimana dalam buku dijelaskan bahwa yang disebut bajak laut adalah kelompok yang melakukan kekerasan. Namun hal tersebut belum lah tentu dapat dijadikan patokan, karena pada buku ini masih terdapat dua golongan lagi yang dapat dikategorikan identik dengan buku ini, pertama studi yang menekankan pada struktur, struktur disini akan terlihat pada kehidupan masyarakat Suku Bahari yang dijelaskan. Hal ini karena terlihat susunan sosial seperti lapisan kehidupan secara sosial ditarik berdasarkan gari keturunan laki-laki. Pada suku laut laki-laki dijadikan pemimpin. Apalagi keberadaan laki-laki dijadikan penengah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Selain itu struktur yang terlihat pada penjelasan buku, terdapat susunan pemerintahan, sistem ekonomi, pengetahuan, dan hasil kebudayaan. Suku laut yang dimaksud pada susunan tersebut tentu saja tidak hanya orang laut, tapi juga bajak laut, dan raja laut. Raja Laut yang dimaksud adalah pemegang kekuasaan, misalnya pemimpin pribumi, kekuatan asing (Spanyol, Belanda, Inggris). Dari sini, maka kita akan melihat adanya susunan stratifikasi, dimana antara pribumi dan pihak asing terdapat perbedaan, dan dalam struktur organisasi yang diciptakan oleh gambaran pemerintahan tentunya menunjukan tingkatan. Sedangkan aspek tematis yang terlihat pada pembahasan tentunya akan dijumpai kehidupan sosial dimasyrakat laut, dimana kehidupan itu berjalan sesuai dengan tingkatannya, tercipta hubungan antara kelas tinggi dan masyrakat kelas menengah. Dari situ bisa dilihat kalau pada pembahahasan ini ditemukan unsur antropologi. Selain itu studi secara umum bisa dilihat dari bab pembuka dalam pembahasan yang diuraikan oleh Lapian, dimana, lapian memaparkan mengenai keadaan alam Laut Sulawesi, penduduk, dan kebudayaannya. Perkembangan yang ada sedikit diuraikan. Dari studi sejarah lokal, buku ini memiliki unsure masing-masing dari keempatnya, akan tetapi menurut pendapat saya golongan yang paling identik dengan pembahasan yang menjadi inti dari tujuan penulis tentunya akan terlihat dari studi yang menekankan pada strukturnya. Hal ini karena lahirnya Sejarah Laut Sulawesi dikarenakan kekayaan laut itu sendiri, sehingga memancing bangsa asing untuk berlomba-lomba menguasai. Unsure politik dan perebutan kekuasaan sangatlah terlihat, baik itu dalam pembahasan mengenai orang laut, bajak laut, maupun raja laut. Apalagi pada struktur yang ada sudah menunjukan diferensiasi yang menonjol antara satu kelas dangan kelas yang lain. Adanya pembagian stratifikasi sangat jelas. Walaupun dari adanya struktur tersebut menimbulkan reaksi sosial dan kelas, namun studi pada materi ini lebih menunjukan adanya struktur, baik itu dalam masyarakat pribumi secara internal, maupun dominasi yang coba diwujudkan oleh pihak asing, atau yang dikenal Raja Laut.
5. Wildan, Dadan, dkk. 2005. Sejarah Ciamis.
Bandung : Humaniora
Buku yang berjudul “Sejarah Ciamis” ini merupakan karya sejarawan yang diluncurkan pada tanggal 12 Juni 2005 bertepatan dengan hari jadi Ciamis ke-363. Adapun buku ini dibuat oleh penelitian yang dilakukan sejarawan sehingga hasil pembahasan yang diperoleh tentunya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Buku ini menjelaskan mengenai keadaan Ciamis mulai dari letak geografisnya (Sebelah Utara Ciamis berbatasan dengan Majalengka dan Kuningan, sebelah Timur : Jawa Tengah, sebelah Selatan : Samudera Indonesia, sebelah Barat : Tasikmalaya. Adapun luas Ciamis + 2. 559, 10 km2), keadaan alam (sebelah utara Ciamis memiliki ketinggian 500-1000 m dari permukaan laut, dan terdapat perbukitan dibagian tengah Ciamis) , kehidupan prasejarah (banyak peninggalan arkeologis, misalnya pada situs purbakala Tambaksari, Karang Kamulyan yang diduga sebagai peninggalan tertua dari tokoh Ciung Wanara) , maupun kehidupan sosial seperti adanya stratifikasi, dijelaskan adanya bupati sebagai pemimpin tradisional, serta dijelaskan mengenai pergantian kedudukan dari adanya jabatan bupati (misalnya R.A Anggaraya 1679-1693 yang kemudian diteruskan R. Adipati Surtadinata 1693-1706), ekonomi seperti mata pencaharian masyarakat Ciamis (di dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian kelompok masyarakat Ciamis ialah Pangasalasan, Juru Lukis, Pandai Emas, Peladang, Petani, Penjaga Keamanan, Peternak, Kelompok Rohani, Prajurit, dan sebagainya), politik yang menjelaskan mengenai hubungan yang terjalin antara Pemerintah Ciamis dengan pihak asing pada masa kolonial, (misalnya diceritakan mengenai keberadaan pemerintah kolonial yang menerapkan kebijakannya di Ciamis; kebijakan tentang penyerahan lada, penetapan wilayah Ciamis dengan menggunakan peran Bupati, peraturan-peraturan pemerintah kolonial dan sebagainya). Dari aspek keseniannya Ciamis dikenal dengan adanya Ronggeng Gunung, dan dari pendidikannya; pada tahun 1927 terdapat pesantren K.H Abidin di Maparah Kec Panjalu, dan pada tahun 1952 terdapat pesantren di Gegempalan. Sejak lahirnya Politik Ethis maka sekolah rakyat mulai dijumpai di Ciamis (1907). Sejak 1 Januari 1926 Jawa dibagi atas tiga propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Sehingga Jawa Barat dibagi lagi atas 5 Karesidenan, 18 Kabupaten, dan 6 Kota Praja.
Dari penjelasan diatas buku yang berjudul “Sejarah Ciamis” dapat dikategorikan sebagai sejarah lokal. Hal ini karena Obyek yang di bahas adalah wilayah Ciamis dengan berbagai peristiwa didalamnya. Selain itu buku ini juga memiliki corak dari golongan studi sejarah. Buku ini dapat dikatakan memiliki unsur struktur dan tematis, hal ini bisa dilihat dari adanya aspek sosial, ekonomi, politik yang dikemukaan, adapun struktur dapat terlihat dari sistem yang ada ditengah masyarakat. Contohnya tadi, pada penjelasan yang bersifat kelas sosial, pada kegiatan ekonomi ditemukan adanya ketentuan budidaya koi, dan penyerahan lada, serta kedudukan bupati dan gubernur jenderal dimasyarakat. Kedua aspek studi tersebut kita temui dalam pemaparan Sejarah Ciamis, akan tetapi studi yang paling mendekati pada materi buku ini merupakan studi sejarah umum. Hal ini karena isi dari buku ini bersifat menguraikan perkembangan daerah atau propinsi dari masa ke masa. Hal yang disampaikan oleh penulis adalah sejarah Ciamis dari awal hingg perkembangannya, dari masa prasejarah sampai sekarang ini. Bahkan ketika masuknya pengaruh komunis di Ciamis juga disampaikan oleh penulis. Terlihat bahwa bahwa penulisan ini bersifat umum, karena dampak dari politis yang dijelaskan juga memiliki pengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi. Misalnya ada pendidikan dan kegiatan ekonomi yang menggambarkan perkembangan Kabupaten Ciamis dari masa dulu ke masa sekarang.
6. Lubis, Nina H. 2003. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Indonesia : Pustaka LP3ES
=> Isi dari buku ini menceritakan Sejarah terbentuknya Banten. Dimulai dari masa pra sejarah, sejarah, keadaan Banten terbentuk, hingga terciptanya kebudayaan tertua. Selain itu, diulas juga mengenai dinamika Banten. Dalam kata pengantarnya, yang dituliskan oleh Taufik Abdullah , maka disebutkan bahwa Banten lebih dikenal oleh bangsa penjajah sebagai bangsa yang suka membantah. Kemudian lahir kata “Banten”, yang berarti bantahan walau hanya dari satu sisi.
Dalam bukunya, Nina Lubis juga menjelaskan Sejarah singkat terbentuknya Kabupaten Serang. Dimana disebutkan bahwa pusat kota Serang dibangun setelah Kesultanan Banten dibumihanguskan oleh Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Deandels pada tahun 1808 dengan dibakarnya Keraton Surosowan. Kemudian Serang ditetapkan menjadi kawasan landrosambt ( semacam pengawas ) yang meliputi Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Penataan Kota dan pembangunan kolonial dimulai sejak Belanda menempatkan residen pertama J. De Bruijn WD pada tahun 1817. Kemudian terbentuklah struktur keresidenan Banten.Penguasa tertinggi di Karesidenan adalah sekretaris residen, asisten residen, dan kontrolir. Asisten Residen dan Kontrolir biasanya ditempatkan di Kabupaten yang berfungsi sebagai pembantu Residen dalam menangani masalah pemerintahan di wilayah Kabupaten. Sedangkan penguasa tertinggi di Kabupaten adalah Bupati, yang bertanggung jawab langsung ke Residen. Dalam melaksanakan tugasnya, Bupati dibantu oleh patih, wedana, asisten wedana, dan Lurah. Dari penjelasan di atas, maka disimpulkan bahwa Buku tersebut merupakan study Sejarah Lokal yang menekankan pada struktur
Pada bab terakhir, dijelaskan mengenai perjuangan masyarakat Banten untuk mendapatkan Kebebasan dari Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa isi dari buku ini menjelaskan juga mengenai study yang difokuskan pada suatu peristiwa.
Sedangkan secara keseluruhan isi buku, Banten Dalam Pergumulan Sejarah merupakan study sejarah umum dalam lingkup Sejarah Lokal. Dimana dijelaskan dari zaman pra sejarah, sejarah ( yaitu kedatangan penjajah dari mulai Belanda sampai Jepang ) hingga Perkembangan Banten hingga saat ini yang ingin melepaskan diri dari Provinsi Jawa Barat.
=> dari penjelasan diatas, maka sangat terlihat bahwa buku ini merupakan studi sejarah lokal. Hal ini karena peristiwa yang dipaparkan merupakan peristiwa lokal dengan Banten sebagai batasan wilayahnya. Diantara corak studi diatas, maka buku ini tentunya identik sebagai studi sejarah lokal yang bersifat sejarah umum. Hal ini karena pemaparan yang dilakukan penulis bertujuan untuk menceritakan Banten dari masa awal hingga kejadian-kejadian yang ada didalamnya. Memang aspek struktur dan temati dipaparkan oleh penulis. Namun apabila kita mengkajinya lagi maka studi yang dimaksud oleh penulis ialah sejarah secara umum mengenai perkembangan suatu kabupaten atau Propinsi Banten. Dimana didalam buku ini terlihat jelas bahwa adanya sistem politis yang kemudian mengubah tatanan kehidupan yang kemudian menghasilkan perkembangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar