Tugas 3 Kamis, 30 September 2010
Oleh : kelompok 4
1. Merlina Agustina Orllanda (18031008002)
Abdulah, Taufik (ed). 2005. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sejarah lokal (daerah) merupakan sejarah dari daerah daerah-daerah administratif. Sejarah lokal dapat pula dikatakan sebagai pelengkap dari sejarah nasional, akan tetapi sejarah lokal itu tergantung dari pembatasan ruang lingkup geografisnya. Hal ini bertujuan untuk menghadapkan kita kepada manusia secara langsung dan intim. Sehingga sejarah lokal harus mempunyai otonomi untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi sejarah nasional untuk lebih idealistis lagi. Selain itu mempelajari sejarah lokal berperan untuk memperdalam pengetahuan tentang manusia. Hal ini karena sasaran sejarah lokal merupakan ruang lingkup geografi yang tentunya akan berkaitan erat dengan sejarah sosial. Maka dari itu sejarah lokal harus memperhitungkan peranan, jaringan, bergantung pada aktor sosial, semua dilihat dari hubungan sebab-akibat dan kerangka sosial kultural sebagai peristiwa.
Untuk memahami sejarah lokal, maka terlebih dahulu harus mengetahui tipe-tipe dari sejarah lokal. Adapun tipe sejarah lokal dan contoh bukunya adalah sebagai berikut :
1. Tipe Sejarah Lokal Tradisional (naratif), berkaitan dengan historiografi tradisional yang
difokuskan pada sekitar keraton.
Florida, Nancy. ”Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang”.
Yogyakarta : Bentang Budaya
(oleh : Eva Wati)
Dalam buku ”Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang” ini menggunakan sumber berupa babad, yaitu Babad Jaka Tingkir. Jaka Tingkir merupakan tokoh penting dalam sejarah Jawa. Kisah – kisah hidup dan kejayaan petualangannya cukup luas dalam arsip – arsip kesastraan Jawa. Dimana kisahnya menduduki tempat yang paling menonjol dalam tradisi – tradisi lisan yang telah mewarnai kesadaran kesejarahan Jawa.
Jaka Tingkir dalam tradisi kesejarahan memiliki prilaku prihatin, pembuangan, buaya – buaya yang merangsek, banteng yang mengamuk, daun sirih yang mematikan, serta Kerajaan Pajang di Jawa Tengah yang telah ia dirikan. Pajang terletak beberapa kilometer di sebelah barat kota Surakarta saat ini. Kerajaan Islam yang pertama di pedalaman Jawa. Kerajaan Pajang didirikan dan mengenyam masa keemasan yang singkat pada paruh kedua abad keenam belas. Setelah kedua orang tua Mas Krebet meninggal, ia dibesarkan oleh seorang Janda yang bernama Ni Ageng Tingkir yang tinggal di Desa kecil Tingkir, di Lereng Gunung dekat Salatiga, karenanya ia diberikan nama Jaka Tingkir. Laku prihatin yang dijalankan atas saran ibunya, kemudian Jaka Tingkir berguru pada Ki Ageng Sela (seorang Kiai di suatu desa kecil yang terletak di Tenggara Demak ). Kiai tersebut merupakan Guru Agama Islam sekaligus leluhur langsung dari Dinasti Mataram. Kiai tersebut menyarankan Jaka Tingkir untuk mengabdi pada Kerajaan Demak karena ia yakin bahwa Jaka Tingkir kelak menjadi Raja. Sebelum berangkat menuju ke Demak, Jaka Tingkir kembali ke rumah untuk berpamitan dengan ibu angkatnya dan membantu ibunya menyiangi rumput di Sawah. Saat itulah muncul seorang yang tak dikenal, yaitu Sunan Kalijaga. Ia memberikan saran kepada Jaka Tingkir untuk meninggalkan pekerjaan rendah yang dianggap tidak sesuai dengan martabat seorang calon Raja.
Jaka Tingkir pun berangkat ke Demak untuk kemudian diterima sebagai Abdi Kerajaan melalui koneksi ibu angkatnya. Setelah itu, ia pun naik pangkat. Kemudian Jaka Tingkir pun menjadi panglima pasukan elite Sultan Trenggana. Tak lama kemudian Sultan tersebut menunjuk Jaka Tingkir untuk menguji para pelamar yang ingin menjadi bagian dari anggota pasukan elite. Salah seorang bernama Dhadhungawuk yang bertampang buruk dan menyeramkan memberanikan diri maju untuk diuji. Di lain pihak, Jaka Tingkir merasa muak dengan tampang sang pelamar, seperti menusuknya dengan sadak ( tusuk konde/dalam penggunaan modern, gulungan daun sirih ). Kemudian Dhadhungawuk tewas. Disertai dengan perintah Tingkir, tubuh Dhadhungawuk dicincang oleh para pengawal. Hal tersebut segera diketahui oleh Sultan Trenggana. Sultan tersebut merasa takut ketika berita kekejaman itu sampai ke telinganya. Jaka Tingkir pun dilucuti dari segala jabatannya dan dibuang dari Negerinya. Setelah masa sulit yang dilalui Jaka Tingkir, akhirnya ia pun bergabung dengan jaringan Para Kiai Jawa Tengah bagian Selatan ( yang pernah berhubungan dengan mendiang ayahnya). Atas saran mereka, dia memutuskan untuk kembali ke Demak dan meraih kembali gelar Sultan. Dalam perjalanannya ke Utara dengan rakit di Bengawan Solo, akhirnya ia berhasil mengalahkan pertarungan dengan Raja Buaya beserta bala tentaranya di tempat yang dekat kota Surakarta saat ini. Karena hal tersebutlah, buaya – buaya itu menjadi tunduk kepada JakaTingkir dan membawanya sampai di tempat dekat istana Pesanggrahan Sultan yang ada di Timur, ibu kota Demak. Berdasarkan teks dari tradisi yang dominan, Tingkir menggunakan muslihat licik untuk meraih kembali posisinya di istana. Dengan azimat yang diperoleh dari salah satu Kiai, Tingkir pun membuat gila salah seekor Banteng dan dia giring agar menyerang Pesanggrahan. Para prajurit Sultan tak ada yang berhasil menghadapi serudukan sang Banteng. Hanya Jaka Tingkir lah yang mampu menyelamatkan Sultan dari serangan Banteng tersebut (dengan diam – diam, ia mengambil azimat dari mulut banteng). Tak lama, Sultan pun mengangkat Jaka Tingkir sebagai Adipati untuk wilayah Pajang serta memberikan anaknya dipersunting sebagai ucapan terima kasihnya. Hanya sepeninggal Sultan Trenggana lah, Sang Adipati Pajang ini menundukkan diri sebagai penguasa seluruh Jawa. Tak lama kemudian kekuasaan yang baru diraih tersebut ditentang oleh seorang keturunan Demak. Meskipun demikian, pihak Pajang lah yang memenangkan perang dengan mendapat dukungan dari Lingkaran Kecil Abdi yang setia (juga dengan menggunakan muslihat licik). Hal menonjol dari para abdi tersebut adalah Ki Ageng Pemanahan (Cucu Ki Ageng Sela ) dan Puteranya, Lor ing Pasar. Kemudian Sultan Pajang (yaitu mantan Jaka Tingkir) memberikan sepenggal ”Hutan Mataram” kepada Pemanahan untuk kemudian dijadikan tempat berkuasanya sebagai Ki Ageng Mataram. Putra Mataram (Lor ing Pasar) diangkat sebagai anak oleh mantan Jaka Tingkir. Pada saat dewasa, anak tersebut dikenal sebagai Panembahan Senapati yang nantinya menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul ( makhluk halus penguasa Laut Selatan). Akhirnya, ia membentuk Kerajaan Mataram dan mengakhiri hegemoni Pajang. Mantan Jaka Tingkir (Sang Adipati Pajang ) wafat sebagai orang yang gagal dan putus asa. Anak kandungnya menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Pajang, yang mana kedudukannya itu berada di bawah kekuasaan (hegemoni) Mataram. Demikian Cerita mengenai Jaka Tingkir. Adapun kelemahan dari Jaka Tingkir yang dikisahkan dalam tradisi dominan tersebut adalah bila berhadapan dengan perempuan cantik, sehingga bisa jadi ia wafat karena hal tersebut.
Dari penjelasan di atas, maka babad Jaka Tingkir digolongkan dalam jenis sejarah lokal Tradisional. Dimana dijelaskan terdapat unsur mitos di dalamnya yang berfungsi untuk legitimasi kekuasaan yang difokuskan sekitar Kerajaan Pajang dan Demak. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai Jaka Tingkir yang ingin membela Kerajaan yang diwariskan ayahnya dan ingin merebut kembali haknya dengan motivasi dari Sunan Kalijaga. Hal tersebut digolongkan dalam sejarah lokal Dilentatis yang terus berkembang hingga kini.
Maria, Siti (ed). 1992. Babad Panjalu (proyek penelitian).
Jakarta : Depdikbud
(oleh :Merlina)
“Babad Panjalu” merupakan karya sastra sejarah yang berasal dari Jawa Barat. Di dalam buku “Babad Panjalu” yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini menceritakan kisah berdirinya Negeri Panjalu dan menggambarkan silsilah dari penguasanya (terutama mengenai para bupati yang pernah memimpin Panjalu). Hal ini terlihat pada permulaan babad yang menggambarkan penemuan warisan pusaka oleh keturunan dari Bupati Panjalu terdahulu. Di dalam babad dipaparkan bahwa Bupati Panjalu yang dimaksud adalah bupati yang diperkirakan meninggal pada usia 100 tahun (sekitar tahun 1851). Selain itu dijelaskan bahwa nama keturunan bupati yang kelak menyalin naskah babad ini bernama Prajadinata (yang menjadi kemudian menjadi lurah di Mawarah). Adapun isi buku yang ditinggalkan memuat tentang asal usul telaga Lengkong yang ditujukan agar sejarah tersebut dapat ditularkan kepada keturunan mendatang. Dengan demikian maka Prajadinata akhirnya selesai melakukan penyalinan naskah pada tanggal 10 Juli 1905 dan kemudian mendapat penghargaan dari Sri Maharaja pada 14 Desember 1905. Dari hasil bacaan yang diperoleh, maka “Babad Panjalu” ini diawali dengan kisah mengenai kepemimpinan seorang bupati pertama yang memimpin Panjalu. Adapun bupati yang begitu diagungkan oleh rakyatnya tersebut ialah Prabu Boros Ngora. Prabu Boros Ngora merupakan pemimpin Panjalu yang disebut melanjutkan tahta ayahnya. Sedangkan Negeri Panjalu disebut sebagai pusaka yang diwariskan terhadap Prabu Boros Ngora. Dibawah kepemimpinan Prabu Boros Ngora, Negeri Panjalu menjadi kaya raya, subur tanpa ada kekurangan. Hal ini karena semua keinginan rakyat dapat terpenuhi pada masa itu. Selain itu Prabu Boros Ngora digambarkan sebagai sosok pemimpin yang baik hati, tidak pernah mencela pekerjaan rakyatnya. Sehingga sangat diharapkan oleh penyalin naskah Panjalu (keturunan bupati) agar kemurahan hati dan watak dari sang Prabu ini dapat dikenal sampai keanak cucunya. Terciptanya kemakmuran Panjalu pada masa kepemimpinan Prabu Boros Ngora dapat dilukiskan dengan keberadaan telaga luas yang bernama Lengkong. Adapun telaga tersebut diperkirakan memiliki luas 140 bata atau 14 m2 pada masa itu. Dengan adanya Situ Lengkong, maka terdapat pula Nusa (pulau) ditengahnya. Dengan adanya Nusa maka terdapat pula jembatan Cukang Padung yang berperan untuk menghubungkan orang-orang agar dapat menuju Nusa. Adanya dua lokasi berupa Lengkong dan Nusa diatas merupakan wujud dari kekayaan Negeri Panjalu saat itu. Hal ini karena keberadaan Lengkong saat itu identik dengan banyak ikan didalamnya, dan Nusa sendiri berisikan hasil alam yang melimpah ruah seperti tumbuh-tumbuhan, bunga-bunga, dan buah-buahan (Mangga dan sebagainya). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nusa dan Lengkong merupakan peninggalan Panjalu yang sampai saat ini masih bisa dijumpai oleh keturunan pemimpin Panjalu. Prabu Boros Ngora adalah pemimpin rakyat Panjalu dan sosok ayah penyayang bagi kedua puteranya. Kedua pangeran yang dimaksud adalah Raden Aria Kuning (putera sulung) dan Raden Aria Kencana (putera bungsu). Adapun Raden Aria Kencana sangat menyukai bercocok tanam, sehingga di Panjalu ditemukan Nusa Pakel yang dikenal sebagai tempat rekreasi. Pada masa dulu, tempat ini dikenal sebagai tempat pangeran bungsu menanam buah-buahan seperti Mangga. Pada suatu hari, Prabu Boros Ngora merasa dirinya sudah cukup umur untuk memimpin Panjalu. Maka dari itu sang bupati ingin beristirahat dari kedudukannya. Prabu Boros Ngora berniat untuk menyerahkan tahta kepemimpin kepada putera sulungnya. Saat itu diadakan musyawarah dengan Patih, Sesepuh dan rakyat Panjalu. Adapun hasil musyawarah sepakat untuk menuruti keinginan Prabu Boros Ngora. Hal ini karena penghuni Panjalu sangat menghormati keputusan Prabu Boros Ngora yang dianggap telah banyak berjasa dalam memimpin Negeri dan rakyat Panjalu. Singkat cerita, akhirnya dilantik lah Raden Aria Kuning sebagai pemimpin Panjalu yang menggantikan tahta Prabu Boros Ngora. Pada pergantian tersebut diserahkanlah pusaka berupa sebilah pedang, kain cita, lonceng, emas, uang dan Negeri Panjalu yang kaya raya. Harapan dari penyerahan tersebut agar amanah yang diberikan dapat dirawat dan diturunkan kepada anak cucu kelak. Peresmian diadakan pada hari Senin, dan pada hari Kamisnya Prabu Boros Ngora melaksanakan pindah ke Jampang. Raden Aria Kencana ikut dibawa pindah ke Jampang, hal ini berkaitan dengan kepribadiannya yang kreatif dan suka bertani. Sehingga diharapkan agar dapat mengolah dan membuka Negeri Jampang. Pada kenyataannya kedatangan pasukan dari Panjalu ini disambut dengan suka cita di Jampang. Sepeninggalan Prabu Boros Ngora ke Jampang, maka Raden Aria Kuning akhirnya mengemban amanah yang telah diberikan kepadanya. Kepemimpinannya membawa Negeri Panjalu menjadi negeri yang lebih makmur dari sebelumnya. Hal ini karena Raden Aria Kuning memimpin secara adil tanpa pilih kasih. Sosok Raden Aria merupakan pemimpin yang tidak membedakan rakyat. Dengan demikian, maka rakyat yang dipimpinnya hidup secara rukun, kaya raya dan banyak harta benda. Suatu ketika Raden Aria Kuning berniat untuk menguras Situ Lengkong. Sebagai seorang anak yang menghormati ayahnya maka Raden Aria tidak berani melaksanakan keinginannya tanpa memperoleh izin dari sang ayah. Maka itu akhirnya Raden Aria mengutus Ki Buni Sakti untuk menyampaikan keinginan tersebut kepada Prabu Boros Ngora yang ada di Jampang. Setelah amanah disampaikan akhirnya Prabu Boros Ngora menyetujui keinginan putera sulungnya tersebut, akan tetapi ia berpesan belum tentu bisa menghadiri acara pengurasan Situ Lengkong Tersebut. Prabu Boros Ngora memberikan pesan bahwa ia akan mengutus Raden Aria Kencana apabila ia berhalangan hadir ke Panjalu. Apa yang dipesankan dari Jampang akhirnya disampaikan Ki Buni Sakti kepada Raden Aria Kuning. Pada saat itu Raden Aria Kuning terlihat tidak sabar dan agak kurang sopan kepada Ki Buni Sakti yang umurnya lebih tua. Dalam diri pemimpin muda itu hanyalah ketergesaan dan keinginan untuk menguras Lengkong. Sementara di Jampang, telah disiapkan pasukan untuk mengiringi Raden Aria Kencana untuk menghadiri acara pengurasan Lengkong. Saat itu Raden Aria didampingi oleh dua panglima perang yaitu Kodal dan Kojal. Sebelum berangkat Prabu Boros Ngora berpesan kepada putera bungsunya agar dapat menjaga sikap ketika di Panjalu, mampu menghormati Raden Aria Kuning sebagai Bupati Panjalu, maka itu diharapkan agar dapat membantu dan tidak mengecewakan. Sebelum pasukan Aria Kencana tiba di Panjalu kegiatan untuk menguras Situ Lengkong telah dilaksanakan terlebih dahulu. Tiga malam sudah rakyat dikerahkan untuk membersihkan Lengkong. Sebenarnya dalam hati Raden Aria Kuning merasa cemas, hal ini karena ia terlalu diburu waktu dalam menunggu kedatangan adiknya dan ia merasa takut kalau Raden Aria Kencana nantinya merasa sakit hati. Saat rombongan dari Jampang tiba di Panjalu dan saat Raden Aria Kencana berhadapan dengan Raden Aria Kuning timbul suasana tidak enak. Disatu sisi Raden Aria Kuning berusaha menghindar karena malu dan tidak enak hati, namun sikap tersebut justru menimbulkan salah tafsir dari Raden Aria Kencana. Saat itu Raden Aria Kencana merasa bahwa kehadirannya dan rombongan dari Jampang sama sekali tidak dihargai. Alasannya bukan hanya karena pengurasan Lengkong yang dilakukan lebih dulu, akan tetapi juga saat pasukan dari Jampang tiba di Panjalu merasa tidak mendapat sambutan, malah rakyat yang ada sibuk dengan menangkap ikan dan urusan sendiri. Tidak mungkin berharap untuk disambut dan dihormati, Raden Aria Kencana malah merasa terhina saat melihat fenomena rakyat Panjalu yang tidak mampu lagi untuk menutupi rasa malu (hanya karena ikan yang diperebutkan lupa akan tradisi dalam menyambut bangsawan). Selain itu, hal yang paling membuat Raden Aria Kencana naik pitam ketika mendapat sikap dingin dari kakaknya. Ia merasa bahwa kedatangannya dari Jampang untuk memenuhi utusan ayahnya agar dapat membantu kegiatan di Panjalu, namun dengan perlakuan yang ia terima dan rasa dalam hatinya membuat Raden Aria Kencana tidak dibutuhkan. Sehingga ia pun tidak sudi untuk mengalah, hati dan jiwa sang pangeran telah dipenuhi emosi. Maka dari itu akhirnya Raden Aria Kencana menanjak bukit, menurut isi buku “Babad Panjalu” ketika itu Aria Kencana membongkar tanah dari bukit. Pada saat itu puncak bukit dikeduk dengan kedua tangannya sehingga air meluap dan memenuhi Situ Lengkong. Adapun keadaan disekitar pekerja yang akan menguras Lengkong menjadi kacau, suasana heboh dan air pun sampai ke kepala Prabu Anom Aria Kuning. Keadaan yang kacau akhirnya membuat Raden Aria Kuning mengutus Ki Buni Sakti untuk menyelidiki hal yang telah terjadi. Adapun hal yang dimaksud kalau tanggul yang dibuat jebol, maka dari itu Raden Aria meminta untuk dicari tahu apakah telah terjadi tanah longsor. Saat diselidiki, ternyata ditemui bendungan yang sudah rusak dan didekatnya ditemukan pula Raden Aria Kencana yang sedang duduk. Saat itu Raden Aria Kencana mengakui perbuatannya dan dengan lantangnya ia menyampaikan pesan kepada Ki Buni Sakti berupa tantangan kepada Raden Aria Kuning. Awalnya Ki Buni Sakti sudah menasehati bahwa perbuatan demikian adalah tidak baik, namun ternyata Raden Aria Kencana semakin manjadi dan menunjukan sifat egoisnya. Sekembalinya Ki Buni Sakti dari bendungan yang rusak, ia menyampaikan pesan yang diperolehnya dari Raden Aria Kencana. Saat itu Raden Aria Kuning tidak dapat lagi menahan kelakuan adiknya, dengan emosi yang tidak kalah dari Raden Aria Kencana akhirnya pemimpin Panjalu tersebut menanggapi niat berperang. Sebenarnya peperangan tersebut sudah dilarang oleh Kakek Den Patih, namun akhirnya perang saudara itu tetap berlangsung. Raden Aria Kencana seolah menantang, ia naik dan meluap-luap diatas bukit. Saat itu pasukan Jampang dan Panjalu bertempur satu sama lain. Adegan peperangan kakak adik ini perang menggambarkan peristiwa menusuk, menangkis, dan menyebabkan banyak sekali korban berguguran dalam peperangan ini. Adapun darah yang mengalir sudah tidak bisa dielakan lagi (adanya daerah Ranca Beureum merupakan tempat mengalirnya darah yang menjadi korban). Pada akhir perang terdapat pertarungan antara kedua putera Prabu Boros Ngora ini. Keduanya sama-sama hebat dan sama-sama tidak bisa terkalahkan. Peristiwa saling tusuk dan saling bunuh itu disaksikan banyak orang (baik rakyat Panjalu maupun rombongan dari Jampang). Keadaan demikian membuat Ki Buni Sakti pergi ke Jampang dan memberitahu keadaan sebenarnya kepada Prabu Boros Ngora. Prabu saat itu memanggil Raden Kampuh Jaya untuk menengahi konfik tersebut. Raden Kampuh Jaya dan Ki Buni Sakti kemudian pergi menuju Panjalu dengan amanah agar membawa pulang ke Jampang pihak yang kalah dan menetapkan yang menang untuk tinggal di Panjalu. Setiba di Panjalu Raden Kampuh Jaya akhirnya melaksanakan tugasnya. Ia menyelidiki asal terjadinya perang, selain itu Raden Kampuh Jaya mempertemukan Raden Aria Kencana dan Raden Aria Kuning untuk meminta alasan dan kejelasan dari masing-masing. Dari adanya pertemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pangeran ini sadar bahwa tindakan mereka adalah salah, mereka menunjukan penyesalan dan mengakui bahwa diri mereka telah dikuasai oleh emosi. Dengan demikian akhirnya Raden Kampuh Jaya memahami kejadian sebenarnya. Berdasarkan perintah Prabu Boros Ngora, maka Raden Aria Kencana yang kemudian ditetapkan sebagai Bupati Panjalu, sedangkan Raden Aria Kuning akan dibawa ke Jampang (hal ini karena pada perang pasukan Raden Aria Kuning yang paling banyak berguguran). Setelah Raden Aria Kencana diresmikan sebagai Pemimpin Panjalu yang baru, maka Raden Kampuh Jaya membawa Raden Aria Kuning untuk pulang ke Jampang. Raden Aria Kuning yang merasa bersalah dan tidak siap untuk bertemu sang ayah di Jampang tiba-tiba melarikan diri diperjalanan (diduga ia lari ke Sukapura dan kelak menjadi Bupati di Cilangkung). Setibanya di Jampang Raden Kampuh Jaya menyampaikan peristiwa yang terjadi diperjalanan, namun tanggapan dari Prabu Boros Ngora adalah pasrah. Saat itu ia menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Yang Maha Kuasa. Di Negeri Panjalu, rakyat yang hidup dibawah pimpinan Raden Aria Kencana mengalami kemakmuran, namun demikian Prabu Boros Ngora merasa bahwa anak bungsunya tersebut masih memiliki sifat kekanak-kanakan, maka dari itu ia mengutus Raden Kampuh Jaya untuk tinggal bersama Raden Aria Kencana di Panjalu. Adapun keinginan Prabu Boros Ngora agar Raden Kampuh Jaya dapat membimbing Raden Aria Kencana sebagai pemimpin Panjalu. Dengan demikian maka nama Raden Kampuh Jaya diubah menjadi Raden Guru Haji. Nama pemberian Prabu Boros Ngora tersebut akhirnya memulai pengabdian Raden Guru Haji terhadap Raden Aria Kencana. Dibawah bimbingan Raden Kampuh Jaya, Raden Aria Kencana akhirnya berhasil memimpin Panjalu, namun sengat disayangkan dengan kekayaan yang melimpah ruah Raden Aria Kencana jadi lupa keimanan dan jadi tidak tahu tata hormat. Apabila pemimpinnya demikian, maka rakyatnya tidak akan jauh berbeda. Hal ini membuat Prabu Boros Ngora bersedih, ia menyesali keadaan anaknya yang tidak lagi sholeh. Bagi Prabu Boros Ngora harta dan kekayaan hanyalah penyakit yang membuat pikiran. Pada perkembangan Panjalu selanjutnya, sebelum Raden Aria Kencana meninggal, ia berpesan kepada patih untuk menyerahkan anak-anak dan mengurus, serta merawat harta kekayaan. Selain itu ia berpesan agar tahtanya diserahkan kepada Sanghyang Teko (anak pertamanya yang terkenal dengan nama Dalem Cilangkung) untuk diserahi Kabupaten. Pemimpin tersebut juga berpesan agar kelak dimakamkan disebelah Timur Perkampungan Munar (Perkuburan Nusa ini). Sepeninggalan sang ayah keadaan anak-anak yang ditinggalkan tidak memperdulikan orangtua yang baru wafat (mereka sibuk memperebutkan harta warisan yang ditinggalkan). Namun demikian, berdasarkan amanah raja kepada Den Patih, maka tahta memimpin diserahkan kepada Dalem Cilangkung (pada masa kepemimpinanya rakyat dan pengawal patuh sehingga Panjalu makmur). Selain dari uraian diatas, maka silsilah pemimpin Panjalu berikutnya akan diteruskan oleh keberadaan Tumenggung yang mempunyai dua orang putera (Raden Dulang Kancana dan Raden Kadaliru). Saat Tumenggung ini ingin pensiun ia pun sama dengan pemimpin Panjalu sebelumnya, yaitu mengadakan musyawarah dengan sesepuh untuk menyerahkan tahta kepada puteranya. Adapun tahta kepemimpinan Panjalu akhirnya diserahkan kepada Raden Dulang Kencana dan tak lama kemudian ayah sang bupati akhirnya meninggal. Sepeninggalan ayahnya kedua kakak beradik yang ditinggalkan hidup rukun dan damai. Suatu ketika sang kakak berniat menyerahkan tahta kepada adiknya. Saat itu Raden Kadaliru tidak dapat menolak keinginan Sang Prabu. Seiring waktu yang berputar Raden Kadaliru akhirnya merasa untuk melepaskan jabatannya dan kemudian jabatan bupati digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Marta Badadahin (Den Marta Baya Tumenggung). Tak lama setelah penyerahan jabatan akhirnya Raden Kadaliru wafat. Kelanjutan dari kepemimpinan Panjalu kemudian digantikan oleh Raden Arya Nati Baya (Putera Den Marta Baya Tumenggung). Adapun Raden Arya Nati Baya memiliki dua orang putera yaitu Dalem Sumalah (putera sulung) dan Arya Sacanata. Ketika Raden Arya Nati Baya wafat maka Raden Dalem Sumalah diangkat sebagai pengganti ayahnya. Kepemimpinan Dalem Sumalah hanya berlangsung tiga tahun (setelah tiga tahun ia tiba-tiba wafat), maka dari itu akhirnya Arya Sacanata mengambilalih kepemimpinan Panjalu. Beralih dari Raden Arya Sacanata, maka tahta kemudian diserahkan kepada kemenakannya Raden Wira Baya (Putera Dalem Sumalah yang ketika ayahnya meninggal masih berusia kecil). Sementara Arya Sacanata akhirnya pergi ke Ganda Kerta suatu tempat pertapaan (didalam cerita babad sedikit disinggung bahwa disana tempat ditinggalkan puteranya yang masih kecil, yaitu Raden Wira Dipa).Dari masa ke masa Negeri Panjalu yang diceritakan selalu mengalami pergantian pemimpin yang mampu memberikan kemakmuran terhadap kehidupan rakyat. Hal ini juga terjadi ketika peralihan kepemimpinan dari Raden Wira Baya kepada puteranya Raden Wira Praja. Dalam kisah Panjalu digambarkan mengenai Den Wira Jaya Wira Dipa yang memiliki seorang putera bernama Cakranagara. Adapun Cakranagara adalah pemuda yang baik pekertinya, ia amat disukai oleh bupati saat itu. Sehingga ketika Raden Wira Praja wafat, maka Cakranagara diangkat menjadi bupati Panjalu. Suatu hari Panjalu digemparkan oleh keberadaan Harimau, untungnya hal tersebut bisa diatasi. Hal ini tentunya berkat Mas Warga Naya (Ki Malim;orang yang dapat menundukan hewan) dan Den Patih. Pemimpin Panjalu Den Tumenggung Cakranagara adalah pemimpin yang sangat rajin dan suka menuntut ilmu. Suatu hari ia pergi berkelana ke Cirebon. Tabiat baik dan rajin menuntut ilmu yang dimiliki Cakranagara membuat ia sangat disayangi Sultan Cirebon, maka dari itu akhirnya Cakranagara dinikahkan dengan Den Salengga Anom (kemenakan Sultan). Adapun pernikahan merupakan saran dari putera Sultan Cirebon yang bernama Demang Gajipura Sepuh. Setelah pernikahan maka pindahlah Den Tumenggung ke Panjalu. Di Panjalu Den Salengga Anom melahirkan anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Barsalam (diperkirakan lahir 1765). Adapun nama merupakan akulturasi yang ada antara Cirebon dan Panjalu. Di usia 24 tahun anak tersebut diangkat menjadi bupati dan berganti nama menjadi Den Cakranagara Anom. Tidak lama kemudian pun, maka sang ayah akhirnya wafat. Pada tahun 1810 terdapat seseorang yang lama menjabat sebagai Tumenggung dan diduga menjadi bupati selama tiga puluh tahun. Ketika tahun 1819 bupati tersebut menerima pensiun. Sejak saat itu tidak ada lagi yang menggantikan untuk menjadi bupati. Hal ini membuat Panjalu menjadi distrik dan banyak yang pindah ke Galuh. Dengan demikian, maka wilayah Galuh menjadi sangat luas. Saat itu Panjalu dan Kawali adalah kawasan Galuh (hal ini sampai sekarang). Diperkirakan bupati terakhir dari Panjalu memegang masa pensiun selama tiga puluh tiga tahun. Bupati ini memiliki dua belas orang anak (ia merupakan ayah yang selalu memberi nasihat dan petuah kepada anaknya). Tak lama bupati meninggal, maka terdapat salah seorang anaknya yang kelak akan menjadi lurah (sekitar 1868). Dalam menjalankan tugasnya keturunan Bupati Panjalu ini menjabat selama tiga puluh delapan tahun (ia dikenal dengan Prajadinata). Dari adanya pusaka yang ditinggalkan akhirnya ia berusaha untuk mempelajari Bahasa Sunda (walau terkesan kasar dan jelek). Adapun tujuannya untuk menjelaskan kepada anak cucu kelak mengenai keberadaan tokoh-tokoh penguasa Panjalu dan kebenaran keberadaan desa Panjalu di masa lalu.
Dari ringkasan isi buku diatas, maka buku ini digolongkan sebagai karya sejarah lokal yang bertipe sebagai sejarah lokal tradisional. Sebenarnya karya ini bisa dikatakan sebagai karya sastra sejarah atau dikenal dengan historiografi tradisional, hal ini karena Karya-karya sastra sejarah (historiografi tradisional) seperti babad, wawacan, carita, sajarah, dan lain-lain amatlah kaya dengan data yang secara implisit terkandung didalamnya, khususnya mengenai aspek sosio –kultural yang berlaku pada masa itu. (Herlina, 1998: 14). Didalam buku ini diceritakan mengenai kehidupan suatu daerah dengan keberadaan pemimpin. Buku ini menceritakan mengenai adanya pergantian pemimpin serta lika luku menjelang pergantian pemimpin. Atau lebih jelas digambarkan mengenai adanya pergantian tahta, baik itu secara damai dan adapula dengan menceritakan emosi. Selain raja/ bupati, pada buku ini juga dikisahkan mengenai kehidupan rakyat, bagaimana kebudayaa dan kehidupan sosialnya. Semua diuraikan dalam buku ini. Dikatakan sejarah lokal tradisional karena didalamnya menceritakan tentang suatu Negara, pemimpin, dan rakyat. Pusat penulisan difokuskan pada keraton atau kerajaan yang didalamnya terdapat beberapa uraian yang menggambarkan adanya legitimasi kekusaan. Hal demikianlaah identik dengan karya-karya tradisional. Dimana dalam ceritanya terdapat peristiwa masa lalu yang sifatnya masih alami/ tradisional (bisa dikatakan kuno atau terdapat pula unsur magis).
2. Tipe Sejarah Lokal Dilentatis (berkembang), didalamnya memuat kepentingan pendidikan (memupuk nasionalisme, cinta tanah air) yang terdapat ideologi untuk menggiring seseorang kepada kepentingan dan keinginan tertentu.
Lubis, Nina H. 2001. “Konflik Elite Birokrasi; Biografi Politik R.A.A Martanagara”.
Bandung : Humaniora Utama Press
(oleh :merlina)
Buku ini merupakan karya sejarah lokal. Hal tersebut karena pembahasan yang dilakukan penulis terbatas pada ruang lingkup yang difokuskan untuk Elite Birokrasi Kabupaten Bandung. Buku ini menguraikan mengenai awal berdirinya Kota Bandung dengan struktur pemerintahannya. Di dalam buku diceritakan mengenai keadaan Bandung dengan berbagai aspek didalamnya. Adapun aspek yang diuraikan mencakup keadaan geografi, sosial, ekonomi, dan politik. Dalam buku ini kegiatan yang berhubungan dengan politik adalah hal yang paling dikemukakan. Dimana yang menjadi obyeknya ialah keberadaan sosok Bupati yang memimpin Kota Bandung. Pada masa Daendels (1808) pembagian wilayah di Priangan ditujukan untuk memilah daerah penghasil kopi. Dengan adanya pembagian tersebut tentunya akan memberikan keuntungan terhadap pihak kolonial. (Herlina, 2001:22). Adanya pembagian wilayah tentunya akan menunjukan peran dari keberadaan Bupati. Akan tetapi pada masa Dandel kedudukan Bupati tidak berperan besar sebagai pemimpin tradisional yang memegang kekuasaan. Hal ini karena sejak masa Hindia Belanda Bupati yang diangkat hanya menerima gaji dan diawasi oleh pemerintah pusat. (Herlina, 2001:3). Dengan dihapuskannya Preangerstelsel pada tanggal 1 Januari 1871 menyebabkan terjadinya Reorganisasi. Hal ini terlihat dengan terbaginya Priangan menjadi Sembilan affdeling yang tiap wilayahnya dipimpin oleh asisten residen. (Herlina, 2001:4). Akan tetapi diantara afdeling tersebut masih ada yang bersatu dengan kabupaten, dan ada yang berdiri sendiri. Bandung pada masa itu termasuk pada golongan pertama. (Herlina, 2001:4). Maka dari itu kedudukan Bupati di Bandung masih memegang peranan, walaupun saat itu bupati hanya dijadikan sebagai figure seremonial belaka. Pada buku ini dijelaskan mengenai struktur birokrasi pada pemerintahan kolonial yang didalamnya terdapat peran bupati. Pembahasan yang dituangkan oleh penulis kedalam buku ini berinti pada persaingan kaum Elite Birokrasi. Sebagai objek yang menjadi pusat pembahasannya ialah Bupati Raden Adipati Martanagara. Pada buku penulis menjelaskan riwayat hidup R.A.A Martanagara yang menjadi Bupati Bandung namun keturunan bangsawan Sumedang. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya percobaan pembunuhan terhadap R.A.A Martanagara sehari menjelang pelantikannya sebagai bupati. Adanya peristiwa tersebut merupakan gambaran adanya persaingan tidak sehat dikalangan elite birokrasi. Walaupun kedudukan bupati pada masa itu terbatas, akan tetapi jabatan tersebut masih sangat terhormat dikalangan masyarakat pribumi. Penulis menguraikan bahwa Bupati Bandung ke-9, Raden Adipati Kusumadilaga meninggal dunia sehingga kedudukan bupati diserahkan kepada R.A.A Martanagara. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial. Sebut saja saat itu terdapat patih Raden Rangga Sumanagara yang diduga bersekongkol dengan pihak Belanda untuk menyingkirkan R.A.A Martanagara. (Herlina, 2001:117). Pasca kejadian itu R.A.A Martanagara melakukan berbagai upaya untuk memulihkan keadaan. Sosok Martanagara merupakan bupati yang berperan dalam pembangunan Bandung. Sebagai Elite Birokrasi ia telah berjasa terhadap rakyatnya. Selain itu ia dikenal sebagai tokoh pembaharuan yang memajukan pendidikan perempuan dan anak-anak untuk masuk dalam pendidikan barat. (Herlina, 2001:119). Martanagara juga dikenal sebagai bupati yang memajukan birokrasi pemerintahan Bandung kearah legal-rasional-formal. Maka dari itu ia dijuluki sebagai pemimpin yang bersifat terbuka terhadap zaman. Adapun kemajuan yang diperolehnya tidak membuat ia lupa akan sikap-sikap tradisional. Ia dikenal sebagai pemimpin yang mengabdi dan menaruh perhatian pada rakyatnya. (Herlina, 2001:120).
Studi yang dikemukakan penulis menceritakan asal usul serta struktur yang berkaitan dengan pemerintahan Bandung serta peran Bupatinya. Walau demikian studi yang dikemukakan tentunya memiliki inti dari peristiwa tertentu. Adanya percobaan pembunuhan terhadap Martanagara merupakan hal inti pada buku ini. Dari situlah akan muncul berbagai uraian yang akan menjawab sebab permasalahan tertentu. Sikap Martanagara dalam menanggapi peristiwa didalamnya tentunya akan kita ambil sebagai bagian dari sejarah lokal dengan tipe dilentatis. Dimana ada pendidikan tertentu yang ingin dikembangkannya. Martanagara mencoba merespons peristiwa yang menimpanya dengan sisi positif. Dimana saat ia menjalankan pemerintahannya ia mengusahakan berbagai kemajuan. Hal ini menunjukan bahwa ia seorang yang tanggung jawab dan mampu mengemban tugas. Selain itu Martanagara menunjukan adanya sikap netral pada Sarekat Islam. Hal ini berkaitan dengan kedudukannya yang dekat dengan pemerintah kolonial. Apabila ingin mencari posisi aman, maka tindakan Martanagara tidak dapat disalahkan. Hal ini bisa dijadikan prinsip untuk maju. Namun bukan bearti Martanagara tidak cinta akan tanah air. Hal ini ia buktikan dengan tidak meninggalkan sikap tradisionalnya dan pengabdiannya terhadap rakyat.
3. Tipe Sejarah Lokal Educatif ; Inspiratif (naratif), tipe ini menimbulkan inspirasi yang lebih baik, nilai-nilai dalam kehidupan, pengaman (institusi, peristiwa yang sifatnya membanggakan daerah).
Frederick, William H. 1989. Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). (Terjemahan Oleh Hermawan).
Jakarta : Gramedia
(oleh : merlina)
Buku yang berjudul “Pandangan dan Gejolak ini” merupakan karya dari seorang profesor sejarah di Ohio University , Amerika Serikat. Pengalaman William H Frederick dalam menyunting buku Pedoman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, membuat ia melakukan penulisan kembali mengenai Sejarah Indonesia yang berjudul “Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)”. Adapun hasil karya yang diterbitkan dalam lima bahasa ini (Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang, dan Belanda) merupakan wujud kontribusinya dalam melakukan penulisan mengenai sejarah lokal di Indonesia.
Pada isi buku menceritakan mengenai keberadaan masyarakat Surabaya dengan struktur dan tatanan kehidupannya mulai dari masa kolonial hingga masa pergerakan. Pada pemaparan dijelaskan mengenai keberadaan kelas, golongan, peran pemuda, sistem ekonomi, pemerintahan, perebutan kekuasaan yang terlihat pada kedatangan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Seluruh aspek yang menyangkut tatanan kehidupan diuraikan pada buku ini, namun demikian diantara hal yang diuraikan respons masyarakat Surabaya atas kemerdekaan Indonesia lah yang merupakan bagian terpenting. Dimana semangat kemerdekaan yang ada kemudian akan terwujud pada peristiwa 10 Nopember yang sampai saat ini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Adapun hal yang menjadikan semangat masyarakat Surabaya berkobar-kobar karena kaum terpelajar Surabaya menekankan bahwa tanggung jawab atas kemerdekaan itu sangatlah berat. (Frederick, 1989:234). Kaum terpelajar Surabaya yang dalam pembagian kelasnya disebut golongan priyayi (elite Indonesia) oleh masyarakat kampung ini menyatakan diri mereka sebagai pewaris posisi kewenangan, dan dalam kapasitas yang mereka miliki berharap agar peralihan menuju negara Indonesia seutuhnya dapat berjalan lancar. Apalagi mereka tidak menginginkan adanya penjajahan. Bukti dari ketidaksenangan masyarakat Surabaya atas penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada masa lalu adalah bentuk pemogokan dan protes penting yang terjadi pada tahun 1920,1921, 1923, 1925-1926. Pada masa itu terdapat golongan kampung Surabaya yang melawan perusahaan Belanda. Adapun golongan tersebut ada yang berprofesi sebagai buruh kereta api, kuli pelabuhan dan sebagainya. Bahkan pada tahun 1931 terjadi kerusuhan besar di kampung karena terdapat pertentangan dengan pemerintah. (Frederick, 1989:14). Dengan masuknya pendidikan barat sekitar tahun 1920-1930 an tentunya melahirkan golongan terpelajar pribumi. Pada tahun tersebut Surabaya dapat dikatakan sebagai pangkalan dari sejumlah besar kelompok pergerakan. Kaum pelajar pribumi yang mulai memiliki semangat nasionalisme mulai menyuarakan gagasan kemerdekaan dengan berbagai cara. (Frederick, 1989:51). Kemerdekaan yang telah diperoleh oleh Indonesia tidaklah diakui oleh Belanda. Hal ini karena Belanda memiliki NiCA (The Netherlands East Indies Civil Administration/ Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) yang dibentuk oleh Australia pada akhir tahun 1944. (Frederick, 1989:252). Bagi arek-arek Surabaya NICA merupakan alat yang bertujuan untuk mengembalikan kedudukan Belanda di tanah jajahan seperti semula. Namun demikian pribumi di Surabaya seolah pantang menyerah. Bahkan anak-anak kecil di Surabaya mulai memisahkan diri dari anak-anak Belanda. Di setiap sekolah yang ada di Surabaya anak-anak mulai ingin menunjukan adanya pertikaian satu sama lain. Pada tanggal 19 September 1945 berkibarnya bendera merah-putih biru milik Belanda memicu kemarahan pemuda Surabaya. Ketika itu terjadi peristiwa baku hantam yang dalam cerita revolusi Surabaya sejarah ini mendapatkan tempat terhormat. Adapun semangat nasionalisme yang ditunjukan oleh pemuda Surabaya ini kemudian terwujud dalam peristiwa 10 Nopember 1945. Peristiwa ini diawali oleh persekutuan antara pasukan Inggris-India serta pengikut Belanda yang mencapai penjara Kalisosok untuk menembaki orang Indonesia yang tak bersenjata. (Frederick, 1989:355). Adapun peristiwa berlangsung selama tiga minggu dan bersifat destruktif. (Frederick, 1989:356). Pada peristiwa ini banyak sekali menjatuhkan korban. Dari pihak Indonesia dalam laporan tercatat ada 430 korban. Sebenarnya pada peristiwa ini memakan ribuan korban, dari pihak Inggris saja tercatat 7500 korban luka dan 2500 orang tewas. Pada peristiwa ini secara teknis pihak sekutu dinyatakan menang, namun adanya pertempuran yang banyak memakan korban dari pihak Inggris membuat Inggris harus mempertimbangkan kembali kedudukan di Indonesia. Adanya pertempuran yang terjadi di Surabaya ini telah mengundang perhatian dunia karena peristiwa ini perjuangan Indonesia kemudian diinternasionalisasikan. Adanya pertahanan rakyat Surabaya merupakan wujud semangat kepahlawanan dengan yang menanamkan kekuatan emosional yang simbolik serta luar biasa. Penulis membuat buku ini karena peristiwa yang terjadi tentunya memberikan inspirasi dan menanamkan semangat kedaerahan yang mampu berkontribusi untuk nasional. Apalagi peristiwa yang teerjadi mampu mengundang perhatian dunia, maka wajar saja kalau tanggal 10 Nopember ditetapkan sebagai hari pahlawan. Hal itu untuk menghargai semangat perjuangan rakyat Surabaya dalam mempertahankan Indonesia. Buku ini kami golongkan ke dalam tipe sejarah lokal yang inspiratif dan edukatif karena isinya menunjukan semangat dan mengajarkan untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih. Dari buku ini kita dapat belajar kalau memperoleh kemerdekaan itu adalah beban yang amat berat maka itu harus dipertanggung jawabkan. Semangat kebangsaan yang terjadi secara lokal telah memberikan kontribusi yang besar. Adanya pendidikan untuk memegang teguh rasa tanggung jawab merupakan hikmah yang diambil pada peristiwa Surabaya.
4. Tipe Sejarah Lokal Kolonial, adapun tipe ini biasanya berisi mengenai peran kolonial yang tujuannya untuk melanggengkan kedudukan pemerintah kolonial di tanah jajahan (mentalitas).
Mees, Fruis. Geschiedenis Van Java (Sejarah Jawa)
(oleh merlina dan asep rahmat)
Arsip diatas dapat katakan sebagai sejarah kolonial. Hal ini karena isi dari arsip tersebut memuat tulisan yang berkaitan dengan pribumi. Dimana pada bab isi diceritakan mengenai ”Keadaan Politik disekitar Jawa pada 1530, Kedatangan Orang Belanda di Jawa 1596, Kekerabatan Orang Belanda Terhadap Jawa 1596-1602, dan terdapat pula mengenai ”Perseroan/Perdagangan/Serikat Dagang Hindia Timur 1610”. Arsip yang belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tersebut tentunya sudah memberikan kita gambaran bahwa penulisan tersebut ditujukan untuk memperkuat kedudukan pemerintah kolonial di tanah jajahan. Walaupun kita ketahui, bahwa sejarah kolonial itu memuat visi nerlandosentris yang memisahkan antara orang Eropa dan Pribumi, tapi kita tidak boleh lupa kalau didalamnya terdapat orang-orang pribumi yang terkadang ikut diceritakan apabila berkaitan dengan kepentingan penjajah. Dari sinilah kita akan melihat kalau ternyata studi sejarah kolonial itu bisa bersifat netral. Yang intinya bisa berperan untuk memisahkan barat dan timur, namun bisa pula menyatukan antara barat dan timur. Isi dari sejarah kolonial yang ditemukan sering memuat cerita-cerita mengenai peran kolonial yang seolah bersahabat dengan pribumi. Isi dari sejarah kolonial yang dapat kita tangkap tentunya akan memunculkan peran-peran dari orang Eropa. Hal ini karena adanya sejarah kolonial tentunya akan selalu memberikan manfaat sepihak saja. Yaitu kepada orang-orang Eropa.
Raffles, Thomas Stamford.1982. “History Of Java”.
Kuala Lumpur : Oxford University
(oleh : asep rahmat)
Selain dari arsip diatas, maka kami juga akan memberi contoh mengenai keberadaan buku ”History Of Java” yang ditulis oleh Letnan Gubernur Inggris di Nusantara (1811-1816). Buku ini merupakan buku terjemahan yang kami temukan diperpustakaan daerah. Adapun penulisan Raffles merupakan penulisan kolonial yang memuat visi Indonesia-sentris, dimana Rafles menceritakan mengenai keadaan pulau Jawa dengan keadaan geografis, sosio-kultur, ekonomi dan politik didalamnya. Pada penulisan Raffles bahkan menggunakan sumber lokal. Apabila kita kaitkan dengan pengertian sejarah kolonial, maka buku ini tidak memuat unsur nerlandosentrisnya. Akan tetapi, kita tidak boleh lupakan bahwa pada saat itu antara pihak Inggris dan Belanda melakukan persaingan untuk merebut daerah jajahan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa tulisan Raffles adalah ungkapan kebencian terhadap Belanda. Dilain sisi adanya tulisan Raffles bisa kita lihat sebagai sarana untuk menarik perhatian pribumi agar pihak Inggris mendapat tempat dihati masyarakat. Kembali pada pengertian sejarah lokal kolonial itu sendiri. Hal ini karena sejarah lokal kolonial tentunya berperan untuk melanggengkan kedudukan pihak penjajah di daerah koloni.
5. Tipe Sejarah lokal kritis analitis, merupakan sejarah yang menggunakan pendekatan (struktural, modern).
Contoh bukunya, adalah ;
Lubis, Nina H, dkk. 2003. “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi”.
Bandung : Satya Historika
(oleh : merlina)
Buku yang berjudul “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi” ini merupakan karya penelitian sejarah yang dapat digolongkan kedalam sejarah lokal. Hal ini karena pembahasan difokuskan pada ruang lingkup kota “Bontang” serta aspek yang terdapat didalamnya. Pada isi buku menceritakan mengenai : Asal usul “Bontang”, Industri Besar, Perkembangan Sosial Ekonomi, Industri Perekonomian Daerah, Kependudukan Dan Tata Ruang, Pemerintahan Dan Kehidupan Sosial Politik, Kehidupan Sosial Budaya : (“Pada Pembukaan buku penulis menceritakan asal usul “Bontang”. Pada bagian awal uraian dijelaskan mengenai keberadaan nama “Bontang”, bahkan nama “Bontang” dikaitkan dengan keadaan sosial ekonomi yang terdapat didalamnya. Pada masa lalu “Bontang” diduga sebagai sebuah pasar yang ramai dikunjungi. Ketika itu banyak pedagang Cina yang berjualan dengan cara menawarkan barang “ambil dulu baru bayar”. Sehingga hal yang dikenal sebagai “Bon-Utang” berkembang menjadi nama “Bontang” (tidak bisa bayar “Bon jadi Utang”). (Herlina, 2003:13). Selain itu terdapat versi lain mengenai nama “Bontang” yang berasal dari “Bond” berarti perkumpulan dan “Tang” berarti pendatang. Adapun perkumpulan pendatang yang dimaksud tentunya akan melakukan kegiatan ekonomi pada masyarakat “Bontang” yang terdiri atas komunitas majemuk seperti; Bugis, Banjar, Bajau, dan suku lain yang menyebut dirinya orang “Bontang”. (Herlina, 2003:14). Secara historis asal usul “Bontang” dikaitkan dengan keberadaan “Kerajaan Kutai” yang disebut dalam kitab Negarakertagama (oleh Mpu Prapanca, tahun 1365). Hal ini karena yupa dan beberapa buah arca pasir di Gua Kombeng Kecamatan Muara Wahau, + 100km di sebelah utara Muara Kaman diduga sebagai pusat kerajaan Hindu dengan rajanya yang bernama Mulawarman; merupakan anak dari Aswawarman cucu Kundungga. (Herlina, 2003:21). Kaitan antara kota “Bontang” dan Kerajaan Kutai Karena pada awal abad ke-19 diceritakan seorang kerabat Sultan Kutai Kertanegara yang bernama “Aji Pao” memutuskan untuk pindah dan membuka daerah baru yang kini kita kenal dengan kota ““Bontang””. (Herlina, 2003:16). Selain menguraikan asal usul diatas, maka pada bab ini penulis juga memaparkan letak geografis “Bontang” yang berada di pantai Propinsi Kalimantan Timur. Penulis menyatakan bahwa Topografi “Bontang” boleh dikatakan datar dan landai. Adapun wilayah ini pada awalnya didatangi oleh kelompok etnis yang berasal dari daerah Selat Makasar pada pertengahan abad-20. Pada perkembangan selanjutnya diceritakan pula mengenai itu kedatangan VOC ke Kalimantan Timur pada tahun 1635. Adapun tujuan kedatangan tersebut karena ingin melakukan monopoli dan memperluas kekuasaan. Maka dari itu VOC melakukan perubahan di bidang pemerintahan. Selanjutnya Pada tahun 1846 pemerintahan Hindia Belanda menempatkan H. von de Wall sebagai Asisten Residen pertama yang berkedudukan di Samarinda. Selama Perang Dunia ke II, Kalimantan Timur berada di bawah pendudukan militer Jepang. (Herlina, 2003: 23). Pada tahun 1920-an dan sekitar tahun 1930-an wilayah ini menjadi bagian dari adanya pergerakan kebangsaan. Adanya ini Perjanjian Linggajati (diparaf pada bulan November 1946) dengan memuat pengakuan secara de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Sumatra, Jawa, dan Madura mendorong didirikan Federatie Oost-Borneo (Federasi Kalimantan Timur) pada Februari, 1948. Pada 1950 Kalimantan Timur kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia. (Herlina, 2003: 23). Adanya sejarah mengenai nama “Bontang” yang dikaitkan dengan “Bon-Utang” bisa dinilai sebagai gambaran untuk memperlihatkan adanya peralihan mengenai situasi sosial-ekonomi di wilayah tersebut. Pada awalnya kehidupan ekonomi di “Bontang” diawali dengan pembukaan lahan pertanian yang kemudian diteruskan dengan adanya kegiatan perdagangan. Hal ini bisa dilihat adanya jalan laut antara “Bontang-Samarinda” (1970-an). Adanya kekayaan alam dan lokasi “Bontang” yang menguntungkan mendorong berdirinya dua industri besar seperti; Industri Gas Bumi ( LNG, Liquefied Natural Gas) oleh PT Badak NGL “Bontang” dan Industri Pupuk. Keberadaan industri ini tentunya mendorong kehidupan sosial-ekonommi “Bontang” semakin berkembang. Apalagi sejak tahun 1977, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 tahun 1977 tanggal 23 Mei 1977 Menetapkan pembentukan PT Pupuk Kalimantan Timur (Persero) di “Bontang”. (Herlina, 2003:61). Adanya PT Badak dan PT Pupuk tentunya membawa perubahan bagi masyarakat setempat. Sebelumnya masyarakat hanya mengenal sistem ekonomi subsistensi, namun dengan adanya industri maka masyarakat mulai mengalihkan kegiatan ekonomi pada industri. Kegiatan semula masyarakat “Bontang” dan Kutai disekitar yang fokus pada sektor pertanian mulai mengalihkan mata pencahariannya pada kegiatan industri yang ada. Selain itu dengan adanya kegiatan ekonomi industri di “Bontang”, maka jalan-jalan yang menghubungkan pada lokasi industri tersebut mulai dibangun. Dengan demikian lambat laun “Bontang” berkembang menjadi sebuah kota dengan pembangunan berbagai infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu perkembangan yang dialami oleh daerah Bontang dengan keberadaan dua industri penunjang perekonomian mampu mendorong peningkatan perkapita (dengan migas) Kota “Bontang” yang mencapai Rp. 198.152.322 pada tahun 2000. Adanya peningkatan ekonomi-industri di Kota “Bontang” bukan saja memberi dampak positif, tapi juga melahirkan opini negatif bagi masyarakat non-industri sekitar. Misalnya terjadinya perbedaan mencolok antara penduduk yang hidup mewah dengan gaya hidup elitis (kesenjangan sosial). Walau demikian tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang memanfaatkan jasa bantuan, terutama modal, dan pembinaan teknis serta keterampilan dari PT Pupuk Kalimantan Timur. Ini menunjukan adanyaa kegiatan industri yang membumi di Kalimantan ini berperan dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Pada buku ini penulis juga menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah “Bontang” adalah perairan sehingga tidak heran kalau “Bontang” disebut juga “Bontang Kuala”. Adapun perjalanan Kota Bontang: pada tahun 1952 dibentuk kampung “Bontang”, pada tahun 1954 dibentuk Pemerintah Kecamatan yang berkedudukan di “Bontang”, pada tahun 1972 ibukota kecamatan dipindahkan ke “Bontang Baru”, pada tahun 1979 dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati, pada tahun 1989 dibentuk Kecamatan Bontang Selatan dan Bontang Utara yang diresmikan pada tahun 1990, dan pada tanggal 12 Oktober “Bontang” menjadi Kota Otonom Bontang berdasarkan UU 47 Tahun 1999 dengan tiga kecamatan; Bontang Utara, Bontang Selatan, dan Bontang Barat. (Herlina, 2003:174). Sama dengan daerah lain di Indonesia “Bontang” juga memiliki partisipasi dalam menyampaikan aspirasi politik masyarakatnya yang diwakili oleh dua partai: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan Golongan Karya (Golkar) juga ada, namun tidak disebut partai. (Herlina, 2003:180). Perkembangan yang dialami Kota Bontang membuat pendidikan sangat diutamakan, sehingga Pemerintah Kota Bontang melakukan pengembangan pada sistem pendidikan dengan menyediakan gedung sekolah dan tenaga pendidik. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia. Sedangkan dalam bidang kesehatan pemerintah juga menyediakan sarana kesehatan seperti klinik, puskesmas, dan balai kesehatan yang diperuntukan untuk menangani 10.000 penduduk. (Herlina, 2003:199). Adanya istilah Kertanegara yang melekat pada Kerajaan Kutai menandakan bahwa kekuatan Hindu telah digantikan oleh Islamisasi. Hal ini berdampak pada kepercayaan yang berkembang di Kota Bontang. Maka dari itu keberadaan Agama Islam memiliki kedudukan yang kuat di Bontang sehingga hasil kesenian yang ada di Bontang dipengaruhi oleh Islam. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa masyarakat Bontang juga percaya akan takhayul. Hal ini disebabkan oleh kemajemukan suku Bontang pada masa lampau)
Dari isi ringkasan buku sejarah lokal yang berjudul “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi” diatas, maka dapatlah dilakukan suatu penilaian terhadap karya historiografi (penulisan). Menurut kami pada karya diatas penulis telah melakukan penelitian yang sangat ilmiah. Hal ini karena dalam melakukan historiografi sejarah lokal penulis menggunakan metode ilmiah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dimana pada kegiatan heuristik, penulis telah memperoleh sumber-sumber yang berkaitan dengan judul penelitiannya. Adapun sumber yang ada tentunya melewati tahap kritik yang terdiri atas : kritik eksternal dan kritik internal. Pada daftar sumber penulis menggunakan adanya buku-buku yang berkaitan dengan kehidupan sosial-ekonomi Kota Bontang dan laporan-laporan yang terkait. Selain itu penulis menggunakan surat kabar sebagai sumber. Adapun surat kabar yang digunakan memuat berita dan informasi yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi-sosial mengenai Kalimantan Timur. Dilain sisi surat kabar baik yang dimuat pada tahun 1970-an maupun surat kabar yang terbitnya berdekatan dengan perkembangan industri di Bontang. Adapun yang surat kabar yang terbit sezaman pada perkembangan ekonomi-sosial Bontang ketika industri, maka bisa digolongkan primer karena hidup sezaman dengan keberadaan industri dan kehidupan ekonomi yang ada dalam penelitian penulis. Adapun surat kabar yang dipergunakan penulis antara lain :
1. Kaltim Post, 3 Maret 2001. Kaltim Post, 20 Oktober 2002. Kaltim Post, 9 Nopember 2002.
2. Kompas, 2 Agustus 1977. Kompas, 30 Oktober 1984. Kompas, 5 Apri 1989. Kompas, 4 Juli 2002.
Selain dari sumber surat kabar dan buku, maka penulis juga menggunakan sumber dari kegiatan wawancara. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah :
1. Bapak Sultan Haji Adji Mohamad Solehoedin II. tanggal 27 Oktober 2002
2. Bapak Abdul Haris Tundang, tanggal 26 Oktober 2002
3. Bapak Acil, tanggal 26 Oktober 2002
4. Bapak Cak Ali, tanggal 28 Oktober 2002
5. Bapak Drs. Artahnan Saidi, M.M, tanggal 25 Oktober 2002, dan lain-lain.
Menurut pendapat kami, buku yang penulisannya diketuai oleh Prof Nina Herlina Lubis, M.S, dan anggotanya terdiri atas Drs. Ade Makmur, M. Phil, Drs. Abdurrahman Patji, M.A, dan Drs. Awaludin Nugraha M.Hum ini, merupakan karya sejarah lokal yang hasil eksplanasinya tidak perlu diragukan lagi. Hal ini karena dari setiap peristiwa yang dipaparkan penulis selalu didasarkan atas sumber yang tidak hanya diperoleh tapi juga dikritisi. Peran penulis sebagai sejarawan profesional yang bergelut dalam bidang penelitian ilmiah membuat kami menyatakan buku ini sebagai karya sejarah lokal yang kritis-analisis. Keberadaan struktur penulisan yang tematis, serta dilengkapi tabel, daftar kata, singkatan, gambar, maupun beberapa kata sambutan dari pihak-pihak tertentu pada awal buku membuat kami memberi penilaian plus terhadap buku ini. Dari situlah kami melihat hasil karya sejarah lokal yang benar-benar ilmiah dan kritis. Penulis terlihat sangat berhati-hati dalam melakukan interpretasi dan historiografi. Semua yang dipaparkan penulis sangat jelas dan berkaitan antara satu pembahasan dan pembahasan yang lain. Pada isi penulis memang menguraikan asal usul Bontang, bahkan menyinggung mengenai adanya pendidikan dan kesenian, namun pada kesimpulan akhirnya penulis benar-benar konsekwensi memfokuskan inti awal penelitian yang sesuai pada judul buku, yaitu pada aspek “Kota Bontang; Sejarah Sosial Ekonomi”. Adanya penjelasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya membuat buku ini kaya akan informasi. Penulis menjadikan buku ini sebagai karya sejarah lokal yang modern dengan meyajikan kesan ilmiah didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar