Nama : Merlina Agustina Orllanda
Npm : 180310080026/ Ilmu Sejarah
1. Omar Dani
Keinginan Soekarno untuk membalas serangan Belanda dalam upaya pembebasan Irian Barat mendorong dilantiknya Omar Dani sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Adapun alasan lainnya berkaitan dengan peremajaan AURI (saat itu Omar Dani berusia 38 tahun). Ketika itu ia menggantikan jabatan Suryadarma yang dijadikan penasihat militer Presiden. (Anwar, 2004 :114). Sebelum menjadi Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani bekerja sebagai penyiar bahasa Inggris di Kemetrian Penerangan dan RRI Jakarta sejak tahun 1946-1847.
Pernyataan diatas didukung pula oleh pendapat Ricklefs, Omar Dhani adalah Kepala Staf TNI Angkatan Udara (1962-1965). Ia menggantikan Jabatan Staf Angkatan Laksamana Udara Surjadi Suryadarma pada tahun 1962 yang dianggap tidak berhasil memberikan bantuan kekuatan udara yang cukup memadai. Sehingga Sukarno mengantikannya dengan Marsekal Madya Udara Omar Dhani, yang pada mulanya dipandang tidak begitu dekat dengan Presiden. (2008: 561).
Pada bulan Mei 1964, Marsekal Udara Omar Dhani mendapat tugas untuk memimpin Komando Siaga (Koga) konfrontasi Indonesia-Malaysia. Atas perintah Sukarno, Omar Dhani pergi ke Cina pada tanggal 16 dan 19 September. Omar Dhani diutus untuk membicarakan mengenai senjata-senjata yang ditawarkan oleh Cina. Padahal saat itu Nasution merupakan Menteri Pertahanan.
Omar Dhani merupakan Sukarnois sejati, namun ia dicurigai sebagai bagian dari perwira-perwira angkatan Udara yang terlibat dalam gerakan G30 September. (Sundhaussen, 1986:349). Adanya Tentara-tentara tokoh (PKI) yang bertugas memimpin pemuda-pemuda komunis yang dilatih dipangkalan udara Halim memperkuat dugaan keterlibatannya dengan pemberontakan G30S/PKI. (Sundhaussen, 1986:350). Apalagi saat itu Landasan Halim Perdana Kusuma dijadi yang dijadikan sebagai tempat latihan gerwani onderbow PKI berada di bawah wewenangnya. Pada tanggal 30 September ,malam hari, satu battalion pengawal istana yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung (sebelumnya dari Divisi Diponegoro), satu batalion dari Divisi Diponegoro, satu battalion dari Divisi Brawijaya, dan orang-orang sipil dari pemuda rakyat PKI meninggalkan pangkalan udara Halim. Hal ini semakin dipertegas dengan adanya Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Kolonel untung dengan jumlah anggota dewan 45 orang, yang 22 diantaranya adalah perwira dan salah satunya adalah Omar Dhani. (Sundhaussen, 1986:346). Sehingga dapat disimpulkan bahwa PKI mendapat dukungan dari Omar Dhani yang telah memberikan pangkalan udara Halim sebagai markas besar mereka dan dia pada saat itu Omar Dani juga hadir disana (Ricklefs,2008: 582). Walaupun ketika dimintai pertanggungjawaban oleh Soeharto, 1965 Omar Dhani pada tanggal 2 Oktober menyatakan bahwa Angkatan Udara sama sekali tidak terlibat dalam gerakan 30 September, dan tidak tahu menahu mengenai Dewan Revolusi. (Sundhaussen, 1986:375). Untuk menghindari tekanan Soeharto, pada pertengahan Soekarno menugaskan Omar Dhani keluar negeri agar ia jauh dari Soeharto. Hal tersebut tetap tidak dapat menyembunyikan kebenaran, bahwa Panglima AURI tersebut terlibat dalam kudeta Untung, sehingga Omar Dhani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya pada tanggal 24 November, kemudian jabatannya digantikan pula oleh seorang Sukarnois yang bernama Marsekal Madya Sri Muljono. (Sundhaussen, 1986:388). Dengan adanya berbagai kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmillub Subandrio dan Omar Dhani divonis berturut-turut pada Oktober dan Desember 1966 dan dianggap sebagai orang-orang yang harus dibersihkan pada masa Orde Baru.
2. Soebandrio
Dr Soebandrio merupakan mantan Waperdam (Sulastomo, 1989:100), yang dikenal rakyat sebagai ketua BPI (Badan Pusat Intelejen) memperoleh gelar sebagai durno. (Sulastomo. 1989:51). Dalam menelusuri perjalanan karirnya, maka Subandrio dikenal sebagai tokoh politik yang pernah disebut-sebut sebagai orang kedua Republik Indonesia pada zaman Pra Orde Baru (Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus 6). Subandrio pernah menempuh pendidikan GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta dan menjadi anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia). Setelah menjabat sebagai Sekjen Kementrian Penerangan, kemudian dia diangkat sebagai Kepala Perwakilan RI di Inggris (1947), duta besar Republik Indonesia di Inggris (1947). Sekembalinya ke Indonesia, ia pun menjadi anggota PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada tanggal 9 Juli diumumkan suatu kabinet baru bernama “Kabinet Kerja” dengan Soekarno sebagai perdana mentri dan Djuanda sebagai “mentri utama”. Sementara Leiman, Chairul Saleh dan Subandrio tetap berada dalam inti kabinet, Idlim Chalid tidak masuk, tetapi tokoh NU lainnya menjadi mentri agama. Sukarno menjadikan Subandrio Menteri. Ketika Sukarno hendak melakukan reshuffle kabinet, maka nama Subandrio dijadikan sebagai kandidat untuk menggantikan Menteri Djuanda yang saat itu keluar dari kabinet. Subandrio juga mendukung Soekarno untuk menganjurkan suatu sistem kepartaian nasakom. (Sundhaussen, 1986:314). Selain itu untuk memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi, Sukarno juga menunjuk Subandrio. (Anwar, 2004 :171).
Peran Subandrio dalam kegiatan ekonomi terwujud lewat nota ekonomi “ Manifes Ekonomi” yang program kerjanya berbentuk makalah, adapun Manifes Ekonomi yang disebut Sukarno sebagai “Deklarasi Ekonomi”, yakni :
1. Perlunya lebih mengakui kedudukan dan peranan swasta dalam rangka kegiatan ekonomi Indonesia.
2. Perlu adanya debirokratisasi.
3. Perlu adanya desentralisasi dalam manajemen. (Anwar, 2004 :232).
New York Time pernah menulis karangan tentang Subandrio yang berjudul “Valuable Indonesian” Orang Indonesia yang fasih bicara” atau “rad van tong” (dalam bahasa Belanda). Hal ini berkaitan dengan lidah Subandrio yang berhasil membuatnya mencapai kedudukan tinggi di angkasa yakni menjadi Laksamana Muda Udara. (Anwar, 2004 :101). Menlu Subandrio pernah menjadi anggota Staf Operasi Komando Pembebasan Irian Barat dengan diberi pangkat Laksamana Muda Udara (tituler). (Anwar, 2004 :101).
Selain itu, Subandrio juga pernah mengeluarkan pendapatnya mengenai konspirasi antara tokoh oposisi seperti Sjahrir, Hatta, dan Roem tatkala mereka menghadiri upacara pembakaran mayat (Palembon) ayah Anak Agung Gde Agung di Gianyar. Dengan adanya alasan ini ditujukan untuk menahan Sjahrir dan kawan-kawan. (Anwar, 2004 :106).
Pada bulan Juli 1960, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet, terutama Subandrio yang dituduh telah menghina Cina dan terhadap pihak tentara yang masih belum menumpas habis kaum pemberontak PRRI. Akan tetapi, hubungan dengan pihak pemberontak Brunai segera dimonopoli oleh Badan Pusat Intelijen Indonesia yang dipimpin oleh Subandrio (Ricklefs,2008: 565). Hal ini diperkuat oleh kesaksian Tentara-tentara tokoh (PKI) yang bertugas memimpin pemuda-pemuda komunis yang dilatih dipangkalan udara Halim, mengatakan bahwa pada 19 Februari 1966 bahwa keyakinannya sendiri mengenai adanya Dewan Jenderal itu didasari atas informasi yang diperoleh dari BPI, Organisasi Intel yang dipimpin Subandrio, dari sumber-sumber intel Angkatan Darat, dan dari pihak kejaksaan. (Sundhaussen, 1986:350).
Adanya persekutuan Jakarta Beijing yang diresmikan pada bulan Januari 1965; ketika Indonesia resmi keluar dari dari PBB setelah Malaysia diberi kedudukan sebagai anggota tidak tetap. Pada saat itu, Subandrio mengadakan kunjungan ke Cina untuk memperkokoh persahabatan. Sebagai mentri Luar Negeri dan wakil perdana mentri (1957-1966), Ia menganjurkan “poros Jakarta Pnompenh- Hanoi- Peking- Pyongyang”, yang dijadikan pola politik luar negeri saat itu (Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus 6).
Subandrio dianggap sebagai tokoh yang terlibat pristiwa G30S/ PKI dan meninggalnya Djuanda November 1963. Karena tidak ada lagi moderat yang disegani dalam kabinet, maka tiga serangkai, Subandrio, Chairul Saleh, Leimena mengambil alih kepemimpinan. Subandrio memimpin kekuasaan secara dominan, kemudian ia bersekutu dengan PKI. Dan derdasarkan isi Dekrit No I, mengenai pembentukan Dewan Revolusi Indonesia (Dr Subandrio memimpin). (Sulastomo. 1989:36).
Subandrio ingin memantapkan kedudukannya sebagai pengganti Soekarno. Pada tanggal 26 Mei Subandrio memperlihatkan sebuah dokumen kepada Soekarno yang kemudian dikenal dengan “Surat Gilchrist”. Adapun dokumen ini merupakan konsep telegram yang ditulis oleh Duta Besar Inggris Gilchrist kepada Kementerian Luar Negeri di London. Isinya menyiratkan semasam “operasi” sedang direncanakan oleh Dubes Inggris dan Dubes Amerika. Dari dokumen itu menjelaskan bahwa dari tentara setempat juga ikut terlibat didalamnya. Diketahui bahwa pada tahun 1963 gedung Kedutaan Luar Negeri diobrak abrik oleh Demonstran Komunis , sehingga alat-alat tulis itu jatuh ketangan tangan orang Komunis, dan sampai akhirnya dipungut oleh agen agen BPI dan jatuhlah ke tangan Subandrio yang cinta kekuasaan.
Soekarno menafsir Gilchrist : bahwa nekolim merencanakan membunuh dia, Subandrio, dan Yangi. Apabila rencana gagal, maka akan menyerang Indonesia, dengan bantuan kaki tangan setempat. (Sundhaussen, 1986:353). Maka dari itu Sukarno memanggil semua Angkatan ke Istana seperti : Ahmad Yani, Panglima Angkatan Laut Martadinata, Kepala Kepolisian Sutjipto, Sri Muljono sebagai wakili Omar Dhani yang sedang berada di Cina, dan Subandrio. Pertemuan di Istana tersebut ditujukan untuk mencari jawaban mengenai keterlibatan tentara dalam negeri. (Sundhaussen, 1986:352).
Saat itu Ahmad Yani menyatakan, bahwa memang ada sebuah badan yang merupakan Dewan Jabatan dan Pangkatan Perwira Tertinggi (Wanjabti) dan fungsinya semata. Namun hal demikian hanya semata untuk bermusyawarah untuk membahas mengenai kenaikan pangkat dan penugasan para Jenderal dan Kolonel. (Sundhaussen, 1986:352).
Subandrio berpendapat bahwa terdapat hubungan BPS daan Partai Murba dengan CIA. (Sundhaussen, 1986:359). Maka dari itu pertemuan di Istana tersebut diberitahukan Subandrio kepada pihak PKI, ia menyatakan dihadapan anggota PKI bahwa Sukarno sudah mempunyai bahan bukti tentang adanya sutau gerakan “Kontra Revolusi”. Adapun tujuan Subandrio untuk mendapatkan kekuasaan dan membuat perpecahan dikalangan pemerintahan. Sehingga kebencian datang dari pimpinan-pimpinan PKI terhadapnya.
Dengan kekuasaan Supersemar yang diperoleh, Soeharto dan pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin dihadapan Sukarno. Pada 12 Maret, PKI dan semua organisasi masanya dilarang. Pada 10 januari 1966, mahasiswa melakukan aksi demonstrasi yang dimotori oleh KAMI dengan mengajukan tiga tuntutan rakyat (TRITURA).
1. Bubarkan PKI.
2. Turunkan harga/ perbaiki ekonomi.
3. Retool Kabinet Dwikora.
Krisis nasional tidak dapat diatasi, tuntutan mahasiswa terhadap PKI tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah pada masa itu, sehingga aksi dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dilanjutkan oleh KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) yang pada masa itu mengobrak-abrik Departemen Luar Negeri sebagai tempat kedudukan Menteri Subandrio. (Notosusanto, Nugroho, 1984:128).
Pada tanggal 18 Maret, Subandrio, Chairul Saleh Iman Syafei dan sebelas menteri kabinet lainnya ditahan, salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara, Surachman, lolos tapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada 1968. (Ricklefs,2008: 598). Kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmillub menuduh Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965. Sementara itu, Subandrio dan Omar Dhani divonis mati berturut-turut pada Oktober dan Desember 1966 (Ricklefs,2008: 604). Namun, setelah itu, bersama Soebandrio ia mendapat grasi yang dikeluarkan pada 2 Juni 1995 dan dapat menghirup udara bebas pada 15 Agustus 1995. Atau dengan bahasa lainnya, pada masa Pemerintahan Soehartoia diadili atas tuduhan tidak loyal dan dinyatakan bersalah. (Sundhaussen, 1986:93).
3. PRRI/Permesta
Pemerintahan Sukarno dengan berbagai kabinet yang dibentuk ternyata tidak mampu membendung adanya berbagai pergolakan. Pergolakan di berbagai daerah untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat, misal timbul PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. (Sulastomo. 1989:111). Bagi Sukarno goncangan demikian ditujukan untuk mengorganisasikan huru hara agar persahabatan Cina dan Indonesia rusak, selain itu Sukarno menyadari ketidakstabilan yang ada bertujuan untuk menggulingkan kedudukannya. (Sundhaussen, 1986:314).
PRRI/ Permesta adalah pemberontakan yang melibatkan kelompok militer. (Sulastomo. 1989:106). Adapun lahirnya pemberontakan ini diawali dengan reuni bekas anggota Divisi Banteng di Padang pada Nopember 1956. Dengan demikian lahirlah Dewan Benteng yang bertujuan untuk melaksanakan Pembangunan Daerah. Selanjutnya pada tanggal 20 Desember ketua “Dewan Benteng” Komandan Resimen Infanteri 4 Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan, Letnan Kolonel Achmad Husein mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljoharjo.Hal serupa dilakukan oleh Simbolon di Medan, dan pada 15-17 Januari 1957 dibentuk “Dewan Revolusi Garuda” di Sumatera Selatan. Kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Hasanuddin di Ujung Pandang, Dewan Cendrawasih di Ambon, dan Dewan Manguni di Manado.
Pada 2 Maret 1957 di Sulawesi dewan-dewan ini memproklamasikan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Dengan pembentukan dewan-dewan seperti Dewan Benteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni dan pengambilan kekuasaan setempat demikianlah yang menimbulkan pemberontakan PRRI dan Permesta. (Kartasasmita, dkk.1995). Pemberontakan yang terjadi ditengah-tengah pergolakan politik ibukota, ketidakstabilaan pemerintahan, masalah korupsi, serta perdebatan-perdebatan konstituante dan pertentangan rakyat dalam menghadapi Konsepsi Presiden. (Kartasasmita, dkk.1995).
Pada 4 dan 9 Februari 1958 diadakan pertemuan antara perutusan dewan-dewan se Indonesia (Sumatera dan Sulawesi) yang ditujukan untuk mencari jalan keluar dari keadaan sulit yang dihadapi negara, bahkan membicarakan juga mengenai pembentukan pemerintah baru. Pada perkembangannya terjadi pertentangan yang melahirkan tiga golongan yaitu : golongan yang mendukung Kolonel Ahmad Husein, golongan yang menentang kebijaksanaan ketua Dewan Benteng, dan golongan yang bermaksud melakukan koreksi terhadap cara perjuangan yang selama ini ditempuh oleh dewan; golongan ini dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi Kaharudin Datuk Rangkayo Basa dan Mayor Nur Matias (Komandan Batalyon 140). (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 120,121,122).
Perjuangan Dewan Daerah ini mendapat dukungan dari Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Pada 9 Januari 1958 diadakan pertemuan di Sungai Daerah Sumatera Barat, pertemuan ini dihadiri oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dahlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis, selain itu dari pihak sipil hadir : M. Natsir, Sjarif Usman, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap. Pertemuan itu bertujuan untuk pembentukan pemerintah baru. (Kartasasmita, dkk.1995).
Pada 10 Februari 1958 Dewan Benteng mengeluarkan ultimatum.
• Dalam waktu 5x24 jam Kabinet Djuanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden dan pejabat presiden.
• Presiden atau pejabat presiden memberikan tugas kepada Drs. Moh.Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk zaken kabinet dari tokoh-tokoh yang jujur, berwibawa dan cakap, dan bebas dari anasir anti-Tuhan.
• Meminta kepada Moh.Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk bersedia menolong negara.
Ultimatum tersebut ditolak pemerintah karena dianggap melanggar wewenang dan mengambil tindakan terhadap perwiran yang terlibat. KSAD memecat Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Letnan Kolonel A. Husein, dan Letnan Kolonel Sumual. Jenderal Mayor A.H Nasution membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST) dan menempatkan seluruh dinas dan jawatan langsung di bawah KSAD. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 120,121,122). Dengan penolakan dari pemerintah tersebut maka meletuslah PRRI yang kemudian diikuti oleh Permesta.
PRRI
Sebab pembentukan PRRI karena ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap pusat. Kekecewaan pemerintah daerah ini disebabkan oleh tidak seimbangnya alokasi dana yang diberikan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, padahal sumbangan untuk ekspor dari daeraah sangatlah besar, selain itu gerakan ini menuntut otonomi daerah atau upaya untuk melepaskan diri dari pusat. (Sudiyono, 2004:338). Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Husein memproklamasikan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Indonesia Republik Indonesia) dengan Mr. Sjairuddin Prawinegara (Masyumi) sebagai perdana menterinya. (Notosusanto, Nugroho, 1984:85). Pendapat diatas disempurnakan pula oleh pernyataan, bahwa “Ketegangan antara pemerintah pusat dan dewan daerah mendorong Letnan Kolonel A. Husein untuk mengumumkan “Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan menunjuk Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 120,121,122).
Adapun tokoh-tokoh PRRI tampaknya sangat mengandalkan bantuan Barat untuk membendung Komunisme. Terdapat informasi bahwa sebelum pecah perang Saudara tokoh-tokoh PRRI bertemu dengan agen-agen CIA (Central Intelligence Agency). (Anwar, 2004 :97). Modal tokoh-tokoh PRRI hanyalah kepercayaan bahwa mereka ada di pihak yang benar, Sukarno di pihak yang batil, sehingga perjuangan PRRI akan menang. Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengungkapkan “Tuhan ada di pihak kami”. God is on our side. (Anwar, 2004 :70).
Bukti lain, ialah dengan diperoleh informasi bahwa bekas Kolonel Dahlan Djambek pernah mengirimkan surat kepada Kolonel Suryosupeno. Adapun isi surat tersebut ialah keberatan untuk menyatakan setia kepada UUD, 45, terutama terhadap Manipol Usdek Bung Karno. Sebagai seorang Islam pendirian tersebut merupakan pernyataan untuk setia kepada Tuhan dan tidak setia kepada manusia sebab perbuatan demikian adalah “syirik”. Sehingga Djambek lebih memilih ditangkap oleh APRI dan diberi hukuman oleh Mahkamah Pengadilan. (Anwar, 2004 :69).
Untuk menumpas pemberontakan PRRI pemerintah melancarkan operasi gabungan yang dibagi-bagi dalam :
1. Operasi Tegas
Dipimpin oleh Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution.
Dilaksanakan untuk daerah Riau Daratan.
Ditujukan untuk menumpas PRRI di daerah Riau Daratan dengan sasaran pokok menduduki Pekanbaru.
Operasi ini berhasil menguasai Pekanbaru (menyelamatkan kilang minyak Caltex), menutup kemungkinan perembesan pemberontakan ke luar negeri melalui Riau. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 122).
Menurut Ginandjar Kartasasmita, dkk Kota Pekanbaru behasil dikuasai pada tanggal 12 Maret 1958. (1995). Selanjutnya pada 14 Maret 1958 Riau bisa diduduki pemerintah. (Notosusanto, Nugroho, 1984:83).
2. Operasi Saptamarga
Dipimpin oleh Letnan Kolonel Djamin Ginting.
Dilaksanakan untuk daerah Medan/Sumatera Utara.
Ditujukan untuk menghadapi kekuatan pasukan PRRI di Sumatera Utara terutama yang berkedudukan di Tapanuli.
Pasukan Mayor Malawi berhasil menduduki Tarutung pada tanggal 27 April 1958.
Pasukan Batalyon 332/Siliwangi berhasil menduduki Padangsidempuan. Pada 5 Mei 1958 TNI sampai di Bukit Tinggi.
Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara diamankan oleh RTO-01/Siliwangi. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 123-124).
3. Operasi 17 Agustus
Dipimpin oleh Kolonel A.Yani.
Sasaran ditujukan untuk merebut Bukit Tinggi.
Pada 18 April 1958, Batalyon 438 dan Kompi RPKAD berhasil merebut Indarung dan membuka jalan ke Solok.
Pada 29 April 1958 Solok dikuasai oleh Batalyon 509.
Pada 3 Mei 1958 Padang Panjang diduduki.
Pada 4 Mei 1958 Bukit Tinggi diikuasai oleh Pasukan Mayor Raja Syahnan yang bergerak dari Medan. Pendapat lainnya ialah, sebelum sampai ke Riau operasi ini diterapkan di Bukit tinggi yang berhasil diduduki pemerintah pada tanggal 4 Mei 1958. (Notosusanto, Nugroho, 1984:83).
Dengan didudukinya Payakumbuh pada tanggal 26 Mei 1958, maka secara fisik kekuatan PRRI berhasil dilumpuhkan. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 124-127).
Ginadjar Kartasasmita, dkk berpendapat bahwa Padang dikuasai oleh Angkatan Perang pada tanggal 17 April 1958. (1995).
4. Operasi Sadar
Dipimpin oleh Letnan Kolonel dr. Ibnu Sutowo
Tujuannya untuk menumpas PRRI dan membendung pembrebesan PRRI dari Sumatera Tengah, mengamankan obyek vital seperti kilang minyak, mengadakan pembersihan dalam tubuh TT II dan Pemerintah Daerah terhadap anasir-anasir PRRI.
Operasi ini berhasil menyelamatkan Sumatera Selatan dari pengaruh Pemberontakan PRRI. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 127-128).
Adapun penyebab kegagalan pemberontakan PRRI yaitu :
1. Tidak adanya persiapan yang cukup dibidang militer.
2. Tidak dilakukannya persiapan untuk kemungkinan kudeta di Jawa sebagai pusat kekuasaan:
3. Tidak adanya leadership, dalam arti tidak ada tokoh yang merupakan tokoh Nomor Satu;
4. Tidak adanya perahasiaan mutlak di pihak pemberontak tentang apa yang hendak dilakukan, malah kaum pemberontak mencari publikasi seluas-luasnya tentang apa yang mereka kerjakan. (Anwar, 2004 :200).
Selain itu, sebab dari dalam yang mengakibatkan berantak nya PRRI ialah diproklamasikannya “Republik Persatuan Indonesia (RPI) di Bonjol pada tanggal 7 Februari 1960” yang menggabungkan pasukan PRRI dengan Darul Islam (DI) di Aceh dan Sulawesi Selatan. (Anwar, 2004 :97).
Sejak meletusnya PRRI, maka sampai Agustus 1961 telah jatuh korban sejumlah 10.159 orang, di antaranya 2.499 orang TNI, 247 orang polisi, 956 orang OPR 2.499, dan 5.592 orang rakyat. Selain itu, telah luka 4.098 orang TNI, 519 orang polisi, 3.834 orang OPR, serta 2.472 orang rakyat. Sementara di pihak lawan telah tewas 22.174 orang, luka 4.360 orang, ditawan 8.072 orang, dan yang kembali ke pangkuan RI 123.917 orang dengan seluruhnya 39.000 pucuk senjata. (Anwar, 2004 :68).
Menurut Ginadjar Kartasasmita, dkk, Pimpinan PRRI akhirnya menyerah satu per satu. Tanggal 29 Mei 1961 Achmad Husein secara resmi melaporkan diri dengan pasukannya, kemudian disusul oleh tokoh PRRI lainnya baik dari kalangan sipil, maupun militer. (1995).
PERMESTA
Pada tanggal 2 Maret 1957 berlangsung pertemuan yang dihadiri oleh tokoh sipil dan militer di kantor Gubernur Makasar. Pertemuan tersebut menghasilkan “Piagam Perjuangan Rakyat Semesta” (Permesta) yang berada di bawah pimpinan TT VII Letnan Kolonel HNV. Sumual. Permesta menjalin hubungan dengan Dewan Benteng di Sumatera Tengah dan mengadakan persiapan untuk melakukan pemberontakan. Permesta menguasai daerah dari Palu di Sulawesi Tengah sampai Manado di Sulawesi Utara. (Sudiyono, 2004:338).
Menurut Ginadjar Kartasasmita, dkk : Kolonel DJ Somba (Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah), menyatakan dirinya putus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan mengeluarkan pendapat yang mendukung PRRI, hal ini membuat ia dipecat dengan tidak hormat. (1995). Pada tanggal 2 Maret 1957, panglima untuk Indonesia Timur, Letnan Kolonel H.N.V Samual, mengumumkan keadaan darurat perang diseluruh wilayahnya dari markas besarnya di Makassar (Ricklef,2008: 531).
Pada bulan September dan Oktober 1957, Kolonel Simbolon dan para pembengkak militer lainnya di Sumatera, Kolonel Sumual dari gerakan Permesta mengadakan beberapa pertemuan di Sumatera guna mengkoordinasi kegiatan-kegiatan mereka (Ricklef,1993: 540). Tujuan mereka meliputi tiga sasaran yaitu diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilh seorang presiden baru guna mengakhiri kegiatan-kegiatan pro-PKI Sukarno, digantinya Nasution dan stafnya dipusat, serta dilarang PKI.
Pembunuhan terhadap Wakil Perdana Menteri J. Warouw di Minahasa Selatan menimbulkan dua golongan yakni “ golongan Selatan” di bawah Ventje Sumual yang menjadi KASAD Revolusioner dan “golongan Utara” di bawah Somba. Pada 1 Nopember 1960 Alex Kawilarang mengambil alih seluruh komando perang di daerah Permesta dan pada Maret 1961 Ventje Sumual diipecat, kemudian diadakan reorganisasi dalam Angkatan Perang Revolusioner. (Anwar, 2004 :139).
Sejak tahun 1960 diadakan pendekatan dari Jakarta terhadap pimpinan Permesta agar dilaksanakan penyelesaian secara damai, selanjutnya pada tahun 1961 terdapat penyesuaian pikiran dengan ditandatanganinya naskah penyelesaian masalah Permesta antara Somba dan Pangdam Kodam XIII/Merdeka yang dikenal sebagai peristiwa Malenos 4 April 1961; (dekat Amurang). Kemudian diadakan inspeksi oleh Deputy MKN Hidayat pada 14 April di Woloan (dekat Tomohon) terhadap pasukan Permesta dan pada 12 Mei 1961 MKN Nasution juga melakukan inspeksi di Papakelan (dekat Tondano). (Anwar, 2004 :139).
Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing, hal ini terbukti dengan ditembak jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh Alan Pope, warga negara Amerika Serkat (di Ambon, pada tanggal 18 Mei 1958). (Sudiyono, 2004:338).
Para pemimpin yang menentang Permesta adalah: Nani Wartabone, Kapten Frans Karangan, Inspektur Polisi Sueb, dan Inspektur Polisi Syukur. Maka dari itu, untuk mengatasi Permesta maka diadakan Operasi Insyaf oleh TNI di bawah pimpinan Kapten Frans Karangan dan Brimob di bawah pimpinan Polisi Sued Daeng Passang serta Ajun Inspektur Syukur yang bergerak dari Tawaeli serta residen dari Wartabone yang ditujukan untuk menumpas Permesta yang berada di daerah Donggala dan Palu (Sulawesi Tengah). Pada 29 Maret 1958 Donggala direbut, pada tanggal 1 April 1958 Palu dikuasai, pada tanggal 18 April 1958 Parigi berhasil direbut kembali, dan Gorontalo yang berhasil direbut oleh Residen Wartabone dengan menggunakan Pasukan Rimba. Sumber lain menyatakan, bahwa diadakan Operasi Saptamarga dan Operasi Mena, namun sebelumnya Operasi Insaf dipimpin oleh Kolonel Yonosewoyo. Operasi Insaf ini memiliki (sasaran yang hendak dicapai ialah mengamankan daerah Sulawesi Tengah, Palu merupakan pusat kekuatan Permesta). (Notosusanto, Nugroho, 1984:86).
Selain itu untuk melakukan penumpasan terhadap Pemberontakan Permesta, TNI melakukan operasi gabungan yang dinamakan operasi merdeka, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Roekmito Hendraningrat, pelaksanaan operasi gabungan ini terdiri atas : Operasi Saptamarga I yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sumarsono dengan sasaran Sulawesi Tengah. Operasi ini diterapkan di Donggala, Palu, Kwali, dan Tamboto dengan tujuan memutuskan hubungan Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. (Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Indonesia, 2000: 128). Pada saat itu, pihak pemberontak sedang kehabisan amunisi dan perbekalan lainnya. Untuk mengahadapi aksi Permesta dilancarkan operasi Sapta Marga pada bulan April (Poesponogoro,1993:281).
Dalam versi lain, Ginadjar Kartasasmita, dkk (1995) membagi Operasi Merdeka menjadi beberapa bagian :
1. Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Tengah dan Utara.
2. Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara dan Selatan.
3. Operasi Saptamarga III di bawah pimpin oleh Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.
4. Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara.
5. Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Pieters dengan daerah sasaran Jailolo.
6. Operasi Mena II di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz, untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah Utara Halmahera.
Adanya proklamasi RPI membawa perpecahan dan disintegrasi di kalangan Permesta. Tidak adanya koordinasi mendorong Permesta untuk memisahkan diri dari RPI di Sumatera. Hal ini juga menyebabkan kedudukan Permesta menjadi sulit, karena senjata yang dimiliki hanya 10% dan mengalami kekurangan mesiu. Permesta hanya bertahan 3 tahun dengan 30 batalyon infanteri dalam daaerah yang lebar 30 km dan panjang 90 km. Di antaranya 15 batalyon adalah regular. (Anwar, 2004 :139).Pada bulan Februari-April 1961, beberapa gerombolan Permesta menyerah di Sulawesi Utara. (Poesponogoro,1993: 282). Permesta ini berhasil dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa-sisanya masih ada sampai tahun 1961. (Sudiyono, 2004:338).
Di Cipayung tokoh-tokoh PRRI-Permesta berada di bawah wewenang Presiden untuk menentukan nasib mereka, di kota mana mereka dizinkan tinggal. Yang jelas mereka tidak dibolehkan lagi bekerja pada jawatan pemerintahan. (Anwar, 2004 :119). Pada bulan Februari-April 1961, beberapa gerombolan Permesta menyerah di Sulawesi Utara. (Poesponogoro,1993: Pada 5 Oktober 1961 pemberontakan PRRI dan Permesta selesai, sejak saat itu Sukarno memberikan amnesti dan abolisi. (Anwar, 2004 :97).
4. Bulog-Dolog
Bulog adalah (Badan Urusan Logistik), dibentuk pada tahun 1966 dan menangani terutama urusan beras (Ricklefs, 2008: 604). Pimpinan organisasi ini terdiri atas Kepala, Wakil Kepala, Sekretaris, Deputy Administrasi dan Keuangan, Deputi Pengadaan dan Penyaluran, Deputi Bidang Pengawasan dan Pengembangan sistem logistik dan Depot Logistik di daerah. Depot Logistik dibentuk di tiap Propinsi atau Daerah Tingkat 1 merupakan instansi vertikal dari Bulog dan jika diperlukan didaerah Tingkat II atau Kabupaten atau Kotamadya dibentuk Depot. Pada masa pemerintahan Orde Baru Bulog di pimpin oleh Ahmad Tirto Sudiro dan Bustanil Arifin. (Stanley, 2005:61).
Pada masa pemerintahan Soeharto, negara mengalami bisnis militer dimana dana keuangan negara diperoleh dari dua BUMN diantaranya Pertamina dan Bulog. (Stanley, 2005:61). Hal ini didukung oleh Robinson yang menganggap kedua perusahaan negara tersebut sebagai sumber utama bagi terbentuknya apa yang disebut sebagai : “Beureaucratic Capitalism” Orde Baru. (Stanley, 2005:62). Sehingga, wajar saja apabila Pejabat Militer yang ditempatkan pada kedua perusahaan tersebut yang bertanggung jawab langsung kepada presiden sebagai pemilik peran sentral dalam membangun struktur kekuasaan Orde Baru. (Stanley, 2005:62).
Dalam pengertiannya, Bulog merupakan suatu lembaga non- Departemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden dengan tugas pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gula, gandum dan bahan poko lainnya (Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus, 3). Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilitasan harga baik produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijakan pemerintah. Jadi Bulog bertugas untuk menyelenggarakan pengaduan, penyebaran, penyimpanan, mengkoordinasikan penjualan dan memelihara penyangga (bufferstock) secara nasional. Bulog sebagai Badan usaha logistik yang menyimpan persediaan beras. di Era jatuhnya Rezim Soeharto pada 1997/1998 Bulog mulai menipis, karena laju inflansi nampak tinggi 12,76%, pada 1997/1998 mencapai 28,73%. (Aritonang, 1999:48).
Sedangkan Dolog merupakan Depot Logistik yang menjadi Kepanjangan tangan dari Badan Usaha Logistik (Bulog). Organisasi ini memiliki tugas umum dalam pemerintahan dan pembangunan dibidang logistik yang meliputi pengelolaan persediaan, distribusi, pengendalian harga, dan jasa logistik sesuai dengan perundang-undangan. Pengendalian yang dilakukan Dolog hanya terhadap harga gabah karena hingga saat ini hanya mengurusi masalah beras.
5. Memerangi Hiper-Inflansi
Inflansi dapat diartikan sebagai perkembangan dalam perekonomian. Inflansi ditandai dengan meningkatnya harga, gaji, dan pemintaan tenaga kerja yang melebihi penawaran, dimana jumlah uang yang beredar sangat meningkat (Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus 6). Pada umumnya, Inflansi selalu ditandai dengan peningkatan harga secara cepat, peningkatan daya beli para penerima gaji serta sangat merugikan pemberi gaji.
Sementara itu Hyper inflantion diartikan sebagai terjadinya inflansi lebih dari 50%. Di Indonesia Hiper- iflansi pernah terjadi pada tahun 1957, 1961-1968 (Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus 6). Kekacauan ekonomi mulai terjadi, sehubung dengan masa demokrasi terpimpin. Dalam rangka mengendalikan inflansi, maka pada tanggal 25 Agustus 1959 mata uang rupiah didevaluasikan sebesar 75%, semua nilai uang kertas Rp. 500,00 dan Rp. 1.000,00 diturunkan menjadi sepersepuluh dari nilai nominalnya, deposit-deposito bank yang besar jumlahnya dibekukan. Sementara itu, ketika perekonomian terperosok kedalam hiper-inflansi yang permanen (yang masih tetap di sekitar 100% per tahun mulai akhir tahun 1961 sampai tahun 1964) dan bangsa Indonesia hanyut kedalam radikalisme dan ketika pihak militer menjadi semakin tergantung kepada Uni Soviet dan PKI berkembang dengan pesat, maka Amerika semakin cemas akan kehilangan pengaruhnya di Indonesia (Ricklefs,2008: 562). Setelah mengadakan penyelidikan dan perundingan, maka pada bulan Mei 1963 pemerintah Indonesia mengumumkan diambilnya langsung langkah penting yang baru. Pada tanggal 1 Mei 1963, undang-undang darurat perang dicabut, dan pada 26 Mei dimumkan mengenai pengurangan-pengurangan drastis terhadap anggaran belanja (termasuk anggaran militer), pengawasan yang ketat terhadap kredit, kenaikan harga, pelaksanaan suatu develuasi de facto dan peningkatan dua kali lipat gaji pegawai negeri.
Pada awal zaman Orde Baru, program pemerintahan semata-mata diarahkan kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional utama berupa usaha memberantas inflansi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat (Poesponogoro, 1993: 430). Kenaikan harga pada awal tahun 1966 menunjukkan tingkat inflansi sekitar 650% setahun mengakibatkan pemerintahan tidak mungkin melakukan pembangunan dengan segera, namun harus melakukan stabilitas (pengendalian inflansi) dan rehabilitasi (rehabiltasi secara fisik daripada sarana-prasarana, rehabiltasi ekspor, rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan) ekonomi terlebih dahulu.
Sementara itu, laporan pemerintah Indonesia bulan September 1966 kepada krediatornya yang komunis menggambarkan tingkat bencana nasional yang dihadapi rezim baru ini. Inflansi tahunan terhitung melebihi 600%, persediaan uang 800 kali lebih tinggi daripada angka di tahun 1955 dan defisit pemerintah 780 kali lebih banyak daripada tahun 1962 (dan 1,8 kali dari persediaan total uang). (Ricklefs,2008: 603). Pada waktu itu, Indonesia memiliki hutang sebesar 2,3 milyar dan wajib dibayar pada tahun 1967 dengan jumlah keseluruhan ditambah tungkatan sebesar 500 juta dollar.
Menurut Poesponogoro, MPRS menyadari bahwa kemerosotan ekonomi yang berlarut-larut disebabkan oleh tindak adanya pengawasan yang efektif dari DPR terhadap kebijaksanaan ekonomi, kepentingan ekonomi dikalahkan oleh kepentingan politik, dan pemikiran yang rasional untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dikesampingkan. Melihat keadaan tersebut, maka MPRS mengadakan stabilitas dan rehabilitas dengan mengeluarkan ketetapan No.XXIII/ MPRS/ 1966 tentang pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang pada hakekatnya merupakan suatu konsepsi strategi yang tepat untuk mananggulangi kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak tahun 1955. (Poesponogoro,1993: 431). Dengan ketetapan tersebut, maka pemerintah harus mengadakan pembaharuan yaitu dari ekonomi terpimpin ke arah demokrasi ekonomi. Selanjutnya MPRS menggariskan tiga macam program yang dikerjakan secara bertahap yaitu program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitas, dan program pembangunan. Khusus pada program stabilitas dan rehabilitas ( program yang pendek) dilakukanlah pengendalian inflansi, rehabilitas kebutuhan pangan, rehabilitas prasarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan pangan.
Dalam hal ini pemerintah berupaya mengadakan pembangunan pada bidang pertanian. Hal ini ditujukan untuk menetapkan kemampuan swasembada di bidang pangan. Alasannya untuk mencapai landasan masyarakat yang adil dan makmur menyiapkan struktur ekonomi yang seimbang, struktur ekonomi yang kuat dan didukung oleh bidang pertanian yang tangguh. Upaya ini dijadikan sebagai bagian dari pembangunan agar hiper-inflansi bisa diatas saat itu. Maka dari itu pada masa Orde Baru diadakan Repelita, dan program pertanian dijadikan bagian program jangka panjang, sehingga terus dilanjutkan dari repelitaI.II. dan III. .(Radik, 1982:130).
Selain itu, dalam hal ini dilakukanlah sejumlah usaha untuk melakukan penekanan terhadap Hiperi- flansi, Pemerintah melakukan sejumlah kebijakan yaitu: bidang keuangan (moneter) yaitu penekanan inflansi dan peningkatan nilai rupiah. Selanjutnya lebih menekankan pengawasan arah kegiatan ekonomi dan bukan pada pengusaan yang sebanyak-banyaknya dari kegiatan ekonomi. Dalam hal ini perlu diselenggarakan debirokratisasi dari pengawasan dan decontrol manajemen perusahaan-perusahaan negara. Dan terakhir Pemerintah menetapkan bahwa penentuan harga barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan negara diserahkan sepenuhnya bertanggungjawab pimpinan perusahaan negara, kecuali minyak bumi dan listrik. Kebijakan-kebijakan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat, khusunya dibidang sandang dan pangan.
Menurut Poesponogoro, berdasarkan kebijakan diatas, pemerintah mengeluarkan peraturan yang memuat pokok-pokok usaha pada Peraturan 3 Oktober 1966 yaitu anggaran belanja yang berimbang (balanced budget) untuk meniadakan salah satu sebab bagi inflansi yaitu defisit dalam anggaran belanja, pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif khusunya dibidang pangan, eksport, sarana dan industri, penundaan pembayaran hutang-hutang luar negeri (reschenduling) dan usaha mendapatkan kredit baru, dan penanaman modal asing guna membuka kesempatan pada luar negeri dan meningkatkan pendapatan nasional. Disamping itu, pemerintah juga melakukan beberapa tindakan lainnya yaitu mengadakan operasi pajak terutama di kota-kota besar, penghemat di bidang pengeluaran pemerintahan khususnya pengeluaran konsumtif rutin, kredit bank dibatasi dan kredit impor dihapuskan.
Laju inflansi berhasil ditekan dari 650% pada tahun 1966 manjadi 120% pada tahun 1967 masih menunjukkan angka yang tinggi dan merupakan faktor penyebab terjadinya kenaikan harga (Poesponogoro,1993: 437). Sehingga dapat dikatakan menjelang akhir tahun 1967 terjadi gangguan terhadap stabilitas ekonomi yang disebabkan kurangnya hasil gandum. Bahkan pada tahun 1967 inflansi melampaui lebih kurang dari 120%. (Radik, 1982:127). Walau demikian krisis yang dihadapi Internasional tidak begitu dirasakan Indonesia. Hal ini dibuktikan pada akhir tahun 1968, ketika itu laju inflansi berhasil ditekan menjadi 85,5%, karena saat itu pemerintah menggunakan ukuran angka indeks 62 jenis barang-barang kebutuhan.(Radik, 1982:127).
Dalam hal pangan, maka diadakan pembangunan dalam bidang pertanian. Kenaikan produksi beras pada tahun 1982 adalah 23 juta ton. Hal ini diupayakan untuk memperkokoh persediaan stock beras, dan pelaksanaan impor yang ditujukan untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan negara sahabat untuk menambah devisa negara. Pada masa Orde Baru keadaan ekonomi nasional boleh dikatakan memiliki ketahanan terhadap gejolak dan goncangan internasional. Indonesia telah memiliki landasan yang cukup untuk tumbuh berkembang mengandalkan kemampuan dalam negeri. .(Radik, 1982:127).
Dalam memerangi hiper-inflansi, maka pada masa Orde Baru diadakan upaya untuk menstabilitaskan perekonomian. Hal ini diwujudkan dengan berbagai pembangunan yang ditujukan untuk peningkatan devisa. Adapun upaya yang dilakukan dalam meningkatkan devisa saat itu ialah :
1. Ekspor barang diluar minyak harus dikembangkan dengan memperbaiki mutu yang lebih sesuai dengan permintaan pasar, seperti meningkatkan efisiensi produksi sehingga harganya mampu bersaing.
2. Kebijakan imbal beli (counter purchase).
3. Menangguhkan dan mengendalikan pelaksanaan impor barang yang tidak esensial seperti makanan, minuman, buah-buahan, minuman keras, tepung tapioka, kacang tanah dan sebagainya. .(Radik, 1982:130).
Dengan langkah-langkah diatas maka hiper-inflansi bisa diatasi. Sehingga stabilitas ekonomi bisa disiasati. Pada dasarnya upaya yang dilakukan pada masa Orde Baru ditujukan untuk pembangunan. Sehingga boleh ada anggapan bahwa Soeharto merupakan bapak pembangunan. Indonesia tidak merasakan goncangan ekonomi dunia, inflansi yang ada dapat diatas dengan berbagai program kerja ekonomi, walau akhirnya Indonesia pun harus merasakan krisis, yang kemudian diikuti runtuhnya Rezimnya Soeharto pada 1997/1998.
Saat ini keadaan krisis yang dilalui Indonesia tidak kalah hebatnya dengan masa sebelumnya. Pasca Soeharto, Indonesia mengalami empat kali pergantian pemimpin, namun wajah ekonomi negeri kita sangat memprihatinkan. Hal inilah yang mendorong pesatnya kriminalitas, bahkan kebobrokan moral bangsa ini disebabkan pula oleh kehidupan ekonomi yang minim. Kelaparan atau lazim disebut urusan perut mampu mendorong seseorang melakukan apa saja. Sehingga fenomena korup semakin merajalela, Indonesia adalah negara terkorup. Kepentingan politik yang diutamakan, dan hasil ekonomi entah masuk kemana. Apabila bangsa ini terus statis dengan keadaan demikian, kita hanya tinggal penunggu penjajahan secara langsung episode berikutnya, walaupun saat ini negara kita sudah dijajah secara tidak langsung, tapi kita tidak melihatnya, justru menikmati keadaan ini. Pada akhirnya identitas Indonesia menjadi terkikis, yang ada hanyalah kemerosotan moral bangsa, dan kemelaratan bangsa.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan. 2004. Soekarno, Tentara, PKI (Segitiga Kekusaan Sebelum Prahara Politik
1961-1965). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya Rezim Dari Pada Soeharto.
Pustaka Hidayah. Bandung.
Cribb, Robert. 2000. Pembantaian PKI Di Jawa Dan Bali (1965-1966); The IndSSSonesian Killings.
Yogyakarta : Mata Bangsa
Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus 6.
Jakarta: Ichtiar Baru.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jilid 2). 2004. Jakarta : PT Delta Pamungkas.
Sejarah Tentara Nasional Indonesia (Jilid 2). 2000. Jakarta : Markas Besar Tentara Republik
Indonesia. Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Republik Indonesia.
Ginandjar Kartasasmita,dkk. 1995. 3O Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960.
Jakarta :Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Notosusanto, Nugroho (ed). 1984. Pejuang dan Prajurit.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan dan Anggota IKAPI
Poesponogoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Radik Utoyo, dkk. 1982. Dwi Windu Orde Baru (Memperingati Genap 16 Tahun Perjuangan
Orde Baru). Jakarta Selatan. Badan Penyelenggara Dwi Windu Orde Baru.
Ricklefs,M.C.1998. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ricklefs,M.C.2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Sundahaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967; Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Jakarta : LP3ES.
Sulastomo. 1989. Hari-Hari Yang Panjang 1963-1966.
Jakarta. CV. Haji Masa Agung.
Stanley. 2005. Warisan Orde Baru.
Jakarta : Institusi Studi Arus Informasi Bekerja Sama Dengan Universitas Melbourne dan Aussaid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar