Sabtu, 24 Juli 2010

TUGAS KULIAH

Dosen : N. Kartika, S,S., M.Hum.
Studi : Dasar-dasar filsafat.
Nama : Merlina Agustina Orllanda.
Npm : 180310080026.

1. RASIONALISME
 Merupakan paham filsafat yang mengajarkan bahwa akal (reason) merupakan alat penting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
 Menurut Descartes inti dari filsafat merupakan imbauan untuk mencari kebenaran yang menghadirkan kenyataan tak tergoyahkan, yang benar-benar tak bisa diragukan lagi.
 Ada 3 cara untuk mencari kenyataan yang terang dan jelas pada akal budi yang tak teragukan lagi, yaitu :
a) Tidak menerima sesuatu sebagai benar, kecuali terbukti benar.
b) Untuk membuktikan kebenaran suatu hal, kita harus :
• Menghindari kesimpulan yang tergesa-gesa.
• Menghindari dugaan terhadap suatu hal.
c) Kenyataan yang terbukti benar adalah “apa yang datang secara terang dan jelas pada akal budi’, sesuatu yang tak mungkin lagi dapat kita ragukan.
 2 kerja yang pokok pada akal budi, yaitu :
1) Intuisi
 Penglihatan pikiran yang sedemikian terang dan jelas sehingga tak ada satupun lagi yang diragukan olehnya. (hasil akal budi yang terus menerus melakukan peraguan akan segala hal, diujung proses keraguan itu pasti ada subtansi yang tertinggal walau yang lainnya ditinggalkan).
2) Deduksi
 Semua penurunan yang perlu dibuat dari apa yang didapatkan oleh intuisi. Merupakan cara kedua intuisi menyajikan subtansi.
 Menurut Descartes ada 4 cara patokan untuk memfungsikan intuisi dan deduksi dalam akal budi sehingga menghasilkan pengetahuan yang benar:
 Menerima pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta).
 Menguraikan suatu masalah menjadi bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari.
 Apabila menemukan gagasan sederhana (clara et distincta), maka kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan itu.
 Pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang diperoleh.
2. EMPIRISME.
 Suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri mengecilkan peranan akal (pengalaman untuk melawan rasionalisme).
 John Locke merupakan tokoh yang membawa aliran empirisme,menganggap bahwa semua akal dan pikiran manusia itu didapatkan melalui indera (contohnya ketika kita sedang makan apel). Pengalaman dianggap sebagai dasar dari segala pengetahuan, di dalam teori Locke “ bagaimana manusia berprilaku dan seharusnya manusia itu berprilaku” selalu beranggapan bahwa manusia selalu digerakan oleh keinginan untuk mendapat kesenangan.

3. EKSISTENSIALISME.
 Aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar.
 Eksistensialisme menyatakan cara beradap manusia dan benda lain tidaklah sama. Hal ini karena eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap idealisme.

4. FENOMENOLOGI
 Ilmu tentang perkembangan kesadaran pengalaman diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat/ bagian dari filsafat.

5. .KRITISME
 Bersikap tidak lekas percaya, bersikap selalu berusaha untuk menemukan kesalahan, kekeliruan, tajam dalam penganalisaan. Menurut Immanuel Kant “ manusia selalu memiliki kesadaran diri yang terbatas, maka keterbatasan itu dikatakan sebagai sebuah keinginan yang harus tergantikan oleh keharusan”. Maka itu pengetahuan yang memiliki keterbatasan akan melahirkan pertanyaan pembatas seperti : apakah manusia itu? Apakah yang bisa saya ketahui? Apa yang harus saya lakukan? Apa yang bisa saya harapkan?.adanya kritik akan membawa manusia sadar sebagai mahluk yang terbatas.

6. INDIVIDUALISME
 Paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan kebutuhan tidak boleh disamaratakan).
 Paham yang menghendaki kebebasan berbuat dan menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang, paham yang mementingkan hak perorangan dibanding masyarakat banyak atau Negara.
 Paham yang menganggap diri sendiri atau diri pribadi lebih penting dari pada orang lain.

HISTORIOGRAFI ISLAM

PEMBAHASAN
HISTORIOGRAFI ISLAM

Historiografi Islam adalah karya sejarah yang ditulis oleh penganut agama Islam dari berbagai aliran. (Abdulah, Taufik :1985 : 56). Adanya buku “Sejarah Peradaban Islam” karya Syalabi, yang isinya memaparkan mengenai keadaan bumi Arab sebelum masuknya Islam dapat dikatakan sebagai fenomena Hegemoni dari bangsa Arab dan terlahirnya Islam di Bumi Arab membuat penganut aliran agama Islam ditemukan di Jazirah tersebut. Namun demikian, tidak semua karya Historiografi Islam selalu identik dengan bahasa Arab. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya penggunaan bahasa lainnya seperti bahasa Persia (pada awal abad kesepuluh), dan bahasa Turki (pada abad ke-16). Selain itu kita bisa temukan pula adanya golongan minoritas yang berada di bawah kekuasaan Islam, terutamanya adalah aliran Kristen Timur yang menulis karya sejarah sama dengan karya muslim. Adanya hasil karya sejarah yang hasil tulisan, bentuk, teknik dan nilainya telah menjiwai historiografi Islam sejak abad pertengahan hingga abad ke-19, perlahan-lahan kini telah ditinggalkan. (Abdulah, Taufik :1985 : 56).

1. Asal Mula Sejarah
Perkembangan penulisan sejarah Islam terletak pada konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah. Hal ini dibuktikan dengan adanya perhatian orang Arab terhadap peristiwa yang berkaitan dengan politik kesukuan pada masa sebelum masuknya Islam. Adapun peristiwa pada masa lalu ketika itu disampaikan secara lisan.(Abdulah, Taufik :1985 : 56). Biasanya didaerah yang menjadi taklukan Islam pada abad ke-17 seperti Persia dan Bizantium telah ditemukan tradisi Historiografi yang sudah maju, walaupun tidak mengalami perkembangan yang pesat. Adanya daerah kekuasaan Islam menimbulkan adanya kontak secara pribadi dengan para cendikiawan Islam, ataupun bagi orang yang baru memeluk Islam. Kondisi seperti inilah yang kemudian mendorong diadakan penulisan.(Abdulah, Taufik :1985 : 56). Bukti dari keberadaan para Al Khulafaur’ Rasyidun dengan berbagai sejarah ekspansinya, maka dapat memperkuat sejarah yang menunjukan bahwa Hegemoni Islam telah berhasil menyebar ke beberapa wilayah yang ada di dunia ini.
Keberadaan Nabi Muhammad adalah puncak dari pelaksanaan proses sejarah yang dimulai dengan terciptanya alam dunia ini. Hal ini karena Nabi Muhammad ialah Nabi terakhir dalam ketentuan Allah yang diramalkan dengan jelas. Menurut Taufik Abdulah dan Abdurrachman Surjomihardjo, Nabi Muhammad adalah tokoh pembaharuan sosial agama yang melaksanakan kenabian dalam memberikan tuntutan bagi masa depan. Sehingga keberadaan Nabi Muhammad dianggap telah menyediakan kerangka bagi wadah sejarah agar mempermudah Sejarawan melakukan penafsiran. Uraian diatas ini juga diperkuat oleh adanya buku Syalabi yang makin memperkuat kedudukan Nabi Muhammad dalam sejarah Islam. Keturunan Quraisy yang kelak menjadi pemimpin ini memang tidak dapat disingkirkan dalam penulisan Historiografi Islam. Asal- usul dan sejarah keluarganya kebanyakan ditemui dalam karya-karya Islam.
Sejarah mengenai peristiwa masa lalu tentunya berperan bagi perkembangan peradaban Islam. Adanya lembaga politik, hukum, agama, dan ilmiah serta ide moral dan nilai dianggap memiliki wewenang mutlak terhadap peristiwa yang terjadi pada permulaan Islam. Dengan adanya kesadaran sejarah maka mendorong dilaksanakan penelitian dan penulisan. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan kebenaran sejarah mengenai peristiwanya. Penulisan Historiografi Islam tidak cukup dengan adanya motivasi saja. Hal ini karena didalam pelaksanaan penulisan haruslah menempuh berbagai proses yang tidak mudah untuk ditelusuri. Adanya berbagai kesalahan teknis tentunya sangat berperan terhadap kredibilitas dari penulisan saat itu. Misalnya saja sumber lisan yang diperoleh, tentunya bisa benar dan bisa saja tidak benar informasinya. Diperkirakan adanya penggunaan metode penyampaian lisan (oral transmission) dengan sebuah pelapor catatan yang bisa saja tak terpublikasikan saat itu. Hal ini karena tidak ada kemungkinan publikasi karya bahasa Arab pada akhir abad ke-17. Hanya saja adanya penggunaan kertas pada kira-kira 750, atau permulaan Dinasti Abbasiah mendorong adanya penulisan terutama disekitar kawasan Laut Tengah. Walaupun pada kenyataannya karya saat itu hampir seluruhnya tidak beredar luas, dan hanya sedikit yang bisa disebut sebagai karya Sejarah.(Abdulah, Taufik :1985 : 57)
Kondisi politik bangsa Arab yang identik dengan pergantian kekuasaan membuat sebagian besar karya sejarah Islam banyak yang hilang saat itu. Misalnya saja karya-karya yang berkembang pada masa kekuasaan Umayyah (660-750). Apalagi ketika itu belum diciptakannya penerbitan serta keberadaan bahan tulis yang tidak tahan lama, sehingga dapat dikatakan sebagai faktor musnahnya karya-karya saat itu.(Abdulah, Taufik :1985 : 57)
Urwah b. az-Zubyar, sekitar 650-711, merupakan seorang sarjana muslim yang berjasa melakukan penulisan buku berjudul “Peperangan Oleh Nabi”. Setelah beliau maka terdapat Al-Zuhri (570-740) yang membuat sebuah silsilah bangsa. Adapun faktor lain yang membuat Zuhri melakukan penulisan tentunya memiliki kepentingan pribadi masa kekuasaan khalifah. Selain itu karya otoritas ketiga yang ada pada awal permulaan Islam terdapat pada karya Musa b. Uqbah (758/759), dimana karya musa tidak seluruhnya sejarah karena bentuknya adalah fragment singkat. Namun demikian adanya biografi Nabi (Sirah) oleh Ibn Ishaq (704-767) merupakan suatu karya sejarah yang dianggap tua dan terpelihara, bahkan pada perkembangan selanjutnya mengalami perbaikan.(Abdulah, Taufik :1985 : 58)
Adapun karya Ishaq berisikan peristiwa yang erat kaitannya dengan masa sebelum masuknya Islam. Dimana kehidupan Nabi saat itu juga dipaparkan dengan sangat rinci. Sehingga Ishaq dapat dikatakan sebagai pengarang yang berjasa terhadap khalifah. Sehingga dengan adanya bukti sejarah yang ditemukan, kita dapat menarik kesimpulan mengenai penulisan sejarah sekitar tahun 700 yang fokus terhadap kehidupan Nabi Muhammad yang saat itu mulai mengisi kebutuhan sosial, politik, dan agama Islam. Selain itu diduga bahwa adanya dasar dalam penulisan sejarah, pada tingkat tertentu sudah ada saat itu.(Abdulah, Taufik :1985 : 58).

2. Bentuk dan Isi Karya Sejarah
Bentuk penulisan karya sejarah Islam tentunya tidak akan terlepas pada bentuk yang dikembangkan sejak awal. Pada tradisi Arab sebelum masuknya Islam sangat menekankan unsur “fakta” konkret dalam sejarah. Hal ini tentunya terlepas dari pengaruh lingkungan dan diusahakan terhindar dai pengaruh berfikir manusia saat itu. Hal ini merupakan bentuk dasar dari adanya karya-karya sejarah Islam. Walaupun adanya berbagai macam perwatakan dan unsur, namun dalam penulisan sebab dan akibat sangat diutamakan dalam pemaparan. Kebenaran sejarah saat itu disamakan dengan kebenaran agama yang terjamin kejujurannya.(Abdulah, Taufik :1985 : 58). Orang-orang yang menyampaikan informasi secara berantai saat itu (rangkaian pemberi berita atau isnand) dianggap sebagai orang-orang yang jujur. Pada kenyataannya tidak semua sejarawan menggunakan orang-orang penyampai berita ini, namun konsep keberadaan “fakta” saat itu merupakan hal yang sangat ditunjang. Adanya pengaruh dari konsep ini terlihat pada seluruh karya Islam yang dilukiskan sebagai peristiwa, episode, terlepas dari panjang, terperinci atau kemampuan penggambaran episode sesorang.(Abdulah, Taufik :1985 : 58).

3. Kronik
Adanya penulisan sejarah tentunya akan mengalami perkembangan. Begitupula hal nya dalam penyusunan karya sejarah dimana data yang dihimpun akan selalu bertambah. Keadaan ini tentunya sangat bermanfaat dalam penetapan dinasti sesuai dengan urutan penguasa dan tahun-tahun kejadiannya. (Abdulah, Taufik :1985 : 59). Adanya dinasti seperti pergantian kekhalifahan tentunya juga akan menunjukan manfaat dari historiografi dalam hal publikasi untuk menunjukan proses dan rentang waktu peristiwa. Adanya masa hijrah sekitar tahun 638, akan memberikan keuntungan bagi sejarawan muslim. Hal ini tentunya akan mempermudah penyusunan kronologi yang sudah tidak diragukan lagi untuk digunakan. Dengan adanya tahun dan waktu yang ditentukan ketetapannya, maka akan memudahkan untuk menghubungkan peristiwa lain seperti dengan penyesuaian masa kekuasaan. Hal ini digunakan untuk menyatukan adanya episode yang terpecah-pecah. Apabila cara ini dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bentuk tambahan (suplemen) yang disebut “dyal” (ekor), maka adanya kekeliruan akan sangat jarang untuk ditemui, meskipun laporan peristiwa yang ada memakan waktu bertahun-tahun.(Abdulah, Taufik :1985 : 59).
Cara diatas dapat dikatakan sebagai suatu bentuk penyambungan atau pengulangan bahan- bahan pada masa lalu yang diuraikan dengan penyingkatan yang terperinci, terutama jika mendekati masa penulisan karya itu sendiri. Selain itu biasanya para pengarang akan memberikan tanggal, bulan dan hari yang sesuai dengan peristiwa, bahkan berita-berita biasa. Karya khalifah b. Khayyat dalam bahasa Arab, pada awal abad-9 merupakan karya sejarah (kronik) tertua. Selain itu karya Tabari (923), merupakan karya standar yang terdiri dari beberapa historiografi kronik dan kemudian akan mempengaruhi arah penulisan selanjutnya.(Abdulah, Taufik :1985 : 59).

4. Biografi
Biografi merupakan salah satu dari bagian studi yang dikembangkan oleh sejarawan muslim. Di dalam biografi bukan hanya fakta mengenai sejarah manusia dan tindakan-tindakannya saja yang dikemukakan, akan tetapi adanya penekanan penulisan sejarah Islam pada awal permulaan juga ikut dipaparkan. Dimana karya sejarah saat itu sangatlah mementingkan keberadaan tokoh-tokoh besar, seperti Muhammad dan situasi yang menggambarkan Islam masa dulu. Walau demikian, saat itu juga diperhatikan mengenai penyelidikan kehidupan orang-orang yang memiliki kaitan dengan hukum dan agama Islam, serta mengetahui tanggal lahir dan wafat mereka, hubungan dengan daerah, guru, pengikut, sifat, ahlak, karya, dan kegiatan mereka.(Abdulah, Taufik :1985 : 60).
Adanya individu yang dianggap berpotensi untuk ditulis, maka akan menempatkan biografi untuk menjadi suatu karya yang besar, walau harus menggunakan tema yang sama. Bigrafi bentuknya singkat dan permulaannya berupa bentuk riwayat hidup dari tokoh terkemuka. Biasanya biografi menyangkut orang dari kalangan cendekiawan tertentu yang dikumpulkan di dalam karya khusus. Sedangkan bagi biografi yang mengutamakan orientasi pada agama tentunya akan menjadikan biografi ulama sebagai bagian terbesar dari historiografi lokal.(Abdulah, Taufik :1985 : 60).
Dalam memudahkan referensi, biografi disusun dalam kelompok kelas yang disebut “tabaqah”. Adanya karya ini mencakup mengenai orang yang wafat dalam waktu bersamaan. Hal ini merupakan cara yang kaku dalam memeuhi kebutuhan ulama untuk menguji keaslian dan kebenaran dari rangkaian orang-orang yang meriwayatkan (transmitter). (Abdulah, Taufik :1985 : 60). adanya perkembangan biografi, maka akan dituntut untuk dilakukan penyusunan sesuai dengan abjad. Hal ini telah dijadikan sebagai metode yang diutamakan dalam biografi sejak abad ke-10. Hal yang perlu untuk ditegaskan bahwa adanya orang dari golongan bawah yang bukan cendikiawan, maka tidak akan dimuat di dalam biografi. Adanya informasi dan fakta yang tidak tersusun akan menyebabkan bahan-bahan ini hilang dan sulit ditemukan. Apabila para sejarawan tidak mengumpulkan data yang berantakan tersebut, maka biografi seperti karya Yaqut (1229), yang berjudul Irshad- al-arib ila ma’rifat al-adib, dan ahli-ahli kedokteran yang dikimpulkan oleh Abi Usaybiah (1270) dalam karya sejarah kedokteran yang berjudul “ Ujun al-anba;fi tabaqat al-atibba, dan biografi tokoh terkemukan yang ditulis oleh Ibn Khalikan (1282), berjudul wafayat al-a’yan.(Abdulah, Taufik :1985 : 60)

5. Sejarah Umum
Di dalam karya historiografi Islam, bahan mentah yang banyak sekali digunakan adalah sejarah yang berkaitan dengan politik yang terbatas pada administrasi dan tindakan militer yang didilakukan oleh para penguasa saat itu. Kita telah ketahui, bahwa banyak sekali peristiwa sejarah yang berkaitan dengan peristiwa tersebut dan pada permulaan awal abad ke-9 sudah banyak sekali buku-buku karya yang ditemukan. Adapun buku tersebut berkaitan dengan arti politik dan peristiwa khusus. (Abdulah, Taufik :1985 : 61).
Adanya perkembangan sejarah dunia atau sejak kedatangan Islam maka telah menunjukan tingkatan yang dapat dikatakan cukup berhasil. Adanya karya yang bersifat universal dalam pengertian Islam, mampu untuk memasukan informasi maupun data yang lebih luas. Hal ini bisa terlihat dengan data yang diperoleh dari masa-masa sebelum Islam dan sebagian besar tidak menyangkut sejarah non-Islam, walaupun diantaranya menyangkut masalah mengenai Islam.(Abdulah, Taufik :1985 : 61)
Adanya asimilasi dengan kebudayaan Hellenisme tentunya mampu untuk memperluas ruang lingkup Historiografi. Pada akhir abad kesembilan, adanya sejarah politik yang dikaitkan dengan pemikiran mulai membicarakan berbagai gejala peradaban yang dikenal. Hal ini tentunya melahirkan karya besar seperti karya Ya’kubi dan rangkaian publikasi oleh al-Mas’udi (945/946). Selain itu ada karya Muruj az-Zahab yang mempu mempengaruhi karya-karya yang terbit sesudahnya. (Abdulah, Taufik :1985 : 61).
Adanya informasi asing dalam penelitian ilmiah tidak membuat penyelidikan yang secara sistematis tetap berjalan. Hal ini menimbulkan perhatian terhadap dunia modern atau setengah modern dari dunia non-Islam masih terbatas. Dibandingkan dengan sejarah Islam, maka referensi mengenai peristiwa yang ada diluar Islam sangat sedikit sekali ditemui karyanya. Al-Mas’udi misalnya memasukan daftar raja-raja Eropa (lihat Maqbul Ahmad 1960,pp.7-10). Adanya penulis asing biasanya juga melakukan penulisan peristiwa yang terjadi pada arena internasional. Adanya sejarawan pada masa Perang Salib yang menyadari bahwa terdapat perbedaan budaya dan politik yang timbul, tetapi dalam analisa politik dan militer, mereka tidak berani untuk keluar bergerak diluar batas Islam. Di Asia Tengah, adanya susasana yang diciptakan oleh Kerajaan Mongol mampu untuk menghadirkan karya sejarawan Rashid ad-Din Fadlallah (1318).(Abdulah, Taufik :1985 : 61)
Selain itu adanya karya Sejarah Umum (Jami’at-tawarikh) yang ditulis dalam bahasa Persia dapat dijadikan sebagai karya sejarah yang universal. Pada umumnya juga Historiografi lokal yang ada dikota dan daerah-daerah juga melakukan pengembangan dengan yang menekankan pada sejarah politik dan agama, begitujuga mengenai uraian topografi dan data-data kepurbakalaan. (Abdulah, Taufik :1985 : 62). Sedangkan data mengenai kehidupan ekonomi, sosial, dan keuangan merupakan bentuk pengamatan yang sifatnya sambilan, sehingga dalam penulisan sejarah informasi demikian tidaklah banyak untuk ditulis.(Abdulah, Taufik :1985 : 62). Adanya sebagian kecil karya sejarawan yang bersifat kronik telah menunjukan kita mengenai pandangan kehidupan yang ada diperkotaan (urban) seperti kejahatan, peristiwa bunuh diri, inflasi yang melanda, serta masalah sosial lainnya.(Abdulah, Taufik :1985 : 62)

6. Para Sejarawan
Karya historiografi Islam ahli adalah karya dari sarjana yang terdidik ilmu agama, kegiatan penulisan sejarah telihat pada Bukhari (870), ia merupakan pengumpul hadis (sahih) yang berasal dari Nabi. Selain itu adanya biografi tokoh agama dengan penamaan sejarah membuat dirinya yang dalam kesadaran Islam terbentuk menjadi sejarawan. Sejak abad kesebelas dan seterusnya, banyak sarjana sejarawan yang memangku jabatan di pengadilan (hukum), administrasi politik pada lapangan sipil, madrasah. Secara keseluruhannya sejarawan ini mengandalkan pengembangan agama. (Abdulah, Taufik :1985 : 62).

A. Sejarawan Istana
Di negeri Islam yang berada dilingkungan ambisi penguasa, maka sejarah adalah ilmu istana “par excellence”. Hal ini menunjukan bahwa penghuni istana yang mendampingi raja, para menteri, guru-guru (pengajar) keluarga raja, dianggap mengetahui sejarah. Biasanya Khalifah sultan akan memerintah pejabat untuk menyusun sejarah dinasti, biasanya sejarah dibuat untuk persembahan kepada raja. Dengan demikian, maka kedudukan sejarawan profesional akan mendapat tempat yang terpenting di Istana. Misalnya pada dinasti sebelum Persia dan Ottoman telah disediakan fasilitas untuk melakukan studi sejarah. Biasanya “sejarawan istana“ ini lebih mengutamakan usaha individu. Hal ini karena sejarawan akan menghasilkan karangan yang tentunya akan mendatangkan sanjungan bagi diri pribadi. Sehingga dalam pengertian lain akan sangat sulit mengenal adanya batas historiografi istana yang identik terhadap peristiwa sebenarnya. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)
Adapun jumlah sejarawan istana ini tidaklah banyak. Pada akhir abad kesepuluh terdapat sejarawan yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai politik, ilmu filsafat dan ilmu nonagama. Sejarawan tersebut misalnya Mishkawayh (1030), dan Hilal as-Sabi (1036). Mutu dan kualitas dari karya sejarawan ini tentunya berasal dari pandangan mereka tentang sejarah. Karya Imad ad-Din al- Isfahani (1201) adalah karya memoar sejarah terbaik, karya ini dibuat oleh pejabat tinggi dengan menggunakan dokumen dan buku harian. Selain itu karya yang berjudul Barq ash’shabi patutlah mendapat penghargaan sebagai karya besar historiografi diplomatis dalam Islam. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)

B. Sejarawan Amatir
Imad al- Isfahani dan para penguasa yang menulis sejarah amatir dapatlah dikatakan sebagai sejarawan amatir. Hal ini karena karya yang dihasilkan sebagian besarnya adalah silsilah dari keturunan Ali. Hal ini karena jarang ditemukan karya sejarah yang ditulis berdasarkan rasa cinta dan kesadaran akan arti sejarah untuk memelihara catatan historis. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)

C. Sejarawan Profesional
Adanya karya sejarah yang laku terjual dan ditemukan ditoko-toko buku merupakan fenomena yang luar biasa. Keadaan ini tidaklah cukup untuk mendatangkan dugaan dari luar mengenai hasil penjualan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup pengarang. Sejarawan profesional hampir tidak ada dalam lingkungan abad pertengahan (Abdulah, Taufik :1985 : 63).
Sejarah tidak termasuk dalam kurikulum madrasah, walaupun terkadang pelajaran ini diberikan pengajar yang telah menerima bayaran dalam pelajaran lain. Pada umumnya banyak orang yang ingin mengabdikan diri untuk menyusun karya sejarah. Biasanya orang-orang ini ingin dikenal dalam tradisi Islam sebagai sejarawan. Adapun tokohnya seperti al-Mas’udi dan pada masa kekuasaan Mamluk di Mesir, maka perhatian sejarah tertuju kepada pengarang seperti al-Maqrizi (1442) dan banyak lagi lainnya. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)

7. Tujuan dan Metodologi Historiografi Islam
Sejarawan muslim mempunyai kebiasaan untuk memperkenalkan karyanya dengan pernyataan yang berisi tujuan dari penulisan sejarah (misalnya pernyataan yang dikumpulkan oleh as- Shakhawi). (Abdulah, Taufik :1985 : 64). Pada umumnya gagasan mengenai pengertian tersebut adalah suatu ukuran yang standar, walaupun didalamnya tidak memuat hubungan individu. Adapun pernyataan dan tujuan adalah pengakuan yang keabsahannya tidak dapat dibantah. (Abdulah, Taufik :1985 : 64). Dalam hal ini sejarah dianggap berperan untuk menghasilkan contoh-contoh baik yang bersifat positif maupun negatif. Point terpenting dari sejarah adalah pelajaran mengenai politik dan kepemimpinan untuk mengatur pemerintahan. Sejarah terkadang menuntut pola berfikir untuk santai setelah menyelesaikan tugas ilmiah secara kompleks. Artinya sejarah itu sifatnya tenang apabila telah berhasil menyelesaikan penelitian yang benar-benar ilmiah atau sebagaimana peristiwanya terjadi. Sejarah baru bisa untuk berdiam diri ketika kebenaran berhasil untuk diungkapkan. Dalam hal ini sejarah dapat disebut sebagai petunjuk (tuntunan). Sehingga wajar saja kalau adanya pengawal atau pemuka agama yang telah berhasil membuktikan kebenaran Islam dan mengungkapkan pandangan sehat mengenai dunia. Hal diatas diungkapkan karena pada masa ini banyak sekali waktu yang terbuang hanya untuk membahas soal keduniawian (sekuler). Hal ini erat kaitannya dengan pengertian historiografi sebagai bagian dari peradaban Islam. (Abdulah, Taufik :1985 : 64) .
Adanya gagasan sejarah sebagai senjata politik dalam memperjuangkan ideologi dan politik adalah suatu hal yang tidak ditangani oleh sejarawan muslim secara terbuka dan merata. Sejarawan ini sadar bahwa karya yang ditulis sering digunakan untuk mengangkat posisi seseorang, atau memperkokoh kedudukan dinasti yang sedang berkuasa. Adanya penelitian modern berhasil membuktikan bahwa kepentingan politik terkadang membuat adanya manipulasi terhadap data atau bukti sejarah. Keadaan ini tidaklah membuat sejarah muslim untuk berganti haluan, karena pada umumnya mereka tetap merasa bahwa keberadaan nya sebagai sejarawan adalah pelindung, penerus (transmitter) dari fakta yang tidak dapat diubah-ubah, atau ditafsirkan. (Abdulah, Taufik :1985 : 65)
Kegiatan sejarah terbatas pada melaporkan, menyingkatkan, menghimpun bahan sejarah, dan menceritakan kembali sumber-sumber yang ada. (Abdulah, Taufik :1985 : 65). Adapun pandangan ini ditentukan oleh metode penelitian sejarah. Tugas utama ahli sejarah adalah menyusun peristiwa yang benar terjadi dan pokok masalah yang dihadapi. Adapun tujuannya untuk menyelidiki kebenaran informasi yang diperoleh baik secara lisan maupun secara tertulis. Adapun kebenaran adalah cara untuk mengecek dugaan mengenai informasi yang diperoleh oleh seorang ahli. Selain itu pengamatan pribadi dalam pengertian sejarah kontemporer adalah dasar dari pengetahuan sejarah yang dijadikan sebagai cara ampuh untuk mengecek kebenaran sejarah. Selain itu, sistem yang lebih lengkap yang dikembangkan oleh sarjana hadis (para ulama), yaitu cara untuk menguji keaslian dan kebenaran hadis yang dapat diterapkan untuk penelitian sejarah. (Abdulah, Taufik :1985 : 65).
Berdasarkan keperluan, sejarah tertulis telah memberikan suatu wewenang pembuktian (evindential authority), penelitian arsip dan studi prasasti (inskripsi), mata uang, dan bukti-bukti sejarah yang hampir sporadis digunakan. Berkaitan dengan metodologi historiografi, maka pada abad pertengahan dapat dilihat karya Muhammad b. Ibrahim al-Iji seorang sarjana Persia. Adapun tulisannya dibuat pada tahun 1381-1382, karyanya adalah karya tertua metodologi. Pada tingkat teori yang kurang lengkap ialah karya komprehensif mengenai historiografi Islam, metode, masalah-masalahnya dan sejarah dari al-Kafiyaji (1474), yang menulis pada tahun 1463 di Mesir, dan sesudahnya adalah as-Sakhawi (d.1497), yang menulis pada tahun 1492. (Abdulah, Taufik :1985 : 66).

8. Filsafat dan Sosiologi Islam
Di dalam metodologi, maka pandangan sejarah sejarawan telah dipaparkan. Sejarawan berkeyakinan bahwa sejarah adalah media yang dijadikan pedoman agar manusia dapat memperbaiki hidupnya sekaligus mempersiapkan hari perhitungan yang nantinya tidak dapat dielakan. Dengan adanya Nabi Muhammad di dalam agama Islam, maka tujuan sejarah akhirnya dapat dipahami sebagai suatu kenyataan. Artinya “ bahwa Alquran yang dijadikan wahyu kepada Nabi Muhammad adalah suatu kitab yang berisi mengenai ajaran-ajaran kebaikan yang didalamnya terdapat kebenaran mengenai kehidupan didunia maupun di akherat kelak”.
Dengan kemapuan manusia, maka sejarah akhirnya dapat dijadikan sebagai pertanyaan untuk menghadirkan kehidupan individu yang baik di masyarakat atau secara agamanya. Dalam melakukan penilaian terhadap penguasa, maka sejarawan akan memberikan sudut pandangnya berdasarkan kepatuhan (ketaatan), atau sumber informasi yang diperoleh dengan dasar norma-norma Islam. Hal ini karena pada umumnya sejarawan adalah manusia biasa yang tidak mempunyai mekanisme dalam memberikan penilaian dosa dan ganjaran. Namun demikian bentuk kepatuhan dan norma Islam dapatlah djadikan suatu landasan untuk memberika penilaian. Adanya keabsahan (validity) teologi Islam tidak semua dipahami oleh sejarawan. Hal ini karena ada sejarawan yang memahami sejarah sebagai gejala sosial belaka. Sehingga cara seperti ini biasanya dianggap bertentangan dengan Islam dan di Curigai. (Abdulah, Taufik :1985 : 66).
Di dalam karya Miskhwayh yang berjudul “Pengalaman Bangsa-bangsa” terdapat penjelasan mengenai peristiwa yang terjadi di dunia ini terlepas dari adanya pengaruh kekuatan diluar manusia (super natural) , hal ini karena peristiwa yang terjadi dianggap ada berkaitan dengan Nabi, sehingga memberikan pengalaman bermanfaat bagi yang berminat mempelajari sejarah. Adanya Ibnu Khaldun dari Afrika (1406) yang telah melakukan penulisan pada tahun 1377, adapun isi pemaparan Khaldun lahir dari adanya sudut pandang terhadap manusia belaka. Pada pengantar (Mukaddimah) bukunya yang berjudul " Kitab al-ibar”, Khaldun menguraikan mengenai kekuatan materi dan psikologi secara terperinci. Defenisi sejarah yang dihasilkan adalah sudut Cyclic motion gerak lambat maju kedepan secara kontinu, baik yang berjalan maju kedepan atau kemunduran dalam kerangka himpunan manusia dalam berbagai bentuknya. (Abdulah, Taufik :1985 : 67).



9. Historiografi Islam Kontemporer
Bentuk penulisan sejarah Islam tentunya adalah bentuk yang akan terus bertahan hingga saat ini, terutama pada dunia Islam yang tertutup rapat. Adanya goncangan pada dunia Islam terjadi ketika kampanye Militer Napoleon di Mesir. Ketika itu bentuk kronik adalah karya sejarah yang masih muda dihasilkan, misalnya saja karya Al-Jabarti (1826). Dengan adanya terjemahan barat pada abad ke-19 membuat minat terbatas dikalangan Islam, khsususnya cendikiawan. Adanya studi mengenai sejarah dunia yang tidak langsung berkaitan dengan negeri Islam, membuat minat sejarawan Islam menjadi terbatas terhadap karya-karya nonIslam. Pada awal abad ke-20 terdapat Perang Dunia kedua yang berpengaruh terhadap kehidupan muslim yang mendapat perhatian di negeri Islam. Anggapan ini bisa lahir karena adanya pertentangan suku yang terjadi antara golongan Islam sebelum pembagian India dan kekeliruan yang dilakukan pengajar sejarah disekolah, hal ini harusnya diadakan koreksi dari para sejarawan (lihat Nadvi, dalam Philips 1961, hal 493). (Abdulah, Taufik :1985 : 68).
Adanya kelompok yang beranggapan bahwa sejarah Islam tidaklah dapat memberi bimbingan untuk menyelesaikan masalah, sehingga akhirnya diabaikan. Perasaan umat adalah sarana yang digunakan untuk membangkitkan studi kejayaan Islam masa lampau. Sehingga dapat dijadikan sebagai sumber utama yang juga berperan untuk membangun moral bangsa dan memperkokoh aspirasi nasionalis. Dengan demikian maka akan lahirlah karya-karya dari Husayn Haykal dan Mahmud Abbas al-Ikkad. Film , dan drama juga dimanfaatkan secara efektif untuk tema sejarah (lihat, Landau, 1958, hal 114 dst, 198). (Abdulah, Taufik :1985 : 67).
Akhir-akhir ini banyak sejarawan Islam yang mendapat pendidikan barat secara ilmiah dan metodologi, telah menerbitkan karya sejarah penting, baik biografi, sosial, dan ekonomi tentang sejarah Islam dimasa lampau. Adanya studi arsip di Turki menunjukan bahan sejarah yang tersimpan. Publikasi teks sejarah yang dilakukan sejak abad pertengahan tetap menjaga standar normal dalam editing. Dengan kejayaan Islam pada masa lampau dianggap sebagai ilham ideologi politik dalam gerakan yang ada pada sejarah. Hal ini memiliki pengaruh yang besar antara tahnu 1920 sampai tahun 1945. Sampai saat ini penggalian purbakala, pengawetan (conservation), dan studi peninggalan purbakala dari masa sebelum Islam dan masuknya Islam dengan baik dikembangkan dimana-mana. (Abdulah, Taufik :1985 : 68).















SIMPULAN
Historiografi Islam merupakan hasil penulisan sejarah yang identik dengan Islam. Ekspansi dan kejayaan bangsa Islam dimasa lalu memiliki peranan terhadap perkembangan Historiografi Islam. Biografi dan Kronik adalah contoh dari bentuk Historiografi Islam. Pada penulisan sejarah Islam golongan bangsawan, cendikiawan dan agama sangat diutamakan. Misalnya saja penulisan mengenai Nabi Muhammad dan kehidupannya. Fenomena ini, tidak terlepas dari lingkungan budaya yang ada. Hal ini karena ketika itu bangsa Arab memainkan peranan politik kesukuan dan kejayaan bangsa dibawah Hegemoni Quraysi.
Peristiwa yang terjadi pada masa sebelum dan sesudah masuknya Islam tentunya akan mengalami perkembangan. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan ruang lingkup yang meluas dan bertambahnya data. Dalam hal ini penulisan yang akurat tentunya akan menghadapi tantangan untuk bisa menentukan kronologis peristiwa agar kebenarannya dapat dipercaya. Berdasarkan ikatan budaya masyarakatnya, Historiografi Islam lebih mengutamakan agama, politik, dan kepurbakalaan dibanding dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan keuangan. Hanya saja adanya karya sejarah Islam yang berupa kronik tentunya akan memberikan pemaparan mengenai masalah sosial, inflasi dan sebagainya.
Adanya sejarawan Islam sangatlah berperan dalam meneruskan atau mengabadikan kisah sejarah masa lalu dan masa sekarang Islam. Dalam perkembangannya sejarawan terdiri atas : sejarawan istana, sejarawan profesional, dan sejarawan amatir. Hal yang menjadi pembeda ketiga jenis sejarawan ini terletak pada bentuk penulisan dan tujuan. Sejarawan istana tentunya akan membuat legitimasi atas dirinya agar mendapat tempat dihati penguasa, sejarawan amatir akan mengabaikan sejarah semestinya, dan sejarah professional tentunya akan bekerja sesuai bayaran yang diterima.
Berdasarkan metodologi sejarah itu dibuat untuk menyatakan tujuannya. Sejarah itu sifatnya ilmiah. Hal ini terlihat dengan adanya metode untuk menguji kebenaran, adapun yang dilakukan dengan mengecek sumber tertulis maupun lisan. Secara filsafat sejarah diharapkan mampu untuk mengarahkan manusia pada kehidupan yang lebih baik dan secara sosiologinya terdapat sejarawan yang hanya mempelajari gejala sosial masyarakat saja. Adanya terjemahan barat membuat sejarawan Islam membatasi minatnya. Hal ini karena kejayaan Islam pada masa lampau dianggap sebagai ilham ideologi politik dalam gerakan yang ada pada sejarah. Adanya pandangan bangsa Islam yang sifatnya mendominasi ini tentunya mendapat pengaruh dari jiwa zaman saat itu. Hal ini karena dogma yang berisi pada kebenaran Alquran dijadikan oleh bangsa Arab masa lampau sebagai pedoman untuk melegitimasi kedudukannya. Pandangan fanatis bangsa Arab ini membuat mereka merasa sebagai bangsa yang paling utama dan paling baik di dunia. Pasca Perang Dunia perhatian terhadap penulisan Historiografi Islam mulai mendapat perhatian kembali. Adanya kesalahan dalam memahami sejarah Islam diduga karena informasi yang diberikan pengajar tidak sesuai mestinya. Dengan keberadaan studi arsip di Turki dapatlah dijadikan bukti bahwa bahan sejarah itu masih ada hingga saat sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi.
Jakarta : Gramedia
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama; Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII : Jakarta : Prenada Media
Koningsveld. 1989. Hurgronje Snouck Dan Islam
Bandung : Pustaka
Majid, Dien. 2008. Berhaji Di Masa Kolonial.
Jakarta : Sejahtera
Syalabi. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam 1.
Jakarta : Al Husna Zikra
Syalabi. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam 2.
Jakarta : Al Husna Zikra
Syalabi. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam 3.
Jakarta : Al Husna Zikra
Steenbrink, Karel. 1995. Kawan Dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda
Dan Islam Di Indonesia (1596-1942). Bandung : Mizan

Salah satu Figur Sukses

BERANI AMBIL RISIKO DAN BERANI MEMULAI MERUPAKAN KUNCI KESUKSESAN YANG DIRAIH FIGUR WIRAUSAHA A. KHOIRUSSALIM IKHS
“Allah tidak akan merubah nasib seseorang apabila orang tersebut tidak ingin merubahnya”. Kiranya ungkapan tersebut sudah sering sekali kita dengar, namun tidak semua orang mampu untuk memahami maksud yang terkandung didalamnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman semata, namun tiada penerapan. Telah kita ketahui Indonesia merupakan negara korupsi dengan kehidupan rakyat yang tidak jauh dari kemiskinan. Pergantian penguasa dinegeri ini ternyata tidak mampu untuk menjadikan hidup rakyat sejahtera. Peristiwa jatuhnya rezim Soeharto merupakan suatu hal yang tidak bisa dilupakan dalam benak kehidupan rakyat Indonesia. Hal ini karena masa tersebut merupakan masa sulit perekonomian Indonesia ditengah tidak stabilitasnya situasi politik. Indonesia yang terkenal miskin dan bertambah melarat ketika itu sangat sukar untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya.
Fenomena diatas ternyata sifatnya tidak selalu konstans. Maksudnya tidak semua orang (rakyat) mengalami hal yang sama. Hal ini karena kita ketahui “hidup itu ibarat roda yang selalu berputar; tidak selamanya selalu berada diatas dan tidak selamanya berdiam dibawah”. Begitulah kiranya kita untuk menggambarkan kehidupan fana ini. Kehidupan tenang dan damai belum tentu menjadi jaminan kesejahteraan, namun situasi kacau yang mampu membuka impian untuk menuju kejayaan merupakan suatu hal langka yang patut dijadikan pertanyaan. Inilah kiranya hal yang membuat perhatian kita sudah seharusnya untuk tertuju terhadap keberadaan “PT Country Lestari” yang berdiri ditengah krisis bangsa.
“PT Country Lestari” merupakan produsen donat yang asli diciptakan oleh anak bangsa Indonesia. Adapun pemilik sekaligus pendirinya adalah A.Khoirussalim Ikhs yang awalnya memanfaatkan peluang ditengah gejolak politik Indonesia. Awal perkenalan antara Khoirussalim dengan donat disebabkan oleh pengalamannya menjual donat orang lain. Ditengah situasi ekonomi Indonesia yang memburuk tentunya Khoirussalim dituntut agar mampu bertahan hidup. Gelar sarjana filsafat UGM tidak bisa menjadi jaminan untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Sehingga mau tidak mau Khoirussalim harus bekerja tanpa memperhitungkan title atau gelar yang diperolehnya. “Hidup itu keras, sehingga manusia harus bisa dituntut untuk kuat; hidup itu pilihan yang harus diambil dan jangan dilihat dari kekurangannya tapi haruslah ditempuh terlebih dahulu”. Demikianlah untaian kata yang patut kita tujuakan kepada pengusaha yang kini telah sukses tersebut. Dari berjualan donat orang lain Khoirussalim akhirnya berinisiatif untuk menjual donat sendiri. Ia pun berhenti bekerja dari usaha orang lain dan mencoba untuk membuat donat sendiri dengan tangannya dan ia pasarkan sendiri. Dengan modal sedikit yang berasal dari hasil kerjanya terdahulu terus ia kembangkan dan dijadikan usaha. Ia menekuni usahanya tanpa menggunakan uang pinjaman. Hal ini karena Khoirussalim hanya menggunakan uang yang ada (uang hasil penjualan donatnya selalu diputar untuk berjualan donat lagi) dan modal keterampilan membuat donatnya. Dengan keyakinan ia memberanikan diri untuk terjun menjual donat meski tentunya banyak jenis kue lain yang menjadi saingan donat. Bahkan donat buatannya pernah dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa yang tengah berdemo di Jakarta (1998).
Dengan latar belakang seorang sarjana filsafat maka Khoirussalim akhirnya menerapkan filsafatnya pada donat. “Pendapatnya donat itu kue yang berlubang ditengah dengan rasa manis dan enak sehingga tentunya akan dicari orang banyak”. Dengan falsafah demikian akhirnya Khoirussalim berniat untuk mengembangkan usaha donatnya. Bersama yang modal sedikit dari hasil bekerja jualan donat orang lain rasanya sangat mustahil untuk bertahan memproduksi donat sendiri, namun itulah kenyataan yang ada. Gerbang kesuksesan A. Khoirussalim lewat usaha donatnya akhirnya mampu mencapai kesuksesan. Selama 7 tahun ia berjualan hanya dengan modal keyakinan dan percaya. Hasil sedikit tidak dipermasalahkan oleh pemilik PT Country Lestari ini; bagi Khoirussalim uang bukanlah segalanya. Ia merasa tanpa uang seseorang itu mampu mendapatkan impiannya. Khoirussalim berpendapat bahwa orang yang diberi modal pun belum tentu bisa berbinis, hal ini berkaitan bahwa dalam berusaha itu sebenarnya bukan uang yang diutamakan tetapi skill.
Berbisnis tanpa modal memang hal yang membuat pesimis, namun apabila melihat kegigihan Khoirussalim setidaknya mampu untuk memberi rasa optimis. Hal ini tentunya sepakat dengan pendapat Joseph Schumpeter mengenai pengertian wirausaha yang berinti pada usaha untuk menciptakan dan menghasilkan. Enterpreneur sebenarnya lebih menekankan pada wirausaha yang mampu memanfaatkan adanya peluang dan kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini lah yang diterapkan oleh Khoirussalim yang telah berusaha untuk menciptakan donat buatannya dan menghasilkan produk itu untuk dipasarkan hingga akhirnya ia mampu memanfaatkan peluang dan kemudian berhasil mendirikan suatu organisasi serta perusahaan yang mampu memberi peluang kerja untuk orang lain. Pembuktian ini terlihat dari keberadaan PT Country Lestari, produsen Country Donuts sebagai salah satu bisnis waralaba lokal yang sukses.
Hasil nyata dari usaha kerja keras Khoirussalim terliha dengan berdirinya dua pabrik donat di Jakarta dan 10 franchise lainnya di berbagai kota lainnya di Indonesia. Adanya donat-donat asing di Indonesia tidaklah dijadikan saingan oleh Khoirussalim. Misalnya saja dengan keberadaan J-co (donat asing yang populer) justru membuat Khoirussalim menjadikannya sebagai pelajaran dan dorongan terhadap pengembangan usahanya. Hal ini terbukti dengan keberadaan hasil produksi donatnya yang mulai dikenal orang banyak.
Pengusaha donat sukses yang lahir di Kebumen 24 September 1965 ini sudah berhasil dalam menerapkan teori wirausahanya. Kepercayaan yang dijadikan modal awal usahanya kini telah berhasil mengukuhkan bahwa modal berbisnis itu ialah tekun, rajin, disiplin, kerja keras, dan tawakal bukan modal uang. Hal inilah yang membuat Khoerussalim dikatakan berusaha hanya dengan modal dengkul dan modal nekad (hal ini karena dari sisi finansial Khoirussalim tidak menyiapkan uang seperti pengusaha lain). Bagi pengusaha dan direktur sukses yang memiliki kantor di tengah kampung di kawasan Ciracas, Jakarta Timur ini “kewirausahaan itu bukan bermodal materi, akan tetapi menjual skil”. Wirausaha itu menyiapkan produk dan orang lain yang menyiapkan uang untuk membeli hasil produk tersebut. Sesuai dengan pendapat David E. Rye (1996: 6), maka Koirussalim dapat dikatakan telah memenuhi syarat wirausaha. Hal ini karena pengertian wirausaha itu adalah suatu pengetahuan terapan dari konsep dan teknik manajemen yang disertai risiko dalam merubah atau memproses sumberdaya menjadi output yang bernilai tambah tinggi (value edded).
Khoirussalim sekarang telah menerima risikonya. Adapun risiko yang dirasakan lewat bisnis pemasaran donat yang bersistem direct selling (pemasaran langsung) tersebut adalah sebuah kesuksesan. Saat ini Khoirussalim telah menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia dan Presiden Direktur Entrepreuneur College. Mantan penjual donat kecil-kecilan ini sejak tahun 2005 telah mendirikan sekolah (Entrepreuneur College). Adapun tujuan dari didirikannya lembaga yang bersistem short course ini dijadikan untuk menyampaikan keinginannya agar dapat memotivasi orang lain dalam berwirausaha. Selain itu naluri wirausahanya juga dibuktikan dengan mendirikan “Country Baking School” pada tahun 2006 (lembaga kursus untuk kaum ibu). Terciptanya kursus ini karena Khoirussalim melihat peran ibu-ibu yang pandai memasak dan membuat kue. Khoirussalim beranggapan bahwa keahlian tersebut haruslah dikembangkan karena dari masakan dan pembuatan kue bisa saja ditemukan jenis makanan baru yang lebih enak dan berkreasi. Keahlian adalah bisnis, dan cara berfikir sudah seharusnya diubah. Dengan adanya semangat dan motivasi maka dapat dijadikan sebagai keyakinan untuk berbisnis. Selain itu program lain yang dihadirkan oleh “PT Country Lestari, produsen Country Donuts “ adalah mengundang anak-anak TK dalam kunjungan edukatif. Pada rangka membantu program kurikulum berbasis kompetensi, anak-anak TK diperkenalkan dengan cara membuat donat, diajarkan membuat donat sendiri yang kemudian bisa dibawa pulang (ajang ini bisa bersifat rekreasi namun berunsur edukatif).
Jiwa wirausaha yang dimiliki oleh ayah lima orang anak ini juga dituangkan dalam pembuatan buku karya-karyanya (ia menulis 3 buku untuk memotivasi orang agar mampu berbisnis tanpa menggunakan mind set bahwa bisnis itu adalah modal dan uang). Diantara karyanya yang menjadi best seller, yakni buku yang berjudul “Kiat Sukses Memulai Bisnis”. Point penting yang diungkapkan didalam buku tersebut adalah dua prinsip yang diterapkannya dalam menjadi wirausahawan sukses. “Prinsip pertama adalah mengubah mind set yang selalu mengatakan bisnis itu sulit, harus tersedia modal banyak dulu, dan prisnsip kedua adalah action (aksi); berani memulai dan kerja keras”.

Sumber :
http://id.wikipedia.orgi/wiki/figur pengusaha sukses
(diakses tanggal 9 Juni 2010)



LAMPIRAN
Figur Orang Sukses

Gambar : A Khoirussalim Ikhs
Pemilik “PT Country Lestari” produsen Country Donuts “
Sekjen Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia
Presiden Direktur Entrepreuneur College.
Pemilik “Country Baking School”
Penulis buku “Kiat Sukses Memulai Bisnis”
Sumber : http://id.wikipedia.orgi/wiki/figur pengusaha sukses : (diakses tanggal 9 Juni 2010)
Keterangan : artikel ini adalah gambaran figure sukses yang ditujukan sebagai acuan dalam memotivasi semagat wirausaha. Adapun sumber artikel yang diperoleh tanggal 9 Juni 2010 ini dibuat pada hari kamis 02 Nopember 2006 yang dimasukan dalam situs internet oleh portalhr.com pada 15:58 WIB. Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah kewirausahaan pada semester 4 ini, maka penulis mengambil contoh sukses dan membuat artikel berdasarkan peikiran sendiri yang berpedoman pada data dari sumber.

MENGUTIP BUKU SEJARAH NASIONAL INDONESIA

1. PENDAHULUAN
Pada akhir abad ke 19 bangsa Barat berupaya mengembangkan pendidikan dengan gaya barat yang ditujukan untuk melakukan perluasan birokrasi administrasi. Selain itu Van de Prijs berpendapat bahwa upaya tersebut dilakukan untuk mencegah masuknya pengaruh Islam bagi Belanda.
Untuk mengembangkan pendidikan maka itu diadakannya sekolah. Pada saat itu terdapat sekolah kelas dua yang diperuntukan hanya untuk anak-anak dari golongan atas. Selain itu juga terdapat sekolah untuk anak dari gongan bawah.
Pada awal abad ke 20 banyak didirikan volkschool “sekolah desa” yang didirikan berdasarkan dengan kemampuan masyrakat dan subsidi pemerintah(pelaksanaannya hanya 3 tahun yang diajarkan hanya baca, tulis, dan berhitung). Yang kemudian dilanjutkan ke vervolgschool” sekolah sambungan untuk masa dua tahun”. Sistem ini kemudian menggantikan sekolah kelas dua yang bertujuan untuk mendidik anak negeri.
Pendidikan untuk anak dari golongan atas disediakanlah HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang dalam pendidikannya Bahasa Belanda berperan sebagai bahasa pengantar. Proses dalam pelaksanaan HIS adalah 7 tahun, bagi anak yang mampu maka akan melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onder wijs) dan kemudian dilanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School).
Bagi anak-anak yang bernasib baik bisa melanjutkan ke tahap yang lebih tinggi. Pada mulanya tempat untuk melanjutkan pendidikan terdapat di Eropa, namun karena banyak yang ingin menempuh pendidikan maka lama kelamaan akhirnya disediakan pemerintah di Hindia Belanda.
Sejak awal 1920-an terdapat HBS (Hoogere Burgerschool) yang pendidikannya selama lima tahun seperti STOVIA (sekolah kedokteran Hindia Belanda) dan HIK (Hoogere Kweekschool) sekolah teknik, yang dari sekolah–sekolah tersebut kemudian berkembang menjadi perguruan tinggi). Dari adanya kedua bidang pada pendidikan tinggi tersebut kemudian mendorong dibentuknya HIS yang diperuntukan bagi yang ingin menjadi guru. Dengan demikian murid-murid pribumi dianggap mampu untuk melanjutkan pendidikan pada tahap selanjutnya.
Pemerintah kolonial pada saat itu memberi kesempatan kepada pribumi untuk mengikuti seleksi masuk ke sekolah normal, sekolah guru atau sekolah tukang.
Pada tahun 1924 murid pribumi dimungkinkan untuk masuk sekolah ke dalam lingkungan Belanda, maka dari itu didirikanlah sekolah schakel. Dengan demikian pribumi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan sistem barat layaknya murid murid sekolah Gubernemen”
Perkembangan pendidikan dan berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda justru menjadi problem. Hal ini karena dengan adanya sekolah seseorang dituntut untuk menunjukan ijazah saat ingin melamar kerja. Ha ini menjadi dilema karena pada dasarnya tidak semua orang pribumi yang bias merasakan bangku sekolah. Bahkan pada tahun 1930 terdapat hasil sensus yang menyatakan bahwa orang Indonesia yang bisa membaca hanya 6,44 persen saja. Dari fenomena ini tentunya akan menjadi cikal bakal adanya pelebaran diferensiasi yang memuat jarak antara orang yang berpendidikan dan tidak. Hal inilah yang kemudian melahirkan lahirnya golongan priyayi dikalangan bangsawan. Dengan demikian terdapat satu sudut pandang bahwa pada masa kolonial keberadaan sekolah hanya dijadikan sebagai sarana hierarki dalam sistem birokrasi.
Adanya fenomena diatas bahkan menimbulkan sudut pandang lain yaitu” terdapat pembedaan ras pada masa kolonial”. Yang menjadi faktanya bahwa orang yang dapat mudah memperoleh pekerjaan dan pendidikan pada masa itu hanyalah orang-orang yang berkulit putih dari anak-anak orang berpangkat. Adanya faktor diatas mendorong lahirnya sekolah swasta tanpa adanya subsidi dari pemerintah. Bahkan diantara sekolah tersebut berdiri sekolah agama yang sifatnya reformis agamis yang kemudian melahirkkan sikap Nasionalis”Anti-Kolonial”
2. PERTUMBUHAN SEKOLAH PEMERINTAH DAN SEKOLAH BERSUBSIDI
Pada abad 20 jumlah sekolah di Hindia Belanda sangatlah terbatas. Sekolah rendah pemerintah (601 sekolah dengan 37 juta penduduk). Sekolah bagi penduduk non-pribumi berjumlah 359. Kebanyakan diantara sekolah tersebut terdapat misie dan zending yang membuat penyebaran sekolah menjadi tidak merata. Sekolah ini tentunya menggunakan sistem yang tak kalah dari yand terdapat di Belanda. Walau demikian jumlah pribumi yang merasakan pendidikan jumlahnya hanya sedikit (pada tahun 1900 dari seluruh ELS di Indonesia jumlah pribumi jauh lebih sedikit dari anak-anak Eropa), padahal apabila sudah tamat ELS dapat melanjutkan di sekolah kedokteran. Namun bagi pribumi yang tamat ELS dapat melanjutkan HBS dan kemudian akan mudah masuk ke OSVIA (sekolah pegawai) yang dituntut untuk melaksanakan pendidikan selama tujuh tahun, setelah tamat maka akan menjadi pegawai dan Bupati.
Selain sekolah diatas terdapat sekolah yang lebih umum yaitu Kweek School yang pada saat itu hanya terdapat lima. Dipulau Jawa dan dua selanjutnya di Manado dan Bukittinggi. Bahasa Belanda adalah bahasa Pengantar sekolah ini. Diharapkan bagi tamatan Kweek School dapat menjadi guru-guru disekolah pemerintah (saat itu tentunya bagi sekolah kelas satu dan kelas dua).
STOVIA dan Kweek School disebut sebagai sekolah Raja. Sekolah STOVIA (sekolah kedokteran) merupakan sekolah pertama yang mengumpulkan masyarakat dari seluruh penjuru Nusantara. Pada mulanya STOVIA memiliki sifat kejawaan namun akhirnya berbau ala Hindi-an. Sedangkan untuk sekolah yang terdapat di Bukittinggi memiliki peran untuk mendidik calon pegawai, bahkan bangsawa Aceh yang berhasil ditundukan Belanda wajib mengikuti pendidikan di Bukittinggi. Adanya sekolah di Bukittinggi ini dianggap berperan dalam mengembangkan bahasa Melayu (Van Ophuyusen merupakan perumus ejaan Melayu yang mengajar disekolah ini).
Masyarakat Bukittinggi yang fanastis dengan keislamannya menyulitkan pemerintah Hindi Belanda untuk mengembangkan pendidikannya. Hal ini dikarenakan rasa curiga atas praktek nasrani. Hal ini yang membuat pemerintah Hindia Belanda menutup sekolah gadis pada akhir abad 19 di Bukittinggi. Adapun alasannya karena masyrakat tidak minat pada sekolah ini sehingga akhirnya pemerintah menutupnya. Sedangkan pribumi sendiri memiliki anggapan bahwa dalam islam dan tradisi anak gadis dianggap tidak terpuji keluar rumah pada malam hari walaupun untuk belajar.
Adanya pengaruh kolonial dalam kehidupan ekonomi dan administrasi yang didukung pula oleh politik etis dalam bidang edukasi membuat kebanyakan rakyat ingin bersekolah. Adanya sekolah desa menghapus anggapan terhadap misie nasrani. Di Aceh sekolah (1908) diamankan dan diperkenalkan pada masa Gubernur Jenderal Van Heutz dan Gubernur Ballot di Sumatera Barat. Antara tahun 1910-1920 jumlah masyarakat yang ada di sekolah desa mengalami kenaikan hingga tahun 1930 masih dianggap fenomental. Namun ketika melanjutkan pada sekolah sambungan jumlah murid justru menjadi terbatas.
Antara tahun 1900-1910 terdapat fenomena kenaikan murid pribumi yang sekolah di HIS dan ELS sebanyak dua kali lipat. Maka dari itu dengan dibangun Schakel pada tahun 1924 ditujukan untuk menghubungkan sekolah Bumi Putera dengan sekolah Belanda. Namun demikian tidak semua murid pribumi dapat menyelesaikan pendidikan gaya barat dan memperoleh ijazah. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan ekonomi orang tua murid pribumi mengingat biaya sekolah tersebut mahal. Selain itu kesempatan guru untuk memperhatikan muridnya sangat terbatas terutama bagi sekolah desa dan sambungan. Adanya faktor krisis Malaise pada tahun 1930-an membuat pemerintah di bawah Gubernur Colijn yang bersifat konservatif melakukan politik penghematan dalam memberikan subsidi di bidang pendidikan.
3. PERGURUAN TINGGI DALAM DAN LUAR NEGERI
Lahirnya politik etis Van Deventer melatarbelakangi lahirnya perguruan tinggi. Hal inilah yang menimbulkan reaksi keras dari orang-orang Belanda konservatif. Adapun alasan dari reaksi ini dikarenakan adanya anggapan bahwa pribumi tidak akan memiliki kemampuan alamiah dalam mengikuti pendidikan.
Tahun 1920 didirikan Technische Hogeschool di Bandung dan tamatan sekolah hakim Rechtschool di Betawi diperbolehkan untuk malanjutkan ke sekolah hakim tinggi Rechtkundige Hogeschool. Pada tahun 1913 didirikan NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Pada tahun 1927 STOVIA dijadikan sebagai sekolah tinggi kedokteran atau Geneeskundige Hogeschool, namun tak lama kemudian STOVIA dihapuskan sehingga tinggal NIAS yang tetap menjalankan tugasnya sebagai sekolah kedokteran setengah akademis.
Pada tahun 1930-an terdapat sejarah penting mengenai perguruan tinggi. Hal ini karena pada saat itu dibuka akademi pemerintahan atau Bestuursakademie yang menerima murid tamatan AMS dengan program selama tiga tahun. Setelah seorang murid tamat dan belum siap untuk dipekerjakan di pemerintahan maka diperbolehkan untuk melanjutkan kesekolah hakim. Setelah kuliah satu tahu diperbolehkan untuk memperoleh gelar meester in de rechten. Pada tanggal 1 Oktober tahun 1940 didirikan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte dan sebelas bulan kemudian didirikan Landbouwkundinge Faculteit di Bogor.
Sejak dimulainya pendirian perguruan tinggi anak-anak pribumi sulit untuk masuk kedalamnya. Bahkan harus melewati berbagai proses yang memuat banyak tantangan dikarenakan keberadaan orang-orang Eropa. Pada tahun 1920/1921 mahasiswa pribumi tak lebih dari dua orang sedangkan mahasiswa Cina berjumlah empat orang sedangkan pada saat itu mahasiswa Eropa sebanyak 22 orang. Pada tahun berikutnya mahasiswa pribumi naik menjadi empat orang namun mahasiswa Eropa menjadi 29 orang. Fenomena banyaknya mahasiswa pribumi (berjumlah 30 orang) dari Eropa (hanya 28 orang) adalah pada tahun 1926/1927. Sampai tahun 1940an mahasiswa pribumi berjumlah 45 persen, Eropa 32 persen dan 23 persen adalah mahasiswa Cina. Pada tahun 1925 merupakan sejarah pertama orang Indonesia yang tamat dalam pelaksanaan perguruan tinggi (pada tahun itu ada 4 orang Indonesia yang tamat, 3 orang Cina dan 9 orang Eropa). Pada tahun 1933/1934 orang pribumi yang tamat perguruan tinggi ada 10 orang yang melebihi dari golongan lainnya. Sampai tahun 1939/1940 perguruan tinggi dalam negeri telah menghasilkan 532 orang dengan jumlah pribumi 230 yang menyandang gelar akademis, Eropa 195 dan Tionghoa 105 orang.
Selain belajar didalam negeri anak Indonesia juga belajar di luar negeri dan diutamakan di negeri Belanda (pada tahun 1900 terdapat lima anak negeri yang belajar kenegeri Belanda). Anak-anak pribumi yang dianggap mampu akan dikirimkan oleh para bangsawan ke Belanda. Pada saat itu anak-anak Cina dianggap sebagai penduduk Hindia Belanda yang tergolong mampu. Pada tahun 1910 didirikan Studiefonds yang bertujuan untuk mengirim anak yang berbakat belajar ke Eropa. Pada saat itu Tan Malaka yang terkenal mengirimkan anak-anak belajar ke Eropa dengan biaya dari kecamatannya. Pada tahun 1911 desa Gedang di Sumatera Barat mengirim dua calon guru untuk ke negeri Belanda dan kemudian dikuti oleh daerah-daerah lain di Indonesia dan biasanya yang mengenal perkauman besar. Selain adanya subsidi pemerintah program belajar ke Eropa bisa menggunakan biaya sendiri. Misalnya keberadaan STOVIA memberi kemungkinan untuk para dokter mencari uang ke Eropa dan melanjutkan pendidikannya. Contoh jelasnya Abdul Rivai yang melanjutkan pendidikan di Belanda dan menjadi redaktur di majalah terkenal Hindia Belanda, begitu juga dengan Dokter Sutomo yang merupakan nasionalis koperator beliau tidak hanya melanjutkan pendidikan tapi juga bekerja dengan menjadi koresponden suratkabar. Pada awal tahun 1910an jumlah mahasiswa Indonesia hanya 15-20 orang, mereka ini yang kemudian mengadakan perkumpulan dan membawa pengaruh. Hal ini juga didukung oleh fenomena pada tahun 1920-an dengan banyaknya mahasiswa pribumi yang kembali ke tanah air dengan membawa sejuta pengalaman organisasinya yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya semangat nasionalisme.
Sejak tahun 1924/1925 jumlah mahasiswa Indonesia dicatat. Dan pada tahun 1939/1940 an jumlah mahasiswa yang sekolah di perguruan tinggi dinegeri Belanda dirata-ratakan 21-23 orang tiap tahunnya dan orang-orang Cina 22-23 orang. Pada tahun 1925/1926 jumlah mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan dinegeri Belanda mengalami penurunan yaitu sejumlah 11 orang, namun pada tahun 1931/1932 mengalami kenaikan sejumlah 33 orang. Dalam kurun lima belas tahun tercatat terdapat 344 orang Indonesia da 360 orang Cina yang menyelesaikan studinya di Belanda. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan karena keunggulan orang Cina dari Pribumi dianggap tidak sesuai dengan jumlah orang Cina yang hanya 2 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Dari adanya kegiatan melanjutkan studi ke negeri Belanda tercatat ada 199 orang mahasiswa Indonesia di Universitas Leiden yang merupakan salah satu universitas yang tertua di Eropa dan pusat intelektual politik kolonial konservatif yang etis. Di Universitas Kotapraja Amsterdam terdapat 50 orang(dengan pemikiran radikal) dan Di Universitas Ultrecht (dengan pemikiran konservatif) ada 34 orang yang pada tahun 1930-an berada dibawah pengaruh Prof. Treub yang dijadikan sandaran ideologi bagi tokoh kolonial seperti Colijn dan mahasiswa yang mempelajari berbagai disiplin ilmu alamiah.Selain itu terdapat sekolah tinggi teknik di Delf, sekolah tinggi pertanian di Wageningen dan sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam yang masing-masing sekolah menerima 25, 23 dan 13 orang.
Tidak semua pribumi yang melanjutkan studi ke negeri Eropa mengalami keberhasilan. Hal ini didukung oleh keberadaan perang dunia II yang mengikut sertakan para mahasiswa ini dalam barisan bawah tanah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa negeri Belanda memiliki peranan penting dalam melahirkan anak bangsa Indonesia yang memperoleh title sarjana. Pada tahun 1913 hasil disertasi Prof, Dr Hoesin seorang anak Banten manjadi karya puncak dalam studi filologi Indonesia dan Dr Soepomo yang menjelang perang fasifik ditetapkan sebagai professor hukum adat. Keduanya merupakan sarjana yang dihasilkan oleh Leiden University. Bukan hanya Leiden, Rotterdam juga menghasilkan ahli ekonomi seperti Samsi.
Para anak bangsa ini dinegeri Belanda tidak hanya mengikuti pendidikan formal di Universitas tapi juga mengikuti privat. Diantara mereka ada juga yang belajar untuk memperoleh pedoman yang akan diterapkan ditanah air, salah satu anak bangsa yang demikian adalah Ki Hajar Dewantara di akhir tahun 1910-an dan Mohamad Syafei dengan sekolah INS nya di kayu tanam pada tahun 1920-an. Selain sekolah di Belanda para anak bangsa ini juga sekolah di Negara Eropa lainnya seperti Jerman dan Belgia bahkan ada yang di Amerika. Pada tahun 1930-an terdapat dokter Indonesia yang memperoleh gelar M.D (Medical Doctor) dari Johns Hopkins University (Baltimore).
Adanya perguruan tinggi bukan saja berjasa dalam mengembangkan keahlian masyarakat tapi juga memperhalus adanya hierrarki antara golongan terpelajar Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk otoritas keilmuan daripada status sosial bahkan menjadi faktor dalam menentukan pemilihan pemimpin dalam gerakan kebangsaan. Selain itu perguruan tinggi melahirkan kemungkinan untuk anak bangsa dalam mengembangkan ide dalam mencari pemikiran sendiri atau dengan kata lain sebagai salah satu faktor yang menggariskan hari depan bangsa.
Selain mengejar pendidikan ke Eropa banyak anak bangsa yang pada awal tahun 1930-an melaksanakan pendidikannya di Kairo dan tercatat sebanyak 350 orang. Universitasnya antara lain Al-Azhar (sebagai pusat pengetahuan Islam tertua di dunia), Darul Ullum (Universitas modern pertama di Mesir) dan Universitas Fuad (merupakan lembaga tempat mahasiswa Indonesia menuntut ilmu). Kebanyakan yang menempuh pendidikan di Kairo berasal di Sumatera dan terlibat dalam pergerakan kebangsaan. Pada saat itu semangat nasionalisme Mesir yang diliputi oleh semangat Islam membuat para terpelajar saat itu memperoleh pemecahan atas pertengkaran ideologis antar nasional “sekuler” yang semuanya dipelopori oleh didikan barat dan islam yang dibenarkan oleh kaum ulama. Maka dari itu golongan terpelajar Kairo dari Sumatera Barat berhasil mengalahkan keunggulan ulama dalam pergerakan masa dan memperkecil peranan para terpelajar didikan barat. Hal ini yang kemudian melahirkan berbagai sekolah swasta di Indonesia dengan memberikan pilihan baru dalam dunia pendidikan (yaitu dengan lahirnya pendidikan yang bernafaskan agama) ha ini kemudianlah yang menjadi ancaman bagi pemerintah Kolonial.
4. SEKOLAH SWASTA YANG TIDAK BERSUBSIDI
Apabila membicarakan sekolah maka kita akan ingat pada pesantren, surau dan madrasah sebagai sekolah agama yang sudah lama dikenal. Namun adanya bentuk sekolah seperti ini tentunya tidak sama dengan sistem sekolah yang diperkenalkan pemerintah apabila dipandang dari segi pengajaran dan pendidikan. Pada tahun 1920-an adanya perubahan sistem pada pesantren dan madrasah dengan menggunakan pola pengajaran yang bersifat umum. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa madrasah dan pesantren dianggap sebagai sekolah swasta yang penting.
Sekolah swasta dituntut untuk mengikuti sistem pemerintah dan bersubsidi. Salah satu sekolah yang menjadi contoh jelas dalam penanaman upaya ideologi pemerintah adalah Taman Siswa dan Muhammadiyah, hal ini karena pada umumnya sekolah yang memiliki corak tersebut sangat anti kolonial maka itu akhirnya menuntut pemerintah untuk selalu berupaya keras. Selain itu sekolah Swasta INS di Kayutanam justru berperan untuk memperkenalkan corak pendidikan baru. Pada dasarnya sekolah merupakan jembatan bagi perkumpulan untuk melakukan gerakan kemerdekaan maka dari itu pemerintah Hindia Belanda menjuluki dengan Wilde Scholen (berdasarkan hasil pencatatan inspektur pendidikan pada tahun 1937-1938 terdapat 1.691 sekolah liar mulai dari taman kanak-kanak hingga Kweek School tidak termasuk Taman Siswa). Periode 1920-1930 an dianggap sebagai puncak pergerakan bangsa, namun pada saat itu terdapat fenomena rakyat pribumi yang menduduki peringkat pertama yang melaksanakan pendidikan di sekolah liar yang kemudian diikuti oleh Orang Cina, Eropa dan Timur Asing lainnya. Selain sekolah didirikanlah tempat kursus yang seperti kursus memberantas buta huruf, mengetik hingga kursus politik. Didalam melaksanakan sekolah swasta jumlah guru dan murid sangatlah bergantung pada keadaan setempat. Dalam arti kata sekolah akan terus mengalami kemajuan apabila pendiri sekolah tersebut masih memperoleh kepercayaan dari masyarakat setempat, sebaliknya apabila keadaan ekonomi merosot, hilangnya dukungan dari masyarakat serta adanya ketidaksukaan pemerintah maka sekolah-sekolah swasta tersebut akan terhenti.
Pada dasarnya mutu yang dimiliki sekolah swasta sangat rendah dibanding dengan sekolah pemerintah. Namun keberadaan INS yang menolak adanya subsidi pemerintah walaupun dengan keadaan terbatas serta tenaga guru yang tidak memenuhi syarat secara langsung telah menunjukan bahwa tidak selalu pribumi berpangku pada pemerintah kolonial. Contohnya saja Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara mampu memperoleh penghargaan mengenai mutu. Pada tahun 1930-an terdapat 99 buah sekolah Taman Siswa walaupun ada beberapa sekolah yang ditutup karena mendapat pengakuan dari Majelis Luhur di Yogyakarta.
Peranan sekolah swasta bersifat beragam sesuai dengan daerahnya. Misalnya di Tapanuli Utara, sekolah swasta kebanyakan didirikan oleh zending. Dengan demikian sekolah swasta pada saat itu mampu mengangkat derajat pelajarnya yang memenuhi gaya hidup barat (sekolah swasta berperan dalam menaikan stratifikasi sosial). Sedangkan di daerah yang memiliki semangat pergerakan terutama yang bernada Islami, maka keberadaan sekolah swasta dianggap menambah semangat dalam perjuangan. Pada umumnya sekolah swasta merupakan sekolah yang kebanyakan memperoleh subsidi dari pemerintah, sehingga semua orang tidak dibatasi untuk masuk sekolah ini karena biayanya murah (menunjukan demoktrastisasi dalam pendidikan). Walau demikian pelajar yang berasal dari sekolah swasta tidak akan pernah untuk diterima dalam lingkungan pemerintah kolonial karena pada dasarnya pemerintah menganggap bahwa sekolah ini adalah liar maka itu ijazahnya pula dianggap liar. Pribumi tidak dapat masuk ke lingkungan colonial, namun demikian keberadaan sekolah swasta ini lah yang kemudian berjasa dalam menanamkan semangat nasionalis terhadap pribumi.


5. LATAR BELAKANG SOSIAL DAN MURID MURID SEKOLAH PEMERINTAH
Sekolah sambungan atau Volksschool merupakan bagian dari sekolah pemerintah walaupun kebanyakan pelajarnya dari golongan biasa. Namun tidak semuanya dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya seperti HIS karena untuk masuk kedalam HIS haruslah dilihat berdasarkan status sosial. Dengan demikian terdapat pembatasan terhadap pribumi untuk masuk dalam pendidikan Belanda. Dalam menentukan status sosial di masyarakat pribumi pemerintah berpatokan pada penghasilan mulai dari asisten wedana keatas dengan penghasilan sekitar F1. 1200 (dianggap memiliki status cukup tinggi).
Berdasarkan Stbld. 1914 NO 359 terdapat empat syarat orang tua yang anaknya diperbolehkan untuk masuk HIS berdasarkan kekayaan, jabatan,keturunan dan pendidikan. Dengan demikian keturunan bangsawan tradisional seperti bupati dan pejabat pemerintah seperti wedana sebagainya boleh masuk kedalam HIS. Bahkan pendidikan orang tua juga dilihat minimal orang tua si anak sebatas MULO. Adanya ketidaktentuan pencatatan penghasilan orang tua membuat golongan kelas menengah dapat dimasukan di dalam HIS pada tahun 1912. Bahkan sebagian besar murid HIS adalah kepunyaan pemerintah yang disubsidi dalam arti lain golongan kelas rendah. Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa HIS membuka peluang adanya mobilitas sosial. Latar belakang diterimanya golongan rendahan di dalam HIS dikarenakan pernah menduduki Schakel, dengan demikian sekolah dapat dijadikan perantara antara pribumi dan pemerintah Hindia Belanda. Walau demikian ELS dan HBS tetap ditujukan untuk golongan kelas atas sedangkan tidak menutup kemungkinan orang pribumi yang dapat melanjutkan MULO dan AMS. Adanya peluang sekolah untuk pribumi bukanlah jawaban akhir untuk menghapus hierarki kolonialisme.
6. SEKOLAH, KESEMPATAN KERJA, DAN MOBILITAS SOSIAL
Adanya pendidikan barat berjasa dalam pengakuan terhadap penguasa lokal. Hal ini karena syarat untuk mengikuti pendidikan barat adalah berdasarkan keturunan. Selain itu dengan menempuh pendidikan barat membuat seseorang dapat dijadikan sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat tanpa adanya keraguan. Adanya pendidikan membuat terjadinya pelebaran pegawai dalam pemerintahan kolonial. Hal ini dianggap mengancam kedudukan pegawai lama contohnya pada tahun 1905 Bupati Tuban mengeluh karena dari 260 Priyayi yang diangkat dalam Karesidenan Rembang hanya sepuluh orang yang mendapat pendidikan OSVIA. Pada 1940-an dari 65 orang hanya sebagian patih di Jawa yang tamat OSVIA dan dari 340 Wedana hanya sepersepulunhnya yang tamat OSVIA. Adanya pendidikan memaksa seseorang untuk meraih gelar diploma untuk memperoleh pekerjaan dan kenaikan pangkat. Adanya pengajaran barat menghasilkan tenaga-tenaga yang kemudian dapat dipekerjakan dalam birokrasi pemerintahan. Contohnya pada 1941 terdapat 90 sarjana hukum pribumi yang dipekerjakan dilembaga peradilan, 306 dokter yang bekerja dikesehatan dan sebagainya. Adanya prediksi golongan bawah yang dapat melanjutkan pendidikan dikarenakan memiliki kemampuan dan keahlian alamiah. Dengan demikian sekolah membuat transformasi sosial dapat berjalan dengan cepat. Walaupun dalam sistem promosi dan pengakatan pegawai aturan ras pemerintah tetap bersifat mutlak. Hal tersebutlah yang kemudian memperoleh respons dari golongan terpelajar pribumi, karena pada dasarnya mereka merasakan ketidakadilan dan merasa perlu untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dari menempuh pendidikan disekolah. Dapat diambil suatu kejelasan bahwa sekolah modern menghasilkan lahirnya dua elite yaitu; elit intelektual dan elite birokrat modern. Keduanya mendapat tempat dalam susunan hierarki sosial yang didasari atas legitimasi politik dan keunggulan ilmu. Dengan demikian sekolah merupakan sarana yang penting dalam terjadinya dinamika sosial.
C. PERALIHAN STATUS SOSIAL
1. PENDAHULUAN
Pada akhir abad ke-19 terjadi mobilitas dalam masyarakat baik secara geografis maupun sosiologis. Adanya perpindahan tempat tinggal semakin lama sering dilakukan. Adanya urbanisasi menunjukan bahwa masyarakat ingin keluar dari lingkungan hidup yang lama. Selain itu terjadinya mobilitas kerja terjadi karena adanya penetrasi ekonomi kolonial. Hal ini terlihat dari masyarakat yang sebelumnya bertani kemudian mulai melakukan perdagangan. Hal ini juga didukung dengan banyaknya tukang dan pelayanan. Adanya perpindahan tempat tidak akan memberikan pengaruh yang besar karena bersifat mobilitas horizontal. Namun perpindahan tempat yang didorong untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya adanya dapat memberikan pengaruh besar, karena apabila seseorang dengan pekerjaan baru mengalami kesuksesan maka derajat orang tersebut akan naik dan terjadilah mobilitas secara vertikal. Terkadang mobilitas vertikal terjadi dalam dua generasi. Pekerjaan antara ayah dan anak mengalami perubahan dan dianggap vertikal naik apabila anak mengalami kemajuan dari ayahnya. Sekolah merupakan salah satu saluran untuk menjadikan mobilitas seseorang naik, karena orang yang telah menjalani pendidikan akan lebih mudah untuk masuk sebagai pegawai dalam birokrasi pemerintah. Apabila seseorang sudah menjadi bagian dari pemerintahan dan mempunyai jabatan maka akan membuat orang tersebut bahkan keluarganya dipandang di dalam masyarakat.
Adanya perubahan sosial-ekonomi dapat menentukan status seseorang dalam masyarakat dan sangat mendukung adanya stratifikasi sosial. Adanya perubahan ini yang kemudian melahirkan penilaian. Dasar penilaian bersifat majemuk karena penilaian mencakup hal uang didasari oleh kedudukan politik, administratif, agama, tradisi,keunggulan ilmu dan rohanian. Di masa kolonial rakyat haruslah menyesuaikan kebudayaan dan pengabdian terhadap keharusan pemerintah mengenai hukum dan politik. Dalam arti lain ditengah masyarakat kolonial yang bersifat heterogen pemerintah Hindia Belanda memposisikan orang Eropa dalam puncak atas stratifikasi, yang kemudian diikuti oleh orang Timur Asing seperti Cina dan Arab. Sedangkan pribumi menduduki urutan terakhir.
Dengan kedudukan puncak belum tentu membuat rakyat menyukai orang-orang Eropa. Maka dari itu pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bupati sebagai perantara untuk menghubungkan orang pribumi dengan pemerintah. Walau demikian bupati hanya menjadi simbol sedangkan hak-hak istimewa bupati dihapuskan. Hal ini agar kegiatan eksploitasi ditanah jajahan masih dapat berlangsung dengan demikian mampu menyuplai Negara induknya Belanda. Perbedaan status yang didasarkan atas keunggulan keturunan, jabatan, kekayaan dan pendidikan barat ini tentunya akan melahirkan konflik. Konflik ini terlihat dari pribumi yang menuntut adanya pengakuan atas identitas diri seperti fenomena orang pribumi terpelajar yang menuntut hak untuk dianggap sama dengan bangsa Eropa (gelijkgesteld).
Adanya sekolah dan perkembangan sekolah dapat dijadikan sarana untuk meruntuhkan aliran yang bersifat rasis. Karena dengan menduduki jabatan dalam birokrasi dan menempuh pendidikan memungkinkan orang pribumi untuk melaksanakan adanya mobilitas yang bersifat vertikal naik. Walau demikian adanya perubahan sosial pada masa kolonial dapat dianggap tidak konsisten karena semua bertumpu pada sistem dari pemerintah.
2. PELEBARAN BIROKRASI & INDONESIANISASI DALAM KEPEGAWAIAN
Untuk menjalankan kekuasaan di Pax Nederlandica yang begitu luas pemerintah perlu memenuhi berbagai aspek administrasi seperti tenaga. Keberadaan pemimpin tradisonal dianggap tidak memadai dikarenakan adanya tuntutan pemerintah mengenai pengelolaan Hindia Belanda yang meliputi kegiatan kesehatan, militer, kehutanan bahkan spesialisasi dalam pekerjaan. Pada awalnya pemerintahan kolonial hanya mengandalkan pemerintahan pusat di Batavia yang mengandalkan Bupati sebagai perantara untuk menghubungkan rakyat dan pribumi. Namun seiring perkembangan zaman dengan didirikan sekolah maka ketergantungan terhadap bangsawan menjadi berkurang. Hal ini karena penetrasi politik dan ekonomi membutuhkan tenaga yang modern, hasil dari didirikan nya sekolah ialah tenaga-tenaga pribumi yang punya keahlian; merupakan alas an yang melatarbelakangi diperkenalkannya diploma dalam dunia kepegawaian.
.

ASIA TIMUR

Oleh : Merlina Agustina Orllanda
DINASTI SHANG DAN CHOU
1. 1.1 Dinasti Shang
Situs purbakala Anyang menunjukan adanya peninggalan zaman pra klasik Dinasti Shang (1523-1028). Dikatakan demikian karena keberadaan dinasti ini adalah awal dari siklus perputaran dinasti, dari satu dinasti ke dinasti lain yang berputar pada porosnya di pinggiran benua Asia terutama di Cina. Berdirinya dinasti yang bisa disebut dinasti Yin ini menandai bermulanya peradaban lembah sungai kuning tersebut. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:65). Sebuah babakan baru peradaban yang khas ; adanya clan patrilineal, pemerintahan kaisar yang despotis-absoulut berkuasa mutlak atas hidup dan mati rakyat, serta adanya kepercayaan politeisis sebagai warna dinamika dari peradaban Sungai Huang Ho dan Pegunungan Shan Si tersebut. Walaupun kemunculan dinasti ini telah menunjukan adanya peradaban, namun adanya peninggalan berupa tulisan sangatlah kurang. Saat itu tulisan ditemukan terutama diatas tulang-tulang nujum, benda perunggu dan batu giok yang kebanyakan berasal dari abad ke-14 atau ke- 13 SM sehingga disebut kedalam zaman proto-sejarah. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:65).
Berakhirnya Dinasti Hsia pada masa Raja Chieh merupakan latar belakang berdirinya Dinasti Shang. Hal ini karena Chen T’ang raja dari daerah Shang melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Hsia. Diperkirakan pada tahun 1766 SM, Chen T’ang menaiki tahta dengan mendirikan Dinasti Shang. Setelah Chen T’ang maka tahta digantikan oleh cucunya Thai Chia dengan perdana menteri I’Yin sebagai pendamping. Pada masa kaisar Tan Keng (kaisar keenam belas), ibukota kerajaan dipindahkan dari kota Poe Yin (1401 SM); hal ini karena untuk menghindari banjir dari Sungai Huang Ho. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:66). Adapun daerah kekuasaan Dinasti Shang meliputi; Sungai Huang Ho, Pegunungan Shan Si, dataran rendah daerah Shan Si timur, Honan Utara, Hopei Selatan, dan Shantung. Adapun Honan Utara adalah pusat kerajaan. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:66). Selain itu Dinasti Shang melakukan ekspansi hingga mencapai daerah Shensi.
Di luar pusat kerajaan terdapat raja-raja vasal yang mengakui Raja Dinasti Shang sebagai pimpinan tertinggi keagamaan. Hal ini mencerminkan bahwa raja-raja Dinasti Shang tidak mengutamakan kehidupan duniawi. Adapun susunan pemerintahan Dinasti Shang adalah feodalisme. Hal ini terlihat dari adanya tata pertahanan kota, larangan-larangan keluar, upeti yang dikirimkan raja taklukan maupun raja vasal dan lain-lain. Gambaran dari kehidupan tersebut bisa disaksikan di ibukota Yin, istana raja dan bangsawan berada ditengah kota. Kota dikelilingi dengan tembok yang sangat padat, diluar tembok ada persawahan dan tegalan yang dikelilingi kediaman kaum pertukangan. Selain itu dipinggiran kota didalam tembok terdapat kediaman petani dan gubuk yang dihuni pada musim dingin. Pada musim semi, petani-petani ini bekerja di ladang dan pada musim gugur mereka akan melakukan panen. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:66).
1.2 Kehidupan Masyarakat Shang
Masyarakat Shang merupakan masyarakat petani dengan pelaksanakan sistem irigasi yang teratur. Adapun jenis tanaman yang dihasilkan adalah padi, gandum dan kertau (murba atau pohon kebesaran). Selain itu juga ada pengembangan ulat sutera untuk menghasilkan benang sutera. Dalam bidang peternakan masyarakat memelihara sapi, biri-biri, kerbau, anjing, dan kuda. Ketika itu belum ada mesin bajak ditarik oleh sapi atau kerbau, adapun penggunaan bajak yang dipegang oleh seseorang dan seorang lagi menarik tali untuk menyusur tanah sawah merupakan metode yang saat itu sudah diterapkan, (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:67).
Selain pertanian dan persawahan, maka masyarakat Dinasti Shang juga mengembangkan teknik menenun kain sutera. Adapun kain sutera diperuntukan hanya bagi bangsawan, sedangkan rakyat jelata hanya menggunakan pakaian kasar yang ditenun dari urat tumbuhan. Ketika itu industri keramik pun sudah sangat maju dan kualitasnya sudah mendekati keramik porselen (corak yang dikembangkan adalah putih bening), walaupun barang keramik saat itu belum dipergunakan dalam keperluan sehari-hari. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:67).
Pada Zaman Shang, barang perunggu sudah mencapai puncak kesenian yang paling tinggi di seluruh wilayah Cina. Akan tetapi, kebudayaan perunggu hanya milik bangsawan, sedangkan rakyat jelata yang kebanyakan petani hanya menggunakan batu. Barang-barang perunggu biasanya digunakan dalam upacara keagamaan (periuk berkaki tiga atau Li, dan lencana batu giok). Bagi bangsawan perunggu adalah bagian dari harta kekayaan (periuk atau jembangan yang berhias ragam dan Tao Tieh; lukisan naga berkepala kerbau dan bergigi harimau). Adapun benda perunggu banyak ditemukan didalam kuburan raja. Selain itu terdapat tradisi cerita mengenai Kaisar Yu yang memerintah untuk dibuatkan Sembilan periuk Li dari perunggu untuk digunakan pada pemujaan roh nenek moyang. Sehingga banyak ditemukan periuk disimpan di kuil arwah nenek moyang untuk dijadikan lambang kekuasaan raja-raja Cina kuno. Selain perunggu, maka ditemukan benda kesenian batu giok, keramik, ukiran-ukiran tanduk rusa dan gading. Adapun gaya hiasan pada masa Dinasti Shang adalah kombinasi ragam geomentris seperti lilin (spiral), dan segitiga untuk melukiskan binatang yang direka-raka. Cicade (Tonggeret), adalah ragam hias yang banyak dijumpai. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:67).
Pada Zaman Shang, kota adalah pusat kehidupan golongan aristokrat. Hal ini karena di kota terdapat industri kerajinan tangan yang melayani keperluan hidup dan rumah tangga para raja dan bangsawan. Keadaan hidup mewah ini tentunya memiliki kaitan dengan dengan lahirnya perdagangan budak yang meningkat. Kehidupan saat itu hanya menunjukan pola hidup dibawah suatu kekuasaan (kelas bangsawan). Petani, tukang dan buruh industri hanyalah hamba sahaya yang dianggap tidak punya garis keturunan (klen). Hal ini karena kendali penguasaan lahan dan pendudukan adalah milik penguasa. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:68).
1.3 Kepercayaan
Pada masa Dinasti Shang masyarakat memiliki kepercayaan yang bersifat kultus kesuburan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat yang agraris. Saat itu kebanyakan masyarakat melakukan pemujaan kepada dewa-dewa untuk meminta kesuburan. Adapun dewa dan cara yang dimiliki untuk memperoleh kesuburan tentunya berbeda-beda. Misalnya, pada suatu daerah biasanya dimusim semi dilakukan penculikan manusia, adapun manusia tersebut akan dibunuh dan dipotong-potong. Kemudian dari potongan tubuhnya tersebut akan dibagikan kepada penduduk untuk ikut ditanamkan pada tumbuhan. Sedangkan cara lain adalah pesta perahu yang dilakukan pada musim semi. Adanya perahu panjang dan kecil saling berlomba dengan kecepatan dan apabila ada yang tenggelam maka itu adalah korban yang dipersembahkan kepada dewa. Begitulah kiranya kepercayaan masyarakat Shang saat itu. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:69).
Dalam kepercayaan masyarakat Shang para pendeta menetapkan bahwa Dewa tertinggi dalam agama resmi adalah Shang-Ti. Pada pertengahan kekuasaan Dinasti Shang maka masuklah pengaruh dari bangsa nomad dari Barat Laut, yaitu Proto Tartar (Proto Turki dan Proto Mongolia) yang berasal dari padang rumput. Adapun kepercayaan astral (pemujaan benda langit) yang dianut oleh bangsa ini telah berhasil membawa perubahan pada masyarakat Shang. Pengaruh nyata dari bangsa Nomad terlihat dengan adanya dekorasi perunggu (gaya hiasan binatang), dan pemakaian alat perang yang ditarik dengan dua roda (digunakan oleh Raja Shang ketika menaklukan Shensi). Walaupun demikian terjadi hubungan longgar dengan pusat kerajaan, hal ini disebabkan oleh kurangnya alat transportasi dan hubungan yang kurang baik. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:69).
Dengan keadaan masyarakat petani agraris, maka terciptalah perhitungan kalender. Saat itu ketetapannya adalah satu minggu sama dengan sepuluh hari, sehingga 6 pekan adalah enam puluh hari, sedangkan bulan ada yang terdiri 30 hari atau 29 hari. Selain itu satu tahun biasanya terjadi enam edaran (siklus), bahkan dalam satu tahun sering ditambah dengan satu atau dua minggu, atau sebulan atau dua bulan. Pada desa-desa yang luas rata-rata mencapai tiga hektar dan rata-rata dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan ketinggian 10 kaki dan lebar 30 kaki, banyak ditemukan bekas reruntuhan rumah yang berbentuk lubang. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
1.4 Keruntuhan Dinasti Shang
Raja terakhir Dinasti Shang adalah Chou Hsia atau Chou Hsien yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa. Hal ini karena Chou Hsia atau Chou Hsien memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam, selain pandai dan fasih berbicara. Adapun kaisar ini terkenal dengan kekejamannya yang dianjurkan oleh Tachi (selir yang cantik jelita dan jahat). Hal tersebut merupakan penyebab dari keruntuhan dinasti ini. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
Keruntuhan Dinasti Shang diceritakan di dalam roman mitologi Feng Shen Huan atau Fang Shen (Karunia menjadi seorang Dewa) yang tidak diketahui pengarangnya. Adapun kisah menjelaskan ketika Tachi dibawa ayahnya kekota untuk diserahkan kepada kaisar, ia dimasuki oleh siluman rubah yang menjadi suruhan Dewi Nu Kwa. Hal tersebut ditujukan untuk membisikan kekejaman kepada Kaisar Chou Hsia. Keadaan ini dilatarbelakangi oleh rasa sakit hati Dewi Nu Kwa yang menganggap Chou Hsia telah menghinanya ketika melakukan kunjungan ke kuil. Sejarah inilah yang akhirnya membawa Kaisar Chou Hsia untuk bertindak kejam terhadap rakyatnya. Sang kaisar selalu mendengar bisikan dari Tachi yang cantik jelita. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
Adanya kekejaman kaisar inilah yang kemudian menimbulkan pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat. Adapun pemberontakan ini digagas oleh raja muda Wu Wang yang berasal dari wilayah Chou. Dalam pemberontakan itu raja muda didampingi oleh panglima perang yang sakti yaitu Chiang Tzeya, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pertempuran tersebut banyak sekali korban berjatuhan dari kedua pihak ; saat itu didirikanlah panggung khusus untuk korban yang diyakini akan melayang pada sebuah panggung, adapun panggung tersebut disebut dengan “Panggung Karunia Dari Dewa”. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
Pada roman tersebut juga menceritakan kisah-kisah yang akan terjadi pada kehidupan kemudian. Dalam peperangan adanya penggunaan senjata kuman penyakit, dan sampai sekarang ada kemungkinan orang dapat melihat dari jauh, serta adanya ahli perang yang dapat keluar masuk tanah. Pasukan kaisar Shang yang kejam berhasil dihancurkan Wu Wang. Adapun saat menjelang kematian Kaisar Chou sudah menyadari bahwa dirinya akan mengalami kekalahan. Kaisar Chou Hsia membayangkan dirinya dengan pakaian kemegahan yang indah, ia membakar istananya dan menceburkan dirinya kedalam api yang berkobar, sehingga kemudian berakhirlah Dinasti Shang kira-kira 1122 SM. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:71).

DINASTI CHOU
2.1 Dinasti Chou
Setelah runtuhnya Dinasti Shang, maka Wu Wang mendirikan Dinasti Chou. Pada mulanya masyarakat Dinasti Chou adalah masyarakat seminomad yang mengutamakan peternakan, tanpa melupakan pertanian. Sistem pembagian tanah yang berkembang pada masa Dinasti Chou adalah sistem sumur tegalan (Ching-Ti’en). Menurut Wolfram Eberhard, suku bangsa Chou terjadi karena percampuran suku Proto-Turki dan Proto Tibet sehingga kebudayaannya dekat dengan kebudayaan Yang Shao. Adapun orang-orang ini berasal dari dataran rendah Shensi sebelah barat hingga wilayah Cho Yuan atau dataran Chou (sekarang adalah bagian dari propinsi Shensi). Di lembah sungai Wei mereka mendirikan pemerintahan Cina dengan ibukota yang mulanya adalah Feng dan kemudian ibukota dipindahkan ke Yao yang tidak jauh dari kota Yang. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:71).
Pada masa pemerintahan Wen Wang (raja kesusastraan), terjadi permusuhan hebat dengan Kerajaan Shang. Di bawah pimpinan Wu Wang (raja perang) atau putera dari Raja Wen Wang, orang-orang Chou saat itu ingin menaklukan Shang. Adapun penaklukan itu berhasil dan orang Cina mengakui bahwa Raja Wen Wang sebagai pendiri Dinasti Chou. Sehingga tidak heran kalau nama Wu Wang dan Wen Wang mendapat kedudukan tehormat dalam sejarah peradaban Cina. Selain itu ayah dan anak ini juga dikenal sebagai pemimpin pemerintahan dan dinasti. Di dalam buku Shih Ching (Kitab Syair), dengan perkataan “Wen dan Wu telah menerima firman Tuhan”. Ungkapan tersebut bermakna bahwa kepemimpinan mereka adalah kehendak Tuhan. Selain kedua orang ini, maka tokoh lain yang dijunjung tinggi adalah Tan atau Hertog Chou yang dikenal dengan Duke of Chou (putera dari Wen Wang). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:72).
Adanya penerapan hukum pewarisan berdasarkan keturunan laki-laki (patrilineal) yang menegaskan bahwa anak laki-laki, terutama anak pertama yang akan menggantikan posisi ayahnya ketika meninggal baik dalam kerajaan maupun keluarga membuat posisi laki-laki menjadi istimewa pada masa Dinasti Chou. Sehingga anak lelaki tertua saat itu memiliki peranan, seperti fungsi politik, yuridis-formal, ekonomis dan ritual-sakral (biasanya keluarga yang menerapkan otoritas tersebut adalah keluarga besar dari sejumlah somah). Pada kerajaan Cina Kuno keluarga adalah satuan inti dari sebuah Negara, maka dari itu dikenal istilah “kerajaan dari keluarga seratus” “ (seratus bukanlah bilangan tapi berarti sangat banyak). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:73).
Pemerintahan Dinasti Shang yang menganut sistem matriakal primitif dengan feodalisme disempurnakan pada masa Dinasti Chou berkat pemikiran Tan yang cerdas (putera dari Wu Wang). Sepeninggalan Wu Wang (1025 SM), Tan atau Duke of Chou ini menjadi wali bagi kemenakan yang di bawah umur, selain itu terjadi pemberontakan untuk menggulingkan Dinasti Chou. Namun demikian Chou Kung menyelamatkan dinasti tersebut dan mendirikan ibukota kedua Lo Yi (sekarang Lo Yang, terletak diselatan sungai kuning di daerah Honan). Sampai 771 SM, pusat politik Kerajaan Chou masih tetap di Hao, ibukota sebelah barat. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:73).
Chou Kung adalah konseptor dari ideologi dan doktrin Negara kerajaan Cina yang dasar fundamentalnya adalah doktrin T’ien Ming (mandat dari langit). Adapun inti dari doktrin ini menunjuk Kaisar Cina sebagai penguasa tertinggi dibumi yeng mengemban amanah dari dewa tertinggi dilangit. Manusia pilihan yang menjadi kaisar atau raja adalah Tien Tzu atau putera langit (son of heaven). Sehingga dinasti yang masih mengemban amanat dewa langitlah yang akan tetap kokoh berdiri, sedangkan kekuasaan lalim dan tirani akan membuat mandate dan otoritas tersebut dicabut untuk diberikan kepada orang lain untuk menjadi “son of heaven”. (Theory Of The Decree Of Heaven). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:73).
Tanda-tanda pencabutan T’ien Ming berkaitan erat dengan prestasi, seperti munculnya gejala-gejala yang membuat keruntuhan dinasti. Sehingga konsep mandate ini akan memindahkan kekuasaan kepada pemimpin pemberontakan untuk menjadi“son of heaven”. Bagian penting dari penegasan doktrin ini adalah : “apabila langit tidak menyukai pemerintahan yang lalim dan tirani, maka langit akan menjustifikasi langkah pemberontakan kepada pemerintahan yang lalim tersebut. Sehingga Doktrin T’ien Ming adalah Undang-undang dasar Kerajaan Cina. Sampai abad dua puluh mandate ini masih digunakan sebagai otoritas dari pemberontak di Cina, dan dalam gerakan revolusioner konsep ini juga digagas oleh Dr. Sun Yat Sen yang menyebut doktrin ini dengan “perhimpunan bagi pemindah-tanganan mandat” (the Association for Changing the Decree). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:74).
Adanya konsep Chou Kung menyebabkan Kerajaan Chou terkenal dengan sistem feodalisme. Kerajaan Chou adalah negara federasi di bawah pimpinan raja sentral yang memimpin raja-raja vassal di pemerintahan bagian- diberi mandat dan otoritas. Negara vassal adalah Negara kecil dan berintikan kota-kota, diperkirakan Negara vassal sangatlah banyak berjumlah 1713 daerah. Sedangkan daerah mahkota dipimpin langsung dibawah pemerintahan raja sentral, adapun posisinya terletak ditengah sehingga Chung Kuo menyebutnya “The Middle Kingdom” dan daerah vassal yang mengelilinginya disebut Wei Kuo (Negara pinggiran). Adapun sebutan ini hanya berguna bagi daerah mahkota seperti daerah lembah sungai Wei di sebelah timur dan daerah sekitar kota Lo Yi. Dalam perkembangan Cina berikutnya sebutan tersebut kemudian meluas dan diperuntukan bagi daerah tanah Cina asli. Di dalam dialek Fukien (Hokian), ucapan Chung Kuo adalah Tiongkok. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:74).
Pada masa Dinasti Chou ekspansi dari lembah Sungai Kuning dan Sungai Wei terus dilakukan ke segala jurusan. Adapun konsep dasar yang diterapkan adalah sinifikasi (proses menjadikan seluruh penduduk sebagai Cina) ke sebelah selatan melintasi Sungai Yang Tze. Hal ini menimbulkan perpindahan besar-besaran dari golongan bangsa Paleo-Mongoloid (Indo-Mongoloid) yang melintasi pegunungan Nan Ling ke Nan Yang, namun proses sinifikasi tidak berlaku untuk bangsa padang rumput sebelah utara dan barat laut Kerajaan Chou. Adapun bangsa ini sering melakukan perlawanan dan menimbulkan situasi perang. Bahkan pada masa Dinasti Chou Barat (1027-771 SM), sikap ofensif terhadap suku-suku nomad ini dilakukan. Sebaliknya pada masa Chou Timur (771-256 SM), sikap ofensif menyerang ditinggalkan dan menerapkan sikap defensif (bertahan). Adanya suku Yen Yun dan Jung Barat adalah musuh abadi Dinasti Chou yang paling berbahaya. Pada 771 SM ibukota Dinasti Chou dihancurkan oleh bangsa Jung, dalam peperangan itu Raja Chou tewas. Hal tersebut menyebabkan berdirinya Dinasti Chou Timur dengan Lo Yi sebagai ibukota. Untuk menahan serangan berbahaya dari musuh maka didirikanlah dinding-dinding pertahanan di Negara vasa Utara dan Barat Laut. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:75).
Zaman Dinasti Chou dibagi atas dua bagian besar, yaitu Chou Barat (1027-771 SM), dan Chou Timur (771-256 SM). Adapun Chou Timur terbagi lagi atas zaman Chou Tengah (771-480 SM), dan Chou akhir (480-256 SM). Dinasti Chou merupakan dinasti yang paling lama memerintah dan berkuasa dalam sejarah peradaban Cina. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:75). Jumlah raja yang memerintah pada dinasti ini adalah 35 orang, sehingga zaman ini sangat penting dalam sejarah sosial dan kebudayaan Cina. Anggapan ini juga didukung oleh keberadaan zaman ini yang menunjukan formatisasi masyarakat dan peradaban Cina dengan cirri khas kecinaannya. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:75).
Menurut Wolfram Eberhard, ciri kecinaan belum terbentuk pada masa Dinasti Shang. Adapun ciri kecinaan adalah sistem kekeluargaan yang bersifat patriakal. Antara Dinasti Shang dan Dinasti Chou terjadi sintesa kebudayaan hingga menghasilkan kebudayaan Cina yang khas dan tipikal. Agama dan kebudayaan yang berkembang pada masa Dinasti Shang adalah kultus kesuburan dan pada masa Dinasti Chou adalah kultus astral. Pada masa Dinasti Chou terjadi sinkretisme, sehingga pemujaan terhadap nenek moyang dianggap sebagai hal yang sakral dan penting. Kedua unsur tersebut kemudian dijalin satu antara penerapan kultus kesuburan dan kultus pemujaan langit. Di dalam keyakinan sinkretisme, di langit bersemanyam Shang-Ti, yang merupakan dewa tertinggi. Pemujaan terhadap langit sebagai tempat bersemayam Shang-Ti diselenggarakan di bawah pimpinan putera langit (Tien Tzu), sebutan terhormat bagi kaisar Cina. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:76).
Oleh: Asep Muhammad Jazuli
CHOU BARAT (1050-770 SM)
Selama kurun waktu 20 tahun, Dinasti Chou dapat menguasai wilayah Dinasti Shang. Ibu kota negara dipindahkan dari Feng ke Hao (sebelah timur Feng). Dinasti ini didirikan oleh anak Wen Wang yang bernama Fa, yang kemudian dikukuhkan dengan gelar Wu Wang (Raja Perang). Wen Wang dan Wu Wang disebutkan dalam Shih Ching, menerima” mandat dari langit” untuk memerintah dan mengendalikan kekuasaan di Cina. Istilah ini merupakan legitimasi dari langit akan serangan yang dilakukan oleh Dinasti Chou. Berdasarkan berita yang ada, Dinasti Chou bersekutu dengan suku-suku yang menjadi rival Dinasti Shang sehingga serangan yang dilakukan oleh Dinasti Chou, berhasil. Yin, Ibu kota Shang dapat direbut dan Raja Chou Hsien tewas, dan para pengikutnya ditawan musuh.
Tan atau Chou Kung (Duke of Chou) diangkat menjadi penasehat Wu Wang. Setelah Wu Wang meninggal, dia digantikan oleh anaknya yang bernama Cheng Wang (1044-1008) yang masih dibawah umur. Hal ini menimbulkan situasi politik yang sangat signifikan. Chou Kung bertindak sebagai walinya dan memegang kekuasaan. Dua saudara Chou Kung (Kuan dan Tsai) menyebarkan fitnah terhadapnya sehingga dia mengucilkan diri ke daerah yang disebut dengan Lu. Tetapi akhirnya dia dipanggil oleh kaisar untuk kembali ke istana.
Dalam cerita lain, setelah Yin diduduki oleh Dinasti Chou, masih ada orang-orang Shang yang bermarkas di sebelah timur. Kuan berkomplot dengan Wu Kung yang sebenarnya adalah tawanan mereka untuk melawan pemerintahan Chou Kung. Tetapi Chou Kung lebih cepat antisipasi dengan melakukan konspirasi dengan nagara-negara kecil yang tergabung dalam negara federasi. Chou Kung dianggap sebagai raja dan pendeta tertinggi dalam kegiatan kenegaraan dan keagamaan.
• Susunan pemerintahan
Struktur pemerintahan Dinasti Chou, diwariskan secara turum temurun. Putra raja dianggap sebagai T’ien Tzu (son of heaven). Sistem yang dibentuk adalah sistem feodalisme. Daerah yang dijadikan koloni (daerah taklukan) kerajaan dibagikan kepada keluarga dan kerabat kerajaan.
Orang-orang Dinasti Chou merupakan minoritas diantara bekas rakyat Dinasti Shang. Oleh karena itu, untuk melanggengkan kekuasaannya, Dinasti Chou menduduki kota-kota untuk dijadikan koloni. Pasukan khusus ditempatkan dalam kota yang disebut dengan kota Granisum tersebut. Daerah kecil disekitarnya dijadikan negara-negara kecil. Jumlahnya lebih dari seribu dan berbentuk federasi longggar.
Di dataran rendah yang dilalui oleh sungai Kuning, Dinasti Chou membuat tanggul-tanggul raksasa untuk menahan banjir. Proyek ini dikerjakan dengan pengerahan tenaga manusia yang sangat banyak dan biaya yang sangat besar. Proyek ini juga melibatkan raja tertinggi dan raja-raja kecil dari negara-negara koloni.
• Perluasan wilayah
Pada masa Wu Wang (965-925 SM), rakyat yang masih setia kepada Dinasti Shang dan melancarkan pemberontakan. Tapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Perluasan wilayah dilancarkan ke sebelah barat, yakni dengan menyerang suku Barbar Chuang Yung (Yung artinya anjing).
Pada awalnya, Dinasti Chou belum menguasai seluruh wilayah Cina Utara sehingga negara-negara federasi masih dipisahkan oleh rawa-rawa dan pegunungan-pegunungan. Disinilah tinggal suku Barbar Yung dan Ti.
Pada masa pemerintahan Wu Wang, seluruh wilayah Shantung dan bagian-bagian dari wilayah Hopei dan Shensi dimasukkan kedalam wilayah Dinasti Chou. Dengan demikian, wilayah Dinasti ini terbentang sangat luas dari barat ke timur (Kanshu sampai lembah Sungai Kuning), dan dari selatan ke utara (dari lembah Sungai Yangtze sampai perbatasan Manchuria). Rawa mulai dikeringkan sehingga suku Barbar terdesak pergi dari Cina.
Mata pencaharian penduduk adalah pertanian. Kolonisasi kaum petani dalam organisasi dikendalikan oleh pimpinan pemerintah dan diikuti oleh penaklukan dan peleburan suku-suku bangsa lain ke dalam peradaban Cina. Sehingga banyak kebudayaan Cina yang dimasukkan dalam kebijakan dalam bidang pertanian. Seiring dengan munculnya ambisi untuk meluaskan wilayahnya, kota-kota Garnisum harus didirikan. Kota ini menjadi benteng bagi para petani Cina yang berdiam di sekitarnya.
• Ideologi Negara dan Masyarakat
Anggapan bahwa susunan negara dan pemerintahan yang lahir di Cina pada zaman lampau bersifat kosmis, tidaklah salah. Hal ini dapat dilihat dalam masyarakat petani di Cina utara dengan kultus kesuburannya, pemujaan terhadap langit, bumi, dan leluhur untuk memertahankan dan memelihara antara kekuatan-kekuatan alam, melahirkan anggapan tentang hubungan yang konsisten antara tritunggal, yakni langit, bumi dan manusia. Peraturan yang ada di langit, harus diberlakukan juga di bumi dan antara manusia.
Dalam konsepsi pemerintahan menurut konfusianisme, ideologi Dinasti Chou itu dipelihara terus di negara Cina sejak zaman kaisar-kaisar dari Dinasti Han hingga abad ke-19. Raja-raja lain yang berkuasa di luar Cina, harus tuntuk kepada kaisar dan membayar upeti.
Dalam kehidupan masyarakat Chou, terdapat dua golongan masyarakat, yakni golongan bangsawan dan rakyat biasa. Hakikatnya, tanah milik kaum bangsawan, sedangkan rakyat hanya pekerja. Dalam hirarki feodal, ada lima tingkatan kaum kebangsawanan, yakni: Kung Hou, Po Tzu, dan Nan yang mempunyai persamaan tingkat kebangsawanan di Erpoa seperti Duke, Marquises, Count, dan Baron. Gelar bagi raja adalah Wang.
• Mundurnya kekuasaan Chou Barat
Raja Chou ke-10 yang bernama Li Wang (857-841 SM), mengendalikan pemerintahan dengan sikap tiran. Sikapnya ini yang menimbulkan pemberontakan pada tahun 841 SM. Li Wang melarikan diri ke negara Chin dan meninggal dalam pelarian tersebut pada tahun 828 SM. Kaum pemberontak menang, dan membentuk pemerintahan sementara dibawah pimpinan Chou Kung dan Hsao Kung. Masa ini disebut dengan masa Kung Ho (antara 841-827 SM). Masa ini merupakan masa yang penting karena pencatatan-pencatatan sejarah mulai dilakukan.
Pada masa pemerintahan Hsu Wang, martabat Dinasti Chou yang sudah jatuh, bangkit kembali. Dia merupakan raja yang bijaksana dan energik dan memerintah dengan sistem dan struktur pemerintahan yang profesional dan berkulitas. Tetapi, kemajuan ini mengalami kemunduran ketika Yu Wang menjadi raja (781-771 SM). Dia memerintah dengan tidak bijaknsana dan berada dalam pengaruh istrinya yang sangat cantik, Po Szu.
Po Szu adalah selir raja. Dia mempunyai kebiasaan aneh, ganjil, dan mahal. Kebiasaannya yakni senang mendengarkan suara sutra yang dirobek-robek. Untuk menyenangkan istrinya ini, raja harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Ditambah dengan kebiasaan lainnya.
Karena selirnya ini tidak pernah tertawa, raja mengadakan sayembara. Tetapi hal ini tidak berhasil. Akhirnya salah seorang menterinya mengusulkan untuk menyalakan api di duapuluh menara. Hal ini untuk mengundang para raja muda di negeri bawahan untuk datang ke istana dengan segera karena akan kerajaan terdesak dan harus berperang, padahal ini dilakukan hanya supaya selirnya ini bisa tertawa. Hal ini dilakukan. Raja-raja muda tersebut bergegas datang, tetapi yang mereka dapatkan adalah tawa terbahak dari selir raja. Mereka kembali dan kecewa.
Po Szu pun mengusulkan agar putranya menjadi putra mahkota, dan meminta raja untuk membuang permaisuri dengan putra mahkota yang sebenarnya. Hal ini dilakukan raja. Pada akhirnya menimbulkan pemberontakan. Kerajaan diserang. Ketika menara api dinyalakan, tidak ada raja muda yang datang untuk membantu. Akhirnya Yu Wang mati dalam kehinaan karena terjebak oleh senyum sang istri.
Oleh: Mawarida Farlina
CHOU TIMUR (771-256 SM)
Kekuasaan kaisar Yu Wang berakhir pada 771 SM akibat pemberontakan yang dilancarkan oleh ayah permaisuri Yu Wang yang sah dibantu suku Chung Yuang, Ping (sebagai putera mahkota Yu Wang yang sah) diangkat menjadi raja dan bergelar Ping Wang (Raja Ping). Ia memindahkan ibukota Kerajaan Chou dari Chang-an dilembah Sungai Wei Lo Yi (Lo Yang) pada 771 SM. Alasan utamanya adalah ia merasa khawatir ibukota itu mendapat serangan dari suku-suku bangsa yang ada disebelah barat. Dengan demikian, pengangkatan Ping Wang menjadi permulaan bagi bangkitnya Kerajaan Chou Timur. Chou Timur terbagi menjadi dua negara, yaitu:
1. Zaman Kerajaan Chou pertengahan (The Middle Chou) berlangsung antara 771-481 SM. Zaman Kerajaan Chou Pertengahan biasa disebut Zaman Ch’un Ch’iu.
2. Zaman Kerajaan Chou Akhir (The Late Chou) berlangsung antara 481-256 SM. Zaman Kerajaan Chou Akhir terkenal dengan nama Zaman Chan Kuo (zaman negara-negara berperang).

o Zaman Chun Chiu (771-481 SM)
Pada masa Kerajaan Chou Pertengahan di Chou Timur, intrik-intrik dan tindakan pengkhianatan mulai bermunculan. Keadaan geografis dan wilayah yang terlalu luas yang berada dibawah naungan kerajaan tengah memberi peluang yang sangat besar bagi pemikiran para raja bawahan untuk mendirikan negara-negara yang lepas dari pengaruh kerajaan tengah.
Sebenarnya, letak di tengah-tengah dari daerah Kerajaan Chou yang berdasarkan pada anggapan kosmis itu mengandung kelemahan. Kelemahan itu terletak pada alasan bahwa daerah itu tidak dapat diperluas lagi wilayah kekuasaannya, kecuali dengan mengarungi daerah-daerah kepala feodal, sedangkan kepala-kepala feodal itu adalah pendukung utama dinasti tersebut. Akibat wibawa yang terus merosot di hadapan rakyatnya sendiri, kepala-kepala feodal yang merasa kecewa pun akhirnya hendak menggulingkan kekuasaannya. Pada Zaman Ch’un Ch’iu, setidaknya terdapat lima belas negara besar dan sejumlah negara kecil. Negara-negara besar itu terbagi dalam dua kategori, yaitu negara-negara yang dianggap berasal dari bangsa Cina asli yang tergabung dalam Chung Kuo dan negara-negara yang berasal dari daerah Lembah Wei Kuo yang terletak disepanjang tepi Sungai Huang Ho. Negara dari daerah Lembah Lembah Wei Kuo ini ada sebelas negara.
Setelah munculnya banyak negara yang bertanbah kuat, banyak pula kepala-kepala negara yang menggunakan gelar Kung (gelar bangsawan pada masa Chou). Bahkan setelah 325 SM, hampir semua negara yang mempertahankan dirinya mulai menggunakan Wang yang sebenarnya hanya disediakan untuk Raja Chou. Daerah Raja Chou sendiri (yang terlatak dibagian tengah) tidak mengadakan ekspansi seperti halnya negara-negara tepi yang terletak di periferi. Bahkan, kerajaan pusat yang wilayah kekuasaannya semakin mengecil.
Pada zaman Ch’un Ch’iu, kekuasaan dan otoritas politik Raja Chou sebenarnya sudah tidak ada artinya karena fungsi kesakralannya sebagai pendeta tertinggi sudah hilang meskipun ia masih terus duduk sebagai raja. Kemunduran wibawa dan martabat Raja Chou pada Zaman Ch’un Ch’iu tercermin dari sikap yang tidak hormat dari kepala-kepala feodal terhadapnya. Dari sisi politik, kekecewaan terhadap penguasa negara mulai bermunculan, bahkan menggumpal menjadi tindakan rencana untuk melakukan makar, saat itu, berlaku doktrin bahwa pihak yang lebih kuat berusaha merampas dareah yang lebih lemah. Akibatnya peperangan selalu diawalai oleh bentuk persaingan dan rivalitas antar kerajaan. Untuk menciptakan keseimbangan kekuatan dibentuklah semacam perserikatan bangsa-bangsa oleh negara-negara itu. Kendatipun sisitem hegemoni dan monopoli-dominasi sudah terbentuk sedemikian kuat, namun peperangan antar negara tidak bisa dihindarkan. Itulah sebabnya, lembaga sejenis perserikatan bangsa-bangsa itu selalu berubah-ubah format. Negara-negara yang besar ancamannya adalah negara-negara yang terletak disebelah utara. Untuk menahan dan mengantisipasi serangan-serangan tersebut dibuatlah tembok-tembok benteng di sepanjang perbatasan sebelah utara oleh suku-bangsa Yen dan Tsin pada kira-kira 500 SM.
Pada bagian akhir zaman Ch’un Ch’iu terjadi perkembangan kekuasaan antara Wu dan Yueh, khususnya negara-negara yang terbentuk diantara suku-suku Barbar disebelah tenggara. Masuknya suku-suku Barbara tersebut membuka peluang bagi perluasan kekuasaan baru bagi negeri Cina. Namun, pada waktu yang bersamaan terjadi akulturasi budaya kendatipun corak kebudayaan Cina yang telah berakar sedemikian lama tidak hilang. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, yakni bahwa kebudayaan Cina melebur kedalam budaya bangsa Barbar yang menjadi bangsa Cina. Pada perkembangan selanjutnya, negara-negara yang meleburkan unsur-unsur Barbar kedalam corak budaya Cina menjadi negara yang sangat kuat, sedangkan negara-negara yang mempertahankan sikap konservatif dan sikap konvensionalnya justru mundur dengan cepat, dan akhirnya hancur.

\
o Zaman Chan Kuo (481-256 SM)
Pada bagian akhir zaman Ch’un Ch’iu, sistem semacam perserikatan bangsa-bangsa sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Negara-negara kecil pun mulai lenyap dan peperangan yang terus terjadi mulai bertambah panas. Situasi politik pada zaman Chan Kuo semakin kacau. Salah satu penyebabnya adalah kode etik peperangan yang selama ini dijunjung tinggi mulai ditinggalkan. Pada masa ini, peperangan terjadi diantara dua persekutuan, yakni persekutuan utara-selatan (persekutuan vertikal) dan persekutuan barat-timur (persekutuan horizontal).
Taktik perang yang dibuat sudah semakin maju. Semula, para bangsawan sebagai komandan dan pengiringnya maju ke medan perang. Setelah terjadi peperangan dan situasinya semakin hebat, setiap kaum feodal membentuk pasukan sewaan. Saat itu, para petani dipersenjatai dan dikirim ke medan perang. Pasukan tentara terdiri orang-orang bangsawan yang berkereta perang, ditambah pasukan-pasukan infantri yang terdiri dari para petani. Pada akhir abad lima SM, ditambah dengan pasukan kavaleri (pasukan berkuda).
Pada akhirnya, kedudukan Raja Chou sudah tidak dihargai sama sekali. Pergantian atau suksesi pemegang kekuasaan pun yang biasanya dilaksanakan bedasarkan warisan atau keturunan di beberapa negara sudah tidak lagi dilaksanakan. Karena kekuasaan Kerajaan Chou sudah tidak berpengaruh lagi, negara-negara yang termasuk Ch’in dengan mudah merebut tahta kerajaan itu. Dengan demikian, berakhirlah Dinasti Wen Wang dan Wu Wang pada 256 SM. Selama Dinasti Chou berkuasa, setidaknya tercatat 35 orang raja yang berkuasa selama 772 tahun.
o Sintesis Kebudayaan Shang dan Chou
Kesatuan kebudayaan Cina dimulai oleh semakin menguatnya sintesis kebudayaan Shang dan Chou. Masyarakat Chou bersifat patriarkhal yang terus hidup dalam sistem kekerabatan di Cina. Orang-orang Shang yang jadi kaki tangan Chou dalam penaklukan Kerajaan Shang diterima untuk masuk dan menjadi anggota dalam susunan masyarakat Chou. Orang-orang Chou merupakan golongan minoritas yang menjadi golongan aristokrasi yang memerintah terhadap rakyat Shang sebagai budak dan taklukan perang. Dalam kehidupan masyarakat Shang, para pendeta mempunyai kedudukan sangat penting. Tetapi, melalui upaya sintesis dengan Chou, kedudukan mereka menjadi tidak penting lagi, namun wibawa mereka tidak lenyap dari masyarakat karena mereka adalah orang-orang yang pandai menulis dan membaca. Karena kepandaiannya itu, mereka diangkat sebagai petugas khusus menyimpan arsip. Dengan demikian, terbentuklah golongan terpelajar. Para pendeta itu juga membantu upacara-upacara kurban, sedangkan pendeta yang tidak terpakai di kerajaan hidup dikalangan masyarakat sebagai pemimpin upacara agama rakyat yang lama.
Dari sisi perekonomian, sintesis kebudayaan antara Dinasti Chou dan Shang melahirkan gerakan pembaharuan. Bagi orang-orang Chou yang lebih tertarik dan memetingkan peternakan daripada pertanian terus melakukan pemeliharaan kuda dan kereta. Sebaliknya, masyarakat Shang yang mata pencaharian utamnya adalah pertanian (agraris) mulai mengenal hewan penarik seperti kuda penarik kereta yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Chou. Dari unsur itu, masyarakat Shang mulai meniru kebiasaan hewan penarik kereta dengan mengadaptasikannya di bidang pertanian, yaitu menggunakan hewan sebagai penarik bajak. Karena itu, ketika kebudayaan perunggu semakin maju, banyak bajak yang dibuat. Mata bajak itulah yang kemudian ditarik oleh hewan. Mata bajak dianggap sebagai unsur Shang (petani), sedangkan hewan helanya dianggap sebagai unsur Chou (peternak).
Dari sisi kepercayaan dan keagamaan pun terjadi sintesis yang sangat besar dan signifikan. Pada umumnya, keyakinan-keyakinan agama tertua yang berkembang di Cina didasarkan pada sumber-sumber kepercayaan Asia Timur dan Asia Tengah. Bangsa Cina dikenal pula sebagai bangsa petani sejak berabad-abad yang lalu. Secara umum, nasib bangsa agraris bergantung kuat pada pergantian cuaca dan iklim. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran hidup para petani sangat bergantung pada perimbangan yang musykil diantara kekuatan-kekutan alam. Melalui ritualisme dan upacara-upacara yang bersifat religio-magis, masyarakat Cina kuno berusaha memelihara dan mempertahankan keselarasan atau harmoni dalam kosmos yang dirumuskan dalam konsepsi Yang dan Yin. Karena itu, upacara-upacara keagamaan berhubungan erat dengan kehidupan pertanian. Dewa Resi tertinggi adalah Shang-Ti, leluhur mulia yang dianggap Dewa Tertinggi, Ia juga merupakan lambang Yang. Dewi Bumi (Ti) adalah perwujudan Yin. Selain itu terdapat juga dewa-dewa rendahan seperti Dewa Tanah (Huo Tu atau atau She), Dewa Gandum atau Dewa Panen (Huo Chi) dan dewa dewa gunung, sungai, dan guntur. Juga terdapat dewi-dewi yang banyak jumlahya seperti ibu dari timur, ibu dari barat, dan naga ibu. Dewa dan dewi yang rendahan itu disebut Shen.
Kepercayaan masyarakat Dinasti Chou bersifat astral, yakni Raja Chou memuja T’ien dan menganggap dirinya sebagai “the son of heaven”. Namun, keyakinan ini lambat laun terjadi sintesis dengan keyakinan Dinasti Shang. Shang-Ti dimasukan kedalam anggapan dewa astral sehingga pengertian antara Dewa Shang-ti dan T’ien tercampur menjadi satu dan melahirkan sebutan baru, yakni Hou T’ien Shang-ti. Dewa-dewa itu dipuja oleh kaisar-kaisar Cina hingga 1912.
Oleh : Dwi Vina Lestari
SERATUS ALIRAN FILSAFAT
 Zaman Klasik
Zaman Ch’unn Chi dan Chan Kuo dikenal sebagi zaman klasik (classic age period) dari sejarah dan kebudayaan Cina. Kekacauan politik pada zaman Dinasti Chau mengakibatkan terjadinya perkembangan kedudayaan dan masyarakatnya.
Akhir perkembangan Dinasti Chou merupakan zaman klasik bagi perkembangan kesusastraan Cina. Keadaan chaos menjadi pendorong dan motivasi bagi para filosof untuk mengerahkan pemikirannya guna menemukan cara mengatasi krisis moral dan politik pada zaman itu. Bukti dari perkembangan pemikiran tersebut terlihat dari diterbitkanlah beberapa kitab yang mengulas mengenai persoalan filsafat, sejarah, adapt istiadat, dan system pemerintahan ( teori kekuasaan). Salah satu hasil karya sastra Cina pada zaman Dinasti Chou akhir yang dianggap penting merupakan dua buku klasik, yaitu Wu Ching ( lima buku klasik) yang terdiri atas Shu Ching (kitab sejarah- The Book of History), Shih Ching (kitab syair- The Book of Song), I Ching (kitab Perubahan-The Book of Changes), Li Chi (kitab adat atau Upacara- The Book of Rites), Ch’unn Ch’iu ( Kitab Catatan Musim Semi dan Rontok- The Annals of Spring ang Autumn) dan Sze Shu ( empat kitab) yang terdiri atas Lun Yu (kumpulan percakapan Conficius), Meng Tze Shu ( The Mencius), Ha Hsueh ( The Great Learning, ajaran besar), Chung Yung (doktrin of the Mean).
 Seratus Aliran Filsafat
Akhir zaman Dinasti Chou ditandai dengan perkembangan kebudayaan klasik dan filsafat yang memberikan dampak terhadap pertumbuhan kebudayaan Cina selanjutnya. Pada masa ini dikenal juga istilah seratus aliran filsafat yang dilatarbelakangi oleh perkembangan aliran-aliran filasafat pada zaman itu. Disamping itu, hal ini diperkuat semakin memuncaknya pertentangan-pertentangan politik yang mengakibatkan timbulnya kesadaran akan moral dan politik.
Permasalahan yang sedang dihadapi para filsuf pada saat itu adalah upaya penyelamatan masyarakat yang sedang mengalami krisis politik. Hal ini semakin memperketat persaingan yang terjadi antar filsuf pada zaman itu. Dilain hal, pada zaman ini juga terdapat filsuf yang tidak diakui hingga menimbulkan kekecewaan bahkan mereka mengembara keberbagai tempat yang akhirnya menyebarkan aliran-aliran filsafat ke daerah asalnya.
1. Confusianisme
Diantara filsuf yang masa hidupnya banyak mengalami kekeceawaan dan kurang mendapat penghargaan adalah Confucius. Menurut kisah dan dongeng dalam tradisi yang bersifat biografi, Conficius berasal dari keturunan golongan bangsawan yang tidak mampu. Namun, ada yang menduga ia bersalah dari kaum bangsawan Dinasti Shang. Conficius dilahirkan dinegara Lu yang sekarang bernama Chu Fu.
Anggapan dan pandangan Conficius tidak dapat diketahui dengan pasti, karena tidak ada pandangan dan ajaran yang ditulis. Namun, menurut cerita tradisi, Conficius menyusun kitab Shu, Ching, Shih, dan Chun Chiu. Sementara itu, orang yang dinggap sebagai pendiri Conficius adalah Chou Kung. Dalam hal ini Conficius hanya melanjutkan dan memelihara pemikiran dan tradisi tersebut. Ia membela dan mempertahankan ajaran dasar-dasar masyarakat feodal. Ajarannya tentang moral diperuntukkan bagi golongan atas yang memerintah.
Ajaran yang disampaikan oleh Conficius disebut Confucianisme. Rakyat dan masyarakat Cina menyebutnya sebagai Ju Chiau atau ajaran agama terpelajar. Didalam ajaran Confocius terdapat anasir-anasir dari kultus astral zaman dinasti Chou yaitu kultus pemuja langit. Dasar dari ajarannya adalah tentang Tao yang boleh dianggap sebagai aliran universal (kesemestaan). Dalam hal ini, manusia harus berkelakuan harmoni dalam masyarakat berdasarkan partriakhal. Sedangkan ikatan-ikatan dalam keluarga bersifat unilateral(satu pihak). Dengan demikian, kerajaan-kerajaan yang ada di Cina berbentuk Negara patrimonial dengan raja sebagai bapak Patriakhal.
Konsep Conficius disatukan dalam kultus pemujaan langit, sistem keluarga, dan negara. Dalam konsep ini, masyarakat dan negara diletakkan dalam hubungan sebagai hubungan dari kosmos dan ketertiban hubungan sosial dibagi dalam lima hubungan yang disebut Wu Lun, yaitu:
a. hubungan antara raja atau pemerintah dengan rakyat
b. hubungan ayah dan anak
c. hubungan suami dan istri
d. hubungan kakak dan adik
e. hubungan kawan dan kawan.

Pemerintahan yang baik dirumuskan oleh Conficious dalam ungkapan Chun-chun, Chen-chen, Fu-fu, Tze-tze ( bila raja menjadi raja, mentri menjadi mentri, ayah menjadi ayah, dan anak menjadi anak) yang memliki arti bahwa setiap unsure dari sebuah negara yang bersangkutan harus menjalankan kewajibannya dengan benar dan penuh tanggung jawab. Disamping itu, upacara memiliki peranan penting dalam Conficianisme disegala bidang, baik materil maupun spiritual dengan memahami konsep Li (decorum atau konsep lahiriah sopan santun).
Confusianisme memilki lima prinsip dasar yaitu: Kecerdasan atau penetahuan ( Shin), kejujuran ( Chih), perikemanusiaan( Jen), kesetiaan dan kebaktian ( I), dan tata cara adapt ( Li). Diatas dasar itu, seseorang harus memelihara lima hubungan sosial yang bukan hanya semata-mata merupakan ketertiban sosial tapi juga merupakan sebagian dari aibat tata tertib agung dalam kosmos dengan cara menyempurnakan tingkah laku dan mental.
Menurut Conficius yang dicita-citakan oleh negara adalah para pegawai pemerintah yang mempunyai budi luhur yang sangat bagus. Ia bertingkah laku dan berbuat sebagaimana seorang bengsawan.
Menurut prinsip-prinsip Tao, seorang raja harus mampu menjalankan pemerintahannya berkat Te. Struktur pemerintahannya tidak menggunakan kekerasan dan paksaan. Raja yang mendahulukan sikap tiran dan selalu mengedepankan kekerasan berarti raja yang tidak mempunyai Te. Akibatnya, T’ien Ming akan dialih pindahkan dan tercabut dari raja lalim tersebut yang mengakibatkan timbulnya bencana-bencana alam, kekacauan dalam pemerintahan dan masyarakat, dan berbagai pemberontakan rakyat.
Teori T’ien Ming merupakan gagasan dari Chou Kung. Nama Chou Kung sangat dimuliakan dan dihormati sebagai tokoh sejarah. Menurut anggapan dan pandangan tradisional ,sejarah Cina terbentuk dari zaman Chou Kung yang berasal dari gagasan tertentu yang sangat fundamental dalam pemikiran Conficius. Menurut hipotesis H.G Creel, teori T’ien Ming diciptakan dan disosialisasikan pada masa Dinasti Chou untuk mengonsolidasikan dan mempertahankan posisi dan kedudukannya. Dokrin tersebut dikonsepsesikan untuk pertama kalinya setelah Dinasti Chou berhasil menaklukan Dinasti Shang.
Dalam perjalanan sejarah Cina hingga abad dua puluh, penggunaan pola alih pemindahan T’ien Ming menjadi sebuah tradisi yang menjadi kaum pembenar bagi kaum pemberontak. Partai Revolusioner yang dipimpin Dr. Sun Yan Sen pernah memakai sebutan “perkumpulan untuk memindahkan mandat” (The Association for Changing the Decree). Doktrin tersebut dianggap sebagai undang-undang dasar Cina pada zaman pemerintahan dinasti-dinasti. Doktrin terpentig dari teori tersebut adanya penegasan tentang sebab-sebab pemindahan yang terjadi pada konsepsi T’ien Ming. Doktrin T’ien Ming diciptakan oleh Dinasti Chou dalam rangka propaganda politik dan menjadi sangat penting yang emrupakan dasar (fundamental) dari ideologi negara Cina menurut konsep Confusianisme.
Dalam konsep kosmis-religio-magis mengenai susunan masyarakat dan negara, posisi kaisar yang berkuasa di Cina bersifat sacral-universal. Pandangan tradisi Cina tentang sakral-universalitas dari kerajaan dan kaisarnya menunjukkan sikap etnosentrisme. Konsep itu menegaskan bahwa bangsa sendiri bukan saja sebagai pusat universum (jagat raya) tetapi bangsa yang memiliki nilai manusiawi.
Conficius mempunyai cita-cita sosial yang disebut Ta Tung (persamaan luhur). Ada yang menyebutkan bahwa Conficius adalah seorang agnotikus. Menurut pandangan Conficius, bakat setipa manusia sama dan faktor yang menimbulkan perbedaan dalam kelakuannya adalah kebiasaan (custom).
Menurut tradisi yang berkembang, Conficius telah memunculkan dan menyusun Shih Ching, Shu Ching, dan Ch’un Chiu. Bahkan ia disebut telah menulis ulasan, komentar dan interpretasinya tentang kitab I Ching. Satu-satunya buku yang dapat dijadikan sumber untuk mengetahui kepribadian dan buah pikiran Conficius hanyalah Yun Lu.
Sepeninggal Conficius, ajaran-ajaran yang dikembangkan dan disosialisasikan muridnya Meng Tzu ( Meng Ko) yang dimuat dalam Mencius dan Hsun Tzu ( Hsun Kung). Menurut cerita, Mencius hidup antara 372-228 SM yang berasal dari negara Lu. Ajarannya banyak terdapat dalam kitab Tzu Shu ( kitab Mencius).
Pandangan Mencius tentang pemerintahan dan kekuasaannya terabadikan dalam ungkapan Min Wei Kuo (rakyatlah yang paling utama). Sementara itu, mengenai bakat Conficius mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan bakat yang sangat baik. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Hsun Tzu yang menyatakan bahwa bakat manusia itu sangat jahat yang dapat diperbaiki melalui ilmu pengetahuan dan peradapan. Didalam pertumbuhan aliran Conficius, pengaruh Hsun Tzu lebih besar daripada Mencius.
Ajaran Mencius tidak mengalami perkembangan sepanjang zaman Chung Kuo karena tidak berhasil mempengaruhi kalangan yang berkuasa dan banyak ajaran lain yang menjadi saingan.
Pada zaman Dinasti Ch’in (221-107 SM) bencana paling besar yang dialami Confucianisme karena adanya larangan dsri kaisar yang berkuasa. Sebaliknya pada zaman dinasti Han ( 206-229 SM) justru Conficius yang berkuasa hingga menjadi ideologi negara. Sementara itu, pada zaman Dinasti Shuang, Confucianisme mengalami pembaharuan yang dilakukan para pemikir zaman itu, seperti Chi Shi (1130-1220). Shin Chi dianggap berhasil menyusun Conficius dengan sistematis dan terstruktur. Ia juga berhasil meluncurkan ajaran baru yang disebut Neo-Conficianisme atau Confusianisme baru. Menurut interpretasi Chu Shi dan orang Cina kebanyakan Noe-Confusianisme ini disebut sebagai mazhab Li.
Sejak zaman Dinasti Han, Confusianisme dijadikan agama negara dalam bentuk pemujaan langit.bangunan suci yang terpenting yang dimilki keyakinan ini adalah Altar. Letak, bentu dan ukurannya mencerminkan lambang-lambang dan azas Yang. Conficius dipuja-puja dalam kuil yang didirikan disetiap distrik diseluruh kerajaan. Dua kali dalam setahun, para pembesar daerah harus melakukan kebaktian dikuil Confucius atas nama kaisar.
2. Taoisme
Ajaran filsafat yang terbesar, terkenal dan termansyur setelah Conficius adalah Totaisme. Pendirinya adalah Lao Tzu ( Laocius) yang bearti Puajangga Lao atau Pujangga Tua. Menurut tradisi, Lao Tzu hidup sezaman dengan dengan Conficius bahkan disebut lebih tua. Tapi, menurut ahli sejarah, ajaran filsafat ini timbul dan berkembang pada pada akhir abad ke empat SM. Kitab hasil karangan Lao Tzu adalah Tao Te Ching (buku klasik tentang Tao da Te).
Ajaran yang dikembangkan Lao Zhu bertujuan untuk memelihara harmoni antara kehidupan manusia di dunia dan hokum universal alam jagat raya (law of natural) yaitu Tao. Dalam ajaran ini, pemikiran dipusatkan pada hubungan manusia dengan pencipta. Hakekat pemahaman Tao yang diselami Lao Zhu pun melalui jalan mistis (mistic path) yang digunakan sebagai pemersatu Tao dengan kekuatan sang pencipta. Atas dasar itu, ajaran yang dikembangkan Lao Zhu dalam konsep Tao nya terlihat lebih bersifat agama (religius).
Pada abad empat SM ( 369-286 SM) ajaran Lao Zhu dilanjutkan oleh Chuang Tzu yang memiliki nama Chou. Kadang Ia juga dikenal sebagai Chuang Chou. Dalam hal ini, Ia memberikan kesan sebagai seorang penulis yang mengungkapkan kecaman-kecaman, kritik, dan memberikan sense of humor yang tinggi. Disamping itu Ia juga memberikan kesan sebagai seorang anrkis-revolusioner individualis yang kental. Kitab yang dsitulisnya adalah eksplanasi tentang mimpinya menjadi kupu-kupu.
Sepanjang abad kemudian ajaran ini mengalami perkembangan namun, banyak mengalami penimpangan ( distorsi). Penyimpangan tersebut bersifat mistis yang jauh dari mistis sebagai ajaran Lao Tzu. Disamping itu, pada mazhab ini terdapat tiga ajaran yang dikenal juga dengan Tridarma yaitu: menikah berdasarkan ajarana Budha, Hiduo berdasarkan ajaran konghucu, dan meninggal berdasarkan totaisme.
3. Mohisme
Ajaran Mohisme didirikan oleh Moti atau Mo Tzu yang hidup kira-kira pada 479-381 SM yang berasal dari wilayah Lu. Ajaran ini disebut sebagai ajaran Mohisme yang revoliusioner dan sangat kontradiktif dengan ajaran Conficious yang konservatif. Hal ini disebabkan karena didalam ajarannya ini, Ia memiliki pandangan yang sangat revolusioner terutama mengenai susunan masyarakat dan menentang perbedaan yang tajam dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, ia berusaha untuk mengubah susunan masyarakat, menghapuskan perbedaan golongan, dan mengganti prinsip-prinsip yang fundamental.
Didalam ajaran ini, Mo Zhu juga mengajarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Yen dan Li yang diakui sebagai dasar suatu format masyarkat dan menggunakn kopnsep ajaran Tao sebagi sifat kepribadian dari sang pencipta. Disamping itu, Ia mengajarkan tentang makna penting dari sikap disiplin yang keras dan hidup sederhan, hemat,cermat, dan patuh kepada pemimpin.
4. Sophisme
Bersamaan dengan kemunculan Chuang Tzu dari mazhab Totaisme, kira-kira pada abad empat SM muncul pemikir-pemikir yang dikenal dengan kaum Sophi (dialektrisan). Para pengikut mereka banyak tersebar di Negara Chi dan Wei. Cara pemikiran kaum ini yang sistematis memberikan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat Cina dan mempengaruhi para pemikir yang hidup pada abad tiga SM, antar lain Meng Tzu dan Shun Tzu.
Munculnya kekacauan dan kerusuhan pada zaman Dinasti Chou menyebabkan ajaran-ajaran yang dikembangkan kaum Sophi sangat sedikit. Hal ini sangat merugikan perkembangan filsafat Cina.
5. Individualisme
Egoisme menjadi dasar ajaran bagi kaum individualis yang diajarkan oleh pemikir sebagai puncak kebajikan terpenting. Konsep kaum individualis tentang hubungan antarsesama harus mengutamakan sendiri sangat kontradiktif dengan kebanyakan pemikir sebelumnya. Dalam hal ini, Yang Chu dikenal sebagai seorang individualis yang sangat ekstrim pada abad empat. Ia adalah seorang pemikir yang pesimistis, cenderung tertarik pada paham sinisme, sangat egosentris dan tidak menghiraukan segala macam kegiatan orang lain.
Ucapan kaum individualis yang sangat mansyur adalah ” jika dunia ini dapat diselamatkan atau dihancurkan hanya dengan memegang sehelai rambut kepal atau dengan mengerakkan salah satu jari tangan, Ia tidak akan melakukannya”. Ia tidak peduli apakh masyarakt menjadi baik atau tidak, kacau atau hancur. Hanya kepentingan pribadilah yang harus dipertahankan.
6. Legalisme
Filsafat yang tergolong sangat penting dalam perkembangan menuju terbentuknya Negara kesatuan Cina adalah ajaran Filsafat penganut paham Fa Chia. Kaum Fa Chia lazim disebut sebagai kaum Legalis, tapi siapa pendirinnya tidak jelas. Jadi Fa Chia sama dengan Fa yang berarti undang-undang atau hukum dan pahamnya legalisme. Namun, menurut tradisi Cina, ajaran Fa Chia dikembangkan oleh Kuang Chung salah satu mentri dari negar Chi pada abad tujuh SM Ajaran tersebut merupakan campuran dari berbagai aliran pemikiran dengan car mengambil pokok-pokok tertentu yang dianggap berguna dan praktis. Ajaran-ajaran pada masa ini merupakan kontradiksi-kontradiksi kolot yang konservatif.
Didalam ajaran dan konsepsi legalisme terdapat pengaruh-pengaruh dari ajaran Conficiounisme, Mohisme, dan Sophisme.
Salah seorang Legalis yang terkenal adalah Shang Yang yang dikenal dengan nama Wei Yang atau Sun Yang. Ia adalah penganjur dan pendukung politik totalitarisme serta mengikuti pendapat dan paham machiavelisme. Dalam hal ini, pandangan politiknya terdapat dalam bukunya yang terkemuka Shang Chun Shu ( The Book of Lord Shang).
Legalis yang termansyur adalah Han Fei Tzu dan Li Zhu. Mereka beranggapan bahwa manusia pada dasarnya jahat dan akan sia-sia memperbaiki masyarkat dengan propaganda dokrin yang idealis. Han Fei Zhu adalah seiorang pemikir legalistis yang tangkas dan cerdas yang berasal dari Negara Han.
Oleh : Raden Ningtias Zulkarnaen
DINASTI CH’IN DAN HAN
1. Dinasti Ch’in
Dinasti Ch’in merupakan dinasti yang paling pendek usianya, ada tiga kaisar yang pernah memerintah dinasti ini, yakni Ch’in Shih Huang ti, Erl Shih Huang Ti, dan Tze ying, walaupun usia dinasti Ch’in tidak bertahan lama, namun membawa pengaruh yang besar karena pada masa ini terjadi pembentukan Sejarah dan Kebudayaan Cina, dan pada masa Shih Huang Ti lah terjadi gerakan revolusi besar di Cina.(Rochiati, 2003 : 133)
Pada mulanya, Negara Ch’in merupakan Negara kecil yang terbentuk kira-kira 900SM sebagai Negara Wei Kuno yang sebagian wilayahnya sekarang masuk kedalam wilayah provisi Kanshu, sedangkan sebagian masuk kedalam wilayah Shensi, karena ancaman yang tiada henti dari suku nomad di sepanjang perbatasan sebelah barat laut, wilayah Ch’in kemudian tukmbuh m,enjadi wilayah yang militensinya tinggi.Diduga bahwa penduduk Ch’in merupakan penduduk yang banyak memiliki percampuran darah dari bangsa proto-tartar atau proto-Turki dan Mongolia, serta dari bangsa Porto-Tibet. Pada 359SM, tepatnya pada masa Dinasti Chou, salah seorang perdana menteri bernama Shang-Yang (358-338)SM, melancarkan perubahan secara besar-besaran tentang struktur organisasi sosial-politik, perubahan tersebut juga menyentuh sistem pembagian tanah yang dihapuskan dan digantikan oleh sistem kepemilikan tanah, khususnya untuk para petani, peraturan baru ini menetapkan bahwa tanah boleh diperjualbelikan, Melalui peraturan baru ini, sistem feodalisme dalam kepemilkan tanah mulai dihapuskan.(Rochiati, 2003 :134)
Sistem ini menganut ajaran filsafat Fa Chia (legalisme) yang bertujuan untuk menguasai dan mengendalikan wilayah daratan Cina. Upaya tersebut diperkuat dengan pendirian wilayah ibu kota Negara yang megah yang dikenal dengan nama Hsien Yang (sekarang berdekatan dengan kota Si-an). (Rochiati, 2003 : 134)
Pada 246 SM, raja Ying Cheng naik tahta diatas singasana kerajaan Ch’in bersamaan itu, datanglah seorang pemikir yang cerdik bernama Li Zsu yang berasal dari Shangtsai, oleh Ying Ceng, ia diangkat sebagai perdana menteri pertama (237-208 SM), sebagai perdana menteri, ia melanjutkan pekerjaan yang dirintis Shang-Yang yaitu semua rival Negara Ch’in dihancurkan, dengan demikian tak ada lagi sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Dinasti Chung Kuo (sebagai kerajaan sentral) dan Wei Kuo (sebagai kerajaan vazal), karena sekmua telah terkubur dan terlebur dalam persatuan kerajaan Cina yaitu kerajaan Ch’in (Rochiati, 2003 :134).
Setelah penyatuan kerajaan selsai, Ying Ceng mulai memakai dan mensosialisasikan gelar Shi Huang-Ti (Ch’in Shih Huang-ti 221-209 SM), ia memakai gelar itu karena ingin menunjukan bahwa ia lebih hebat dan pandai, sempurna daripada tiga raja dan lima kaisar terdahulunya, sehingga ia berusaha menunjukan kelebihan-kelebihan yang ia miliki, ia memakai gelar tiga raja dan lima kaisar yaitu Huang dan Ti. I a memakai gelar itu dan meyakinkan penuh percaya diri bahwa kerajaan yang dipimpinnya akan bertahan lama dan dapat bertahan dar serangan kerajaan manapun, tak dapat disangkal bahwa kaisar Shih Huang-Ti memang terbukti berhasil dalam memerintah kerajaan, ia memimpin kerajaan sejak usia 13 tahun, keberhasilannya memimpin kerajaan karena didukung letak geografis kerajaan yang strategis, sehingga dengan mudah dapat melakukan serangan ke Negara lain, selain itu kerajaan Ch’in memiliki ahli tata Negara yang pandai, seperti Hertog Mu, Hertog Hsiao, Shang Yang, Lu Pu Wei, Han Fei Tzu, dan Tsun Zu. (Rochiati, 2003 :135)
Dengan penyatuan-penyatuan seluruh kerajaan Cina itu, makin membuat kerajaan Ch’in semakin kuat, bahkan dengan begitu kaisar Shih Huang Ti menunjukan bahwa kaisar agung pertama yang memerintah secara turun-temurun. Kaisar Shih Huang Ti mengeluarkan dekrit bahwa yang nanti akan menggantikannya akan disebut kaisar kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada 221 SM wilayah kerajaan Ch’in semakin diperluas sampai ke tenggara, yakni daerah yang dikuasai bangsa Yuen, ekspansi itu kemudian diarahkan ke bagian selatan, pada 214 SM, pasukan dinasti Ch’in melakukan penyerbuan hingga ke lembah sungai merah di Tonkin (Vietnam Utara). (Rochiati, 2003 :135)
Orang yang menggagas proses unifikasi Cina adalah perdana meteri Li Szu, dapat dikatakan bahwa Li Zsulah yang memegang peranan penting dalam upaya penyatuan dinasti-dinasti di Cina, langkah-langkah upaya yang dilakukannya dalam menyatukan dinasti-dinasti Cina antara lain:
1. Penghancuran Feodalisme: faham kebangsawanan, Kekuasaan yang dipegang oleh bangsawan (aristokrat) dihapuskan, sedangkan tanah-tanah, Milik mereka disita Negara dan diserahkan terhadap petani.
2. Penerapan sistem keseragaman sistem bahasa tulisan (uniformasi sistem bahasa)
3. Penyeragaman sistem mata uang, ukuran, dan timbangan
4. .Penyeragaman pemakaian sumbu-sumbu roda, agar setiap kendaraan memiiki panjang sumbu roda yang sama. (Rochiati, 2003 :136)
Selain itu proses raksasa yang dibangun pada masa Dinasti Ch’in adalah pembangunan dinding tembok besar Cina, keberadaan tembok raksasa ini memilki dua fungsi yaitu:
1. Pembatas secara tegas batas wilayah teroterial Cina asli dengan bangsa-bangsa nomad yang berada di padang rumput utara dan barat laut.
2. Mendirikan benteng pertahanan yang ditempatkan di perbatasan barat laut terhadap serangan suku barbar karena suku bangsa Hsiungnu merupakan musuh terbesar bagi kerajaan Cina asli.
Kaisar Shih Huang Ti digolongkan oleh Otto Franke dalam kelompok empire bulders, atau pendiri kerajaan-kerajaan besar, ia memiliki sikap keras dan disiplin yang kuat karena merupakan hasil didikan ideologi legalisme, ia juga dikenal sebagai kaisar tangan besi, egois, dan melarang seluruh aliran filsafat, kecuali legalisme, ia juga menerapkan sistem hukum mati namun kebijakan hukum mati itu ditolak oleh sebagian rakyat Cina, karena ia memimpin dengan tangan besi, tidak mengherankan bahwa ia terlibat dalam upaya pembunuhan, sehingga dalam hidupnya dipenuhi rasa ketakutan. Kaisar ini juga dikenal sebagai kaisar yang takut mati, sehingga setiap perjalanannya, ia bukan hanya melihat kesetiaan rakyat padanya tapi ia juga meminum obat penangkal mati. (Rochiati, 2003 :138)
Dalam perjalannya terakhir terjadi pada 210 SM, kaisar jatuh sakit dan meninggal pada usia 50 tahun, sebelum meninggal ia berpesan agar putera mahkotanya, Fu Su yang dahulu pernah di usir, agar menggantikannya. Tetapi o0leh perdana menteri Li Zsu dan seorang kasim, isi wasiat itu dirubah, yaitu menyeru kepada putera mahkota untuk segera bunuh diri. Sehingga yang akan menjadi kaisar pengganti adalah Hu Hai, putera kedua Shih Huang Ti yang dinobatkan sebagai kaisar dengan memakai gelar Erl Shih Huang Ti, namun ia memerintak tidak sehebat ayahnya namun gaya pemerintahan yang sama melekat adalah ia seorang tangan besi, karena ia dibwah pengaruh Chao Kao, kaisar Hu Lei banyak membunuh para pembantu kaisar Shih Huang Ti. (Rochiati, 2003 :139)
kaisar pertama menimbulkan kehancuran bagi kerajaan Ch’in, banyak terjadi pemberontakan, kaum pemberontak terdiri atas bekas para bangsawan Dinasti Chou yang kecewa karena mersa tersisih, dan juga para petani miskin yang merasa tertindas, Chao Kao memberikan pengaruh besar pada masa pemerintahan kaisar kedua, ia membunuh kaisar kedua namun sebelumnya ia membunuh perdana mentri LI Szu padahal dulunya mereka satu komplotan, akhirnya Chao kao menobatkan Fu Su yang dulunya pernah dinobatkan oleh Shih Huang ti, ia menjadi kaisar ketiga. (Rochiati, 2003 :140)
Pada masa pemerintahan kmaisar ketiga, tidak membuat kerajaan Ch’in lebih baik dan berkembang karena ibukota berada dalam kepungan para pemberontak, yang dibawah pimpinan Hsiang Yu, seorang bekas bangsawan dinasti Chou, ibukota kerajaan akhirnya jatuh kepada Hsiang Yu namun, ia dikalahkan oleh pembantunya sendiri yang bernama Liu Pang yang berasal dari keluarga petani di daerah hulu sungai Han, Liu pang kemudian mendirikan dinasti Han, dianasti Han dipandang sebagai dinasti pemberontak yang berasal dari kalangan petani di Cina, Dinasti Han dianggap resmi berdiri pada 206 SM, tetapi sebenarnya dinasti Han berdiri pada 202 SM ketika Liu Pang mengalahkan Hsiang Yu.(Rochiati, 2003 : 141)
2. DINASTI HAN (206 SM-220 M)
Di bekas kerajaan Hsien Yang, didirikanlah ibu kota baru yang bernama Chang-an, pada zaman ini timbulah golongan tuan tanah corak baru yang pada perkembangan beriktnya memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Zaman dinasti Han terbagi dua oleh keadaan interregnum dinasti Hsian debgab hanya seorang kaisar bernama Wang Mang (9-24 M), dengan demikian terdapat dua dinasti Han yaitu His Han atau Han Barat dan Tuang Han atau Han Timur (25-220M. (Rochiati, 2003 :141)
Kerajaan atau Dinasti Han merupakan warisan dari Dinasti Ch’in, perbedaaanya adalah pada dinasti ini memiliki dasar ideologi dau, konsep filsafat Confucianisme yang disintesiskan dengan warisan kebudayaan Dinasti Chou dan Dinasti Chin. Kaisar pertama yang terkenal adalah Han Kau Tzu (206-195 SM), Sejak Zaman dinasti Han sampai Dinasti Yuan (1260-1368) dan Dinasti Ming (1368-1644), buku-buku sejarah Cina biasa menyebut kaisar dengan nama kuilnya.
Pada zaman Dinasti Han, kedudukan dan posisi para tuan tanah yang bercorak baru semakin kuat, mereka yang pada masa dinasti Ch’in memegang peranan penting, selain itu timbul pula para kelompok baru yang memperoleh status kelas tinggi (High Class). Ketinggian status ini diperoleh melalui prestasi dan keberhasilannya menempuh ujian pegawai sipil yang diberlakukan masa dinasti Han. (Rochiati , 2003 :142)
Zaman Dinasti Han memiliki kenangan tersendiri bagi aliran filsafat Confucianisme, Dengan bantuan orang-orang yang setia kepadanya, aliran filsafat Confucianisme dihidupkan untuk mengikuti upacara-upacara pada masa dinasti Chuo, untuk memuliakan dan mengagungkan dinasti ini. Orang-orang terpelajar yang mahir dalam pengetahuan buku-buku klasik Dinasti Han. Untuk menempati jabatan-jabatan khusus di pemerintahan karena tidak semua orang dapat membaca buku-buku klasik.(Rochiati, 2003 :146)
Pada masa pemerintahan Dinasti Han Wu Ti (14-87) , dasar-dasar ujian untuk untuk jabatan pemerintahan sipil mulai disusun dan diberlakukan. Untuk memenuhi kebutuhan pegawai dan standar tertentu maka diberlakukanlah sipil (civil service ezaminition), mulai disusun dan diberlakukan, dengan tujuan mendidik dan menghasilkan pegawai yang cakap mahir dan menguasai ideologi confucianisme. (Rochiati, 2003 : 147)
Dinasti Han pada masa Han Wu Ti terbentuk menjadi suatu negara gantry yaitu kaum terpelajar, kelompok ini dinamai kaum gentry karena merupakan kelas feodal yang menggantikan bangsawan dari dinasti Chou, ideologi confucianisme dijadikan dasar dan fondasi itu dituangkan pahamdan ideologi dinasti Chou yang berdasarkan pada doktrin T’ien Ming, orang-orang yang berasal dari kaum Gentry yang menjadi pendukung dan pembina aliran Confucianisme, Dinasti Han berhasil melakukan sintesis diantara dua corak pemerintahan yaitu, corak pemerintahan hin masih berkuasa birokrasi sentralisme), sedangkan zaman Dinasti Chou yang menggunakan odeologi berdasarkan doktrin T’ien Ming menurut tafsiran Confucianisme. (Rochiati, 2003 :147).
Pada masa Han Wu Ti, Dinasti Han melakukan perluasan wilayan ke daerah sebelah utra dan barat. Perluasan itu sesuai dengan nama kaisar masa itu yakni Bya Wu Ti, artinya kaisar elang, Han Wu Ti melakukan peperangan dalam usahanya untuk memperluas kekuasaanya, Espansi utra dilakukannya ke daerah Manchuri dan Korea, sedangkan barat ke daerah Knshu dan muai masuk ke Asia Tengah melewati tanah tinggi pamir ke Turkestan Barat, melalui jalur sutera dan dengan perantara bangsa Parthia, mereka menjalin hubungan dengan Negara-negara yang ada di sekitar laut tengah, yaitu imperium Romawi. Dari negara yang berajaran Kristen Katholik pengaruh pun mulai masuk ke Cina selain itu pengaruh India pun masuk ke Cina. Sesungguhnya ekspansi ke sebelah barat merupakan tindak lanjut dari peperangan sebelumnya yang pernah terjadi dengan bangsa Hsiungnu, saat dinasti Chin masih berkuasa.(Rochiati, 2003 :147)
Pada masa Dinasti Chin seorang pemimpin tertinggi diantara mereka yang bergelar Khan, yang dalam bahasa Cina lazim disebut istilah Cina Chan Yu, ketika dinastiChin sedang mengalami masa-masa kehancuran Hsiangnu yangyang menguasai seluruh daratan Mongolia sekarang, pada thun 201, Han Kau Tzu menyerang Hsiangny tetapi kaisar Han Kau Tzu tertawan oleh bangsa Hsiangnu, karena itu, ia terpaksa membeli dan melakukan perdamaian kepada Mao Tun, upeti dibayarkan bangsa Cina dan bagsa barbar yang bertentangan dengan ideology Cina. (Rochiati, 2003 : 148).
Kendati sebuah dianst yang berani melakukan tindakan “Membeli Perdamaian” karena setiap tahun ia harus membayar sutera, gandum, dan arak. Tindakan penyerbuan dan dan penyerangan bangsa Hsiangnu dalam wilayah Cina masih sering terjadi, atas dasar itu Kaisar Han Wu Ti,memperkuat pertahananya di perbatasan Barat Laut dengan cara memperkuat penjagaan dinding tembok besar dan mengadakan peternakan kuda di daerah itu. Latihan Kavaleri (pasukan berkuda) yang semula diidentifikasikan ke daerah perbatasan itu lalu dipindahkan oleh petani dengan tujuan strategi perang. Siasat perang yang bersifat defensif yang digagas oleh Han Wu Tiba segera diganti dengan strategi ofensif yang tujuan utamanya untuk menghancurkan kekuatan Hsiang Nu, serangan-serangan berikutnya dilanjutkan untuk melakukan penaklukan wilayah Asia inabangsa Cina, misalnya bangsa Yueh Chil (Cakya) yang sebelumnya pernah didesak oleh bangsa Hsiangnu ke sebelah barat sehingga mundur ke sebelah sungai Ii di Turkestan Barat. Kemudian bangsa Yueh Chih mundur melalui sungai Sogana di daerah Sungai Yaxartes (Sydarya) dan sungai Oxus. Akhirnya mereka berhasil menduduki wilayah Bachtria, sebuah kerajaan independen yang didirikan 300 SM dan dipengaruhi aliran Hellenisme.(Rochiati, 2003 :149).
Penaklukan Asia Tengah oleh bangsa Cina diikuti oleh hubungan perdagangan , hal itu dipandang dari adanya kesepakatan jalur sutera.Setelah bangsa Hsiangnu dapat diusir dari seluruh perbatasan barat Laut Cina Asli, berbagai wilayah Turkistan Timur terikat kesepakatan ina pada zaman Hsiang Nu disebut “Pemotongan Tangan Kanan”, Tindakan ini dilakukan untuk merupakan bangsa paling berbahaya, musuh Cina paling mmembahayakan. (Rochiati, 2003 :149)
Han Wu Ti mengirimkan ekspedisi ke sebelah selatan Cina asli hingga Vietnam, Ekspansi dinasti-dinasti Cina pada masa Dinasti Han Barat semakin membulatkan proses sinifikasi dilakukan melalui melalui pendekatan peperangan yang menimbulkan beban berat dan kesengsaraan bagi petani, padahal baiaya peperangan dibiayai oleh pajak petani, sehingga para petani yang kehilangan hak atas tanahnya menjadi penyewa untuk menggarap tanah yang dimilik kaum Gentry.(Rochiati, 2003 : 150).
Sepeninggal; kaisar Han Wu Ti, kekuasaan dinasti Han mulai melemah, orang-orang yang berasal dari keluarga permaisuri, berusaha mendapatkan posisi agar tetap berpenagruh hingga menjadi panglima tentara atau setidak-tidaknya menteri, dalam kerajaan. Saat bersamaan krisis melanda negeri itu, hingga menjadi pemicu pemberontakan petani. Dalam kondisi tersebut,seorng anggota kerajaan bernama Wang Mang menjadi wali untuk kaisar yang berumur delapan tahun. Pada tahun 5 M, kaisar itu meninggal dan menobatkan seorang bayi menjadi penggantinya, namun pada tahun delapan M, kaisar cilik itu diturunkan dan digantikan oleh Wang Mang sendiri, yang mendirikan Hsin (8-24 M) dan disebutkan pula pada masa Dinasti Hsin terjalin hubungan dengan kerajaan di Indonesia.(Rochiati, 2003 : 150).
Dalam catatan sejarah, masa pemerintahan kaisar Wang Mang hanya merupakan interregnum pada masa dinasti Han, saat itu kaisar Wang Mang merencanagkan program semua harta Negara untuk para petani, kaisar itu mengeluarkan kebijakan yang melarang perdangan budak namun sayangnya perdagangan budak itu belum dihapuskan, mengadakan monopoli Negara atas pembuatan mata uang, garam, besi, minuman keras, pertambangan, dan hasil-hasil sumber daya alam lainnya. Wang Mang mengeluarkan kebijakan tersebut untuk memperbaiki kehidupan petani, karena itu kebijakan barunya terkenal dengan gelar “Penganut Sosialis yang Setia” namun pemerintahannya gagal akibat korupsi yang parah disebabkan oleh kaum Gantry, mereka merasa dirugikan oleh program nasionalisasi agrarian (pertahanan), krisis Agraria puntetap melanda kerajaan, bahkan letusannya tampak semakin kuat dalam pembrontakan petani dan dilaksanakn pula penyerbuan oleh suku bangsa Hsiangnu.(Rochiati, 2003 : 151).
Salah seorang anggota keluarga Liu Pang yang bernama Liu Hsiu dengan dukungan kaum Gentry berhasil menaiki dan menaiki tahta singasana keajaan dan mendirikan dinasti Han baru, yaitu Han Timur (25-220) yang beribu kota Lo, menurut konsepsi doktrin T’ien Ming, pemindahan dinasti dilakukan kaum Gentry karena setiap diansti yang didirikan tidak akan pernah berhasil melakukan konsilidasi internal. (Rochiati, 2003 :151).
Orang yang menjadi kaisar pertama dalam dinasti Han Timur yang terkenal adalah Kuil Kuang Wu Ti (25-27). Pada mulanya serbuan-serbuan dan penyerangan yang dilancarkan oleh bangsa Hsiangnu dihadapi dengan sikap defensif, tetapi semenjak kaisar Dinasti Han Timur meninggal, sikap defensife mulai ditinggalkan dan mulai melaksanakan sikap ofensif terhadap suku bangsa Hsiungnu.Untuk kedua kalinya tindakan ofensif membuka hubungan dengan dunia luarsebelah barat seperi Ta Chin, kerajaan Parthia, Mesopotamia, pada perkembangan selanjutnya kerajaan Kushana dan Parthis menjadi perantara dan partner setia dalam menjalin hubungan antara Cina dan India, serta negar lain di sekitar laut merah, sehingga membuat kebudayaan India dan Helenisme mulai masuk ke wilayah Asia Timur. (Rochiati, 2003 :152).
Pada Zaman Dinasti Han dilakukan kegiatan ilmiah seperti penelitian, penerbitan buku-buku ilmiah, penulisan mulai dikembangkan, sehingga membuat orang-orang dlam dinasti Han terkenal pandai, kemegahan dan kejayaan Dinasti Han akan terus bergema sehingga sebutan umtuk “Putera-putera Han atau orang-orang Han” mulai dipakai oleh orang-orang Cina Utara. (Rochiati, 2003 :153)
kira-kira 100, tepatnya pada masa kaisar keempat dari dinasti Han Timur, Dinasti Han Timur mulai mengalami kemunduran. Di dalam pemerintahan kaisar-kaisar yang masih bocah yang didampingi walinya, kelompok-kelompok pe,berontak mulai bermuculan, mereka terus menggoyangkan kekaisaran yang telah ada dan menyebarkan intrik-inrik ke dalam lingkungan istana yang dibantu oleh kasim, krisi kedua mulai meletus pada akhir abad ke-dua dan awal abad ketiga makin menghangat. Keadaan ini mulai menyebabkan munculnya pemberontakan kaum petani, salah seorang perwira dari suku Wei berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dan kemudaian merebut kekuasaan dan menaiki tahta singasana kekaisaran pada 220. (Rochiati, 2003 :153).



KESIMPULAN

Kawasan Asia Timur merupakan bagian dari wilayah di dunia yang memiliki sejarah dan rentang peradaban. Adapun peradaban yang muncul dikawasan ini tidak terlepas dari peranan Cina. Telah diketahui bahwa peradaban Cina lahir, tumbuh, dan berkembang di lembah Sunai Huang Ho (Yellow River). Berdasarkan kisah sejarah maka hasil dari kebudayaan Cina diawali sejak jaman batu muda yaitu hasil kebudayaan Yangshao (periuk bewarna) dan hasil kebudayaan Lungshan (periuk berkaki tiga) dan kemudian dilanjutkan dengan beberapa hasil kebudayaan lain beserta hasil kebudayaan perunggu.
Negeri Tirai Bambu ini merupakan negara yang dikenal dengan seratus dinasti. Hal ini karena pemerintahan di Cina selalu berpindah dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya. Adapun doktrin T’ien Ming merupakan bagian dari ideologi kerajaan di Cina. Konsep mandat dari langit yang digagas oleh Chuo Kung ini juga dianggap berperan andil terhadap kemunculan dinasti-dinasti di Cina. Adapun Dinasti yang berperan penting dalam sejarah Cina adalah : Dinasti Shang (1523-1028 SM) yang merupakan dinasti pertama di Cina, Dinasti Chou (1050-256 SM) yang terkenal dengan Doktrin T’ien Ming, serta Dinasti Chin (221-207 SM) yang melahirkan kaisar terkuat di Cina serta Dinasti Han (206-220) yang kemudian akan menjadi tiga kerajaan.
Selain dari keberadaan dinasti – dinasti diatas, maka kekayaan peradaban Cina juga terkenal dengan adanya aliran filsafat. Hal inilah yang menjadi pondasi dari kekokohan Bangsa Tionghoa dalam menjalani tradisinya. Beberapa filsafat tersebut antara lain Confusianisme, Legalisme ,Mohisme,Sophisme, Individualisme, dan Taoisme. Berdasarkan sejarah aliran –aliran filsafat ini lahir pada masa Dinasti Chou, dimana dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat dan pertentangan politik. Namun demikian keberadaan ajaran-ajaran inilah yang mendukung Cina untuk memperkaya hasil peradaban dan kebudayaannya..
Dari uraian diatas, maka penulis menarik kesimpulan” bahwa banyak ilmu pengetahuan yang dapat kita peroleh dalam mempelajari Sejarah Peradaban dan Kebudayaan Cina”. Manfaat tersebut tidak hanya sekedar dalam kebutuhan praktis dalam dunia intelektual, tapi juga dapat memberi motivasi kepada bangsa kita ”Indonesia” agar dapat selalu mempertahankan hasil kebudayaan dan peradaban yang kita miliki. Hal ini karena Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan peradaban dan kebudayaan. Namun kenyataannya, kekayaan yang dimiliki tidak dipelihara dengan baik oleh penerus bangsa, selain itu terkadang banyak anak bangsa yang malu untuk mengakui kekayaan dari bangsanya. Maka dari itu marilah kita becermin kepada Cina. Dimana Cina yang kaya hasil peradaban, bangga untuk mengakui kekayaannya, bahkan terus membanggakan apa yang menjadi hasil kebudayaannya. Selain itu kebesaran dan kejayaan dari kebudayaan yang dimiliki bangsa tidak tercermin dari seberapa tuanya kebudayaan itu, akan tetapi dari hasi-hasil yang pernah dicapai (achievement) serta eksistensinya dalam mempertahankan dan mencintai kebudayaan itu.






DAFTAR PUSTAKA

Berg, Van Den, H.J, 1950. Selayang Pandang Sejarah Tiongkok.
Jakarta : Groningen
Ensiklopedi Negara dan Bangsa, 1987. Jakarta : Grolier International
Filosofis-Historis dan Sosio-Antropologis. Bandung: Humaniora
George, Elizabeth. 1952. Sedjarah Tiongkok Selanjang Pandang. Terjm Ong Pok
Kiat dan Sudarso. Jakarta :Groningen.
Lan, Nio Joe. 2003. Sastra Cina: Sepintas Lalu. Jakarta: Gramedia.
Soeroto. 1962. Indonesia di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke abad.
Jakarta : Djambatan
Wiriaatmadja, Rochiati, dkk. 2003. Sejarah dan Peradapan Cina, Analisis