PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam studi sejarah, historiografi merupakan tahapan atau kegiatan menyampaikan hasil rekonstruksi imaginatif masa lampau. Dengan perkataan lain, tahapan historiografi itu ialah kegiatan penulisan. (Herlina, 2008: 16). Kegiatan penulisan yang berlangsung setelah melalui proses pengumpulan sumber-sumber sejarah. (Yulianti, 2007: 25). Selain itu historiografi juga dikenal sebagai “sejarah dari sejarah” atau “sejarah dari penulisan sejarah” artinya pengkajian perkembangan penulisan sejarah. (Herlina, 2009: 10).
Dalam buku Historiografi Indonesia dan Permasalahannya yang ditulis oleh Prof. Nina Herlina, (2009: 10) menjelaskan bahwa pada tradisi historiografi terdapat keanekaragaman yang disebabkan oleh adanya kulturgebundenheit (ikatan budaya) dan ijdgebundenheit atau zeitgeist (ikatan waktu atau jiwa zaman). Dengan demikian untuk memahami atau melakukan penulisan suatu karya historiografi kedua aspek diatas harus diperhatikan.
Tradisi historiografi pada dasarnya dimulai sejak orang merekam peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan. (Herlina, 2009: 11). Berbicara mengenai tulisan maka kita akan mulai memikirkan sumber dan data yang berkaitan dengan peristiwa masa lampau. Dimana pada peristiwa masa lampau ini memiliki kaitan erat dengan peran manusia diatas panggung kehidupan. Tidak ada sejarah tanpa manusia dan tidak ada sejarah tanpa kehidupan. (Dienaputra, 2006: 1). Berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia, maka Prof. Nina Herlina, (2009: 11) membagi historiografi pada kategori Historiografi Tradisional, Historiografi Kolonial, Historiografi Nasional dan Historiografi Modern.
Dari kriteria diatas, maka historiografi yang saat ini berkembang di Indonesia adalah Historiografi Nasional dan Historiografi Modern. Kedua jenis historiografi diatas merupakan periode baru dalam perkembangan historiografi di Indonesia yang kemudian akan menimbulkan adanya studi sejarah kritis. (Herlina, 2009:59).
Menurut Prof. Nina Herlina ( 2009: 61-62), karya-karya sejarah nasional dikategorikan sebagai penulisan sejarah populer karena dikonsumsi masyarakat umum, yang tidak dapat disamakan dengan penulisan sejarah teknis yang perlu dalam sejarah populer adalah retorika yang baik, jadi lebih menekankan pada seni (art) menulis. Selain itu pada perkembangannya historiografi Indonesia dibagi atas tiga yaitu Sejarah Ideologis, Sejarah Pewarisan, dan Sejarah Akademik. (Herlina, 2009:63).
Adapun studi sejarah kritis adalah studi sejarah yang dituntut untuk menggunakan metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peristiwa masa lampau. (Herlina, 2008: 2). Selain itu Gottschalk juga mengungkapkan pendapatnya bahwa tahapan analisis disebut metode sejarah. (Herlina, 2008: 3). Keberadaan metode ini ditujukan untuk mengetahui keberadaan fakta didalam sejarah. Fakta merupakan bahan mentah bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6).
Di dalam penulisan sejarah fakta itu akan diperoleh melalui sumber. Dalam hal ini Gottschalk dan Kuntowijoyo membagi sumber atas tiga golongan, yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber benda (artefak). Sedangkan Renier mengelompokan sumber atas ; sumber immaterial dan material. (Herlina, 2008:7).
Adapun sumber tertulis ialah prasasti, silsilah, piagam, dokumen, babad, kronik, biografi, buku harian, memoir, jurnal, surat kabar, laporan notulen rapat, dan sebagainya. Dalam hal ini dokumen terdiri atas tiga pengertian yaitu dokumen dalam arti luas, meliputi semua sumber baik tertulis maupun sumber lisan dan sumber benda. Dokumen dalam arti sempit, hanya meliputi sumber tertulis saja dan dokumen dalam arti sangat sempit, yaitu hanya meliputi surat-surat resmi dan surat-surat negara seperti surat perjanjian, Undang-undang kohesi, hibah, dan sebagainya. (Herlina, 2008:8).
Selain dari sumber tertulis, maka akan terdapat sumber benda dan sumber lisan. Adapun sumber benda, misalnya foto-foto, bangunan-bangunan, makam, dan tugu-tugu peringatan. Sedangkan sumber lisan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar, tradisi lisan, rekaman suara (rekaman rapat, pidato, ceramah, dan sebagainya), dan sejarah lisan. (Dienaputra, 2006: 7).
Dari semua sumber yang dipaparkan diatas tentunya akan digolongkan kedalam sumber primer dan sumber sekunder. Penggolongan diatas sangatlah menentukan kedudukan karya historiografi dalam pengertian ilmiah. Adapun cara untuk mengetahui penggolongan sumber tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan cara mengadakan kritik internal, kritik eksternal dan koroborasi. Hal ini karena, untuk memperoleh fakta sejarah yang tidak diragukan diperlukan adanya koroborasi (pendukungan) suatu data dari suatu sumber sejarah dengan sumber lain (dua atau lebih). (Herlina, 2008: 34). Pada hakikatnya historiografi didalam sejarah itu sangat bergantung terhadap sumber. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan bobot ilmiah yang diungkapkan oleh Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbornne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian work with documents….There is no substitute for documents: no documents, no history”. (Dienaputra, 2006: 6). Sehingga kepercayaan tidaklah sama sekali asing bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Menurut Yulianti (2007: 25), perkembangan penulisan historiografi yang seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa tentunya akan melalui upaya yang diperoleh dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dimana wujud dari perkembangan ilmu pengetahuan modern tersebut dapat terlihat dengan keberadaan sejarah lisan. Paul Thompson mengungkapkan geliat perkembangan sejarah lisan ini terjadi menyusul ditemukannya teknologi alat perekam (phonograph) pada tahun 1877. (Dienaputra, 2006: 7). Sehingga didalam buku Sejarah Lisan Konsep dan Metode yang ditulis oleh Reiza D. Dienaputra, (2006: 7) mengungkapkan bahwa dengan ditemukannya alat perekam, secara otomatis sejarah lisan menjadi kemungkinan yang terbuka untuk berubah wujud dan tingkat kredibilitasnya sebagai sumber sejarah menjadi meningkat. Hal ini tentunya berkaitan dengan tujuan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif. (Herlina, 2008: 1).
Demikianlah konsep dan metode yang dipaparkan diatas. Adapun penjelasan yang diuraikan merupakan faktor yang mendorong penulis untuk melakukan analisis terhadap salah satu hasil karya historiografi modern lewat buku yang berjudul “Peta Cikal Bakal TNI”. Untuk pemaparan lebih lanjut akan diuraikan pada bab selanjutnya.
BAB II
RINGKASAN BUKU PETA CIKAL BAKAL TNI
Buku yang berjudul Peta Cikal Bakal TNI ini berisi sejarah terbentuknya PETA sebagai latar belakang berdirinya TNI. Di bagian awal buku menceritakan Negara Jepang dengan identitas Negara kekaisaran. Jepang diartikan sebagai Negara yang tidak ingin kehilangan nilai tradisi. Maka dari itu sampai abad ke-19 Jepang merupakan Negara tradisional yang menerapkan politik isolasi untuk menghindari masuknya pengaruh dari luar.
Pada masa Tokugawa posisi Jepang untuk menutup diri dari dunia luar tidak dapat dipertahankan. Hal ini karena keberadaan orang Belanda dan Cina di Jepang membuat Amerika Serikat melakukan usahanya untuk membuka Jepang bagi orang-orang Barat. Keberhasilan Amerika terbukti dengan ditandatanganinya perjanjian Kanagawa pada bulan Maret 1856. Inti dari perjanjian tersebut menuntut Pelabuhan Shimoda dan Hakodata agar terbuka untuk kapal bangsa asing dan pendirian Kantor Diplomatik Amerika Serikat di Jepang.
Perubahan Jepang membuat masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi kekaisaran semakin anti terhadap orang asing. Tokugawa kehilangan wibawa dimata rakyatnya dan akhirnya lahirlah kelas samurai sebagai jawaban untuk menggulingkan pemerintahannya. Selanjutnya kekuasaan Jepang berada ditangan Tenno Mutsuhito atau Kaisar Meiji yang kemudian melakukan pembenahan untuk menjadikan Jepang sebagai Negara modern. Adapun modernisasi yang diupayakan pada masa Meiji menyangkut bidang pendidikan, militer, industri, dan politik. Semua pembenahan yang berlangsung tahun 1867-1912 tersebut mampu menjadikan Jepang sebagai negara modern. Salah satu bukti nyatanya adalah keberhasilan Jepang berkembang sebagai negara industri.
Selain dalam bidang industri, maka Jepang berhasil untuk membentuk militer dengan kekuatan Angkatan Darat yang meniru Perancis dan kemudian disesuaikan dengan Angkatan Darat Jerman, serta Angkatan Laut Inggris yang dijadikan sebagai model oleh Jepang. Dampak dari pembentukan kekuatan militer Jepang akhirnya dipraktekkan untuk mengekspansi Cina pada tahun 1894 dan menyerang pangkalan militer Rusia di Manchuria pada tahun 1904. Dengan kemenangan yang diraihnya, maka Jepang tumbuh menjadi negara fasisme yang terlibat dalam berbagai peristiwa dunia. Bukti dari hal tersebut terlihat dengan keterlibatan Jepang pada Perang Dunia Pertama dan Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Perkembangan yang dialami Jepang membuat negara ini berkeinginan untuk melepaskan ketergantungan terhadap Amerika dan Inggris. Maka dari itu Jepang akhirnya berusaha mencari cara untuk melebihi kedua negara barat tersebut. Nasionalisme yang ada pada diri Jepang membuka mata bangsa ini untuk mencari daerah penghasil sumber daya alam untuk dikuasai. Pernyataan Shanto Shiren, seorang ahli pikir rezim Tokugawa, dijadikan bangsa Jepang sebagai dasar untuk mengekspansi Indonesia. Bagi Angkatan Laut Jepang Indonesia merupakan bentangan geografis yang jika dikuasai akan mampu menjamin kebutuhan Jepang akan sumber daya alam.
Sejak tahun 1940-an perhatian Angkatan Laut Jepang difokuskan terhadap Indonesia. Adapun strategi yang digunakan Jepang untuk menguasai Indonesia berupa kebijakan damai. Dalam hal ini kebijakan Jepang bisa dikatakan “campuran budi dan wibawa (lunak keras) terhadap penduduk setempat”. Jepang mencoba melakukan pendekatan dengan penduduk asli Indonesia dan mencoba merangkul orang perantauan didalamnya. Jepang juga berusaha melakukan misinya untuk merebut Indonesia dari Belanda dengan jalan yang bisa dikatakan ilmiah. Hal ini karena Jepang melakukan penelitian terhadap unsur-unsur Hindia Belanda dan menjalankan operasinya didaerah yang tidak diperhatikan Belanda, seperti Celebes dan New Guinea.
Selain itu Angkatan Laut Jepang juga merumuskan alternatif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara perlindungan Jepang (protektorat). Dalam hal ini Angkatan Laut Jepang berniat menjadikan Indonesia sebagai negara dengan status setengah merdeka “Negara Kebangsaan Hindia Timur”. Sementara itu di Indonesia sendiri sedang tumbuh semangat nasionalisme yang didasarkan pada tiga prinsip yaitu kebebasan kemerdekaan, kesatuan, dan kesamaan, adapun prinsip ini adalah rumusan dari manisfesto politik Perhimpunan Indonesia yang menunjukan sifat non-kooperasi terhadap kolonial.
Untuk menguasai Indonesia Angkatan Laut Jepang menjadikan gerakan pan-Asianisme sebagai propagandanya. Akan tetapi golongan intelektual seperti Soekarno sudah menyadari bahwa dibalik hal tersebut Jepang berupaya untuk mengukuhkan kekuasaan imperialisme di Asia. Kesadaran yang dimiliki Soekarno saat itu tidak dimiliki oleh kaum intelek lainnya. Simpati terhadap Jepang justru datang dari Gatot Mangkoepraja, Mohammat Hatta, Sam Ratulangie, dan Ahmad Soebardjo. Diantara tokoh-tokoh diatas hanya Gatot Mangkoepraja saja yang memberikan kesan tidak berubah terhadap Jepang, sedangkan tokoh lainnya lambat laun menyadari adanya Fasisme Jepang. Selain tokoh-tokoh diatas, maka keberadaan Sutan Sjahrir merupakan tokoh yang menentang adanya Jepang. Didalam partai Gerindo yang dibentuknya bersama dr. Tjipto Mangunkusumo, Sjahrir mengukuhkan sikap nonkooperasinya.
Pada tanggal 27 Juli 1940 diadakan rapat permusyawaratan Markas Gabungan Pemerintah Jepang untuk membahas haluan negara sebagai landasan pelaksanaan ekspansi. Selanjutnya ekspansi Jepang dipropagandakan dengan semangat Hakko Ichi-u (delapan benang satu atap) yang dijiwai Shintoisme untuk kesatuan umat manusia. Jepang menarik simpati dengan menyatakan persaudaraan terhadap Bangsa Asia. Adapun langkah awal Jepang untuk menguasai Indonesia diawali dengan menghimpun informasi dari nelayan. Selain itu pemerintahan Jepang melakukan penelitian tentang Indonesia dengan menggunakan orang Jepang yang tinggal ke Indonesia. Tindakan Jepang membuat Pemerintah Hindia Belanda merasa waspada, kekhawatiran ini terbukti dengan memburuknya hubungan persahabatan antara Jepang dan Pemerintah Hindia Belanda. Orang-orang Jepang yang sampai tahun 1936 dinyatakan bersifat non-politis justru pada akhir tahun 1930-an berubah arah dengan tindakan politis yang. Hal ini terlihat dari kegiatan perdagangan yang dilakukan orang Jepang lambat laun dijadikan sarana politis untuk mengirim informasi kenegaranya. Sebenarnya bukanlah pedagang yang menyampaikan informasi kenegara Jepang, akan tetapi mata-mata yang dikirim oleh Angkatan Darat Jepang. Strategi dan kegiatan spionase Jepang sepanjang tahun 1940-1941 ini menghasilkan rumusan yang disusun oleh Letnan Kolonel Nakayama Yatsuto. Pada rumusan tersebut terdapat hal penting yang dipersiapkan untuk melancarkan ekspansi ke Indonesia. Adapun hal penting yang harus persiapan yaitu :
1. Menetapkan Singapura, Batavia, dan Surabaya sebagai garis pertahanan pokok Indonesia.
2. Tidak dilakukannya pendaratan pesawat tempur dan payung.
3. Untuk mencegah penerobosan pasukan mekanis maka dilakukan pembangunan galangan tank-tank.
4. Pendataan Pemerintah Hindia Belanda terhadap orang-orang yang perlu diperhatikan.
5. Fasilitas penting di dalam negeri diperkuat dengan pembangunan gardu pertahanan (tockha).
6. Kekuatan Angkatan Laut Hindia Belanda berupa 3 buah kapal penjelajah, 7 buah kapal pemburu, 16 buah kapal selam, dan pangkalan yang berada di Manado, Surabaya, dan Tarakan.
7. Kekuatan Angkatan Udara Hindia Belanda berjumlah 500 dengan 300 pesawat tempur.
8. Kekuatan pasukan Angkatan Darat Hindia Belanda sehari-hari sebanyak dua divisi dengan 50.000 orang pasukan. 30.000 pasukan di pulau Jawa, 8.500 di Sumatra, 4.500 di Kalimantan, dan selebihnya di Indonesia bagian Timur.
9. Perlengkapan militernya boleh dikatakan berada di bawah kekuatan tentara pusat Cina.
10. Tidak terdapat industri berat dan industri senjata.
Selain dari hal diatas Nakayama menyarankan agar Jepang menerapkan strategi kebudayaan seperti yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Adapun hal tersebut yaitu :
1. Menghargai adat istiadat penduduk setempat.
2. Kebijaksanaan untuk membodohkan penduduk setempat.
3. Menjinakkan dan menindas penduduk setempat.
4. Memanfaatkan peran orang Cina sebagai perantara.
5. Menyadarkan orang setempat bahwa Jepang ditakdirkan sebagai pemimpin Asia.
Perhatian Jepang terhadap wilayah Selatan tidak hanya difokuskan terhadap Indonesia. Hal ini terbukti dengan penguasaan sebagian Indo-Cina pada tanggal 24 Juli 1941. Tindakan Jepang ini membuat Amerika dan Inggris membekukan semua aset Jepang, bahkan Belanda melakukan tindakan serupa terhadap Jepang. Keadaan demikian tidak membuat usaha Jepang untuk memperoleh minyak di Indonesia berhenti. Jepang bahkan melaksanakan kegiatan dengan perdamaian. Jepang memantau hubungannya dengan Amerika sampai bulan oktober 1941. Apabila tidak ada peundingan dengan Amerika tidak sesuai dengan keinginan Jepang, maka Jepang akan segera menentukan sikapnya untuk berperang terhadap Amerika, Inggris, dan Belanda.
Pada tanggal 8 Desember 1941, Pasukan Udara Angkatan Laut Jepang menyerang Pearl Harbour di pangkalan militer Amerika di pasifik. Selain itu, tentara ke-14 di bawah pimpinan Laksamana Kondo berhasil menghancurkan kekuatan militer Amerika di pulau Luzon. Pada waktu yang sama kapal perang Prince of wales dan Refulse berhasil ditenggelamkan di perairan Singapura (10 Desember 1941). Selanjutnya tentara ke-16 di bawah pimpinan Hitoshi Imamura dan tentara ke-25 di bawah pimpinan Yamashita Tomoyuki bergerak untuk menguasai Indonesia. Sedangkan Armada selatan ke-3 dari Davao Filipina menuju Indonesia Timur.
Dalam menghadapi Jepang, maka sekutu membagi wilayah pertahanan. Pasukan Inggris bertanggung jawab atas pulau Sumatra, Pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia bagian tengah (laut di Pulau Jawa), dan Amerika atas Indonesia bagian Timur. Pasukan Jepang di bawah Armada Selatan berhasil menyerbu Indonesia Timur dan menguasai kilang minyak. Sejak Januari sampai Februari 1942 tentara Jepang berhasil menguasai Tarakan, Balikpapan, Banjarmasin, Kendari, Ujung Pandang, dan bagian lainnya. Sedangkan pasukan ke-25 berhasil merebut Sumatra.
Untuk menaklukan Pulau Jawa, maka tentara ke-16 di bawah pimpinan Hitoshi Imamura membawahi 3 divisi yaitu :
1. Divisi ke-2 di bawah komando Mayjen Maruyana Masao (mendarat di Teluk Banten dan berhasil merebut Jawa Barat).
2. Divisi ke-38 di bawah komando Mayjen Sano Tadayoshi (pada 1 Maret 1942 mendarat di Eretan dan menguasai Subang, bertugas untuk merebut Bandung).
3. Divisi ke-48 di bawah komando Mayjen Tsuchihashi Yuetsu ( setelah berhasil merebut Tarakan, Balikpapan, dan Banjarmasin, maka pasukan ini ditugaskan untuk merebut Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada 5 Maret 1942 berhasil mendarat di Kragan (Jawa Tengah) dan pada 8 Maret 1942 menguasai Surabaya. Pasukan ini berhasil tiba di Sungai Serayu garis pertahanan pasukan Hindia Belanda pada 7 Maret 1942.
4. Detasemen Sakaguchi di bawah pimpinan komando Mayjen Sakaguchi Shikan ( berhasil menguasai daerah penghasil minyak di Jawa Tengah yaitu Cilacap).
Dengan adanya serangan diatas, maka pada tanggal 7 Maret 1942 Jenderal Ter Poorten mengutus Mayjen J. Pesman untuk menyampaikan pesan kepada Kolonel Tosyinari Shoji di Lembang. Adapun isi pesan menyatakan Pemerintah Hindia Belanda bersedia melakukan penyerahan lokal, yakni daerah yang berada di garis Utara Selatan melewati Purwakarta dan Sumedang. Pada waktu itu Letjen Hitoshi Imamura memerintahkan Kolonel Tosyinari Shoji menuntut penyerahan total. Pada tanggal 8 Maret 1942 pukul 10.00 adalah waktu penyerahan yang ditentukan oleh Hitoshi Imamura dengan lokasi di Kalijati. Imamura mengancam akan melakukan serangan udara ke kota Bandung apabila ketentuan tersebut tidak dipatuhi.
Adanya ultimatum diatas dipertimbangkan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, maka dari itu dengan didampingi oleh Jenderal Ter Poorten Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menuruti permintaan Jepang. Penyerahan tersebut dikenal dengan Kapitulasi Kalijati. Belanda menyerahkan semua kekuasaan kepada Jepang tanpa syarat.
Dalam menjalankan pendudukannya di Indonesia wewenang politik yang dijalankan terbagi atas :
1. Wewenang Angkatan Darat atas pulau Sumatra, Jawa, dan Bali.
2. Wewenang Angkatan Laut atas pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Dengan ketentuan diatas, maka berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia, yaitu :
1. Sumatra diperintah oleh tentara ke-25 dengan markas di bukit Tinggi.
2. Jawa-Bali di bawah pemerintahan militer tentara ke-16 dengan Batavia sebagai markas.
3. Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku , dan Papua yang diperintah oleh Armada ke-3.
Telah diketahui bahwa pulau Jawa merupakan pusat kegiatan sejak zaman Hindia Belanda. Roda pemerintahan atas Pulau Jawa-Bali berpusat di Jakarta. Sehari sebelum Kapitulasi Kalijati Panglima Tentara ke-16 mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 yang menjadi peraturan tata negara pendudukan Jepang. Adapun hal yang dimuat berupa pasal 1-4, yang inti dari isi pasal tersebut menjelaskan bahwa balatentara Nippon merupakan pemimpin tertinggi dan sejajar dengan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda. Selain itu keberadaan dari balatentara ini berperan untuk memberikan keamanan yang menghormati kedudukan pegawai yang bisa bekerjasama dengan Jepang. Adapun peraturan terdahulu tetap disahkan selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
Pemerintahan militer bentukan Jepang menetapkan gunshireikan (panglima tentara) yang kemudian disebut saiko shikikan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Adapun pemimpin gunshireikan membawahi gunseikanbu yang dipimpin gunseikan. Gunsekan ini dibantu oleh lima departemen (Bu), adapun departemen adalah Departemen Urusan Umum (Somubu), Departemen Keuangan (Zaimubu), Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu), Departemen Lalu Lintas (Kotsubu), dan Departemen Kehakiman (Shihobu). Untuk pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh gunseibu, adapun pulau Jawa terdiri atas tiga gunseibu, yaitu Jawa Barat (Bandung Pusat Pemerintahannya), Jawa Tengah (Semarang Pusat Pemerintahannya), dan Jawa Timur (Surabaya Pusat Pemerintahannya). Selain itu dibentuk juga kochi (daerah istimewa seperti Yogyakarta dan Surakarta.
Pada 8 Agustus 1942 gunseibu dihapuskan dan diganti dengan syu (setingkat keresidenan). Sycokan adalah pemimpin tertinggi yang dalam menjalankan tugas dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Permusyawaratan cokan) yang mempunyai tiga bu, yaitu naiseibu (bagian pemerintahan umum), keizaibu (bagian pemerintahan ekonomi), dan keisatsubu (bagian kepolisian). Dibawah syu struktur pemerintahan terdapat syi (kota praja) atau ken (kabupaten), gun (kewedanan), son (kecamatan), dan ku (desa). Masing-masing dipimpin oleh syico, kenco, gunco, sonco, dan kunco.
Pada awalnya pemerintahan militer Jepang ini ditetapkan sebagai pemerintahan sementara, namun sejak bulan Oktober 1943 pemerintah militer terbukti menggunakan orang Indonesia kedalam birokrasi pemerintahan militer. Hal ini berkaitan dengan kekalahan Jepang di berbagai font saat itu. Langkah lain yang ditempuh oleh Jepang adalah menarik simpati dikalangan umat Islam. Jepang juga membentuk organisasi seperti Gerakan Tiga A pada 29 April 1942, Poetra pada 9 Maret 1943, Jawa Hokokai pada 8 Maret 1944. Keberadaan Saiki Shikikan atau Sycokan juga dimanfaatkan untuk membentuk organisasi semimiliter dan organisasi militer seperti seinedan (pemuda 14-22 tahun diubah menjadi 15-25 tahun), keibodan (pembantu polisi), dan heiho (pembantu prajurit) pada 24 April 1943. Adapun tujuan dari tindakan yang dilakukan Jepang tersebut dikarenakan Jepang membutuhkan dukungan dari Bangsa Indonesia pada Perang Pasifik.
Kondisi perang membuat Pemerintahan Militer Jepang mulai memikirkan untuk membentuk satuan tentara pribumi. Dalam hal ini tentunya ditujukan untuk kepentingan Perang Jepang. Untuk memperoleh simpati pribumi maka pembentukan tentara kesatuan dijadikan propaganda dengan mengatasnamakan tanah air. Adapun tentara yang dibentuk kemudian adalah Tentara Pembela Tanah Air (Peta). Pembentukan tentara Peta ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mempertahankan wilayah Selatan yang meliputi Burma, Malaya, Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sebelum Peta terbentuk maka dibentuklah pasukan intelijen. Hal ini berdasarkan Tairikushi 1196 pada tanggal 29 Juni 1942, maka dibentuklah kelompok bersenjata pribumi. Pembentukan tentara di Pulau Jawa tidak lepas dari peranan intelijen Angkatan Darat Tentara Jepang.
Sejak tahun 1938 pasukan intelijen ini mulai dibentuk. Pasukan perwira yang akan dibentuk akan dibina oleh Biro Urusan Militer (Heimukyoku) yang sejak tahun 1940 berubah nama menjadi Nakano Gakko (berperan dalam mempelajari Indonesia). Selanjutnya dibentuklah Tangerang Seinen Dojo yang pada tahun 1943 melatih 50 orang pemuda dari seluruh wilayah Jawa (sebagai tempat pelatihan tentara dan intelijen pemuda Indonesia). Pada bulan Juni dilakukan pelatihan kedua, pelatihan ini selesai bulan Oktober (dimulailah calon perwira Tentara Peta).
Adapun angkatan pertama Tangerang Seinen Dojo adalah Soeprijadi, Jonosewojo, Soeprapto, Soekowati, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, Abdullah Saleh, Moetakat Hurip, dan Kemal Idris. Alumni angkatan pertama ini akan bertugas melatih angkatan kedua antara lain Oemar Wirahadikoesoemah, Amir Mahmoed, Mansoer, Soebito, Roekminto, dan Hendraningrat. Alumni-alumni ini yang kelak akan melatih taruna Tentara Pembela Tanah Air di Bogor dan Bali. Pelatihan lain juga dilaksanakan pada tanggal 24 April 1943 terhadap anggota heiho. Pada perkembangan selanjutnya akhirnya Peta di bentuk berdasarkan Osamu Seirei No. 44 pada tanggal 3 Oktober 1943. Peta ini merupakan bentuk tentara sukarela “pembela tanah air” yang baru muncul pada tahun 1944. Adapun nama “Tentara Suka Rela Pembela Tanah Air” ini adalah bentuk yang diusulkan oleh Gatot Mangkoepraja yang diberikan amanat untuk membentuk tentara pribumi pasca dibentuknya Tentara Peta.
Tentara Peta penduduk pribumi memiliki tingkatan seperti:
1. Daidancho (diambil dari guru, pegawai, dan sebagainya), kriteria untuk daidancho ini dilihat dari pengalaman, kemampuan organisasi (pendidikan 2 bulan).
2. Chudancho, dan shodancoho (masih sekolah harus mengikuti pendidikan sampai selesai : 3-4 bulan).
Untuk menjadi Tentara Peta, maka pemuda pribumi harus memiliki syarat yaitu :
1. Memperlihatkan bakat kepemimpinan.
2. Memiliki jwa dan fisik yang sehat.
3. Stabilitas mental
Didalam Peta untuk menjadi komandan pleton usia minimal 30 tahun. Adapun jadwal pendidikan dan latihan Tentara Peta di lembaga adalah sebagai berikut :
1. Pagi hari : apel, mengibarkan bendera, menghormati Kaisar Jepang (seikerei), senam pagi, sarapan.
2. Siang hari : pelajaran bahasa Jepang (09.00-12.00), taktik, dan peraturan baris berbaris, Sejarah Amerika Serikat, keamanan, Etiket, Bushido,
3. Sore Hari : tidur (siang setengah jam), pemeriksaan kesehatan, latihan senapan dan sangkur,
4. Malam hari : kembaali kelapangan dan membersihkan senjata (19.00), (20.00) makan malam (nasi, daging, sapi, tomat, kacang, dan lain-lain), belajar sendiri, sembahyang.
Pada 8 Desember Daidancho dan Chudancho angkatan pertama dilantik. Pada bulan April 1944 angkatan kedua pendidikan perwira Tentara Peta dimulai. Pada 1 April sejumlah taruna tiba ditempat pendidikan dan kemudian disusul pada 10 April terdapat kedatangan 400 taruna. Selain pendidikan lapangan Tentara Peta juga memiliki pendidikan pada bidang khusus, terutama kesehatan (eisesi), keuangan (keirei) dan peralatan (heiki). Eisei adalah pendidikan bagi para perwira. Biasanya posisi ini berada pada daidancho yang bisa dijadikan dokter tentara. Hal ini karena daidancho dituakan.
Sikap pendudukan Jepang yang dianggap merugikan dan menimbulkan pribumi lambat laun menimbulkan kebencian yang berasal dari tentara bentukannya. Barisan tentara yang dibentuk oleh Jepang lambat laun menyadari bahwa Jepang adalah imperialis yang menjadikan pemuda Indonesia sebagai sarana propaganda dan pertahanan Jepang dalam perang dan pertahanan penjajahannya. Adanya traumatis terhadap praktek romusha adalah sebab yang mendorong adanya perlawanan terhadap Jepang. Dengan demikian, maka tentara-tentara sukarela yang sejak awalnya mengabdikan diri kepada Jepang atas tanah air ini melakukan pemberontakan di berbagai daerah. Adapun pemberontakan-pemberontakan tersebut adalah :
1. Pemberontakan Tentara Peta di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945. Pemberontakan ini dipimpin oleh Shudancho Soepriadi sebagai pimpinan pemberontakan dan Shudancho Moeradi sebagai komendan pertempuran.
2. Pemberontakan di Cileunca Pangalengan.
3. Pemberontakan di Gumilir Cilacap pada 21 Apri 1945. Pemberontakan ini dipimpin oleh Bundancho Kusaeri.
4. Peristiwa Rengas Dengklok. Peristiwa ini berkaitan dengan proklamask 17 Agustus saat itu pemerintahan sepenuhnya diserahkan kepada Daidan 1 berada dibawah kordinasi Sudancho Singgih.
5. Pemberontakan Giyu-gun di Sumatera pada Nopember 1944 Dipimpin oleh Teuku Hamid.
Peristiwa Proklamasi 17 Agustus merupakan peristiwa bersejarah bagi Indonesia. Sejak saat itu Indonesia lepas dari adanya belenggu penjajahan. Kemerdekaan yang diraih Indonesia adalah kemerdekaan tanpa kekuasaan bangsa lain. Maka dari itu dua hari sesudah proklamasi kemerdekaan, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, Tentara Peta dibubarkan oleh Saiko Shikikan Jenderal Y. Nagano. Adapun hal yang menyebabkan pembubaran Peta ialah :
1. Jepang harus menjaga status quo Indonesia sampai kedatangan sekutu
2. Untuk menghindari digunakannya kekuatan Peta oleh Republik Indonesia yang baru lahir.
Menyusul kemudian dilakukan pelucutan senjata Tentara Peta dengan upacara. Mantan Tentara Peta diberi pesangon Rp.200,- per bulan sebagai tanda jasa mereka selama ini. Setelah kemerdekaan maka Indonesia melakukan berbagai pembenahan di dalam struktur pemerintahan. Pada tanggal 22 Agustus 1945 hasil rapat PPKI memutuskan tiga masalah yaitu Partai Nasional, Komite Nasional, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Pada saat itu pemerintah belum bertunjuan untuk membentuk militer, namun BKR dengan fungsinya menjaga keamanan rakyat dapat dinilai memegang peran tersebut. Pada tanggal 23 Agustus 1945 akhirnya BKR dibentuk dan diberitahukan kepada seluruh rakyat. BKR melakukan fungsinya, namun kedudukannya menjadi tidak jelas karena tidak ada kepangkatan. Maka dari itu pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkannya maklumat presiden untuk membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Setelah tiga bulan kemudian nama TKR diubah menjadi TRI yang kemudian diubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada tanggal 3 Juni 1947.
BAB II
ANALISIS BUKU PETA CIKAL BAKAL TNI
Dari isi ringkasan buku sejarah Peta Cikal Bakal TNI dapat dikatakan bahwa historiografi yang dilakukan oleh penulis sangatlah berperan penting dalam memberikan eksplanasi terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tentara Peta yang diceritakan oleh penulis tentunya sangat logis dikatakan sebagai cikal bakal dari TNI. Hal ini karena penulis menghasilkan kesimpulan sesuai dengan jalannya peristiwa. Dari tiap peristiwa didalam periode sejarah, penulis sangat terlihat berhati-hati dalam melakukan intrepretasi. Semua pemaparan yang disajikan dalam buku ini sangat terasa memberikan kesan ilmiah. Dari cara penulisan yang dilakukan penulis sangat jelas bahwa sebelum historiografi ini dihasilkan penulis telah melakukan kritik sumber. maka dari itu untuk menggolongkan penulisan buku ini sebagai suatu karya historiografi modern (kritis), maka haruslah dilakukan analisis dengan menggunakan metode :
1. Kritik eksternal
Pada daftar sumber penulis menggunakan adanya buku-buku yang diterbitkan tidak lama setelah masa kemerdekaan. Selain itu penulis menggunakan surat kabar sebagai sumber. Adapun surat kabar hidup sezaman dengan peristiwa berlangsung saat itu. Sumber-sumber ini tentunya bisa diterima sebagai sumber sahih dalam menyusun karya historiogrfi ini karena didalam surat kabar yang sudah diterbitkan tentunya tidak akan akan perubahan yang bisa dilakukan terhadapnya. Apa yang diberitakan oleh surat kabar tentunya tidak akan bisa diubah oleh siapapun juga. Apalagi surat kabar itu memiliki waktu terbit yang tidak bisa diganggu gugat karena surat kabar hanya akan terbit sesuai dengan jadwalnya. Sedangkan buku tentunya tidak jauh berbeda dari surat kabar. Dengan menggunakan sumber surat kabar dan buku, maka sumber penulisan buku Peta Cikal Bakal TNI ini tentunya dihasilkan oleh mesin percetakan untuk menghasilkan jumlah buku atau surat kabar dalam bentuk halaman. Sedangkan untuk penulisannya tentunya akan menggunakan tinta yang saat itu sudah ada. Surat kabar yang digunakan penulis pada sebagai sumber tentunya bisa digolongkan sebagai sumber primer karena berada pada zaman terjadinya peristiwa. Adapun surat kabar sezaman yang dipergunakan penulis antara lain :
1. Asia Raja, 4 Mei 1942, 11 Mei 1942, 112 Mei 1942, 28 Mei 1942, 24 April 1943,. 11 September 1943, 13 September 1943, 9 Desember 1943, 21 Desember 1943.
2. Djawa Baroe, No,No 20. Tahun 2604
3. Kan Po, No. 2. 18 April 1942, No. 42 (Nomor Istimewa), 2602; No 24, 2603;, No. 28 (2603).
4. Panjie Poestaka. No. 23, 12 September 1942, No. 26, 3 Oktober 1942, No. 34/35 (Nomor Istimewa), 8 Desember 1943.
5. Pembangunan, 16 Maret 1942.
6. Tjahaja, 29 April 2604.
2. Kritik internal
Penulisan buku Peta Cikal Bakal TNI ini tidak hanya menggunakan sumber buku, artikel dan surat kabar saja, tapi juga menggunakan hasil wawancara. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah :
1. Prof, dr. R. Koestedjo, tanggal 4 Nopember 2003
2. Dr. Soeparman Soemahamidjaja, tanggal 5 Nopember 2003
3. Letkol (purn), Sani Lupias Abdurachman, Pada tanggal 1 September 2003 di Bandung
4. Satibi (mantan Tentara Peta) pada 1 September 2003 di Bandung
5. Kapten Islam Salim, 31 Agustus 2003 di Bogor
6. Alwin Nurdin, 31 Agustus 2003 di Bogor
Dari adanya wawancara dari tokoh-tokoh diatas, maka dapat dikatakan bahwa penulis telah melakukan heuristik untuk memperoleh sumber primer. Sumber primer disini bisa dilihat pada hasil wawancara dengan Satibi yang merupakan mantan Tentara Peta. Pada pemaparan buku menjelaskan adanya pembentukan Tentara Peta, Jabatan, dan Kegiatan yang dilakukan. Maka dari itu sebagai Tentara Peta data yang dihasilkan dari wawancara dengan Satibi dapat dikatakan sebagai sumber primer. Namun demikian kita harus lihat rentang waktu peristiwa dengan kegiatan wawancara. Antara tahun 1942-an dengan tahun 2003 tentunya memiliki jarak waktu yang cukup lama (60 tahun). Saat dilakukan wawancara tentunya Satibi sudah tidak muda lagi, walaupun penyampaian informasi yang diberikan kompeten dan sesuai dengan data yang dibutuhkan tentunya semuanya tidak secara keseluruhan sempurna sesuai dengan masa peristiwa. Bisa saja ada hal yang harus disampaikan, namun tidak tersampaikan. Hal ini tentunya berkaitan dengan faktor usia. Sehingga dikatakan sebagai sumber primer kurang kuat. Adapun alasan yang membuat hasil wawancara ini tergolong primer karena pengertian sumber primer (primary sources) adalah bila sumber atau penulis sumber menyaksikan, mendengar sendiri (eye winess atau ear witness), atau mengalami sendiri (the actor) peristiwa yang dituliskan dalam sumber tersebut. (Herlina, 2008:10).
3. Koroborasi dan fakta sejarah
Hasil historiografi yang dibuat penulis pada umumnya merupakan karya yang sebelumnya sudah pernah ditulis oleh pengarang lain. Perbedaan terletak pada visi penulis (sudut pandang yang ingin dihasilkan) dengan keberadaan data baru yang bermunculan. Pada buku yang berjudul Peta Cikal Bakal TNI ini penulis memberikan hasil eksplanasinya dengan menguraikan informasi sesuai dengan data yang diperoleh. Apabila melihat isi daftar sumber yang dibuat penulis akan terlihat bahwa penulisan melakukan koroborasi (pendukungan) suatu data dengan sumber lain (dua atau lebih), dimana tidak ada hubungan kepentingan diantara sumber-sumber tersebut, atau sumber-sumber yang bersifat merdeka. (Herlina, 2008: 34).
Alasan diatas karena pada daftar sumber khususnya berupa buku, penulis juga menggunakan sumber-sumber yang ditulis oleh penulis asing. Dengan demikian hasil historiografi yang dibuat penulis telah memenuhi syarat metode karena penulis menggunakan sumber-sumber yang berkaitan satu dengan lainnya.
Contoh buku :
1. Kahin, George Mc Turnan. 1970. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca : Cornell University
Buku yang berjudul Peta Cikal Bakal TNI ini berjumlah 211 halaman dengan tebal 26 cm. hasil karya historiografi yang dibukukan ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Pada kata pengantarnya buku Peta Cikal Bakal TNI memuat sambutan-sambutan dari tokoh-tokoh yang dikatakan pejabat di masyarakat. Adapun kata sambutan disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat, Rektor Universitas Padjajaran, Pangdam III Siliwangi, Ketua Yayasan Peta Jawa Barat, dan Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia. Hal diatas tentunya akan mempertegas bahwa buku Peta Cikal Bakal TNI ini dibuat untuk kepentingan ilmiah. Hal ini karena tujuan dibuatnya buku ini sendiri untuk memberikan pengetahuan baru, visi baru dari anggapan-anggapan yang tidak sesuai kenyataannya.
Selain itu di dalam buku Peta Cikal Bakal TNI tentunya akan menanamkan semangat nasionalisme terhadap perjuangan bangsa Indonesia terutama TNI. Namun demikian penyampaian yang diuraiakan penulis tidaklah bersifat nasionalistis, tapi lebih mengarah pada konsep ilmiah. Hal ini karena hasil historiografi yang dibukukan ini disusun oleh tim penulis yang berprofesi sebagai sejarawan. Adapun ketua tim penulisan adalah Prof Nina Herlina Lubis, M.S, dan anggotanya terdiri atas Drs. Awaludin Nugraha M.Hum, Drs. Kunto Sofianto M. Hum, dan Miftahul Fallah, S.S. telah diketahui bahwa tim penulis diatas adalah sejarawan yang sudah tidak asing lagi dalam bidang penelitian.
Penulisan mengenai Tentara Peta dan Tentara Nasional Indonesia membuat penulis melibatkan diri untuk melaksanakan kontak dengan Jenderal, Pangdam, dan Mantan Tentara Peta. Tentunya semangat militer akan dijumpai penulis pada sumber yang akan diwawancarai. Hal ini tentunya saja berkaitan dengan kulturgebundenheit (ikatan budaya) dan ijdgebundenheit atau zeitgeist (ikatan waktu atau jiwa zaman).
Adapun ikatan budaya yang ditemukan, bisa saja terdapat pada sumber yang diwawancarai. Hal ini berkaitan dengan Profesi sebagai seorang tentara atau mantan Tentara Peta yang dalam lingkungan budayanya memiliki semangat. Untuk mantan Tentara Peta misalnya Satibi tentunya akan mengembalikan memori lama pada peran yang dimainkan di masa lalu. Adanya jiwa dan semangat bushido tentunya akan menunjukan heroik pada tahta militer. Disini peran fasis akan terlihat. Budaya dan jiwa zaman demikian merupakan suatu hal yang lumrah. Namun penulis sejarah haruslah memainkan peran ilmiahnya. Disinilah terlihat peran Prof Nina H, Lubis, M.S, dkk yang memainkan peran kesejarahan secara murni yang menggambarkan pengajaran cita-cita demokrasi sebagai suatu kepercayaan secara terus terang dan terbuka. (Gottschalk, 1975 :6).
SIMPULAN
Dari hasil analisis pada bab –bab diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil penulisan yang dibukukan pada buku “Peta Cikal Bakal TNI” digolongkan kedalam historiografi modern. Hal ini karena dari sumber dan teknik yang digunakan dalam penulisan dianggap telah memenuhi kaidah penelitian secara ilmiah.
Adapun pola ilmiah yang diterapkan pada penulisan karya historiografi ini terlihat pada pemilihan sumber yang digunakan untuk penulisan. Selain itu penulis interpretasi yang dihasilkan oleh penulis dianggap sebagai studi kasus sejarah yang kritis. Penulis mampu menghasilkan kesimpulan baru dari rentetan fakta-fata yang diperoleh dari peristiwa masa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
Dienaputra, Reiza D. 2006. Sejarah Lisan ; Konsep dan Metode.
Bandung : Balatin Pratama
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah
(terjemahan). Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi
Indonesia. Jakarta : Gramedia
Lubis, Nina H, dkk. 2005. Peta Cikal Bakal TNI. usaha Penelitian dan
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas
Padjajaran
. 2008. Metode Sejarah.
Bandung : Satiya Historika
.2009. Historiografi Indonesia dan Permasalahannya.
Yulianti. 2007. Sejarah Indonesia dan Dunia ( cetakan I )
Bandung: Yrama Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar