Oleh : Merlina Agustina Orllanda
DINASTI SHANG DAN CHOU
1. 1.1 Dinasti Shang
Situs purbakala Anyang menunjukan adanya peninggalan zaman pra klasik Dinasti Shang (1523-1028). Dikatakan demikian karena keberadaan dinasti ini adalah awal dari siklus perputaran dinasti, dari satu dinasti ke dinasti lain yang berputar pada porosnya di pinggiran benua Asia terutama di Cina. Berdirinya dinasti yang bisa disebut dinasti Yin ini menandai bermulanya peradaban lembah sungai kuning tersebut. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:65). Sebuah babakan baru peradaban yang khas ; adanya clan patrilineal, pemerintahan kaisar yang despotis-absoulut berkuasa mutlak atas hidup dan mati rakyat, serta adanya kepercayaan politeisis sebagai warna dinamika dari peradaban Sungai Huang Ho dan Pegunungan Shan Si tersebut. Walaupun kemunculan dinasti ini telah menunjukan adanya peradaban, namun adanya peninggalan berupa tulisan sangatlah kurang. Saat itu tulisan ditemukan terutama diatas tulang-tulang nujum, benda perunggu dan batu giok yang kebanyakan berasal dari abad ke-14 atau ke- 13 SM sehingga disebut kedalam zaman proto-sejarah. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:65).
Berakhirnya Dinasti Hsia pada masa Raja Chieh merupakan latar belakang berdirinya Dinasti Shang. Hal ini karena Chen T’ang raja dari daerah Shang melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Hsia. Diperkirakan pada tahun 1766 SM, Chen T’ang menaiki tahta dengan mendirikan Dinasti Shang. Setelah Chen T’ang maka tahta digantikan oleh cucunya Thai Chia dengan perdana menteri I’Yin sebagai pendamping. Pada masa kaisar Tan Keng (kaisar keenam belas), ibukota kerajaan dipindahkan dari kota Poe Yin (1401 SM); hal ini karena untuk menghindari banjir dari Sungai Huang Ho. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:66). Adapun daerah kekuasaan Dinasti Shang meliputi; Sungai Huang Ho, Pegunungan Shan Si, dataran rendah daerah Shan Si timur, Honan Utara, Hopei Selatan, dan Shantung. Adapun Honan Utara adalah pusat kerajaan. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:66). Selain itu Dinasti Shang melakukan ekspansi hingga mencapai daerah Shensi.
Di luar pusat kerajaan terdapat raja-raja vasal yang mengakui Raja Dinasti Shang sebagai pimpinan tertinggi keagamaan. Hal ini mencerminkan bahwa raja-raja Dinasti Shang tidak mengutamakan kehidupan duniawi. Adapun susunan pemerintahan Dinasti Shang adalah feodalisme. Hal ini terlihat dari adanya tata pertahanan kota, larangan-larangan keluar, upeti yang dikirimkan raja taklukan maupun raja vasal dan lain-lain. Gambaran dari kehidupan tersebut bisa disaksikan di ibukota Yin, istana raja dan bangsawan berada ditengah kota. Kota dikelilingi dengan tembok yang sangat padat, diluar tembok ada persawahan dan tegalan yang dikelilingi kediaman kaum pertukangan. Selain itu dipinggiran kota didalam tembok terdapat kediaman petani dan gubuk yang dihuni pada musim dingin. Pada musim semi, petani-petani ini bekerja di ladang dan pada musim gugur mereka akan melakukan panen. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:66).
1.2 Kehidupan Masyarakat Shang
Masyarakat Shang merupakan masyarakat petani dengan pelaksanakan sistem irigasi yang teratur. Adapun jenis tanaman yang dihasilkan adalah padi, gandum dan kertau (murba atau pohon kebesaran). Selain itu juga ada pengembangan ulat sutera untuk menghasilkan benang sutera. Dalam bidang peternakan masyarakat memelihara sapi, biri-biri, kerbau, anjing, dan kuda. Ketika itu belum ada mesin bajak ditarik oleh sapi atau kerbau, adapun penggunaan bajak yang dipegang oleh seseorang dan seorang lagi menarik tali untuk menyusur tanah sawah merupakan metode yang saat itu sudah diterapkan, (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:67).
Selain pertanian dan persawahan, maka masyarakat Dinasti Shang juga mengembangkan teknik menenun kain sutera. Adapun kain sutera diperuntukan hanya bagi bangsawan, sedangkan rakyat jelata hanya menggunakan pakaian kasar yang ditenun dari urat tumbuhan. Ketika itu industri keramik pun sudah sangat maju dan kualitasnya sudah mendekati keramik porselen (corak yang dikembangkan adalah putih bening), walaupun barang keramik saat itu belum dipergunakan dalam keperluan sehari-hari. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:67).
Pada Zaman Shang, barang perunggu sudah mencapai puncak kesenian yang paling tinggi di seluruh wilayah Cina. Akan tetapi, kebudayaan perunggu hanya milik bangsawan, sedangkan rakyat jelata yang kebanyakan petani hanya menggunakan batu. Barang-barang perunggu biasanya digunakan dalam upacara keagamaan (periuk berkaki tiga atau Li, dan lencana batu giok). Bagi bangsawan perunggu adalah bagian dari harta kekayaan (periuk atau jembangan yang berhias ragam dan Tao Tieh; lukisan naga berkepala kerbau dan bergigi harimau). Adapun benda perunggu banyak ditemukan didalam kuburan raja. Selain itu terdapat tradisi cerita mengenai Kaisar Yu yang memerintah untuk dibuatkan Sembilan periuk Li dari perunggu untuk digunakan pada pemujaan roh nenek moyang. Sehingga banyak ditemukan periuk disimpan di kuil arwah nenek moyang untuk dijadikan lambang kekuasaan raja-raja Cina kuno. Selain perunggu, maka ditemukan benda kesenian batu giok, keramik, ukiran-ukiran tanduk rusa dan gading. Adapun gaya hiasan pada masa Dinasti Shang adalah kombinasi ragam geomentris seperti lilin (spiral), dan segitiga untuk melukiskan binatang yang direka-raka. Cicade (Tonggeret), adalah ragam hias yang banyak dijumpai. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:67).
Pada Zaman Shang, kota adalah pusat kehidupan golongan aristokrat. Hal ini karena di kota terdapat industri kerajinan tangan yang melayani keperluan hidup dan rumah tangga para raja dan bangsawan. Keadaan hidup mewah ini tentunya memiliki kaitan dengan dengan lahirnya perdagangan budak yang meningkat. Kehidupan saat itu hanya menunjukan pola hidup dibawah suatu kekuasaan (kelas bangsawan). Petani, tukang dan buruh industri hanyalah hamba sahaya yang dianggap tidak punya garis keturunan (klen). Hal ini karena kendali penguasaan lahan dan pendudukan adalah milik penguasa. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:68).
1.3 Kepercayaan
Pada masa Dinasti Shang masyarakat memiliki kepercayaan yang bersifat kultus kesuburan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat yang agraris. Saat itu kebanyakan masyarakat melakukan pemujaan kepada dewa-dewa untuk meminta kesuburan. Adapun dewa dan cara yang dimiliki untuk memperoleh kesuburan tentunya berbeda-beda. Misalnya, pada suatu daerah biasanya dimusim semi dilakukan penculikan manusia, adapun manusia tersebut akan dibunuh dan dipotong-potong. Kemudian dari potongan tubuhnya tersebut akan dibagikan kepada penduduk untuk ikut ditanamkan pada tumbuhan. Sedangkan cara lain adalah pesta perahu yang dilakukan pada musim semi. Adanya perahu panjang dan kecil saling berlomba dengan kecepatan dan apabila ada yang tenggelam maka itu adalah korban yang dipersembahkan kepada dewa. Begitulah kiranya kepercayaan masyarakat Shang saat itu. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:69).
Dalam kepercayaan masyarakat Shang para pendeta menetapkan bahwa Dewa tertinggi dalam agama resmi adalah Shang-Ti. Pada pertengahan kekuasaan Dinasti Shang maka masuklah pengaruh dari bangsa nomad dari Barat Laut, yaitu Proto Tartar (Proto Turki dan Proto Mongolia) yang berasal dari padang rumput. Adapun kepercayaan astral (pemujaan benda langit) yang dianut oleh bangsa ini telah berhasil membawa perubahan pada masyarakat Shang. Pengaruh nyata dari bangsa Nomad terlihat dengan adanya dekorasi perunggu (gaya hiasan binatang), dan pemakaian alat perang yang ditarik dengan dua roda (digunakan oleh Raja Shang ketika menaklukan Shensi). Walaupun demikian terjadi hubungan longgar dengan pusat kerajaan, hal ini disebabkan oleh kurangnya alat transportasi dan hubungan yang kurang baik. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:69).
Dengan keadaan masyarakat petani agraris, maka terciptalah perhitungan kalender. Saat itu ketetapannya adalah satu minggu sama dengan sepuluh hari, sehingga 6 pekan adalah enam puluh hari, sedangkan bulan ada yang terdiri 30 hari atau 29 hari. Selain itu satu tahun biasanya terjadi enam edaran (siklus), bahkan dalam satu tahun sering ditambah dengan satu atau dua minggu, atau sebulan atau dua bulan. Pada desa-desa yang luas rata-rata mencapai tiga hektar dan rata-rata dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan ketinggian 10 kaki dan lebar 30 kaki, banyak ditemukan bekas reruntuhan rumah yang berbentuk lubang. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
1.4 Keruntuhan Dinasti Shang
Raja terakhir Dinasti Shang adalah Chou Hsia atau Chou Hsien yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa. Hal ini karena Chou Hsia atau Chou Hsien memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam, selain pandai dan fasih berbicara. Adapun kaisar ini terkenal dengan kekejamannya yang dianjurkan oleh Tachi (selir yang cantik jelita dan jahat). Hal tersebut merupakan penyebab dari keruntuhan dinasti ini. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
Keruntuhan Dinasti Shang diceritakan di dalam roman mitologi Feng Shen Huan atau Fang Shen (Karunia menjadi seorang Dewa) yang tidak diketahui pengarangnya. Adapun kisah menjelaskan ketika Tachi dibawa ayahnya kekota untuk diserahkan kepada kaisar, ia dimasuki oleh siluman rubah yang menjadi suruhan Dewi Nu Kwa. Hal tersebut ditujukan untuk membisikan kekejaman kepada Kaisar Chou Hsia. Keadaan ini dilatarbelakangi oleh rasa sakit hati Dewi Nu Kwa yang menganggap Chou Hsia telah menghinanya ketika melakukan kunjungan ke kuil. Sejarah inilah yang akhirnya membawa Kaisar Chou Hsia untuk bertindak kejam terhadap rakyatnya. Sang kaisar selalu mendengar bisikan dari Tachi yang cantik jelita. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
Adanya kekejaman kaisar inilah yang kemudian menimbulkan pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat. Adapun pemberontakan ini digagas oleh raja muda Wu Wang yang berasal dari wilayah Chou. Dalam pemberontakan itu raja muda didampingi oleh panglima perang yang sakti yaitu Chiang Tzeya, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pertempuran tersebut banyak sekali korban berjatuhan dari kedua pihak ; saat itu didirikanlah panggung khusus untuk korban yang diyakini akan melayang pada sebuah panggung, adapun panggung tersebut disebut dengan “Panggung Karunia Dari Dewa”. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:70).
Pada roman tersebut juga menceritakan kisah-kisah yang akan terjadi pada kehidupan kemudian. Dalam peperangan adanya penggunaan senjata kuman penyakit, dan sampai sekarang ada kemungkinan orang dapat melihat dari jauh, serta adanya ahli perang yang dapat keluar masuk tanah. Pasukan kaisar Shang yang kejam berhasil dihancurkan Wu Wang. Adapun saat menjelang kematian Kaisar Chou sudah menyadari bahwa dirinya akan mengalami kekalahan. Kaisar Chou Hsia membayangkan dirinya dengan pakaian kemegahan yang indah, ia membakar istananya dan menceburkan dirinya kedalam api yang berkobar, sehingga kemudian berakhirlah Dinasti Shang kira-kira 1122 SM. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:71).
DINASTI CHOU
2.1 Dinasti Chou
Setelah runtuhnya Dinasti Shang, maka Wu Wang mendirikan Dinasti Chou. Pada mulanya masyarakat Dinasti Chou adalah masyarakat seminomad yang mengutamakan peternakan, tanpa melupakan pertanian. Sistem pembagian tanah yang berkembang pada masa Dinasti Chou adalah sistem sumur tegalan (Ching-Ti’en). Menurut Wolfram Eberhard, suku bangsa Chou terjadi karena percampuran suku Proto-Turki dan Proto Tibet sehingga kebudayaannya dekat dengan kebudayaan Yang Shao. Adapun orang-orang ini berasal dari dataran rendah Shensi sebelah barat hingga wilayah Cho Yuan atau dataran Chou (sekarang adalah bagian dari propinsi Shensi). Di lembah sungai Wei mereka mendirikan pemerintahan Cina dengan ibukota yang mulanya adalah Feng dan kemudian ibukota dipindahkan ke Yao yang tidak jauh dari kota Yang. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:71).
Pada masa pemerintahan Wen Wang (raja kesusastraan), terjadi permusuhan hebat dengan Kerajaan Shang. Di bawah pimpinan Wu Wang (raja perang) atau putera dari Raja Wen Wang, orang-orang Chou saat itu ingin menaklukan Shang. Adapun penaklukan itu berhasil dan orang Cina mengakui bahwa Raja Wen Wang sebagai pendiri Dinasti Chou. Sehingga tidak heran kalau nama Wu Wang dan Wen Wang mendapat kedudukan tehormat dalam sejarah peradaban Cina. Selain itu ayah dan anak ini juga dikenal sebagai pemimpin pemerintahan dan dinasti. Di dalam buku Shih Ching (Kitab Syair), dengan perkataan “Wen dan Wu telah menerima firman Tuhan”. Ungkapan tersebut bermakna bahwa kepemimpinan mereka adalah kehendak Tuhan. Selain kedua orang ini, maka tokoh lain yang dijunjung tinggi adalah Tan atau Hertog Chou yang dikenal dengan Duke of Chou (putera dari Wen Wang). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:72).
Adanya penerapan hukum pewarisan berdasarkan keturunan laki-laki (patrilineal) yang menegaskan bahwa anak laki-laki, terutama anak pertama yang akan menggantikan posisi ayahnya ketika meninggal baik dalam kerajaan maupun keluarga membuat posisi laki-laki menjadi istimewa pada masa Dinasti Chou. Sehingga anak lelaki tertua saat itu memiliki peranan, seperti fungsi politik, yuridis-formal, ekonomis dan ritual-sakral (biasanya keluarga yang menerapkan otoritas tersebut adalah keluarga besar dari sejumlah somah). Pada kerajaan Cina Kuno keluarga adalah satuan inti dari sebuah Negara, maka dari itu dikenal istilah “kerajaan dari keluarga seratus” “ (seratus bukanlah bilangan tapi berarti sangat banyak). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:73).
Pemerintahan Dinasti Shang yang menganut sistem matriakal primitif dengan feodalisme disempurnakan pada masa Dinasti Chou berkat pemikiran Tan yang cerdas (putera dari Wu Wang). Sepeninggalan Wu Wang (1025 SM), Tan atau Duke of Chou ini menjadi wali bagi kemenakan yang di bawah umur, selain itu terjadi pemberontakan untuk menggulingkan Dinasti Chou. Namun demikian Chou Kung menyelamatkan dinasti tersebut dan mendirikan ibukota kedua Lo Yi (sekarang Lo Yang, terletak diselatan sungai kuning di daerah Honan). Sampai 771 SM, pusat politik Kerajaan Chou masih tetap di Hao, ibukota sebelah barat. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:73).
Chou Kung adalah konseptor dari ideologi dan doktrin Negara kerajaan Cina yang dasar fundamentalnya adalah doktrin T’ien Ming (mandat dari langit). Adapun inti dari doktrin ini menunjuk Kaisar Cina sebagai penguasa tertinggi dibumi yeng mengemban amanah dari dewa tertinggi dilangit. Manusia pilihan yang menjadi kaisar atau raja adalah Tien Tzu atau putera langit (son of heaven). Sehingga dinasti yang masih mengemban amanat dewa langitlah yang akan tetap kokoh berdiri, sedangkan kekuasaan lalim dan tirani akan membuat mandate dan otoritas tersebut dicabut untuk diberikan kepada orang lain untuk menjadi “son of heaven”. (Theory Of The Decree Of Heaven). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:73).
Tanda-tanda pencabutan T’ien Ming berkaitan erat dengan prestasi, seperti munculnya gejala-gejala yang membuat keruntuhan dinasti. Sehingga konsep mandate ini akan memindahkan kekuasaan kepada pemimpin pemberontakan untuk menjadi“son of heaven”. Bagian penting dari penegasan doktrin ini adalah : “apabila langit tidak menyukai pemerintahan yang lalim dan tirani, maka langit akan menjustifikasi langkah pemberontakan kepada pemerintahan yang lalim tersebut. Sehingga Doktrin T’ien Ming adalah Undang-undang dasar Kerajaan Cina. Sampai abad dua puluh mandate ini masih digunakan sebagai otoritas dari pemberontak di Cina, dan dalam gerakan revolusioner konsep ini juga digagas oleh Dr. Sun Yat Sen yang menyebut doktrin ini dengan “perhimpunan bagi pemindah-tanganan mandat” (the Association for Changing the Decree). (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:74).
Adanya konsep Chou Kung menyebabkan Kerajaan Chou terkenal dengan sistem feodalisme. Kerajaan Chou adalah negara federasi di bawah pimpinan raja sentral yang memimpin raja-raja vassal di pemerintahan bagian- diberi mandat dan otoritas. Negara vassal adalah Negara kecil dan berintikan kota-kota, diperkirakan Negara vassal sangatlah banyak berjumlah 1713 daerah. Sedangkan daerah mahkota dipimpin langsung dibawah pemerintahan raja sentral, adapun posisinya terletak ditengah sehingga Chung Kuo menyebutnya “The Middle Kingdom” dan daerah vassal yang mengelilinginya disebut Wei Kuo (Negara pinggiran). Adapun sebutan ini hanya berguna bagi daerah mahkota seperti daerah lembah sungai Wei di sebelah timur dan daerah sekitar kota Lo Yi. Dalam perkembangan Cina berikutnya sebutan tersebut kemudian meluas dan diperuntukan bagi daerah tanah Cina asli. Di dalam dialek Fukien (Hokian), ucapan Chung Kuo adalah Tiongkok. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:74).
Pada masa Dinasti Chou ekspansi dari lembah Sungai Kuning dan Sungai Wei terus dilakukan ke segala jurusan. Adapun konsep dasar yang diterapkan adalah sinifikasi (proses menjadikan seluruh penduduk sebagai Cina) ke sebelah selatan melintasi Sungai Yang Tze. Hal ini menimbulkan perpindahan besar-besaran dari golongan bangsa Paleo-Mongoloid (Indo-Mongoloid) yang melintasi pegunungan Nan Ling ke Nan Yang, namun proses sinifikasi tidak berlaku untuk bangsa padang rumput sebelah utara dan barat laut Kerajaan Chou. Adapun bangsa ini sering melakukan perlawanan dan menimbulkan situasi perang. Bahkan pada masa Dinasti Chou Barat (1027-771 SM), sikap ofensif terhadap suku-suku nomad ini dilakukan. Sebaliknya pada masa Chou Timur (771-256 SM), sikap ofensif menyerang ditinggalkan dan menerapkan sikap defensif (bertahan). Adanya suku Yen Yun dan Jung Barat adalah musuh abadi Dinasti Chou yang paling berbahaya. Pada 771 SM ibukota Dinasti Chou dihancurkan oleh bangsa Jung, dalam peperangan itu Raja Chou tewas. Hal tersebut menyebabkan berdirinya Dinasti Chou Timur dengan Lo Yi sebagai ibukota. Untuk menahan serangan berbahaya dari musuh maka didirikanlah dinding-dinding pertahanan di Negara vasa Utara dan Barat Laut. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:75).
Zaman Dinasti Chou dibagi atas dua bagian besar, yaitu Chou Barat (1027-771 SM), dan Chou Timur (771-256 SM). Adapun Chou Timur terbagi lagi atas zaman Chou Tengah (771-480 SM), dan Chou akhir (480-256 SM). Dinasti Chou merupakan dinasti yang paling lama memerintah dan berkuasa dalam sejarah peradaban Cina. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:75). Jumlah raja yang memerintah pada dinasti ini adalah 35 orang, sehingga zaman ini sangat penting dalam sejarah sosial dan kebudayaan Cina. Anggapan ini juga didukung oleh keberadaan zaman ini yang menunjukan formatisasi masyarakat dan peradaban Cina dengan cirri khas kecinaannya. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:75).
Menurut Wolfram Eberhard, ciri kecinaan belum terbentuk pada masa Dinasti Shang. Adapun ciri kecinaan adalah sistem kekeluargaan yang bersifat patriakal. Antara Dinasti Shang dan Dinasti Chou terjadi sintesa kebudayaan hingga menghasilkan kebudayaan Cina yang khas dan tipikal. Agama dan kebudayaan yang berkembang pada masa Dinasti Shang adalah kultus kesuburan dan pada masa Dinasti Chou adalah kultus astral. Pada masa Dinasti Chou terjadi sinkretisme, sehingga pemujaan terhadap nenek moyang dianggap sebagai hal yang sakral dan penting. Kedua unsur tersebut kemudian dijalin satu antara penerapan kultus kesuburan dan kultus pemujaan langit. Di dalam keyakinan sinkretisme, di langit bersemanyam Shang-Ti, yang merupakan dewa tertinggi. Pemujaan terhadap langit sebagai tempat bersemayam Shang-Ti diselenggarakan di bawah pimpinan putera langit (Tien Tzu), sebutan terhormat bagi kaisar Cina. (Wiriaatmadja, Rochiati, 2003:76).
Oleh: Asep Muhammad Jazuli
CHOU BARAT (1050-770 SM)
Selama kurun waktu 20 tahun, Dinasti Chou dapat menguasai wilayah Dinasti Shang. Ibu kota negara dipindahkan dari Feng ke Hao (sebelah timur Feng). Dinasti ini didirikan oleh anak Wen Wang yang bernama Fa, yang kemudian dikukuhkan dengan gelar Wu Wang (Raja Perang). Wen Wang dan Wu Wang disebutkan dalam Shih Ching, menerima” mandat dari langit” untuk memerintah dan mengendalikan kekuasaan di Cina. Istilah ini merupakan legitimasi dari langit akan serangan yang dilakukan oleh Dinasti Chou. Berdasarkan berita yang ada, Dinasti Chou bersekutu dengan suku-suku yang menjadi rival Dinasti Shang sehingga serangan yang dilakukan oleh Dinasti Chou, berhasil. Yin, Ibu kota Shang dapat direbut dan Raja Chou Hsien tewas, dan para pengikutnya ditawan musuh.
Tan atau Chou Kung (Duke of Chou) diangkat menjadi penasehat Wu Wang. Setelah Wu Wang meninggal, dia digantikan oleh anaknya yang bernama Cheng Wang (1044-1008) yang masih dibawah umur. Hal ini menimbulkan situasi politik yang sangat signifikan. Chou Kung bertindak sebagai walinya dan memegang kekuasaan. Dua saudara Chou Kung (Kuan dan Tsai) menyebarkan fitnah terhadapnya sehingga dia mengucilkan diri ke daerah yang disebut dengan Lu. Tetapi akhirnya dia dipanggil oleh kaisar untuk kembali ke istana.
Dalam cerita lain, setelah Yin diduduki oleh Dinasti Chou, masih ada orang-orang Shang yang bermarkas di sebelah timur. Kuan berkomplot dengan Wu Kung yang sebenarnya adalah tawanan mereka untuk melawan pemerintahan Chou Kung. Tetapi Chou Kung lebih cepat antisipasi dengan melakukan konspirasi dengan nagara-negara kecil yang tergabung dalam negara federasi. Chou Kung dianggap sebagai raja dan pendeta tertinggi dalam kegiatan kenegaraan dan keagamaan.
• Susunan pemerintahan
Struktur pemerintahan Dinasti Chou, diwariskan secara turum temurun. Putra raja dianggap sebagai T’ien Tzu (son of heaven). Sistem yang dibentuk adalah sistem feodalisme. Daerah yang dijadikan koloni (daerah taklukan) kerajaan dibagikan kepada keluarga dan kerabat kerajaan.
Orang-orang Dinasti Chou merupakan minoritas diantara bekas rakyat Dinasti Shang. Oleh karena itu, untuk melanggengkan kekuasaannya, Dinasti Chou menduduki kota-kota untuk dijadikan koloni. Pasukan khusus ditempatkan dalam kota yang disebut dengan kota Granisum tersebut. Daerah kecil disekitarnya dijadikan negara-negara kecil. Jumlahnya lebih dari seribu dan berbentuk federasi longggar.
Di dataran rendah yang dilalui oleh sungai Kuning, Dinasti Chou membuat tanggul-tanggul raksasa untuk menahan banjir. Proyek ini dikerjakan dengan pengerahan tenaga manusia yang sangat banyak dan biaya yang sangat besar. Proyek ini juga melibatkan raja tertinggi dan raja-raja kecil dari negara-negara koloni.
• Perluasan wilayah
Pada masa Wu Wang (965-925 SM), rakyat yang masih setia kepada Dinasti Shang dan melancarkan pemberontakan. Tapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Perluasan wilayah dilancarkan ke sebelah barat, yakni dengan menyerang suku Barbar Chuang Yung (Yung artinya anjing).
Pada awalnya, Dinasti Chou belum menguasai seluruh wilayah Cina Utara sehingga negara-negara federasi masih dipisahkan oleh rawa-rawa dan pegunungan-pegunungan. Disinilah tinggal suku Barbar Yung dan Ti.
Pada masa pemerintahan Wu Wang, seluruh wilayah Shantung dan bagian-bagian dari wilayah Hopei dan Shensi dimasukkan kedalam wilayah Dinasti Chou. Dengan demikian, wilayah Dinasti ini terbentang sangat luas dari barat ke timur (Kanshu sampai lembah Sungai Kuning), dan dari selatan ke utara (dari lembah Sungai Yangtze sampai perbatasan Manchuria). Rawa mulai dikeringkan sehingga suku Barbar terdesak pergi dari Cina.
Mata pencaharian penduduk adalah pertanian. Kolonisasi kaum petani dalam organisasi dikendalikan oleh pimpinan pemerintah dan diikuti oleh penaklukan dan peleburan suku-suku bangsa lain ke dalam peradaban Cina. Sehingga banyak kebudayaan Cina yang dimasukkan dalam kebijakan dalam bidang pertanian. Seiring dengan munculnya ambisi untuk meluaskan wilayahnya, kota-kota Garnisum harus didirikan. Kota ini menjadi benteng bagi para petani Cina yang berdiam di sekitarnya.
• Ideologi Negara dan Masyarakat
Anggapan bahwa susunan negara dan pemerintahan yang lahir di Cina pada zaman lampau bersifat kosmis, tidaklah salah. Hal ini dapat dilihat dalam masyarakat petani di Cina utara dengan kultus kesuburannya, pemujaan terhadap langit, bumi, dan leluhur untuk memertahankan dan memelihara antara kekuatan-kekuatan alam, melahirkan anggapan tentang hubungan yang konsisten antara tritunggal, yakni langit, bumi dan manusia. Peraturan yang ada di langit, harus diberlakukan juga di bumi dan antara manusia.
Dalam konsepsi pemerintahan menurut konfusianisme, ideologi Dinasti Chou itu dipelihara terus di negara Cina sejak zaman kaisar-kaisar dari Dinasti Han hingga abad ke-19. Raja-raja lain yang berkuasa di luar Cina, harus tuntuk kepada kaisar dan membayar upeti.
Dalam kehidupan masyarakat Chou, terdapat dua golongan masyarakat, yakni golongan bangsawan dan rakyat biasa. Hakikatnya, tanah milik kaum bangsawan, sedangkan rakyat hanya pekerja. Dalam hirarki feodal, ada lima tingkatan kaum kebangsawanan, yakni: Kung Hou, Po Tzu, dan Nan yang mempunyai persamaan tingkat kebangsawanan di Erpoa seperti Duke, Marquises, Count, dan Baron. Gelar bagi raja adalah Wang.
• Mundurnya kekuasaan Chou Barat
Raja Chou ke-10 yang bernama Li Wang (857-841 SM), mengendalikan pemerintahan dengan sikap tiran. Sikapnya ini yang menimbulkan pemberontakan pada tahun 841 SM. Li Wang melarikan diri ke negara Chin dan meninggal dalam pelarian tersebut pada tahun 828 SM. Kaum pemberontak menang, dan membentuk pemerintahan sementara dibawah pimpinan Chou Kung dan Hsao Kung. Masa ini disebut dengan masa Kung Ho (antara 841-827 SM). Masa ini merupakan masa yang penting karena pencatatan-pencatatan sejarah mulai dilakukan.
Pada masa pemerintahan Hsu Wang, martabat Dinasti Chou yang sudah jatuh, bangkit kembali. Dia merupakan raja yang bijaksana dan energik dan memerintah dengan sistem dan struktur pemerintahan yang profesional dan berkulitas. Tetapi, kemajuan ini mengalami kemunduran ketika Yu Wang menjadi raja (781-771 SM). Dia memerintah dengan tidak bijaknsana dan berada dalam pengaruh istrinya yang sangat cantik, Po Szu.
Po Szu adalah selir raja. Dia mempunyai kebiasaan aneh, ganjil, dan mahal. Kebiasaannya yakni senang mendengarkan suara sutra yang dirobek-robek. Untuk menyenangkan istrinya ini, raja harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Ditambah dengan kebiasaan lainnya.
Karena selirnya ini tidak pernah tertawa, raja mengadakan sayembara. Tetapi hal ini tidak berhasil. Akhirnya salah seorang menterinya mengusulkan untuk menyalakan api di duapuluh menara. Hal ini untuk mengundang para raja muda di negeri bawahan untuk datang ke istana dengan segera karena akan kerajaan terdesak dan harus berperang, padahal ini dilakukan hanya supaya selirnya ini bisa tertawa. Hal ini dilakukan. Raja-raja muda tersebut bergegas datang, tetapi yang mereka dapatkan adalah tawa terbahak dari selir raja. Mereka kembali dan kecewa.
Po Szu pun mengusulkan agar putranya menjadi putra mahkota, dan meminta raja untuk membuang permaisuri dengan putra mahkota yang sebenarnya. Hal ini dilakukan raja. Pada akhirnya menimbulkan pemberontakan. Kerajaan diserang. Ketika menara api dinyalakan, tidak ada raja muda yang datang untuk membantu. Akhirnya Yu Wang mati dalam kehinaan karena terjebak oleh senyum sang istri.
Oleh: Mawarida Farlina
CHOU TIMUR (771-256 SM)
Kekuasaan kaisar Yu Wang berakhir pada 771 SM akibat pemberontakan yang dilancarkan oleh ayah permaisuri Yu Wang yang sah dibantu suku Chung Yuang, Ping (sebagai putera mahkota Yu Wang yang sah) diangkat menjadi raja dan bergelar Ping Wang (Raja Ping). Ia memindahkan ibukota Kerajaan Chou dari Chang-an dilembah Sungai Wei Lo Yi (Lo Yang) pada 771 SM. Alasan utamanya adalah ia merasa khawatir ibukota itu mendapat serangan dari suku-suku bangsa yang ada disebelah barat. Dengan demikian, pengangkatan Ping Wang menjadi permulaan bagi bangkitnya Kerajaan Chou Timur. Chou Timur terbagi menjadi dua negara, yaitu:
1. Zaman Kerajaan Chou pertengahan (The Middle Chou) berlangsung antara 771-481 SM. Zaman Kerajaan Chou Pertengahan biasa disebut Zaman Ch’un Ch’iu.
2. Zaman Kerajaan Chou Akhir (The Late Chou) berlangsung antara 481-256 SM. Zaman Kerajaan Chou Akhir terkenal dengan nama Zaman Chan Kuo (zaman negara-negara berperang).
o Zaman Chun Chiu (771-481 SM)
Pada masa Kerajaan Chou Pertengahan di Chou Timur, intrik-intrik dan tindakan pengkhianatan mulai bermunculan. Keadaan geografis dan wilayah yang terlalu luas yang berada dibawah naungan kerajaan tengah memberi peluang yang sangat besar bagi pemikiran para raja bawahan untuk mendirikan negara-negara yang lepas dari pengaruh kerajaan tengah.
Sebenarnya, letak di tengah-tengah dari daerah Kerajaan Chou yang berdasarkan pada anggapan kosmis itu mengandung kelemahan. Kelemahan itu terletak pada alasan bahwa daerah itu tidak dapat diperluas lagi wilayah kekuasaannya, kecuali dengan mengarungi daerah-daerah kepala feodal, sedangkan kepala-kepala feodal itu adalah pendukung utama dinasti tersebut. Akibat wibawa yang terus merosot di hadapan rakyatnya sendiri, kepala-kepala feodal yang merasa kecewa pun akhirnya hendak menggulingkan kekuasaannya. Pada Zaman Ch’un Ch’iu, setidaknya terdapat lima belas negara besar dan sejumlah negara kecil. Negara-negara besar itu terbagi dalam dua kategori, yaitu negara-negara yang dianggap berasal dari bangsa Cina asli yang tergabung dalam Chung Kuo dan negara-negara yang berasal dari daerah Lembah Wei Kuo yang terletak disepanjang tepi Sungai Huang Ho. Negara dari daerah Lembah Lembah Wei Kuo ini ada sebelas negara.
Setelah munculnya banyak negara yang bertanbah kuat, banyak pula kepala-kepala negara yang menggunakan gelar Kung (gelar bangsawan pada masa Chou). Bahkan setelah 325 SM, hampir semua negara yang mempertahankan dirinya mulai menggunakan Wang yang sebenarnya hanya disediakan untuk Raja Chou. Daerah Raja Chou sendiri (yang terlatak dibagian tengah) tidak mengadakan ekspansi seperti halnya negara-negara tepi yang terletak di periferi. Bahkan, kerajaan pusat yang wilayah kekuasaannya semakin mengecil.
Pada zaman Ch’un Ch’iu, kekuasaan dan otoritas politik Raja Chou sebenarnya sudah tidak ada artinya karena fungsi kesakralannya sebagai pendeta tertinggi sudah hilang meskipun ia masih terus duduk sebagai raja. Kemunduran wibawa dan martabat Raja Chou pada Zaman Ch’un Ch’iu tercermin dari sikap yang tidak hormat dari kepala-kepala feodal terhadapnya. Dari sisi politik, kekecewaan terhadap penguasa negara mulai bermunculan, bahkan menggumpal menjadi tindakan rencana untuk melakukan makar, saat itu, berlaku doktrin bahwa pihak yang lebih kuat berusaha merampas dareah yang lebih lemah. Akibatnya peperangan selalu diawalai oleh bentuk persaingan dan rivalitas antar kerajaan. Untuk menciptakan keseimbangan kekuatan dibentuklah semacam perserikatan bangsa-bangsa oleh negara-negara itu. Kendatipun sisitem hegemoni dan monopoli-dominasi sudah terbentuk sedemikian kuat, namun peperangan antar negara tidak bisa dihindarkan. Itulah sebabnya, lembaga sejenis perserikatan bangsa-bangsa itu selalu berubah-ubah format. Negara-negara yang besar ancamannya adalah negara-negara yang terletak disebelah utara. Untuk menahan dan mengantisipasi serangan-serangan tersebut dibuatlah tembok-tembok benteng di sepanjang perbatasan sebelah utara oleh suku-bangsa Yen dan Tsin pada kira-kira 500 SM.
Pada bagian akhir zaman Ch’un Ch’iu terjadi perkembangan kekuasaan antara Wu dan Yueh, khususnya negara-negara yang terbentuk diantara suku-suku Barbar disebelah tenggara. Masuknya suku-suku Barbara tersebut membuka peluang bagi perluasan kekuasaan baru bagi negeri Cina. Namun, pada waktu yang bersamaan terjadi akulturasi budaya kendatipun corak kebudayaan Cina yang telah berakar sedemikian lama tidak hilang. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, yakni bahwa kebudayaan Cina melebur kedalam budaya bangsa Barbar yang menjadi bangsa Cina. Pada perkembangan selanjutnya, negara-negara yang meleburkan unsur-unsur Barbar kedalam corak budaya Cina menjadi negara yang sangat kuat, sedangkan negara-negara yang mempertahankan sikap konservatif dan sikap konvensionalnya justru mundur dengan cepat, dan akhirnya hancur.
\
o Zaman Chan Kuo (481-256 SM)
Pada bagian akhir zaman Ch’un Ch’iu, sistem semacam perserikatan bangsa-bangsa sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Negara-negara kecil pun mulai lenyap dan peperangan yang terus terjadi mulai bertambah panas. Situasi politik pada zaman Chan Kuo semakin kacau. Salah satu penyebabnya adalah kode etik peperangan yang selama ini dijunjung tinggi mulai ditinggalkan. Pada masa ini, peperangan terjadi diantara dua persekutuan, yakni persekutuan utara-selatan (persekutuan vertikal) dan persekutuan barat-timur (persekutuan horizontal).
Taktik perang yang dibuat sudah semakin maju. Semula, para bangsawan sebagai komandan dan pengiringnya maju ke medan perang. Setelah terjadi peperangan dan situasinya semakin hebat, setiap kaum feodal membentuk pasukan sewaan. Saat itu, para petani dipersenjatai dan dikirim ke medan perang. Pasukan tentara terdiri orang-orang bangsawan yang berkereta perang, ditambah pasukan-pasukan infantri yang terdiri dari para petani. Pada akhir abad lima SM, ditambah dengan pasukan kavaleri (pasukan berkuda).
Pada akhirnya, kedudukan Raja Chou sudah tidak dihargai sama sekali. Pergantian atau suksesi pemegang kekuasaan pun yang biasanya dilaksanakan bedasarkan warisan atau keturunan di beberapa negara sudah tidak lagi dilaksanakan. Karena kekuasaan Kerajaan Chou sudah tidak berpengaruh lagi, negara-negara yang termasuk Ch’in dengan mudah merebut tahta kerajaan itu. Dengan demikian, berakhirlah Dinasti Wen Wang dan Wu Wang pada 256 SM. Selama Dinasti Chou berkuasa, setidaknya tercatat 35 orang raja yang berkuasa selama 772 tahun.
o Sintesis Kebudayaan Shang dan Chou
Kesatuan kebudayaan Cina dimulai oleh semakin menguatnya sintesis kebudayaan Shang dan Chou. Masyarakat Chou bersifat patriarkhal yang terus hidup dalam sistem kekerabatan di Cina. Orang-orang Shang yang jadi kaki tangan Chou dalam penaklukan Kerajaan Shang diterima untuk masuk dan menjadi anggota dalam susunan masyarakat Chou. Orang-orang Chou merupakan golongan minoritas yang menjadi golongan aristokrasi yang memerintah terhadap rakyat Shang sebagai budak dan taklukan perang. Dalam kehidupan masyarakat Shang, para pendeta mempunyai kedudukan sangat penting. Tetapi, melalui upaya sintesis dengan Chou, kedudukan mereka menjadi tidak penting lagi, namun wibawa mereka tidak lenyap dari masyarakat karena mereka adalah orang-orang yang pandai menulis dan membaca. Karena kepandaiannya itu, mereka diangkat sebagai petugas khusus menyimpan arsip. Dengan demikian, terbentuklah golongan terpelajar. Para pendeta itu juga membantu upacara-upacara kurban, sedangkan pendeta yang tidak terpakai di kerajaan hidup dikalangan masyarakat sebagai pemimpin upacara agama rakyat yang lama.
Dari sisi perekonomian, sintesis kebudayaan antara Dinasti Chou dan Shang melahirkan gerakan pembaharuan. Bagi orang-orang Chou yang lebih tertarik dan memetingkan peternakan daripada pertanian terus melakukan pemeliharaan kuda dan kereta. Sebaliknya, masyarakat Shang yang mata pencaharian utamnya adalah pertanian (agraris) mulai mengenal hewan penarik seperti kuda penarik kereta yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Chou. Dari unsur itu, masyarakat Shang mulai meniru kebiasaan hewan penarik kereta dengan mengadaptasikannya di bidang pertanian, yaitu menggunakan hewan sebagai penarik bajak. Karena itu, ketika kebudayaan perunggu semakin maju, banyak bajak yang dibuat. Mata bajak itulah yang kemudian ditarik oleh hewan. Mata bajak dianggap sebagai unsur Shang (petani), sedangkan hewan helanya dianggap sebagai unsur Chou (peternak).
Dari sisi kepercayaan dan keagamaan pun terjadi sintesis yang sangat besar dan signifikan. Pada umumnya, keyakinan-keyakinan agama tertua yang berkembang di Cina didasarkan pada sumber-sumber kepercayaan Asia Timur dan Asia Tengah. Bangsa Cina dikenal pula sebagai bangsa petani sejak berabad-abad yang lalu. Secara umum, nasib bangsa agraris bergantung kuat pada pergantian cuaca dan iklim. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran hidup para petani sangat bergantung pada perimbangan yang musykil diantara kekuatan-kekutan alam. Melalui ritualisme dan upacara-upacara yang bersifat religio-magis, masyarakat Cina kuno berusaha memelihara dan mempertahankan keselarasan atau harmoni dalam kosmos yang dirumuskan dalam konsepsi Yang dan Yin. Karena itu, upacara-upacara keagamaan berhubungan erat dengan kehidupan pertanian. Dewa Resi tertinggi adalah Shang-Ti, leluhur mulia yang dianggap Dewa Tertinggi, Ia juga merupakan lambang Yang. Dewi Bumi (Ti) adalah perwujudan Yin. Selain itu terdapat juga dewa-dewa rendahan seperti Dewa Tanah (Huo Tu atau atau She), Dewa Gandum atau Dewa Panen (Huo Chi) dan dewa dewa gunung, sungai, dan guntur. Juga terdapat dewi-dewi yang banyak jumlahya seperti ibu dari timur, ibu dari barat, dan naga ibu. Dewa dan dewi yang rendahan itu disebut Shen.
Kepercayaan masyarakat Dinasti Chou bersifat astral, yakni Raja Chou memuja T’ien dan menganggap dirinya sebagai “the son of heaven”. Namun, keyakinan ini lambat laun terjadi sintesis dengan keyakinan Dinasti Shang. Shang-Ti dimasukan kedalam anggapan dewa astral sehingga pengertian antara Dewa Shang-ti dan T’ien tercampur menjadi satu dan melahirkan sebutan baru, yakni Hou T’ien Shang-ti. Dewa-dewa itu dipuja oleh kaisar-kaisar Cina hingga 1912.
Oleh : Dwi Vina Lestari
SERATUS ALIRAN FILSAFAT
Zaman Klasik
Zaman Ch’unn Chi dan Chan Kuo dikenal sebagi zaman klasik (classic age period) dari sejarah dan kebudayaan Cina. Kekacauan politik pada zaman Dinasti Chau mengakibatkan terjadinya perkembangan kedudayaan dan masyarakatnya.
Akhir perkembangan Dinasti Chou merupakan zaman klasik bagi perkembangan kesusastraan Cina. Keadaan chaos menjadi pendorong dan motivasi bagi para filosof untuk mengerahkan pemikirannya guna menemukan cara mengatasi krisis moral dan politik pada zaman itu. Bukti dari perkembangan pemikiran tersebut terlihat dari diterbitkanlah beberapa kitab yang mengulas mengenai persoalan filsafat, sejarah, adapt istiadat, dan system pemerintahan ( teori kekuasaan). Salah satu hasil karya sastra Cina pada zaman Dinasti Chou akhir yang dianggap penting merupakan dua buku klasik, yaitu Wu Ching ( lima buku klasik) yang terdiri atas Shu Ching (kitab sejarah- The Book of History), Shih Ching (kitab syair- The Book of Song), I Ching (kitab Perubahan-The Book of Changes), Li Chi (kitab adat atau Upacara- The Book of Rites), Ch’unn Ch’iu ( Kitab Catatan Musim Semi dan Rontok- The Annals of Spring ang Autumn) dan Sze Shu ( empat kitab) yang terdiri atas Lun Yu (kumpulan percakapan Conficius), Meng Tze Shu ( The Mencius), Ha Hsueh ( The Great Learning, ajaran besar), Chung Yung (doktrin of the Mean).
Seratus Aliran Filsafat
Akhir zaman Dinasti Chou ditandai dengan perkembangan kebudayaan klasik dan filsafat yang memberikan dampak terhadap pertumbuhan kebudayaan Cina selanjutnya. Pada masa ini dikenal juga istilah seratus aliran filsafat yang dilatarbelakangi oleh perkembangan aliran-aliran filasafat pada zaman itu. Disamping itu, hal ini diperkuat semakin memuncaknya pertentangan-pertentangan politik yang mengakibatkan timbulnya kesadaran akan moral dan politik.
Permasalahan yang sedang dihadapi para filsuf pada saat itu adalah upaya penyelamatan masyarakat yang sedang mengalami krisis politik. Hal ini semakin memperketat persaingan yang terjadi antar filsuf pada zaman itu. Dilain hal, pada zaman ini juga terdapat filsuf yang tidak diakui hingga menimbulkan kekecewaan bahkan mereka mengembara keberbagai tempat yang akhirnya menyebarkan aliran-aliran filsafat ke daerah asalnya.
1. Confusianisme
Diantara filsuf yang masa hidupnya banyak mengalami kekeceawaan dan kurang mendapat penghargaan adalah Confucius. Menurut kisah dan dongeng dalam tradisi yang bersifat biografi, Conficius berasal dari keturunan golongan bangsawan yang tidak mampu. Namun, ada yang menduga ia bersalah dari kaum bangsawan Dinasti Shang. Conficius dilahirkan dinegara Lu yang sekarang bernama Chu Fu.
Anggapan dan pandangan Conficius tidak dapat diketahui dengan pasti, karena tidak ada pandangan dan ajaran yang ditulis. Namun, menurut cerita tradisi, Conficius menyusun kitab Shu, Ching, Shih, dan Chun Chiu. Sementara itu, orang yang dinggap sebagai pendiri Conficius adalah Chou Kung. Dalam hal ini Conficius hanya melanjutkan dan memelihara pemikiran dan tradisi tersebut. Ia membela dan mempertahankan ajaran dasar-dasar masyarakat feodal. Ajarannya tentang moral diperuntukkan bagi golongan atas yang memerintah.
Ajaran yang disampaikan oleh Conficius disebut Confucianisme. Rakyat dan masyarakat Cina menyebutnya sebagai Ju Chiau atau ajaran agama terpelajar. Didalam ajaran Confocius terdapat anasir-anasir dari kultus astral zaman dinasti Chou yaitu kultus pemuja langit. Dasar dari ajarannya adalah tentang Tao yang boleh dianggap sebagai aliran universal (kesemestaan). Dalam hal ini, manusia harus berkelakuan harmoni dalam masyarakat berdasarkan partriakhal. Sedangkan ikatan-ikatan dalam keluarga bersifat unilateral(satu pihak). Dengan demikian, kerajaan-kerajaan yang ada di Cina berbentuk Negara patrimonial dengan raja sebagai bapak Patriakhal.
Konsep Conficius disatukan dalam kultus pemujaan langit, sistem keluarga, dan negara. Dalam konsep ini, masyarakat dan negara diletakkan dalam hubungan sebagai hubungan dari kosmos dan ketertiban hubungan sosial dibagi dalam lima hubungan yang disebut Wu Lun, yaitu:
a. hubungan antara raja atau pemerintah dengan rakyat
b. hubungan ayah dan anak
c. hubungan suami dan istri
d. hubungan kakak dan adik
e. hubungan kawan dan kawan.
Pemerintahan yang baik dirumuskan oleh Conficious dalam ungkapan Chun-chun, Chen-chen, Fu-fu, Tze-tze ( bila raja menjadi raja, mentri menjadi mentri, ayah menjadi ayah, dan anak menjadi anak) yang memliki arti bahwa setiap unsure dari sebuah negara yang bersangkutan harus menjalankan kewajibannya dengan benar dan penuh tanggung jawab. Disamping itu, upacara memiliki peranan penting dalam Conficianisme disegala bidang, baik materil maupun spiritual dengan memahami konsep Li (decorum atau konsep lahiriah sopan santun).
Confusianisme memilki lima prinsip dasar yaitu: Kecerdasan atau penetahuan ( Shin), kejujuran ( Chih), perikemanusiaan( Jen), kesetiaan dan kebaktian ( I), dan tata cara adapt ( Li). Diatas dasar itu, seseorang harus memelihara lima hubungan sosial yang bukan hanya semata-mata merupakan ketertiban sosial tapi juga merupakan sebagian dari aibat tata tertib agung dalam kosmos dengan cara menyempurnakan tingkah laku dan mental.
Menurut Conficius yang dicita-citakan oleh negara adalah para pegawai pemerintah yang mempunyai budi luhur yang sangat bagus. Ia bertingkah laku dan berbuat sebagaimana seorang bengsawan.
Menurut prinsip-prinsip Tao, seorang raja harus mampu menjalankan pemerintahannya berkat Te. Struktur pemerintahannya tidak menggunakan kekerasan dan paksaan. Raja yang mendahulukan sikap tiran dan selalu mengedepankan kekerasan berarti raja yang tidak mempunyai Te. Akibatnya, T’ien Ming akan dialih pindahkan dan tercabut dari raja lalim tersebut yang mengakibatkan timbulnya bencana-bencana alam, kekacauan dalam pemerintahan dan masyarakat, dan berbagai pemberontakan rakyat.
Teori T’ien Ming merupakan gagasan dari Chou Kung. Nama Chou Kung sangat dimuliakan dan dihormati sebagai tokoh sejarah. Menurut anggapan dan pandangan tradisional ,sejarah Cina terbentuk dari zaman Chou Kung yang berasal dari gagasan tertentu yang sangat fundamental dalam pemikiran Conficius. Menurut hipotesis H.G Creel, teori T’ien Ming diciptakan dan disosialisasikan pada masa Dinasti Chou untuk mengonsolidasikan dan mempertahankan posisi dan kedudukannya. Dokrin tersebut dikonsepsesikan untuk pertama kalinya setelah Dinasti Chou berhasil menaklukan Dinasti Shang.
Dalam perjalanan sejarah Cina hingga abad dua puluh, penggunaan pola alih pemindahan T’ien Ming menjadi sebuah tradisi yang menjadi kaum pembenar bagi kaum pemberontak. Partai Revolusioner yang dipimpin Dr. Sun Yan Sen pernah memakai sebutan “perkumpulan untuk memindahkan mandat” (The Association for Changing the Decree). Doktrin tersebut dianggap sebagai undang-undang dasar Cina pada zaman pemerintahan dinasti-dinasti. Doktrin terpentig dari teori tersebut adanya penegasan tentang sebab-sebab pemindahan yang terjadi pada konsepsi T’ien Ming. Doktrin T’ien Ming diciptakan oleh Dinasti Chou dalam rangka propaganda politik dan menjadi sangat penting yang emrupakan dasar (fundamental) dari ideologi negara Cina menurut konsep Confusianisme.
Dalam konsep kosmis-religio-magis mengenai susunan masyarakat dan negara, posisi kaisar yang berkuasa di Cina bersifat sacral-universal. Pandangan tradisi Cina tentang sakral-universalitas dari kerajaan dan kaisarnya menunjukkan sikap etnosentrisme. Konsep itu menegaskan bahwa bangsa sendiri bukan saja sebagai pusat universum (jagat raya) tetapi bangsa yang memiliki nilai manusiawi.
Conficius mempunyai cita-cita sosial yang disebut Ta Tung (persamaan luhur). Ada yang menyebutkan bahwa Conficius adalah seorang agnotikus. Menurut pandangan Conficius, bakat setipa manusia sama dan faktor yang menimbulkan perbedaan dalam kelakuannya adalah kebiasaan (custom).
Menurut tradisi yang berkembang, Conficius telah memunculkan dan menyusun Shih Ching, Shu Ching, dan Ch’un Chiu. Bahkan ia disebut telah menulis ulasan, komentar dan interpretasinya tentang kitab I Ching. Satu-satunya buku yang dapat dijadikan sumber untuk mengetahui kepribadian dan buah pikiran Conficius hanyalah Yun Lu.
Sepeninggal Conficius, ajaran-ajaran yang dikembangkan dan disosialisasikan muridnya Meng Tzu ( Meng Ko) yang dimuat dalam Mencius dan Hsun Tzu ( Hsun Kung). Menurut cerita, Mencius hidup antara 372-228 SM yang berasal dari negara Lu. Ajarannya banyak terdapat dalam kitab Tzu Shu ( kitab Mencius).
Pandangan Mencius tentang pemerintahan dan kekuasaannya terabadikan dalam ungkapan Min Wei Kuo (rakyatlah yang paling utama). Sementara itu, mengenai bakat Conficius mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan bakat yang sangat baik. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Hsun Tzu yang menyatakan bahwa bakat manusia itu sangat jahat yang dapat diperbaiki melalui ilmu pengetahuan dan peradapan. Didalam pertumbuhan aliran Conficius, pengaruh Hsun Tzu lebih besar daripada Mencius.
Ajaran Mencius tidak mengalami perkembangan sepanjang zaman Chung Kuo karena tidak berhasil mempengaruhi kalangan yang berkuasa dan banyak ajaran lain yang menjadi saingan.
Pada zaman Dinasti Ch’in (221-107 SM) bencana paling besar yang dialami Confucianisme karena adanya larangan dsri kaisar yang berkuasa. Sebaliknya pada zaman dinasti Han ( 206-229 SM) justru Conficius yang berkuasa hingga menjadi ideologi negara. Sementara itu, pada zaman Dinasti Shuang, Confucianisme mengalami pembaharuan yang dilakukan para pemikir zaman itu, seperti Chi Shi (1130-1220). Shin Chi dianggap berhasil menyusun Conficius dengan sistematis dan terstruktur. Ia juga berhasil meluncurkan ajaran baru yang disebut Neo-Conficianisme atau Confusianisme baru. Menurut interpretasi Chu Shi dan orang Cina kebanyakan Noe-Confusianisme ini disebut sebagai mazhab Li.
Sejak zaman Dinasti Han, Confusianisme dijadikan agama negara dalam bentuk pemujaan langit.bangunan suci yang terpenting yang dimilki keyakinan ini adalah Altar. Letak, bentu dan ukurannya mencerminkan lambang-lambang dan azas Yang. Conficius dipuja-puja dalam kuil yang didirikan disetiap distrik diseluruh kerajaan. Dua kali dalam setahun, para pembesar daerah harus melakukan kebaktian dikuil Confucius atas nama kaisar.
2. Taoisme
Ajaran filsafat yang terbesar, terkenal dan termansyur setelah Conficius adalah Totaisme. Pendirinya adalah Lao Tzu ( Laocius) yang bearti Puajangga Lao atau Pujangga Tua. Menurut tradisi, Lao Tzu hidup sezaman dengan dengan Conficius bahkan disebut lebih tua. Tapi, menurut ahli sejarah, ajaran filsafat ini timbul dan berkembang pada pada akhir abad ke empat SM. Kitab hasil karangan Lao Tzu adalah Tao Te Ching (buku klasik tentang Tao da Te).
Ajaran yang dikembangkan Lao Zhu bertujuan untuk memelihara harmoni antara kehidupan manusia di dunia dan hokum universal alam jagat raya (law of natural) yaitu Tao. Dalam ajaran ini, pemikiran dipusatkan pada hubungan manusia dengan pencipta. Hakekat pemahaman Tao yang diselami Lao Zhu pun melalui jalan mistis (mistic path) yang digunakan sebagai pemersatu Tao dengan kekuatan sang pencipta. Atas dasar itu, ajaran yang dikembangkan Lao Zhu dalam konsep Tao nya terlihat lebih bersifat agama (religius).
Pada abad empat SM ( 369-286 SM) ajaran Lao Zhu dilanjutkan oleh Chuang Tzu yang memiliki nama Chou. Kadang Ia juga dikenal sebagai Chuang Chou. Dalam hal ini, Ia memberikan kesan sebagai seorang penulis yang mengungkapkan kecaman-kecaman, kritik, dan memberikan sense of humor yang tinggi. Disamping itu Ia juga memberikan kesan sebagai seorang anrkis-revolusioner individualis yang kental. Kitab yang dsitulisnya adalah eksplanasi tentang mimpinya menjadi kupu-kupu.
Sepanjang abad kemudian ajaran ini mengalami perkembangan namun, banyak mengalami penimpangan ( distorsi). Penyimpangan tersebut bersifat mistis yang jauh dari mistis sebagai ajaran Lao Tzu. Disamping itu, pada mazhab ini terdapat tiga ajaran yang dikenal juga dengan Tridarma yaitu: menikah berdasarkan ajarana Budha, Hiduo berdasarkan ajaran konghucu, dan meninggal berdasarkan totaisme.
3. Mohisme
Ajaran Mohisme didirikan oleh Moti atau Mo Tzu yang hidup kira-kira pada 479-381 SM yang berasal dari wilayah Lu. Ajaran ini disebut sebagai ajaran Mohisme yang revoliusioner dan sangat kontradiktif dengan ajaran Conficious yang konservatif. Hal ini disebabkan karena didalam ajarannya ini, Ia memiliki pandangan yang sangat revolusioner terutama mengenai susunan masyarakat dan menentang perbedaan yang tajam dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, ia berusaha untuk mengubah susunan masyarakat, menghapuskan perbedaan golongan, dan mengganti prinsip-prinsip yang fundamental.
Didalam ajaran ini, Mo Zhu juga mengajarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Yen dan Li yang diakui sebagai dasar suatu format masyarkat dan menggunakn kopnsep ajaran Tao sebagi sifat kepribadian dari sang pencipta. Disamping itu, Ia mengajarkan tentang makna penting dari sikap disiplin yang keras dan hidup sederhan, hemat,cermat, dan patuh kepada pemimpin.
4. Sophisme
Bersamaan dengan kemunculan Chuang Tzu dari mazhab Totaisme, kira-kira pada abad empat SM muncul pemikir-pemikir yang dikenal dengan kaum Sophi (dialektrisan). Para pengikut mereka banyak tersebar di Negara Chi dan Wei. Cara pemikiran kaum ini yang sistematis memberikan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat Cina dan mempengaruhi para pemikir yang hidup pada abad tiga SM, antar lain Meng Tzu dan Shun Tzu.
Munculnya kekacauan dan kerusuhan pada zaman Dinasti Chou menyebabkan ajaran-ajaran yang dikembangkan kaum Sophi sangat sedikit. Hal ini sangat merugikan perkembangan filsafat Cina.
5. Individualisme
Egoisme menjadi dasar ajaran bagi kaum individualis yang diajarkan oleh pemikir sebagai puncak kebajikan terpenting. Konsep kaum individualis tentang hubungan antarsesama harus mengutamakan sendiri sangat kontradiktif dengan kebanyakan pemikir sebelumnya. Dalam hal ini, Yang Chu dikenal sebagai seorang individualis yang sangat ekstrim pada abad empat. Ia adalah seorang pemikir yang pesimistis, cenderung tertarik pada paham sinisme, sangat egosentris dan tidak menghiraukan segala macam kegiatan orang lain.
Ucapan kaum individualis yang sangat mansyur adalah ” jika dunia ini dapat diselamatkan atau dihancurkan hanya dengan memegang sehelai rambut kepal atau dengan mengerakkan salah satu jari tangan, Ia tidak akan melakukannya”. Ia tidak peduli apakh masyarakt menjadi baik atau tidak, kacau atau hancur. Hanya kepentingan pribadilah yang harus dipertahankan.
6. Legalisme
Filsafat yang tergolong sangat penting dalam perkembangan menuju terbentuknya Negara kesatuan Cina adalah ajaran Filsafat penganut paham Fa Chia. Kaum Fa Chia lazim disebut sebagai kaum Legalis, tapi siapa pendirinnya tidak jelas. Jadi Fa Chia sama dengan Fa yang berarti undang-undang atau hukum dan pahamnya legalisme. Namun, menurut tradisi Cina, ajaran Fa Chia dikembangkan oleh Kuang Chung salah satu mentri dari negar Chi pada abad tujuh SM Ajaran tersebut merupakan campuran dari berbagai aliran pemikiran dengan car mengambil pokok-pokok tertentu yang dianggap berguna dan praktis. Ajaran-ajaran pada masa ini merupakan kontradiksi-kontradiksi kolot yang konservatif.
Didalam ajaran dan konsepsi legalisme terdapat pengaruh-pengaruh dari ajaran Conficiounisme, Mohisme, dan Sophisme.
Salah seorang Legalis yang terkenal adalah Shang Yang yang dikenal dengan nama Wei Yang atau Sun Yang. Ia adalah penganjur dan pendukung politik totalitarisme serta mengikuti pendapat dan paham machiavelisme. Dalam hal ini, pandangan politiknya terdapat dalam bukunya yang terkemuka Shang Chun Shu ( The Book of Lord Shang).
Legalis yang termansyur adalah Han Fei Tzu dan Li Zhu. Mereka beranggapan bahwa manusia pada dasarnya jahat dan akan sia-sia memperbaiki masyarkat dengan propaganda dokrin yang idealis. Han Fei Zhu adalah seiorang pemikir legalistis yang tangkas dan cerdas yang berasal dari Negara Han.
Oleh : Raden Ningtias Zulkarnaen
DINASTI CH’IN DAN HAN
1. Dinasti Ch’in
Dinasti Ch’in merupakan dinasti yang paling pendek usianya, ada tiga kaisar yang pernah memerintah dinasti ini, yakni Ch’in Shih Huang ti, Erl Shih Huang Ti, dan Tze ying, walaupun usia dinasti Ch’in tidak bertahan lama, namun membawa pengaruh yang besar karena pada masa ini terjadi pembentukan Sejarah dan Kebudayaan Cina, dan pada masa Shih Huang Ti lah terjadi gerakan revolusi besar di Cina.(Rochiati, 2003 : 133)
Pada mulanya, Negara Ch’in merupakan Negara kecil yang terbentuk kira-kira 900SM sebagai Negara Wei Kuno yang sebagian wilayahnya sekarang masuk kedalam wilayah provisi Kanshu, sedangkan sebagian masuk kedalam wilayah Shensi, karena ancaman yang tiada henti dari suku nomad di sepanjang perbatasan sebelah barat laut, wilayah Ch’in kemudian tukmbuh m,enjadi wilayah yang militensinya tinggi.Diduga bahwa penduduk Ch’in merupakan penduduk yang banyak memiliki percampuran darah dari bangsa proto-tartar atau proto-Turki dan Mongolia, serta dari bangsa Porto-Tibet. Pada 359SM, tepatnya pada masa Dinasti Chou, salah seorang perdana menteri bernama Shang-Yang (358-338)SM, melancarkan perubahan secara besar-besaran tentang struktur organisasi sosial-politik, perubahan tersebut juga menyentuh sistem pembagian tanah yang dihapuskan dan digantikan oleh sistem kepemilikan tanah, khususnya untuk para petani, peraturan baru ini menetapkan bahwa tanah boleh diperjualbelikan, Melalui peraturan baru ini, sistem feodalisme dalam kepemilkan tanah mulai dihapuskan.(Rochiati, 2003 :134)
Sistem ini menganut ajaran filsafat Fa Chia (legalisme) yang bertujuan untuk menguasai dan mengendalikan wilayah daratan Cina. Upaya tersebut diperkuat dengan pendirian wilayah ibu kota Negara yang megah yang dikenal dengan nama Hsien Yang (sekarang berdekatan dengan kota Si-an). (Rochiati, 2003 : 134)
Pada 246 SM, raja Ying Cheng naik tahta diatas singasana kerajaan Ch’in bersamaan itu, datanglah seorang pemikir yang cerdik bernama Li Zsu yang berasal dari Shangtsai, oleh Ying Ceng, ia diangkat sebagai perdana menteri pertama (237-208 SM), sebagai perdana menteri, ia melanjutkan pekerjaan yang dirintis Shang-Yang yaitu semua rival Negara Ch’in dihancurkan, dengan demikian tak ada lagi sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Dinasti Chung Kuo (sebagai kerajaan sentral) dan Wei Kuo (sebagai kerajaan vazal), karena sekmua telah terkubur dan terlebur dalam persatuan kerajaan Cina yaitu kerajaan Ch’in (Rochiati, 2003 :134).
Setelah penyatuan kerajaan selsai, Ying Ceng mulai memakai dan mensosialisasikan gelar Shi Huang-Ti (Ch’in Shih Huang-ti 221-209 SM), ia memakai gelar itu karena ingin menunjukan bahwa ia lebih hebat dan pandai, sempurna daripada tiga raja dan lima kaisar terdahulunya, sehingga ia berusaha menunjukan kelebihan-kelebihan yang ia miliki, ia memakai gelar tiga raja dan lima kaisar yaitu Huang dan Ti. I a memakai gelar itu dan meyakinkan penuh percaya diri bahwa kerajaan yang dipimpinnya akan bertahan lama dan dapat bertahan dar serangan kerajaan manapun, tak dapat disangkal bahwa kaisar Shih Huang-Ti memang terbukti berhasil dalam memerintah kerajaan, ia memimpin kerajaan sejak usia 13 tahun, keberhasilannya memimpin kerajaan karena didukung letak geografis kerajaan yang strategis, sehingga dengan mudah dapat melakukan serangan ke Negara lain, selain itu kerajaan Ch’in memiliki ahli tata Negara yang pandai, seperti Hertog Mu, Hertog Hsiao, Shang Yang, Lu Pu Wei, Han Fei Tzu, dan Tsun Zu. (Rochiati, 2003 :135)
Dengan penyatuan-penyatuan seluruh kerajaan Cina itu, makin membuat kerajaan Ch’in semakin kuat, bahkan dengan begitu kaisar Shih Huang Ti menunjukan bahwa kaisar agung pertama yang memerintah secara turun-temurun. Kaisar Shih Huang Ti mengeluarkan dekrit bahwa yang nanti akan menggantikannya akan disebut kaisar kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada 221 SM wilayah kerajaan Ch’in semakin diperluas sampai ke tenggara, yakni daerah yang dikuasai bangsa Yuen, ekspansi itu kemudian diarahkan ke bagian selatan, pada 214 SM, pasukan dinasti Ch’in melakukan penyerbuan hingga ke lembah sungai merah di Tonkin (Vietnam Utara). (Rochiati, 2003 :135)
Orang yang menggagas proses unifikasi Cina adalah perdana meteri Li Szu, dapat dikatakan bahwa Li Zsulah yang memegang peranan penting dalam upaya penyatuan dinasti-dinasti di Cina, langkah-langkah upaya yang dilakukannya dalam menyatukan dinasti-dinasti Cina antara lain:
1. Penghancuran Feodalisme: faham kebangsawanan, Kekuasaan yang dipegang oleh bangsawan (aristokrat) dihapuskan, sedangkan tanah-tanah, Milik mereka disita Negara dan diserahkan terhadap petani.
2. Penerapan sistem keseragaman sistem bahasa tulisan (uniformasi sistem bahasa)
3. Penyeragaman sistem mata uang, ukuran, dan timbangan
4. .Penyeragaman pemakaian sumbu-sumbu roda, agar setiap kendaraan memiiki panjang sumbu roda yang sama. (Rochiati, 2003 :136)
Selain itu proses raksasa yang dibangun pada masa Dinasti Ch’in adalah pembangunan dinding tembok besar Cina, keberadaan tembok raksasa ini memilki dua fungsi yaitu:
1. Pembatas secara tegas batas wilayah teroterial Cina asli dengan bangsa-bangsa nomad yang berada di padang rumput utara dan barat laut.
2. Mendirikan benteng pertahanan yang ditempatkan di perbatasan barat laut terhadap serangan suku barbar karena suku bangsa Hsiungnu merupakan musuh terbesar bagi kerajaan Cina asli.
Kaisar Shih Huang Ti digolongkan oleh Otto Franke dalam kelompok empire bulders, atau pendiri kerajaan-kerajaan besar, ia memiliki sikap keras dan disiplin yang kuat karena merupakan hasil didikan ideologi legalisme, ia juga dikenal sebagai kaisar tangan besi, egois, dan melarang seluruh aliran filsafat, kecuali legalisme, ia juga menerapkan sistem hukum mati namun kebijakan hukum mati itu ditolak oleh sebagian rakyat Cina, karena ia memimpin dengan tangan besi, tidak mengherankan bahwa ia terlibat dalam upaya pembunuhan, sehingga dalam hidupnya dipenuhi rasa ketakutan. Kaisar ini juga dikenal sebagai kaisar yang takut mati, sehingga setiap perjalanannya, ia bukan hanya melihat kesetiaan rakyat padanya tapi ia juga meminum obat penangkal mati. (Rochiati, 2003 :138)
Dalam perjalannya terakhir terjadi pada 210 SM, kaisar jatuh sakit dan meninggal pada usia 50 tahun, sebelum meninggal ia berpesan agar putera mahkotanya, Fu Su yang dahulu pernah di usir, agar menggantikannya. Tetapi o0leh perdana menteri Li Zsu dan seorang kasim, isi wasiat itu dirubah, yaitu menyeru kepada putera mahkota untuk segera bunuh diri. Sehingga yang akan menjadi kaisar pengganti adalah Hu Hai, putera kedua Shih Huang Ti yang dinobatkan sebagai kaisar dengan memakai gelar Erl Shih Huang Ti, namun ia memerintak tidak sehebat ayahnya namun gaya pemerintahan yang sama melekat adalah ia seorang tangan besi, karena ia dibwah pengaruh Chao Kao, kaisar Hu Lei banyak membunuh para pembantu kaisar Shih Huang Ti. (Rochiati, 2003 :139)
kaisar pertama menimbulkan kehancuran bagi kerajaan Ch’in, banyak terjadi pemberontakan, kaum pemberontak terdiri atas bekas para bangsawan Dinasti Chou yang kecewa karena mersa tersisih, dan juga para petani miskin yang merasa tertindas, Chao Kao memberikan pengaruh besar pada masa pemerintahan kaisar kedua, ia membunuh kaisar kedua namun sebelumnya ia membunuh perdana mentri LI Szu padahal dulunya mereka satu komplotan, akhirnya Chao kao menobatkan Fu Su yang dulunya pernah dinobatkan oleh Shih Huang ti, ia menjadi kaisar ketiga. (Rochiati, 2003 :140)
Pada masa pemerintahan kmaisar ketiga, tidak membuat kerajaan Ch’in lebih baik dan berkembang karena ibukota berada dalam kepungan para pemberontak, yang dibawah pimpinan Hsiang Yu, seorang bekas bangsawan dinasti Chou, ibukota kerajaan akhirnya jatuh kepada Hsiang Yu namun, ia dikalahkan oleh pembantunya sendiri yang bernama Liu Pang yang berasal dari keluarga petani di daerah hulu sungai Han, Liu pang kemudian mendirikan dinasti Han, dianasti Han dipandang sebagai dinasti pemberontak yang berasal dari kalangan petani di Cina, Dinasti Han dianggap resmi berdiri pada 206 SM, tetapi sebenarnya dinasti Han berdiri pada 202 SM ketika Liu Pang mengalahkan Hsiang Yu.(Rochiati, 2003 : 141)
2. DINASTI HAN (206 SM-220 M)
Di bekas kerajaan Hsien Yang, didirikanlah ibu kota baru yang bernama Chang-an, pada zaman ini timbulah golongan tuan tanah corak baru yang pada perkembangan beriktnya memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Zaman dinasti Han terbagi dua oleh keadaan interregnum dinasti Hsian debgab hanya seorang kaisar bernama Wang Mang (9-24 M), dengan demikian terdapat dua dinasti Han yaitu His Han atau Han Barat dan Tuang Han atau Han Timur (25-220M. (Rochiati, 2003 :141)
Kerajaan atau Dinasti Han merupakan warisan dari Dinasti Ch’in, perbedaaanya adalah pada dinasti ini memiliki dasar ideologi dau, konsep filsafat Confucianisme yang disintesiskan dengan warisan kebudayaan Dinasti Chou dan Dinasti Chin. Kaisar pertama yang terkenal adalah Han Kau Tzu (206-195 SM), Sejak Zaman dinasti Han sampai Dinasti Yuan (1260-1368) dan Dinasti Ming (1368-1644), buku-buku sejarah Cina biasa menyebut kaisar dengan nama kuilnya.
Pada zaman Dinasti Han, kedudukan dan posisi para tuan tanah yang bercorak baru semakin kuat, mereka yang pada masa dinasti Ch’in memegang peranan penting, selain itu timbul pula para kelompok baru yang memperoleh status kelas tinggi (High Class). Ketinggian status ini diperoleh melalui prestasi dan keberhasilannya menempuh ujian pegawai sipil yang diberlakukan masa dinasti Han. (Rochiati , 2003 :142)
Zaman Dinasti Han memiliki kenangan tersendiri bagi aliran filsafat Confucianisme, Dengan bantuan orang-orang yang setia kepadanya, aliran filsafat Confucianisme dihidupkan untuk mengikuti upacara-upacara pada masa dinasti Chuo, untuk memuliakan dan mengagungkan dinasti ini. Orang-orang terpelajar yang mahir dalam pengetahuan buku-buku klasik Dinasti Han. Untuk menempati jabatan-jabatan khusus di pemerintahan karena tidak semua orang dapat membaca buku-buku klasik.(Rochiati, 2003 :146)
Pada masa pemerintahan Dinasti Han Wu Ti (14-87) , dasar-dasar ujian untuk untuk jabatan pemerintahan sipil mulai disusun dan diberlakukan. Untuk memenuhi kebutuhan pegawai dan standar tertentu maka diberlakukanlah sipil (civil service ezaminition), mulai disusun dan diberlakukan, dengan tujuan mendidik dan menghasilkan pegawai yang cakap mahir dan menguasai ideologi confucianisme. (Rochiati, 2003 : 147)
Dinasti Han pada masa Han Wu Ti terbentuk menjadi suatu negara gantry yaitu kaum terpelajar, kelompok ini dinamai kaum gentry karena merupakan kelas feodal yang menggantikan bangsawan dari dinasti Chou, ideologi confucianisme dijadikan dasar dan fondasi itu dituangkan pahamdan ideologi dinasti Chou yang berdasarkan pada doktrin T’ien Ming, orang-orang yang berasal dari kaum Gentry yang menjadi pendukung dan pembina aliran Confucianisme, Dinasti Han berhasil melakukan sintesis diantara dua corak pemerintahan yaitu, corak pemerintahan hin masih berkuasa birokrasi sentralisme), sedangkan zaman Dinasti Chou yang menggunakan odeologi berdasarkan doktrin T’ien Ming menurut tafsiran Confucianisme. (Rochiati, 2003 :147).
Pada masa Han Wu Ti, Dinasti Han melakukan perluasan wilayan ke daerah sebelah utra dan barat. Perluasan itu sesuai dengan nama kaisar masa itu yakni Bya Wu Ti, artinya kaisar elang, Han Wu Ti melakukan peperangan dalam usahanya untuk memperluas kekuasaanya, Espansi utra dilakukannya ke daerah Manchuri dan Korea, sedangkan barat ke daerah Knshu dan muai masuk ke Asia Tengah melewati tanah tinggi pamir ke Turkestan Barat, melalui jalur sutera dan dengan perantara bangsa Parthia, mereka menjalin hubungan dengan Negara-negara yang ada di sekitar laut tengah, yaitu imperium Romawi. Dari negara yang berajaran Kristen Katholik pengaruh pun mulai masuk ke Cina selain itu pengaruh India pun masuk ke Cina. Sesungguhnya ekspansi ke sebelah barat merupakan tindak lanjut dari peperangan sebelumnya yang pernah terjadi dengan bangsa Hsiungnu, saat dinasti Chin masih berkuasa.(Rochiati, 2003 :147)
Pada masa Dinasti Chin seorang pemimpin tertinggi diantara mereka yang bergelar Khan, yang dalam bahasa Cina lazim disebut istilah Cina Chan Yu, ketika dinastiChin sedang mengalami masa-masa kehancuran Hsiangnu yangyang menguasai seluruh daratan Mongolia sekarang, pada thun 201, Han Kau Tzu menyerang Hsiangny tetapi kaisar Han Kau Tzu tertawan oleh bangsa Hsiangnu, karena itu, ia terpaksa membeli dan melakukan perdamaian kepada Mao Tun, upeti dibayarkan bangsa Cina dan bagsa barbar yang bertentangan dengan ideology Cina. (Rochiati, 2003 : 148).
Kendati sebuah dianst yang berani melakukan tindakan “Membeli Perdamaian” karena setiap tahun ia harus membayar sutera, gandum, dan arak. Tindakan penyerbuan dan dan penyerangan bangsa Hsiangnu dalam wilayah Cina masih sering terjadi, atas dasar itu Kaisar Han Wu Ti,memperkuat pertahananya di perbatasan Barat Laut dengan cara memperkuat penjagaan dinding tembok besar dan mengadakan peternakan kuda di daerah itu. Latihan Kavaleri (pasukan berkuda) yang semula diidentifikasikan ke daerah perbatasan itu lalu dipindahkan oleh petani dengan tujuan strategi perang. Siasat perang yang bersifat defensif yang digagas oleh Han Wu Tiba segera diganti dengan strategi ofensif yang tujuan utamanya untuk menghancurkan kekuatan Hsiang Nu, serangan-serangan berikutnya dilanjutkan untuk melakukan penaklukan wilayah Asia inabangsa Cina, misalnya bangsa Yueh Chil (Cakya) yang sebelumnya pernah didesak oleh bangsa Hsiangnu ke sebelah barat sehingga mundur ke sebelah sungai Ii di Turkestan Barat. Kemudian bangsa Yueh Chih mundur melalui sungai Sogana di daerah Sungai Yaxartes (Sydarya) dan sungai Oxus. Akhirnya mereka berhasil menduduki wilayah Bachtria, sebuah kerajaan independen yang didirikan 300 SM dan dipengaruhi aliran Hellenisme.(Rochiati, 2003 :149).
Penaklukan Asia Tengah oleh bangsa Cina diikuti oleh hubungan perdagangan , hal itu dipandang dari adanya kesepakatan jalur sutera.Setelah bangsa Hsiangnu dapat diusir dari seluruh perbatasan barat Laut Cina Asli, berbagai wilayah Turkistan Timur terikat kesepakatan ina pada zaman Hsiang Nu disebut “Pemotongan Tangan Kanan”, Tindakan ini dilakukan untuk merupakan bangsa paling berbahaya, musuh Cina paling mmembahayakan. (Rochiati, 2003 :149)
Han Wu Ti mengirimkan ekspedisi ke sebelah selatan Cina asli hingga Vietnam, Ekspansi dinasti-dinasti Cina pada masa Dinasti Han Barat semakin membulatkan proses sinifikasi dilakukan melalui melalui pendekatan peperangan yang menimbulkan beban berat dan kesengsaraan bagi petani, padahal baiaya peperangan dibiayai oleh pajak petani, sehingga para petani yang kehilangan hak atas tanahnya menjadi penyewa untuk menggarap tanah yang dimilik kaum Gentry.(Rochiati, 2003 : 150).
Sepeninggal; kaisar Han Wu Ti, kekuasaan dinasti Han mulai melemah, orang-orang yang berasal dari keluarga permaisuri, berusaha mendapatkan posisi agar tetap berpenagruh hingga menjadi panglima tentara atau setidak-tidaknya menteri, dalam kerajaan. Saat bersamaan krisis melanda negeri itu, hingga menjadi pemicu pemberontakan petani. Dalam kondisi tersebut,seorng anggota kerajaan bernama Wang Mang menjadi wali untuk kaisar yang berumur delapan tahun. Pada tahun 5 M, kaisar itu meninggal dan menobatkan seorang bayi menjadi penggantinya, namun pada tahun delapan M, kaisar cilik itu diturunkan dan digantikan oleh Wang Mang sendiri, yang mendirikan Hsin (8-24 M) dan disebutkan pula pada masa Dinasti Hsin terjalin hubungan dengan kerajaan di Indonesia.(Rochiati, 2003 : 150).
Dalam catatan sejarah, masa pemerintahan kaisar Wang Mang hanya merupakan interregnum pada masa dinasti Han, saat itu kaisar Wang Mang merencanagkan program semua harta Negara untuk para petani, kaisar itu mengeluarkan kebijakan yang melarang perdangan budak namun sayangnya perdagangan budak itu belum dihapuskan, mengadakan monopoli Negara atas pembuatan mata uang, garam, besi, minuman keras, pertambangan, dan hasil-hasil sumber daya alam lainnya. Wang Mang mengeluarkan kebijakan tersebut untuk memperbaiki kehidupan petani, karena itu kebijakan barunya terkenal dengan gelar “Penganut Sosialis yang Setia” namun pemerintahannya gagal akibat korupsi yang parah disebabkan oleh kaum Gantry, mereka merasa dirugikan oleh program nasionalisasi agrarian (pertahanan), krisis Agraria puntetap melanda kerajaan, bahkan letusannya tampak semakin kuat dalam pembrontakan petani dan dilaksanakn pula penyerbuan oleh suku bangsa Hsiangnu.(Rochiati, 2003 : 151).
Salah seorang anggota keluarga Liu Pang yang bernama Liu Hsiu dengan dukungan kaum Gentry berhasil menaiki dan menaiki tahta singasana keajaan dan mendirikan dinasti Han baru, yaitu Han Timur (25-220) yang beribu kota Lo, menurut konsepsi doktrin T’ien Ming, pemindahan dinasti dilakukan kaum Gentry karena setiap diansti yang didirikan tidak akan pernah berhasil melakukan konsilidasi internal. (Rochiati, 2003 :151).
Orang yang menjadi kaisar pertama dalam dinasti Han Timur yang terkenal adalah Kuil Kuang Wu Ti (25-27). Pada mulanya serbuan-serbuan dan penyerangan yang dilancarkan oleh bangsa Hsiangnu dihadapi dengan sikap defensif, tetapi semenjak kaisar Dinasti Han Timur meninggal, sikap defensife mulai ditinggalkan dan mulai melaksanakan sikap ofensif terhadap suku bangsa Hsiungnu.Untuk kedua kalinya tindakan ofensif membuka hubungan dengan dunia luarsebelah barat seperi Ta Chin, kerajaan Parthia, Mesopotamia, pada perkembangan selanjutnya kerajaan Kushana dan Parthis menjadi perantara dan partner setia dalam menjalin hubungan antara Cina dan India, serta negar lain di sekitar laut merah, sehingga membuat kebudayaan India dan Helenisme mulai masuk ke wilayah Asia Timur. (Rochiati, 2003 :152).
Pada Zaman Dinasti Han dilakukan kegiatan ilmiah seperti penelitian, penerbitan buku-buku ilmiah, penulisan mulai dikembangkan, sehingga membuat orang-orang dlam dinasti Han terkenal pandai, kemegahan dan kejayaan Dinasti Han akan terus bergema sehingga sebutan umtuk “Putera-putera Han atau orang-orang Han” mulai dipakai oleh orang-orang Cina Utara. (Rochiati, 2003 :153)
kira-kira 100, tepatnya pada masa kaisar keempat dari dinasti Han Timur, Dinasti Han Timur mulai mengalami kemunduran. Di dalam pemerintahan kaisar-kaisar yang masih bocah yang didampingi walinya, kelompok-kelompok pe,berontak mulai bermuculan, mereka terus menggoyangkan kekaisaran yang telah ada dan menyebarkan intrik-inrik ke dalam lingkungan istana yang dibantu oleh kasim, krisi kedua mulai meletus pada akhir abad ke-dua dan awal abad ketiga makin menghangat. Keadaan ini mulai menyebabkan munculnya pemberontakan kaum petani, salah seorang perwira dari suku Wei berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dan kemudaian merebut kekuasaan dan menaiki tahta singasana kekaisaran pada 220. (Rochiati, 2003 :153).
KESIMPULAN
Kawasan Asia Timur merupakan bagian dari wilayah di dunia yang memiliki sejarah dan rentang peradaban. Adapun peradaban yang muncul dikawasan ini tidak terlepas dari peranan Cina. Telah diketahui bahwa peradaban Cina lahir, tumbuh, dan berkembang di lembah Sunai Huang Ho (Yellow River). Berdasarkan kisah sejarah maka hasil dari kebudayaan Cina diawali sejak jaman batu muda yaitu hasil kebudayaan Yangshao (periuk bewarna) dan hasil kebudayaan Lungshan (periuk berkaki tiga) dan kemudian dilanjutkan dengan beberapa hasil kebudayaan lain beserta hasil kebudayaan perunggu.
Negeri Tirai Bambu ini merupakan negara yang dikenal dengan seratus dinasti. Hal ini karena pemerintahan di Cina selalu berpindah dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya. Adapun doktrin T’ien Ming merupakan bagian dari ideologi kerajaan di Cina. Konsep mandat dari langit yang digagas oleh Chuo Kung ini juga dianggap berperan andil terhadap kemunculan dinasti-dinasti di Cina. Adapun Dinasti yang berperan penting dalam sejarah Cina adalah : Dinasti Shang (1523-1028 SM) yang merupakan dinasti pertama di Cina, Dinasti Chou (1050-256 SM) yang terkenal dengan Doktrin T’ien Ming, serta Dinasti Chin (221-207 SM) yang melahirkan kaisar terkuat di Cina serta Dinasti Han (206-220) yang kemudian akan menjadi tiga kerajaan.
Selain dari keberadaan dinasti – dinasti diatas, maka kekayaan peradaban Cina juga terkenal dengan adanya aliran filsafat. Hal inilah yang menjadi pondasi dari kekokohan Bangsa Tionghoa dalam menjalani tradisinya. Beberapa filsafat tersebut antara lain Confusianisme, Legalisme ,Mohisme,Sophisme, Individualisme, dan Taoisme. Berdasarkan sejarah aliran –aliran filsafat ini lahir pada masa Dinasti Chou, dimana dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat dan pertentangan politik. Namun demikian keberadaan ajaran-ajaran inilah yang mendukung Cina untuk memperkaya hasil peradaban dan kebudayaannya..
Dari uraian diatas, maka penulis menarik kesimpulan” bahwa banyak ilmu pengetahuan yang dapat kita peroleh dalam mempelajari Sejarah Peradaban dan Kebudayaan Cina”. Manfaat tersebut tidak hanya sekedar dalam kebutuhan praktis dalam dunia intelektual, tapi juga dapat memberi motivasi kepada bangsa kita ”Indonesia” agar dapat selalu mempertahankan hasil kebudayaan dan peradaban yang kita miliki. Hal ini karena Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan peradaban dan kebudayaan. Namun kenyataannya, kekayaan yang dimiliki tidak dipelihara dengan baik oleh penerus bangsa, selain itu terkadang banyak anak bangsa yang malu untuk mengakui kekayaan dari bangsanya. Maka dari itu marilah kita becermin kepada Cina. Dimana Cina yang kaya hasil peradaban, bangga untuk mengakui kekayaannya, bahkan terus membanggakan apa yang menjadi hasil kebudayaannya. Selain itu kebesaran dan kejayaan dari kebudayaan yang dimiliki bangsa tidak tercermin dari seberapa tuanya kebudayaan itu, akan tetapi dari hasi-hasil yang pernah dicapai (achievement) serta eksistensinya dalam mempertahankan dan mencintai kebudayaan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Berg, Van Den, H.J, 1950. Selayang Pandang Sejarah Tiongkok.
Jakarta : Groningen
Ensiklopedi Negara dan Bangsa, 1987. Jakarta : Grolier International
Filosofis-Historis dan Sosio-Antropologis. Bandung: Humaniora
George, Elizabeth. 1952. Sedjarah Tiongkok Selanjang Pandang. Terjm Ong Pok
Kiat dan Sudarso. Jakarta :Groningen.
Lan, Nio Joe. 2003. Sastra Cina: Sepintas Lalu. Jakarta: Gramedia.
Soeroto. 1962. Indonesia di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke abad.
Jakarta : Djambatan
Wiriaatmadja, Rochiati, dkk. 2003. Sejarah dan Peradapan Cina, Analisis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar