Oleh : Merlina Agustina Orllanda
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di Jawa Barat terdapat Bumi Priangan yang dapat disebut juga Parahiyangan, tempat para hyang (= leluhur atau dewa). Bersemayam. (Tour, 2005: 60). Parahyangan seakan - akan mewakili romantisme kolonial tentang Mooie Indie “Tanah Hindia yang Indah”. (Herlina, 2003: 335). Wilayah ini di merupakan daerah vulkanis yang dibentuk oleh gunung-gunung berapi dengan ketinggian antara 1.800 hingga 3.000 m diatas permukaan laut, seperti Gunung Gede, gunung Galunggung, gunung papandayan, gunung Tangkuban Perahu, gunung Guntur, dan Gunung Cikuray. (Herlina, 2004:25). Adapun luas Keresidenan Priangan, kurang lebih seperenam Pulau Jawa. Disebelah utara berbatasan dengan Keresidenan Batavia dan Cirebon, disebelah timur berbatasan dengan Cirebon dan Bayumas, disebelah selatan dan sebelah barat daya berbatasan dengan Samudra Hindia, dan disebelah barat berbatasan dengan Banten. (Herlina, 1998: 25). Priangan adalah salah satu daerah di Jawa Barat dengan luas wilayah lebih kurang 21.500 kilometer persegi atau kira-kira seperenam dari Pulau Jawa. (Hardjasaputra, 2004:20).
Studi sejarah lokal adalah materi yang memuat konsep etnis-kultural yang sifatnya selalu bergerak dan terkadang dipengaruhi pula oleh unsur politik administratif. Sehingga tiap daerah-daerah itu dalam pengertian etnis-kultural merupakan suatu unit kesadaran historis – dalam arti bahwa “daerah” itu masing-masing pada dirinya dan baginya adalah pusat perkisaran sejarah. (Abdullah, 2005:14). Berkaitan dengan sejarah lokal, maka Priangan tidak hanya memiliki potensi berupa hasil alam, tapi juga ikatan kekerabatan yang kuat di dalam lingkungan masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan adanya penguasaan wilayah oleh kelompok aristokrat lokal yang disebut ‘kaum menak’. (Herlina, 2000:136). Adapun ‘kaum menak’ yang dimaksud ialah bupati. Bupati adalah sebutan umum yang digunakan untuk gubernur propinsi dan disebut adipati. (Raffles, 2008 : 171). Biasanya bupati mendapat tempat yang sangat istimewa di masyarakat. Hal ini karena pada masyarakat Sunda keberadaan bupati merupakan pemimpin tertinggi secara tradisional yang sangat berpengaruh.).
Berkaitan dengan potensi alam, maka kopi menjadi komoditas primadona untuk perekonomian Belanda hingga timbul ungkapan: tanaman kopi bagaikan gabus penutup (penutup botol) yang mengapungkan pemerintahan kolonial diatas air. (Herlina, 1998:27). Dalam kenyataannya tanaman kopi di Tatar Sunda mampu menjadi komoditas pembudidayaan yang paling utama selama kurun waktu abad ke-18 sampai abad ke-19. Ketika pada masa Daendels, wilayah Priangan dibagi atas kabupaten-kabupaten seperti Cianjur, Bandung, Parakamuncang, Sumedang, dan Karawang. Wilayah ini dikenal dengan Prefectuur Preanger-Regentshappen. (Herlina, 1998:32). Adapun tujuan dari pembagian wilayah tersebut berkaitan dengan upaya budidaya kopi di Priangan. Kehidupan perekonomian di Priangan pada abad ke-17 tidak lepas dari perkebunan kopi, “ air hitam” . (Herlina, 1998:27).
Masalah lokal adalah masalah lokal dan segala soal yang menyangkut berkisar pada dirinya. Sehingga periodesasi sejarah lokal tidak harus sama dengan sejarah nasional. Maka dari itu dalam sejarah lokal harus mempunyai otonomi. Sebab otonomi ini diharapkan memberikan sesuatu yang berharga, baik untuk sejarah nasional, atau, lebih idealistis lagi, untuk memperdalam pengertian tentang “diri” dan manusia “lain”. (Abdullah, 2005: 18-19, 20).
Dari uraian tersebut, maka kesuburan tanah Priangan pada abad ke-18 telah mendorong perkebunan kopi, yang mempengaruhi kehidupan ekonomi, dimana pada masa itu harga pembayaran kopi pada permulaan tidak stabil dan mantap, bahkan dikatakan cukup tinggi. Apalagi penanaman kopi di Priangan periode tahun 1700-1730 telah menggantikan produksi tanaman subsisten pangan tradisional. (Herlina, 2004, 313). Selain kopi, Priangan juga menghasilkan kina, teh, karet,nenas, coklat, lada, dan serat nenas. (Herlina, 1998:3). Apalagi dengan adanya Budidaya kopi di Priangan saat itu mampu mengubah keadaan Jawa Barat menjadi lebih baik. (Vlekke, 1958:222). Berkaitan dengan potensi kopi yang dimiliki Priangan tentunya perhatian akan mengarah kepada Cianjur, dan Bandung, namun dalam hal ini kontribusi dari Sumedang tidak boleh dikesampingkan. Hal ini karena Sumedang mampu berada diurutan ketiga dalam menyumbangkan hasil alamnya. Sumedang tidak hanya menyumbangkan hasil alam berupa kopi, tapi juga nila dan tanaman lainnya.
Adapun hasil pemaparan diatas terbukti dengan banyaknya karya sejarah yang memuat penulisan tentang Sumedang. Namun jarang ditemukan penulisan yang mengupas tuntas mengenai aktor-aktor yang berperan dalam kemajuan Sumedang secara detail. Hal ini penting mengingat manusia merupakan aktor sentral dalam panggung sejarah. Apalagi mengenai sejarah umum pada sejarah lokal akan meliputi aspek politis yang kemudian akan memberi dampak ekonomi-sosial. (Abdullah,2009).
Adapun penjelasan dari uraian diatas merupakan fenomena lokal yang menarik. Berdasarkan pengertian studi sejarah lokal sebagai sejarah daerah yang dibatasi oleh keadaan geografis, dan etnis-kultural di dalamnya, maka mendorong penulis untuk membahas kajiannya dengan batasan spasial “Sumedang”, adapun alasan pemilihan ruang ini karena pada mulanya Priangan hanya terdiri atas Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul ketika Kerajaan Sunda (Pajajaran) mengalami keruntuhan. (Hardjasaputra, 2004:21). Selanjutnya obyek kajian yang akan dibahas ialah keberadaan penguasa-penguasa Sumedang sebagai jembatan menuju lahirnya Pangeran Kornel yang merupakan Bupati ke-12 Sumedang, ia adalah pemimpin yang sangat terkemuka apabila dilihat dari segi kepemimpinan maupun pembangunan. (Herlina, 2000:84). Dengan demikian untuk menuangkan pemikirannya, maka penulis akan mewujudkan lewat makalah yang berjudul “PERANAN RADEN TUMENGGUNG ADIPATI ARIA SURIANAGARA SEBAGAI BUPATI KE-12 TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT DI SUMEDANG (PANGERAN KORNEL 1791-1828)”. Untuk pemahaman lebih lanjut akan dijelaskan pada bab berikutnya.
1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah maka materi yang dikaji akan difokuskan pada pembahasan mengenai aspek berikut :
1. Merumuskan potensi alam Sumedang secara geografis yang menunjang kehidupan perekonomian dan sosial.
2. Merumuskan Identitas Raden Tumenggung Adipati Surianagara atau Pangeran Kornel Sebagai Bupati di Kabupaten Sumedang.
3. Merumuskan Peranan Raden Tumenggung Adipati Surianagara atau Pangeran Kornel Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Sosial Masyarakat di Sumedang.
1.3 Tujuan
Pada pembuatan makalah ini, penulis memiliki maksud dan tujuan untuk menjawab identifikasi masalah di atas yang akan dikemukakan pada subbab. Adapun ruang lingkup pembahasan mencakup hal di bawah ini :
1. Untuk menjelaskan potensi alam Sumedang secara geografis yang menunjang
kehidupan perekonomian dan sosial.
2. Untuk menjelaskan Identitas Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata
atau Pangeran Kornel Sebagai Bupati di Kabupaten Sumedang.
3. Untuk memaparkan Peranan Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata
atau Pangeran Kornel Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Sosial Masyarakat di Sumedang.
1.4 Manfaat Penelitian
Pembuatan makalah ini memiliki manfaat praktis sebagai berikut :
1. Dapat memberi wawasan mengenai Potensi Alam Sumedang secara geografis yang menunjang kehidupan perekonomian dan sosial.
2. Dapat memberi pengetahuan mengenai Identitas Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel Sebagai Bupati di Kabupaten Sumedang.
3. Dapat menambah wawasan mengenai Peranan Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Sosial Masyarakat di Sumedang.
4. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk membahas lebih lanjut tentang sejarah Sumedang dan Penguasa yang berpengaruh pada masa Kerajaan maupun masa Kolonial terutama peran Pangeran Kornel dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
1.5 Metode Penelitian
Untuk mencari jawaban dari masalah diperlukan langkah penelitian atau prosedur yang sistematis (Webster, 1986 :1422). Dengan kata lain metode penelitian merupakan sarana untuk mencapai tuntutan yang telah dikemukakan dalam identifikasi masalah. Menurut Gottschalk, tahapan analisis disebut metode sejarah. (Herlina, 2008: 3). Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peristiwa masa lampau. (Herlina, 2008: 2).
Keberadaan metode ini ditujukan untuk mengetahui keberadaan fakta didalam sejarah. Fakta merupakan bahan mentah bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Fakta bisa diperoleh melalui sumber berupa data atau dokumen. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan bobot ilmiah yang diungkapkan oleh Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbornne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian work with documents….There is no substitute for documents: no documents, no history”. (Dienaputra, 2006: 6). Sehingga kepercayaan tidaklah sama sekali asing bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Pada pembuatan makalah ini penulis melakukan empat tahapan yang terdapat di dalam metode, yaitu :
1. Heuristik ialah pengumpulan sumber. Sumber yang berhasil diperoleh penulis tidak hanya dikumpulkan tapi juga dihimpun. Hal ini berkaitan dengan peran heuristik sebagai salah satu tahapan dalam metode penelitian sejarah. Dalam kegiatan heuristik penulis menghimpun sumber yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan seperti sumber buku yang memuat informasi mengenai sejarah masuknya orang-orang Eropa ke Nusantara terutama di wilayah Jawa Barat; Priangan (khususnya di Kabupaten Sumedang), selain itu kegiatan heuristik ditujukan untuk memperoleh sumber-sumber yang menjelaskan mengenai potensi alam yang dimiliki oleh Sumedang, selain itu pengetahuan ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai silsilah penguasa Sumedang, kemudian kehidupan sosial dan ekonomi di Sumedang, terutama pada masa Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel.
2. Setelah melalui tahap Heuristik maka hasil penelitian harus melewati tahap Kritik atau verifikasi untuk meneliti keaslian dan keabsahan sumber. Verifikasi (kritik sejarah) ada 2 macam:
1) Kritik eksternal yang bertujuan untuk menentukan sejauh mana otentisitas (keaslian sumber).
2) Kritik internal yang bertujuan untuk menguji Kredibilitas sumber. Hal tersebut bertujuan untuk menjawab setiap pertanyaan apakah suatu sumber atau kesaksian dapat dipercaya atau tidak.
3. Interpretasi ialah sebuah penafsiran seseorang, beberapa orang atau lembaga. Di dalam penelitian sejarah, interpretasi sering disebut sebagai biang subyektifitas karena apabila seorang Sejarawan salah menafsirkan suatu data maka pengolahan hasil penelitian tidak akan mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. Interpretasi merupakan tahapan dalam metode penelitian sejarah yang berperan untuk menghidupkan kisah sejarah di dalam pembahasan. Pada pembuatan makalah ini penulis menuangkan hasil interpretasi pada hasil kesimpulan. Adapun hasil interpretasi diperoleh dari uraian sebelumnya dan sudah dipastikan berdasar pada data.
4. Historiografi ialah penulisan sejarah. Secara etimologis historiografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “historia” yang berarti “penyelidikan tentang gejala alam fisik” dan “grafien“ yang berarti “gambaran“, “lukisan“, “tulisan”. Di dalam studi sejarah, historiografi merupakan tahapan atau kegiatan menyampaikan hasil rekonstruksi imaginatif masa lampau. Dengan perkataan lain, tahapan historiografi itu ialah kegiatan penulisan. (Herlina, 2008: 16). Historiografi ini disebut sebagai tahap puncak dalam metode penelitian sejarah.
Dari keempat metode penulisan diatas maka penulis akhirnya mampu untuk menghasilkan makalah yang berjudul ““PERANAN RADEN TUMENGGUNG ADIPATI ARIA SURIANAGARA KUSUMADINATA SEBAGAI BUPATI KE-12 TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT DI SUMEDANG (PANGERAN KORNEL 1791-1828”.Untuk menghasilkan suatu karya yang bersifat ilmiah dalam penelitian atau penulisan sejarah maka keempat tahapan diatas haruslah dilaksanakan terlebih dahulu.
1.6 Tinjauan Pustaka
Berkaitan dengan materi pembahasan pada makalah ini, maka penulis memulai tinjauan pustaka dengan membaca dan mengutip : buku Sejarah Sumedang Dari Masa Ke Masa karya Nina H. Lubis, dkk. Selanjutnya membaca buku Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Tradisi Dan Transformasi Sejarah Sunda, dan Sejarah Kota-Kota Lama Di Jawa Barat yang merupakan karya Nina H. Lubis. Berkaitan dengan materi sejarah lokal Priangan dan Sumedang, penulis juga membaca karya sejarah lain seperti: Bupati Di Priangan karya Sobana Hardjasaputra, dan buku Kebudayaan Sunda Zaman Padjajaran (Jilid 2), karya Edi Ekadjati.
Penulis juga membaca karya lain yang mendukung isi makalah seperti buku : Jalan Raya Post; Jalan Daendels karangan Pramoedya Ananta, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Nusantara karya Vlekke, History Of Java karya Raffles, Sejarah Sosial Ekonomis Sosiologis Indonesia karya Burger, serta buku-buku yang memuat konsep dan metode seperti : buku Sejarah Lokal di Indonesia karya Taufik Abdullah (ed), Metode Sejarah dan Historiografi Indonesia Dan Permasalahannya karya Nina H. Lubis, Mengerti Sejarah karya Gottschalk, dan buku Sejarah Lisan ; Konsep dan Metode karya Reiza Dienaputra. Adapun tinjauan pustaka berupa buku-buku metode dan konsep berfungsi untuk menciptakan sifat ilmiah dari suatu penelitian. Sehingga hasil karya menjadi sebuah historiografi yang empiris. Selain itu penulisan juga menggunakan sumber Koran dan referensi lainnya.
1.6 Sistematika Penulisan
Makalah ini dibuat sebagai syarat untuk mengikuti mata ujian kuliah “Dinamika Sejarah Lokal”. Pada pembuatan makalah ini terdapat sistematika penulisan seperti pada pembukaan makalah terdapat kata pengantar yang kemudian daftar isi. Selain itu makalah ini memuat tiga bab yaitu :
BAB I Menjelaskan tentang Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, Sistematika penulisan.
BAB II Pada bab ini berisi pembahasan mengenai Potensi Alam Yang dimiliki Sumedang sehingga mampu menunjang kehidupan sosial dan ekonominya. Sehingga Bab ini diberi judul Sumedang Dan Silsilah Para Penguasa. Sumedang muncul ketika Kerajaan Sunda (Pajajaran) mengalami keruntuhan. (Hardjasaputra, 2004:21). Pangeran Kornel adalah Bupati ke-12 Sumedang, ia adalah pemimpin yang sangat terkemuka apabila dilihat dari segi kepemimpinan maupun pembangunan. (Herlina, 2000:84).Selain itu dijabarkan pula mengenai pemimpin Sumedang terdahulu; sebelum masa pemerintahan Pangeran Kornel. Maka dari itu di dalam bab ii ini terdiri atas sub bab sebagai berikut :
2.1 Alam Sumedang
2.2 Potensi Alam Sumedang
2.3 Silsilah Penguasa Sumedang (Sejak Masa Kerajaan-1791)
BAB III Pada ini berisi pembahasan mengenai Identitas Raden Tumenggung Adipati Surianagara atau Pangeran Kornel. Sehingga pada bab ini diberi judul “Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata (Pangeran Kornel)”.
BAB IV Pada bab ini berisi pembahasan mengenai Peranan Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Sosial Masyarakat di Sumedang. Maka dari itu di dalam bab IV ini terdiri atas sub bab sebagai berikut :
4.1 Peran Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata (Pangeran Kornel)” Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sumedang
4.2 Peran Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata (Pangeran Kornel)” Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Sumedang
Setelah konsep latar belakang pada Bab I dipaparkan, kemudian pada Bab II, Bab III dan Bab IV akan menguraikan isi pembahasan. Adapun pembahasan pada Bab II berisi materi mengenai gambaran ”Alam Sumedang” dan ”Potensi Alam yang dimiliki”, selanjutnya akan dipaparkan mengenai ”Penguasa Sumedang Sebelum Masa Pemerintahan Pangeran Kornel”. Kemudian Bab III kajian akan memfokuskan pada kajian pada ”Identitas Raden Tumenggung Adipati Surianagara atau Pangeran Kornel”. Kemudian Bab IV akan menguraikan tentang Peranan Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel Dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Sumedang”. Dari keempat Bab diatas maka akan diperoleh satu simpulan sebagai jawaban atas isi latar belakang dan identifikasi masalah yang dikemukakan terlebih dahulu.
BAB II
PEMBAHASAN
SUMEDANG DAN SILSILAH PARA PENGUASA
2.1 Alam Sumedang
Sumedang berasal dari kata su yang artinya baik dan medang yang berasal dari kata medal kemudian medangi yang berarti “berkembang baik”. Nama Sumedanglarang berarti “tempat berkembang dengan baik dan tiada bandingnya, sebab larang artinya “mahal atau jarang”. (Ensiklopedi, 1991: 392). Sedangkan dalam versi lain, Kata Sumedang disebut berasal dari rangkaian kata “ingsun medal ingsun madangan” (ingsun artinya “saya”, medal artinya “ lahir”, dan madangan artinya “memberi penerangan”). Sehingga maksudnya “aku lahir untuk memberi penerangan”. (Herlina, 2000:71). “Sumedanglarang” sebagai nama kerajaan, dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingannya” (su= bagus, medang= luas, larang=jarang bandingnya). (Herlina, 2000: 71).
Pernyataan diatas didukung oleh laporan William Thorn, militer Inggris pada tahun 1815, ia menuliskan kesan terhadap Sumedang : “Keindahan tanah-tanah pertanian dan perkebunannya membentangi bukit-bukit dan lembahnya sangat subur, sambung menyambung dalam satu keanekaan yang jelita dan menambat hati, membentuk pemandangan yang memuaskan. (Toer, 2005:69). pendapat lainnya menyatakan bahwa “daerah Kabupaten Sumedang bergunung-gunung dan berbukit bukit, serta kurang sekali pendataran luas. Sementara sungai yang dapat mengairi sawah amat langka. Kalaupun ada hanya Sungai Cimanuk yang melewati kabupaten di sebelah timur”. (Herlina, 2000: 46).
Dari uraian diatas, gambaran yang diberikan mengenai daerah ini ialah posisi yang berada diatas ketinggian 400 meter dari permukaan laut dengan iklim sejuk yang bersuhu udara 15-25oC. Curah hujan tahunannya 2.031 milimeter. (Ensiklopedi, 1991: 391). Kabupaten Sumedang terletak antara Bandung dan Cirebon, kabupaten ini di utara berbatasan dengan Indramayu, di timur dengan Kabupaten Majalengka, di selatan dengan Kabupaten Garut dan Bandung, dan di barat dengan Kabupaten Subang dan Bandung. Luasnya 1.421,82 km2. (Ensiklopedi, 1991: 391).
Sumedang termasuk salah satu kabupaten yang penduduknya masih kuat memegang adat-istiadat tradisi nenek moyang atau leluhur. hal ini dapat dilihat dari 23 jenis upacara adat yang masih eksis di berbagai daerah di Sumedang seperti ngalaksa, numbal bumi, ngarot, owar, dan ngikis . (Herlina, 2008:96-97). Ibu kota Kabupaten Sumedang beberapa kali dipindahkan, semasa masih pemerintahan kerajaan, ibu kota terletak di Darmaraja, kemudian di Ciguling, selanjutnya ke Kutamaya. Pada masa Prabu Geusan Ulun ibu kota dipindahkan ke Dayeuh Luhur (Kota Atas) yang terletak di bukit. Setelah Geusan Ulun wafat ibu kota dibagi dua yaitu Tegalkalong dan Canukur. Setelah itu ibu kota dipersatukan kembali ke Tegalkalong. (Herlina, 2000:80-81).
2.2 Potensi Alam Sumedang
Kabupaten ini merupakan daerah pertanian yang potensial, karena tanahnya yang subur, dan pengairan yang memadai. Sehingga sistem bercocok tanam semakin intensif. Selain padi, kabupaten ini juga menghasilkan ubi kayu, ubi jalar, jagung, kacang, kedelai, aren, cengkeh, dan yang terpenting ialah kopi. (Ensiklopedi, 1991: 392). Sehingga masyarakat Sumedang adalah masyarakat agraris. Kehidupannya disandarkan pada pertanian. Dalam hal ini pertanian yang dilaksanakan oleh masyarakat Sumedang adalah pertanian subsisten. Artinya bertani untuk dikonnsumsi sendiri, bukan pertanian komersial. Contoh utama jenis tanaman ini adalah padi, jagung, palawija, dan lainnya.
Adanya potensi Sumedang yang digolongkan sebagai lahan agraris dibuktikan dengan temuan terbanyak dari temuan prasejarah di Sumedang adalah temuan pada masa bercocok tanam khususnya masa megalitikum. (Herlina, 2008:12). Hal ini didasarkan atas penelitian arkeologi prasejarah di Sumedang, yang sampai saat ini di dominasi oleh temuan tradisi megalitik. (Herlina, 2008:15). Adapun temuan megalitik ditemukan hampir di sebagian besar wilayah Sumedang seperti Darmaraja, Jatigede, Wado, Gunung Tampomas, Gunung Lingga, dan lain-lain. (Herlina, 2008:12).
Potensi lain yang dimiliki oleh alam Sumedang terlihat ada tahun 1832-1864, jumlah tanaman kopi di Keresidenan Priangan disumbangkan oleh Sumedang yang berada dalam urutan ketiga penghasil kopi. Sedangkan untuk tanaman nila, wilayah Sumedang merupakan wilayah terluas untuk penanaman nila. Adapun tanaman tarum di Kabupaten Sumedang terkonsentrasi di daaerah sebelah timur, yaitu di Ciawi, Indhiang, Tasikmalaya, dan Singaparna. Untuk tanaman ekspor lain di Sumedang ialah teh, akan tetapi tanaman ini tidak mampu melebihi penghasilan dari daerah lain karena luas wilayah yang digunakan untuk penanaman tidaklah luas. (Herlina, 2008:182).
2.3 Silsilah Penguasa Sumedang (Sejak Masa Kerajaan-Tahun 1791)
Di dalam historiografi tradisional istilah silsilah bisa juga disebut dengan genealogis. Dalam hal ini akan diperoleh gambaran mengenai hubungan antara satu generasi dengan generasi berikutnya atau pendahulunya. Sehingga dengan adanya pembagian silsilah ini akan membantu untuk memperjelas suatu kejadian atau keadaan penting pada masa terdahulu. (Herlina, 2009:15). Begitu pula hal nya dalam mempelajari Sejarah Sumedang, adanya pengetahuan mengenai hubungan keluarga, famili dari raja-raja atau tokoh sejarah dapat memberikan arti bagi peristiwa penting di masa lalu. (Herlina, 2009:15).
Dalam sumber tradisional disebutkan bahwa cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang adalah Kerajaan Tembong Agung yang berpusat di Leuwihideung, sebuah desa yang berada di Kecamatan Darmaraja. (Herlina, 2008:103). Hal ini berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang mengisahkan bahwa Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) memiliki putera yang bernama Batara Tuntang Buana yang kemudian mendirikan sebuah Kerajaan yang bernama Sumedanglarang. (Herlina, 2008:104). Apabila digolongkan kedalam historiografi tradisional, maka hal ini dapat dikaitkan dengan ciri keseragaman historiografi tradisional yang berkaitan dengan asal mula kerajaan. (Herlina, 2009: 24).
Batar Tuntang Buana memiliki dua orang putera yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung, tahta kemudian dilanjutkan oleh kedua pangeran tersebut. Kemudian Prabu Gajah Agung mempunyai anak yang bernama Sunan Guling. Setelah Sunan Guling meninggal kekuasaan berpindah kepada Sunan Tuakan yang selanjutnya diteruskan oleh Nyi Mas Ratu Istri Patuakan. Pada perkembangan selanjutnya Sumedang berada di bawah pimpinan Nyi Mas Ratu Inten Dewata yang dikenal dengan gelar “Ratu Pucuk Umun”. (Herlina, 2008:106).
Pada masa pemerintahan “Ratu Pucuk Umun”. di Sumedanglarang, Kerajaan sunda sebagai kerajaan Induk sudah mengalami kemunduran. Hal ini mencapai puncak setelah penyerangan tentara Banten pada tanggal 8 Mei 1579 yang disebut sebagai peristiwa “Pajajaran Burak”. Ratu Pucuk Umun menikah dengan seorang Pangeran Ulama Islam dari Cirebon. Disini mulai terlihat adanya penetrasi Islam, Sumedang mendapat pengaruh Islam terutama dari Cirebon. Selanjutnya pada tahun 1530 ibu kota Kerajaan Sumedanglarang dipindahkan ke Kutamaya. Setelah kepemimpinan Ratu Pucuk Umun, maka Sumedanglarang kemudian diperintah oleh putranya yang bernama Raden Angkawijaya yang kemudian bergelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601). (Herlina, 2008:106-107).
Untuk mengatasi Islam terutama Kerajaan Demak-Cirebon, maka Ratu Jayadewata pernah mengadakan kerja sama dengan bangsa Portugis yang berkuasa di Malakka. Hal ini juga yang menyebabkan Kerajaan Sunda menjadi berkembang pesat sehingga cukup memegang peranan penting dalam jalur perdagangan di Nusantara. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang-orang Portugis adalah orang Eropa pertama yang mendatangi Tatar Sunda. (Herlina, 2008:109). Pada tahun 1526 berdiri Kerajaan Banten, kemudian pada tahun 1527 Pelabuhan Sunda Kelapa mendapat serangan dari pasukan Fatahilah. Sejak saat itu nama kota pelabuhan ini diganti menjadi Jayakarta. Selain itu pada tahun 1579 pasukan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf mendapat bantuan dari Cirebon untuk merebut Pakuan Padjajaran. Sejak saat itu eksistensi dari Kerajaan Sunda berakhir. (Herlina, 2008:110).
Runtuhnya Kerajaan Sunda, mendorong Prabu Geusan Ulun dari Sumedang untuk menyatakan dirinya sebagai “nalendra” (penguasa). Seluruh bekas wilayah Kerajaan Sunda yang meliputi seluruh Jawa Barat tanpa Banten, Jayakarta, dan Cirebon dijadikan sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. (Herlina, 2008:111).
Menurut salah satu historiografi tradisional Sumedang berupa babad, penyerahan kekuasaan dilakukan oleh Raja Kerajaan Sunda kepada Prabu Geusan Ulun dilakukan dengan penyerahan mahkota. Secara simbolis, bahwa Kerajaan Sumedang ialah penerus dari Kerajaan Sunda. (Herlina, 2008:111). Dalam hal ini Prabu Geusan Ulun mencoba melegitimasi kekuasaannya atas wilayah Kerajaan Pajajaran dengan mengklaim bahwa pusaka Pajajaran diserahkan kepadanya. (Herlina, 2000:75). Sehingga wajar saja kalau bupati-bupati Sumedang selain memiliki pusakan juga gamelan kebanggaan sejumlah Sembilan buah yang merupakan koleksi para bupati. (Herlina, 1998:244).
Pemerintahan Prabu Geusan Ulun merupakan masa terpenting karena pada masa ini Kerajaan Banten melakukan penyerangan kepada Kerajaan Sunda (1579), selain itu Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir dari Dinasti kerajaan Sumedanglarang karena pemerintahan di Sumedanglarang selanjutnya berbentuk kabupatian yang dipimpin oleh seorang bupati. (Herlina, 2008:112). Ketika Kerajaan Sunda Berjaya, Kerajaan Sumedanglarang hanyalah sebuah kerajaan vassal, akan tetapi setelah keruntuhan Kerajaan Sunda, maka Kerajaan Sumedanglarang menjadi kerajaan “merdeka” yang mewarisi kebesaran Kerajaan Sunda/ Pajajaran. Bahkan pada masa Prabu Geusan Ulun daerah seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Indramayu yang semula ditaklukkan oleh Banten berhasil direbut kembali. (Herlina, 2008:113). Pengabdiannya terhadap Sumedang tidak memupus adanya dugaan bahwa Prabu Geusan Ulun sebenarnya keturunan Galuh. Hal ini terbukti dengan pemakaian nama “Kusumadinata” yang selain dipakai oleh menak di Sumedang juga dipakai oleh menak Galuh. (Herlina, 1998:51). Setelah Prabu Geusan Ulun wafaf pada tahun 1601, Kerajaan Sumedanglarang dibagi dua. Kerajaan yang pertama diperintah oleh Pangeran Rangga Gede. Pusat kotanya berada di Dayeuh Luhur (ada yang menyebut juga di Canukur). Kerajaan kedua dipimpin oleh Pangeran Suriadiwangsa yang ibu kotanya terletak di Tegal Kalong. (Herlina, 2008:124).
Pada tahun 1620 Raden Suriadiwangsa datang ke Mataram untuk menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Kerajaan Sumedang menjadi bawahan Mataram. Alasan Raden Aria Suriadiwangsa menyerah kepada Mataram karena ia merasa Sumedang terjepit oleh tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten dan Kompeni di Batavia. Selain itu ia memperhitungkan hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibunya, Ratu Harisbaya. (Hardjasaputra, 2004:21). Sehingga dalam sumber disebutkan bahwa masuknya Mataram ke Priangan tanpa peperangan. Diibaratkan sebagai angin topan yang meniup pepohonan, sehingga pohon-pohon itu roboh tak berdaya. Artinya kekuasaan dari luar tersebut diterima karena memang sudah nasib. Hal ini mencerminkan ungkapan (ngawula ka wayahna; mengabdi dengan sabar meskipun tidak menyenangkan hati). (Herlina, 1998:59).
Wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Suriadiwangsa ini dinamai dengan “Prayangan” (yang artinya “tulus iklas”); diperkirakan dari kata itu lahir kata Priangan. Pendapat lain yang sama juga mengemukakan bahwa setelah penyerahan yang dilakukan Raden Suriadiwangsa pada 1620, maka kekuasaan yang dahulu wilayah Sumedanglarang diubah menjadi Priangan yang berasal dari Prayangan (artinya penyerahan diri dengan hari suci). (Herlina, 2000:77).
Setelah penyerahan kedaulatan tersebut, maka Sultan Agung memberi Pangeran Suriadiwangsa gelar “Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I)”. Sejak saat itu status Sumedang berubah, tidak lagi sebagai kerajaan, akan tetapi menjadi kabupaten yang merupakan bagian dari kesultanan Mataram.Wilayah-wilayah yang semula menjadi bawahan Sumedanglarang diberi status sebagai kabupaten, yang masing-masing dipimpin oleh seorang bupati. Dengan adanya perubahan status ini, maka kekuasaan merupakan bagian dari sistem politik yang bersifat patrimonial, para bupati atau penguasa lokal adalah wakil dan kelanjutan dari kekuasaan raja. (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto:1993: 174). Konsep kekuasaan Sunda dalam penulisan tradisional, menyatakan bupati sebagai penguasa kabupaten. Ketika itu Rangga Gempol I menjadi Bupati Sumedang dan menjadi kodinator dari para bupati lain yang ada di wilayah Priangan (Bupati Wedana). (Herlina, 2008:125).
Setelah Rangga Gempol I meninggal, maka kedudukannya diserahkan kembali kepada Pangeran Rangga Gede, hal ini membuat Raden Suriadiwangsa putera dari Rangga Gempol I kecewa, maka dari itu ia lari ke Banten untuk merebut kembali Sumedang. Hal ini membuat Sultan Agung marah dan menganggap Rangga Gede tidak mampu untuk mengendalikan pemerintahan. Maka dari itu ia ditawan, selanjutnya pangkat bupati wedana kemudian digantikan oleh Dipati Ukur. (Herlina, 2008:128).
Pada masa itu Dipati Ukur bersama pasukan dari Mataram melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia. Serangan tersebut gagal, dan pada serangan berikutnya Dipati Ukur menolak ikut serta. Hal tersebut membuat penguasa Mataram marah karena dianggap sebagai upaya pemberontakan. (Herlina, 2008:109). Pada tahun 1628 Mataram melakukan penyerangan terhadap Dipati Ukur, akan tetapi serangan ini tidak berhasil. Selanjutnya pada tahun 1632 pasukan Mataram berhasil menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Keberhasilan ini tidak lepas dari bantuan Pangeran Rangga Gede, maka dari itu ia dibebaskan dari hukuman dan diposisikan sebagai Bupati Suedang. Kedudukannya sebagai Bupati Wedana dikukuhkan lagi. (Herlina, 2008:129).
Setelah Rangga Gede wafat kedudukannya digantikan oleh puteranya yang bernama Bagus Weruh yang disebut sebagai Pangeran Dipati Rangga Gempol II Kusumadinata (1633-1656). Pada masa pemerintahannya terjadi dua kali reorganisasi pemerintahan. Hal ini berkait dengan upaya Mataram untuk mengefektifkan serangan-serangan ke Batavia. (Herlina, 2008:130). Pada tanggal 16 Juli 1633 (9 Muharram tahun alip), Sultan Agung mengeluarkan surat keputusan, yang isinya pembentukan tiga kabupaten beserta penunjukan bupatinya, yaitu :
1. Kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Bupati Tumenggung Wiradadaha.
2. Kabupaten Bandung yang dipimpin oleh Wira Angun-angun.
3. Kabupaten Parakamuncang yang dipimpin oleh Tumenggung Tanubaya.
Sehingga pada saat itu bekas Kerajaan Sumedang terdapat empat kabupaten, yaitu Sumedang, Sukapura, Bandung, dan Parakamuncang. (Herlina, 2008:130). Hal ini membuat Rangga Gempol II. Apalagi ketika Sultan Amangkurat I berkuasa, jabatan Bupati Wedana dihapuskan, dan wilayah Mataram dibagi kedalam 12 ajeg (setara dengan kabupaten). Hal ini membuat kedudukan Bupati Wedana sama dengan bupati-bupati lain di Priangan. Apalagi daerah kekuasaan Sumedang menjadi semakin kecil. Maka dari itu akhirnya Rangga Gempol II mengundurkan diri sebagai bupati, kedudukannya digantikan oleh Rangga Gempol III. (Herlina, 2008:131).
Sejak tahun 1657 kedudukan bupati di Priangan menjadi sejajar. Rangga Gempol III diberi gelar “penembahan” oleh Amangkurat I, sehingga namanya menjadi Pangeran Panembahan Kusumadinata. Ia adalah bupati terlama yang memerintah di Sumedang, selama 50 tahun. (Herlina, 2008:113-132). Pada masa ini Banten berambisi untuk merebut kembali Batavia dari VOC dan berniat menguasai Sumedang. Ketika itu kekuasaan Mataram terus melemah. Hal ini karena terjadi perebutan tahta antara Sultan Amangkurat I dan saudaranya Pangeran Puger. Ketika itu Trunajaya dari Madura juga melakukan penyerangan yang dibantu oleh Karaeng Galesung dari Makasar. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dari itu Amangkurat akhirnya meminta bantuan Kompeni. (Herlina, 2008:132).
Kompeni akhirnya mengutus Residen Jepara, James Cooper pergi ke Mataram dengan membawa konsep perjanjian. Pada tanggal 25 Maret 1677 perjanjian di Mataram ditandatangani. Inti dari perjanjian tersebut ialah keterangan mengenai hak monopoli pembelian beras yang dimiliki VOC dan penyerahan Cisadane dan Cipunagara kepada VOC. VOC bersedia membantu Mataram dengan syarat biaya perang ditanggung oleh Mataram. Semua isi perjanjian di atas disetujui kecuali penyerahan Cisadane dan Cipunagara, hal ini karena wilayah tersebut milik Pangeran Panembahan. Sehinnga daerah yang diserahkan hanya Cisadane dan Citarum saja. (Herlina, 2008:133). Dengan demikian kekuasaan Mataram menurun karena tidak mampu untuk menguasai daerah bawahannya. Selain itu Citarum dan Cipunagara menjadi wilayah Sumedang. Sehingga batas dari wilayah Kabupaten Sumedang ialah :
1. Sebelah Selatan : Kabupaten Parakamuncang.
2. Sebelah Utara : Laut Jawa.
3. Sebelah Barat : Kali Cisadane.
4. Sebelah Timut : Cirebon.
Hal ini membuat Pangeran Panembahan merasa telah mengembalikan kebesaran Sumedang seperti pada zaman Sumedanglarang. (Herlina, 2008:133-134). Akan tetapi Pangeran Panembahan meminta VOC untuk menutup muara Cipamanukan dan Pantai Utara untuk mencegat tentara Banten pada saat itu. VOC menyetujui permintaan tersebut karena selalu mendapat gangguan dari Banten. Dengan demikian, maka Pangeran Panembahan menjadi leluasa untuk memperkuat kedudukannya dan pemerintahannya di Sumedang. (Herlina, 2008:135). Sedangkan menurut sumber lain menyatakan bahwa pada tanggal 19-20 Oktober 1677 Mataram telah menyerahkan wilayah Priangan Timur ke VOC. Adapun wilayah tersebut ialah : Garut, Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Selanjutnya Banten mendapat bantuan dari Trunajaya, Bupati Bandung Wiraangun-angun, Sukapura, dan Parakamuncang untuk melakukan penyerangan ke Sumedang. Akan tetapi VOC berhasil melindungi Sumedang di bagian Utara. VOC menyiapkan pasukan antara kali Cisadane dan Citarum, selain itu antara Batavia dan Indramayu. (Herlina, 2008:135). Di luar dugaan, pada tanggal 10 Maret 1678 pasukan Banten berhasil mengepung Kota Sumedang selama satu bulan lamanya, akan tetapi tidak berhasil menguasai ibu kota Sumedang. (Herlina, 2008:136).
Pada awal Juni 1678 pemimpin pasukan Banten, Raden Senapati tewas. Pasukan Sumedang berhasil mengusir tentara Banten dan merampas 20 pucuk senapan. Ketika itu Amangkurat I digantikan oleh Amangkurat II yang mengirim Dirapraja ke Sumedang untuk mengontrol dan meminta para bupati untuk setia kepada Mataram. Permintaan tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan. Sumedang menyatakan melepaskan diri dari Mataram. (Herlina, 2008:136-137).
Pada awal Mei 1681 Pangeran Panembahan memindahkan ibu kota kabupaten dan Tegalkalong ke Sumedang sekarang. Di waktu yang sama Kompeni menganggap seluruh wilayah Priangan berada di bawah kekuasaannya. Pada 15 Nopember 1684 diadakan pertemuan antara Kompeni dan seluruh Bupati Priangan (di Benteng Beschermin, Cirebon). Pertemuan tersebut menghasilkan surat keputusan mengenai pengangkatan bupati-bupati di Priangan untuk memerintah di daerah masing-masing sebagai wakil Kompeni. (Herlina, 2008:141). Dengan adanya keputusan tersebut, maka kabupaten di Priangan telah berada di bawah kendali VOC. Hal tersebut tidak mempengaruhi Rangga Gempol III, ia tetap memposisikan diri sebagai kabupaten yang merdeka, tidak taat kepada VOC, dan tidak taat kepada Mataram. (Herlina, 2008:142).
Ketika VOC berniat mengangkat pejabat pribumi untuk mengawasi bupati di Priangan, maka Pangeran Panembahan mengajukan permohonan agar ia diangkat sebagai Wedana Bupati. Permintaan tersebut ditolak karena Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol III dianggap tidak loyal kepada Kompeni, selain itu Kompeni beranggapan bahwa kedudukan semua bupati di Priangan adalah sama. (Herlina, 2008:143). Oleh karena itu, Kompeni mempertimbangkan bahwa yang layak untuk jabatan Gubernur di Priangan adalah tokoh dari luar Priangan. Berdasarkan surat keputusan tanggal 9 Februari 1706 Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Wedana Bupati. Tugasnya mengawasi dan mengordinasi bupati-bupati di Priangan agar mereka melaksanakan segala kewajiban kepada Kompeni. Hal ini membuat Pangeran Panembahan kecewa, maka dari itu pada tanggal 13 Maret 1704 ia mengembalikan besluit pengangkatannya sebagai bupati. (Herlina, 2008:144).
Pada 5 Oktober 1705 Mataram resmi menyerahkan daerah kekuasaan yang berada di sebelah timur Cipunagara dan Citarum. Sejak saat itu seluruh Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Kompeni. Sehingga secara de facto dan de jure Priangan berada di bawah VOC. Kedudukan Rangga Gempol III selanjutnya digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Raden Tanumaja sebagai Bupati Sumedang. (Herlina, 2008:144). Menurut Kompeni, Raden Tanumaja dianggap tidak loyal. Hal ini karena ia bersikap kritis terhadap Kompeni. Tindakannya acap kali mengganggu Kompeni, misalnya ketika tanggal 26 Oktober ia menguasai tanah yang dulunya termasuk wilayah Parakamuncang. Pada tanggal 16 Desember 1706 ia mengirimi surat kepada Kompeni memberitahukan perselisihan dengan Parakamuncang mengenai kepemilikan tanah. Selain itu pada tanggaal 23 Desember 1706 dan 8 April 1707, Raden Tanumaja mengajukan permohonan kepada Kompeni agar dirinya tidak berada di bawah pengawasan Pangeran Aria. Ia tidak menyukai dan memusuhi Pangeran Aria. Permintaannya ditolak oleh Kompeni. Akan tetapi setelah Pangeran Aria meninggal, Gubernur Jenderal Kompeni akhirnya menyetujui pemberian gelar adipati. (Herlina, 2008:145-146).
Pada tahun 1706 Raden Tanumaja memindahkan ibu kota dari Tegalkalong ke Regol Wetan. Kedudukannya hanya tiga tahun, kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Raden Kusumadinata. (Herlina, 2008:146). Atas persetujuan VOC pada tahun 1710 Kusumadinata menggunakan gelar yang digunakan kakeknya “Rangga Gempol”. Sehingga ia diberi gelar sebagai Pangeran Rangga Gempol IV. (Herlina, 2008:146). Jasa yang dimiliki oleh Pangeran Rangga Gempol VI ini adalah membuka lahan-lahan sawah baru dalam jumlah yang cukup luas. Sehingga ia dikenal sebagai bupati yang memajukan pertanian persawahan. Setelah Rangga Gempol IV wafat ia diberi gelar Pangeran Karuhun. (Herlina, 2008:146-147).
Sepeninggalan Rangga Gempol, kedudukannya dijalankan oleh Dalem Istri Rajaningrat (1744-1759). Hal ini disebabkan oleh Raden Kusumadinata yang masih kecil, akan tetapi ia senantiasa mendampingi ibunya dan berperan aktif dalam memajukan kehidupan rakyat Sumedang, seperti membangun saluran irigasi baru, memperbaiki saluran irigasi lama yang rusak, membuka hutan menjadi areal penanaman sawah, dan membuka hutan untuk penanaman kopi. Pada tanggal 6 Februaru 1748 Kompeni memberikan penghargaan kepada Raden Kusumadinata berupa gelar “adipati”. Sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Adipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol V). (Herlina, 2008:147).
Bantuan Rangga Gempol kepada ibunya memperoleh hasil karena produksi padi meningkat, produksi tanaman wajib seperti kopi ikut meningkat. Hal ini membuat rute pengangkutan kopi berubah. Semula kopi diangkut ke Batavia melalui Bandung, kemudian diubah pengangkutan Kopi dari Sumedang dan Parakamuncang dikirim langsung ke Cirebon. Hal ini yang kemudian membuat Sumedang dan Parakamuncang yang semula berada di Keresidenan Priangan berubah menjadi wilayah Keresidenan Cirebon. (Herlina, 2008:148).
Sejak ibunya meninggal, Rangga Gempol V berkuasa penuh sebagai bupati di Sumedang. Akan tetapi hanya dalam waktu yang singkat, sampai 1761. Ia meninggal dalam usia muda dan ketika wafat ia mendapat julukan Dalem Anom. (Herlina, 2008:148). Setelah Rangga Gempol V meninggal, maka Sumedang diperintah oleh lima bupati sampai berakhirnya periode VOC. Adapun para bupati yaitu :
1. Dalem Adipati Surianagara (1761-1765).
2. Dalem Adipati Surialaga (1765-1773).
3. Dalem Adipati Tanubaya (1773-1775).
4. Dalem Tumenggung Patrakusumah/ Raden Adipati Tanubaya II (1775-1789).
5. Dalem Aria Sacapati (1789-1791).
(Herlina, 2008:149).
Pada perkembangan selanjutnya, kedudukan Bupati Sumedang mengalami transisi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Kedudukan ”menak Sumedang” akan dipimpin oleh keturunan bupati sebelumnya. Adapun Bupati berikutnya merupakan tokoh terkemuka yang memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi dan pembangunan Sumedang. Ia adalah Pangeran Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel (1791-1828). Untuk materi lanjut, maka akan dikemukakan pada bab selanjutnya yang akan memaparkan aspek-aspek terkait dengan Pangeran Surianagara Kusumadinata atau Pangeran Kornel.
BAB III
PEMBAHASAN
“RADEN TUMENGGUNG ADIPATI SURIANAGARA KUSUMADINATA” (PANGERAN KORNEL 1791-1828).
Pada abad ke-19 ”menak” yang ideal tidak hanya dilihat dari segi fisik, tapi juga prilaku. Seorang penguasa haruslah mempunyai sorot (aura atau sinar) dan memiliki keteguhan hati yang diwujudkan dengan percaya diri. (Herlina, 2000:147). Selanjutnya terjadi perkembangan dalam menentukan tipe ideal seorang penguasa ialah : tabeat luhung (tabiat yang luhur), pamilih (mempunyai pertimbangan untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu), kautamaan (keutaamaan), kasetiaan (kesetiaan), kapinteran (kepintaran), wawanen (keberanian), kapengkuhan (keteguhan hati),elmu (ilmu), dan karajinan (kerajinan). (Herlina, 2000:146).
Adapun uraian diatas tentunya sangat tepat apabila ditujukan dengan kriteria Bupati ke-12 Kabupaten Sumedang. Begitulah kiranya gambaran mengenai Raden Aria Surianagara. Sepeninggalan Bupati-bupati yang telah diuraikan sebelumnya, maka Sumedang selanjutnya diperintah oleh Raden Aria Surianagara yang memiliki nama kecil Raden Jamu. Ia adalah anak dari Adipati Surianagara. Sepeninggalan Surianagara, terjadi perebutan tahta bupati, sejak kecil Raden Jamu selalu disingkirkan. Sehingga Pangeran Jamu meninggalkan Sumedang selama 16 tahun, 1775-1791.
Pada Februari Kompeni memanggil Raden Jamu untuk kembali ke Sumedang dan diangkat menjadi Patih Sumedang dan Kepala Cutak Rajapolah (Wedana di Rajapolah). Bahkan Raden Jamu yang disebut juga Raden Aria Surianagara ini dikukuhkan sebagai bupati berdasarkan besluit 30 Desember 1791 dan mendapat gelar “tumenggung”. Ia adalah Bupati Sumedang pada masa transisi dari periode VOC ke periode Pemerintahan Hindia Belanda dan selanjutnya Pemerintahan Inggris. (Herlina, 2008:151).
Pada masa itu gelar kepangkatan bupati diidentikkan dengan pangkat militer, gelar tumenggung disamakan dengan mayor, gelar adipati dan aria disamakan dengan letnan kolonel, dan gelar pangeran disamakan dengan gelar kolonel. Oleh karena itu Bupati Sumedang, Pangeran Adipati Kusumanagara alias Pangeran Kusumadinata (1791-1828) dikenal sebagai “Pangeran Kornel”. Pemberian kepangkatan ini untuk memperbesar pengaruh dan wibawa bupati. (Hardjasaputra, 2004:42).
BAB IV
PEMBAHASAN
PERANAN RADEN TUMENGGUNG ADIPATI SURIANAGARA KUSUMADINATA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SUMEDANG
Sumedang sebagai sebuah kabupaten, dianggap sudah cukup tua usianya. Empat abad lebih bukanlah waktu yang pendek bagi pertumbuhan suatu wilayah. Secara historis Kabupaten Sumedang tumbuh dari sebuah kerajaan berabad-abad lalu. (Herlina, 2008). Bupati dan raja merupakan alat organisasi dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Hubungan ini bisa dikatakan sebagai ikatan feodal dari masyarakat Indonesia. (Burger, 1956:107).
Pemerintahan Raden Tumenggung Adipati Surianagara telah memberikan kemajuan terhadap Sumedang. Dari segi kewilayahan, luas kekuasaan Kabupaten Sumedang menjadi bertambah. Pada masa Raflles, Kerawang yang dianggap tidak mampu mengurus pemerintahan dihapuskan dan wilayahnya dimasukkan ke Kabupaten Sumedang. Begitu pula dengan Parakamuncang yang dianggap gagal meningkatkan produksi kopi. Pada tahun 1813 kabupaten ini dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Kabupaten Sumedang. (Herlina, 2008:160).
Pada tahun 1816 disebutkan dalam laporan Residen Priangan bahwa Kabupaten Sumedang meliputi 15 distrik, yaitu : Balubur, Andawadak (sekarang TanjungSari), Depok, Malandang, Conggeang, Darmaraja, Darwangi, Pawenang, Malangbong, Ciawi, Pagerageung, Rajapolah, Indihiang, Cicariang, dan Singaparna. Selanjutnya pada tahun 1821 Sukapura dihapuskan karena dianggap tidak memberi keuntungan kepada Pemerintah Kolonial. Penghapusan ini berdasarkan besluit pemerintah pada 19 April 1821. Adapun daerah bekas kabupaten dibagikan kepada Sumedang, Cianjur, dan Limbangan. Kekuasaan Sumedang menjadi luas karena mendapat lima distrik yaitu : Pasirpanjang, Janggala, Kawasen, Cikembulan, dan Mandala. (Herlina, 2008:161). Selain berperan dalam memperluas wilayah kekuasaan, maka Pemerintahan Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata telah member kontribusi dalam kehidupan ekonomi dan sosial pada masyarakat Sumedang yang akan dipaparkan di bawah ini :
4.1 Peran Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata (Pangeran Kornel)” Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sumedang
Menurut Frederick de Haan, ketika Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata menjadi bupati kehidupan ekonomi di Sumedang sedang tidak berkembang. Semula produksi kopi di Sumedang hanya 2500 pikul. Pada masa Raden Tumenggung Adipati Surianagara meningkat menjadi 8000 pikul, bahkan pernah sempat 12000 pikul. Selanjutnya waktu tempuh pengangkutan kopi yang semula 22-60 hari bisa diperpendek menjadi 2-6 hari. Hal tersebut dimungkinkan karena terjadi perubahan rute pengangkutan. Semula dari Cikao diubah menjadi langsung ke Karang Sembung. (Herlina, 2008:162). Dalam bidang ekonomi pemerintahan Raden Tumenggeung Adipati Surianagara mengalami banyak kemajuan. Nicolaus Engeelhard dalam resolusi tanggal 16 Oktober 1793 memberi pujian atas keberhasilan tanaman kopi di Sumedang. Selanjutnya, resolusi Engelhard juga melaporkan bahwa Raden Tumenggung Adipati Surianagara terlihat langsung dengan aktivitas pertanian rakyat untuk meningkatkan produktivitas padi. (Herlina, 2008:162).
Telah diketahui bahwa Pertanian dan peternakan merupakan jenis kegiatan ekonomi paling mendasar dalam kehidupan manusia, karena berhubungan langsung dengan alam. Adapun kegiatan pertanian ialah mengolah tanah dan tanaman untuk diambil daun, batang, buah, dan umbinya, sedangkan peternakan memelihara hewan untuk dimanfaatkan, daging, terlur, susu, kulit, tanduk, dan tenaganya. Selain itu juga ada kegiatan menyadap seperti menyadap enau dan pohon kelapa. (Ekadjati, Edi S, 2003 :147). Berdasarkan hasil survei Raffles, pada masa pemerintahannya di Hindia Belanda jumlah penduduk Priangan yang menjadi petani ialah 109. 125 orang. (Raflles, 1982:70).
Petani adalah pengolah tanah, dan ketika dia telah memenuhi tugas dan kewajiban untuk penguasa dari bagian sawahnya, dia berhak menentukan berapa bagian yang berhak disimpan untuk kebutuhan keluarganya, meskipun sering kali ia mendapat sanksi dari kebiasaan yang berlaku. (Raflles, 1982:73). Dengan demikian maka petani akan berkaitan dengan beras yang merupakan makanan utama penduduk Jawa, berdasarkan cara pengolahannya, padi ini biasa disebut padi sawah atau padi gaga. Di Distrik Sunda padi gaga disebut padi tipar, dan hanya ditanam di lahan pegunungan yang baru dibersihkan. (Raflles, 1982:78). Berkaitan dengan hal tersebut, maka Menurut Dasasasmita, ada Sembilan tahapan penggarapan ladang seperti: Narawas (memilih batas lahan yang akan digarap, dan membersihkan semak belukar), Nyacar (memangkas dahan dahan kecil dan membabat rumput agar tanah pada lahan banyak terkena sinar matahari), Nukuh (mengeringkan rumput, daun, dan ranting), Ngahuru (membakarr sampah yang telah kering), Ngaseuk (membuat lubang yang kemudian dimasukan benih padi), Ngirah sawan (membuang sisa sampah dan memeriksa hama tanaman), Ngored (membuang rerumputan dan menggemburkan tanah), Dibuat (menuai tangkai padi yang menguning), Ngakut (mengangkut padi yang telah kering dari huma ketempat pemukiman untuk disimpan didalam lumbung). Biasanya lahan huma digarap satu tahun sekali. (Ekadjati, Edi S, 2003 :152).
Dari uraian diatas, dapat diperoleh gambaran bahwa di negara agraris tanah bukanlah milik perorangan tapi kelompok. Hingga tahun 1879 tidak ada sistim pemilikan tanah secara individual di tanah Sunda. Tanah merupakan milik umum, hak milik komunal, individu hanya memiliki hak pakai. (Ekadjati, Edi S, 2003 :153). Fungsi tanah ada enam yaitu : sebagai lahan pertanian (huma), lahan perkebunan (lada,enau, dan lainnya), lahan hutan (hutan umum, hutan larangan), lahan perumahan (perkampungan), lahan usaha (pelabuhan, pasar), dan lahan prasarana umum (jalan, taman, kabuyutan, bangunan keagamaan, bangunan pemerintahan). (Ekadjati, Edi S, 2003 :154). Beras yang dihasilkan melebihi kebutuhan masyarakat sehingga menjadi barang ekspor, selain itu juga lada. (Ekadjati, Edi S, 2003 :155).
Berkaitan dengan tanah, maka jenis tanah di Sumedang tidaklah cocok untuk penanaman kopi. Sehingga wajar saja pada masa VOC dan Hindia Belanda, Kabupaten Sumedang dilibatkan dalam sistem perekonomian komersial. Akan tetapi tidak dijadikan sebagai bagian penting apabila dibandingkan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur. Adapun alasannya, karena tanaman ini ideal ditanam di tanah hitam bercampur pasir dengan ketinggian yang tepat, dan tidak terlalu banyak mendapat sinar matahari dan hujan. Sehingga cocok ditanam di lereng perbukitan dan lembah di kaki gunung. (Raflles, 1982:82).
Sebelum tahun 1808, perkebunan kopi hanya ada di Distrik Sunda. Bahkan tiap keluarga pada masa itu diwajibkan menanam 1000 pohon kopi. Dalam hal ini karena komoditas kopi merupakan penunjang utama perekonomian Priangan sejak abad ke 18 hingga awal abad ke-20. Dibukanya Hindia Belanda bagi pemodal-pemodal swasta, menambah jenis dan jumlah perkebunan di Priangan. (Herlina, 1998:49). Kopi merupakan tanaman yang dimonopoli oleh Belanda, mulai dari penanaman, perawatan, sampai pengangkutan ke gudang tidak lepas dari pengawasan Kompeni. (Raflles, 1982:82).
Pada masa Dandels, Sumedang dijadikan sebagai daerah unit pertama penghasil kopi bersama-sama dengan Cianjur, Bandung, dan Parakamuncang. (Hardjasaputra, 2004:40). Daendels memperkirakan bahwa daerah tersebut dapat menghasilkan kopi sekurang-kurangnya 10.000 pikul kopi per tahun. (Hardjasaputra, 2004:40). Maka dari itu, pada masa Daendels petani Jawa Barat diwajibkan menanam 500 pohon kopi dan hasilnya harus di jual kepada Pemerintah Hindia Belanda sebesar 10 gulden per kwintal meski harga pasaran mencapai 100 gulden. (Tempo, 2002).
Komisi Thalman melaporkan bahwa Bupati Sumedang menerima kopi dari rakyat, seperti dari Parakamuncang 200 kati per pikul dengan bayaran sejumlah 4 ringgit uang perak dan 2 ringgit uang kertas untuk 146 kati. Sehingga keuntungan berupa 2 ringgit dan 104 kati kelebihan timbangan. Jumlah yang diterima dari pembayaran kopi telah lebih dari 7.478.168 ringgit dihitung dengan penyerahan 9000 pikul dalam tahun yang diserahkan dari kabupaten yang digabungkan Sumedang dan Parakamuncang. Jadi dihitung per pikul 39 ½ stuiver. (Herlina, 2008:162). Di Distrik Sunda tiga depot utama penyimpanan kopi dari para petani ialah Buitenzorg, Chikan dan Karangsambang. (Raflles, 1982:84).
Berkaitan dengan kegiatan penanaman kopi, maka Raden Tumenggung Adipati Surianagara tidak segan-segan pergi ke desa untuk mengontrol perkebunan kopi rakyat. Ia memberikan pelajaran tentang cara menanam kopi, mengurusnya bahkan memilih tanah yang baik untuk kebun kopi. Sehingga Kabupaten Sumedang yang tanahnya liat bercampur pasir, tidak cocok untuk menanam kopi menjadi mampu untuk menghasilkan produksi kopi yang menguntungkan rakyat. (Herlina, 2008:163). Dalam sistim penanaman kopi dalam jumlah terbesar terdapat dalam tahun 1707. Tugas dan kewajiban bupati, khususnya menyangkut penyerahan hasil tanaman wajib, menunjukan hubungan antara bupati dan Kompeni. (Hardjasaputra, 2004:34).
Atas inisiatif mengorganisasikan penyelenggaraan tanaman kopi dan kerajinan untuk perluasan tanaman kopinya, maka Komisi Thalman memberikan pujian kepada Bupati Sumedang tersebut. Awal 1818 Raden Tumenggung Adipati Aria Surianagara mendapat gelar “pangeran”. Kemudian ia mendapat lencana “Bintang Mas” yang bertulis “Voor betoonde moed en touw” (tanda keberanian dan kesetiaan yang diperlihatkan) Ia adalah Bupati Sumedang yang melukis tinta emas dalam lembaran-lembaran sejarah Sumedang. (Herlina, 2008:164). Sehingga di daerah produsen penghasil kopi membuat kedudukan bupati bertambah kuat. Dalam hal ini secara langsung Daendels telah menunjukkan peran penting bupati dalam pelaksanaan eksploitasi ekonomi kolonial. (Hardjasaputra, 2004:41).
Tanah Sunda di daerah pedalaman cenderung menuju kearah pemujaan nenek moyang. Adanya masa bercocok tanam juga menyebabkan masyarakat Sunda mengenal sistim barter (tukar menukar barang). Sehingga sistim ini yang kemudian mengenalkan adanya kegiatan perdagangan. ( Ekadjati, Edi S, 2003 :45). Produk tanaman komersial dari Sumedang ialah kopi, teh, karet, nila (tarum) dalam volume yang tidak begitu besar. (Herlina, 2008:179). Selain kopi, tanaman lainnya adalah nila dan benang yang merupakan komoditas perdagangan yang terkena kebijakan wajib serah. Pada tahun 1695, jumlah nila yang wajib diserahkan kepada VOC dari daerah Priangan sebanyak 80 pikul. Pada saat itu Sumedang berhasil menyerahkan 25 pikul nila. (Herlina, 2003:302). Akan tetapi pada dinamikanya terjadi pergeseran, dimana pada akhir abad ke-18 tanaman demikian tidak lagi terlalu diperhatikan oleh Kompeni, hal ini dikarenakan keberadaan kopi yang menjadi komoditas utama perdagangan. Bahkan nila di Priangan sudah menurun jumlahnya, berbeda dengan di Cirebon yang pada akhir abad ke-18 mampu menghasilkan 6000-8000 pon nila. (Herlina, 2003:302).
Dalam kegiatan perekonomian, Kabupaten Sumedang dianggap cukup dinamis. Hal ini karena aktivitas perekonomian masyarakat tidak hanya sebatas subsisten, komersil, dan pertanian saja, akan tetapi ke sektor industri yang tidak hanya dipasarkan di Kabupaten Sumedang, tapi juga ke daerah lain. Rakyat sangat puas dengan kepemimpinan Pangeran Kornel. Hal ini karena beliau sangat pro- rakyat. Bupati ini membela kepentingan rakyat maupun pemerintah. Sehingga dalam laporan Komisi Thalman ia digambarkan sebagai Bupati Sumedang yang “cerdas, pintar, dan aktif”. Ia merupakan bupati senior diantara Bupati Priangan lainnya. Kelebihannya karena pengetahuan penanaman kopi yang dimilikinya. Mengenai Pangeran Kusumahdinata ini terdapat 90 paragraf dari laporan yang memuat informasi bahwa “ketertiban keamanan di Kabupaten Sumedang adalah yang terbaik”. (Herlina, 2008:164).
4.2 Peran Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata (Pangeran Kornel)” Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Sumedang.
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Adipati Surianagara, masyarakat yang tanahnya tidak cocok untuk lahan perkebunan kopi dibebaskan dari kewajiban menanam kopi. Bagi rakyat Sumedang, tidak jarang lahan perkebunan kopi dan tempat tinggalnya berjarak jauh. Maka dari itu atas inisiatif Raden Tumenggung Adipati Surianagara, petani yang kebun kopinya jauh dapat menyerahkan penggarapan kepada orang lain yang berada dekat dengan kebun kopi. Sehingga dapat dikerjakan sebagai buruh atau pekerja. Sehingga kedua belah pihak akan memperoleh keuntungan. Bahkan pemerintah turut memperoleh keuntungan. Hal ini karena kegiatan penanaman kopi menjadi tidak membebani rakyat kecil. (Herlina, 2008:163).
Adanya sistem diatas membuat rakyat lebih senang menyumbang untuk kehidupan orang lain daripada pergi sendiri ke gunung melalui jalan yang sukar dan jauh untuk membersihkan kebun, meninggalkan anak dan istri sekian lama, jika diwajibkan menyediakan waktu untuk membersihkan kebun. (Herlina, 2008:163). Hal ini sangat berperan dalam kehidupan sosial, dimana pada masa Pemerintahan Raden Tumenggung Adipati Surianagara, secara tidak langsung telah mengajarkan kepada rakyatnya untuk membagi rejeki untuk orang lain (tidak serakah). Sehingga pada masa itu fenomena miskin tidak tergambarkan, karena kehidupan masyarakat mengalami kecukupan. Hal ini membuat tidak adanya kesenjangan dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan pada kehidupan sosial masyarakat, Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata telah berhasil menciptakan kehidupan rakyat yang tidak terkekang dengan sistem perkebunan. Pemerintahannya berperan dalam menciptakan rakyat yang bebas dari paksaan.
Selanjutnya, potensi yang dimiliki Priangan mendorong Daendels untuk tidak melewatkan wilayah ini dalam menjalankan praktik kolonialnya. Akan tetapi fenomena bupati yang ada membuat Daendels mulai fokus untuk memperhatikan keberadaan para bupati di Priangan dalam menerapkan kebijakannya. Maka itu dalam menjalankan misi pembangunan Jalan Anyer-Panarukan yang ditujukan untuk mempertahankan Pulau Jawa Dari Serangan Inggris, Daendels meminta bantuan dari para bupati lokal.
Ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal (1808-1811) terjadi peristiwa “Cadas Pangeran” yang terkait dengan pembuatan Jalan Raya Pos (Grote Postweg). Dalam pembangunan jalan, rakyat dari berbagai pelosok Sumedang dipaksa untuk bekerja keras menembus bukit batu (cadas) dengan peralatan seadanya dan makanan yang tidak cukup. (Herlina, 2000:85). Sehingga dalam pembangunan jalan ini banyak sekali tenaga kerja pribumi yang menjadi korban, apalagi pembuatan jalan yang melalui wilayah Priangan melewati berbagai curam. Sebut saja Sumedang yang dikenal daerah berbatu dan penuh nyamuk malaria. Sehingga pada saat itu banyak kuli yang lelah, mati karena malaria. Berdasarkan catatan Pemerintah Interregnum Inggris, korban tewas dalam pembangunan Jalan Raya ini sekitar 12000 orang. (Herlina, 2008:156).
Karena jumlah rakyat yang menjadi korban, maka Bupati Sumedang waktu itu Rd. Tmg. A.A Surianagara Kusumadinata dengan berani melakukan protes kepada Daendels, bahkan ia menyalami Daendels dengan menggunakan tangan kiri. Hal ini tidak membuat Daendels marah, justru ia kagum atas keberanian Bupati yang kemudian diberi nama Pangeran Kornel tersebut
Adapun peristiwa tersebut diabadikan masyarakat Sumedang dengan mendirikan tugu yang dipasang di persimpangan Jalan Cadas Pangeran lama dengan Jalan Cadas Pangeran baru. (Herlina, 2008:156). Pada masa Gubernur Jenderal van Der Capellen, di sepanjang jalan ini dibangun stasion-stasion pos dan kandang kuda dalam jarak antara 15-20 km. (Herlina, 2008:156). Sekitar tahun 1820 pembangunan jalan ke Ciherang dilanjutkan dengan pengawasan bupati sendiri. (Herlina, 2000:86). Selanjutnya Pangeran Kornel mengawasai pembangunan jalan raya di daerah Cadas Pangeran antara tanggal 21 Nopember 1821 hingga 12 Maret 1822 dengan dimandori oleh Demang Mangkupraja. Jalan ini pertama kali dicoba oleh Residen Priangan pada tanggal 20 Februari 1822 dan kemudian dicoba kembali bersama Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 29 Juli 1822. (Herlina, 2000:87).
Pada awal 1818 Raden Tumenggung Adipati Aria Surianagara mendapat gelar “pangeran”. Kemudian ia mendapat lencana “Bintang Mas” yang bertulis “Voor betoonde moed en touw” (tanda keberanian dan kesetiaan yang diperlihatkan) sebagai jasa telah memajukan daerah Sumedang dan turut mengatasi pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Bagus Serit dan Bagus Rangin. Hal ini yang menyebabkan pergantian nama Bupati menjadi Pangeran Kusumahdinata dan mendapat julukan “Pangeran Kornel”. Ia adalah Bupati Sumedang yang melukis tinta emas dalam lembaran-lembaran sejarah Sumedang. (Herlina, 2008:164). Ia mendapat gelar titular karena keberaniannya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon. (Herlina, 2000:86).
Dalam kehidupan sosial masyarakat Sumedang, Pangeran Kornel telah menunjukkan diri untuk melindungi segenap rakyatnya. Kegiatan apapun yang diupayakannya tidak lain diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat Sumedang. Sehingga ia dianggap sebagai pemimpin tradisional yang dapat digolongkan mampu untuk mempertahan prilaku zaman dulu walaupun zaman sudah berubah. Seorang ”menak” harus sabar, teguh pendirian, berani, selalu membela kebenaran, lancar dalam berbicara, punya rasa malu, bersamangat, jangan berlebihan, dan jangan merampas hak orang lain. (Herlina, 2000:149). Kriteria tersebut tidak jauh dari sosok Bupati Sumedang ke-12 ini. Dalam pandangan rakyat, keberanian Pangeran Sumedang melawan kesewenangan atasan, jelas menambah wibawa dirinya. Konsep wibawa (prestige) bearti kedudukan terpandang yang membawa pengaruh besar. (Herlina, 1998:279).
SIMPULAN
Sumedang Kabupaten yang menjadi bagian Keresidenan Priangan. Pada masa Kolonial wilayah ini memberikan kontribusi baik berupa hasil alam seperti beras, nila, teh, aren, kelapa, dan kopi (sebagai komoditas utama), maupun berperan dalam pembangunan jalan grote postweg. Apabila melihat dari kacamata sejarah, wilayah ini memiliki predikat dibawah Cianjur dan Bandung (dalam hasil alam berupa kopi dan beras dan komoditas lainnya), akan tetapi pada masa kerajaan, wilayah ini merupakan tempat berdirinya kerajaan besar yaitu “Sumedang Larang” yang dianggap sebagai penerus dari Kerajaan Sunda (Pajajaran) yang mengalami keruntuhan pada tahun 1579.
Kenyataan ini diperjelas oleh adanya beberapa fakta sejarah yang mengisahkan bahwa wilayah ini pernah diperebutkan oleh Banten, Cirebon, Mataram, dan Kompeni. Di dalam perkembangannya untuk menjadi sebuah peradaban lokal, maka Sumedang tidak lepas dari peran penguasanya. Diantara penguasa lokal yang memimpin Sumedang, tidak seluruhnya mampu menuliskan tinta emas, bahkan didalam dinamika sejarahnya, perjalanan Sumedang telah mengalami pasang surut.
Hingga akhirnya daerah ini mencapai kemajuan.salah satu diantara sosok pangeran yang mampu mengangkat Sumedang sebagai suatu peradaban yang maju ialah Raden Tumenggung Adipati Surianagara Kusumadinata (Pangeran Kornel) 1791-1828.
Ia adalah Bupati Sumedang yang telah berhasil merombak hutan lebat menjadi areal perkebunan kopi yang subur. Ia bahkan mengorganisasikan sendiri untuk meningkatkan mutu tanaman kopi. Sehingga dalam kehidupan ekonomi masyarakat Sumedang mengalami kemajuan dan kesejahteraan. Sedangkan pada kehidupan sosial, ia berhasil menciptakan masyarakat Sumedang yang ulet dan terbebas kesenjangan sosial, serta hidup dalam paksaan. Ia merupakan pemimpin yang cerdas dan aktif. Ia juga berani. Segala potensi yang dimilikinya terukir lewat beberapa penghargaan yang diraihnya, salah satu diantaranya adalah lencana “Bintang Mas” yang bertulis “Voor betoonde moed en touw” (tanda keberanian dan kesetiaan yang diperlihatkan) dan gelar Kolonel yang melekat pada dirinya, sehingga ia dikenal dengan julukan “Pangeran Kornel”.
DAFTAR SUMBER
Abdulah, Taufik (ed). 2005. Sejarah Lokal di Indonesia.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Burger. D.H 1962. Sejarah Sosial Ekonomis Sosiologis Indonesia.
Jakarta : Pradnjaparamita.
Dienaputra, Reiza D. 2006. Sejarah Lisan ; Konsep dan Metode.
Bandung : Balatin Pratama
Ekadjati, Edi. 2009. Kebudayaan Sunda Zaman Padjajaran (Jilid 2).
Jakarta : Pustaka Jaya.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jilid 15). 1991.
Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka.
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah
(terjemahan). Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia
Hardjasaputra, Sobana. 2004. Bupati Di Priangan.
Bandung : Yayasan Pusat Studi Sunda.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.
Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda
. 2000. Tradisi Dan Transformasi Sejarah Sunda
Bandung : Humaniora Utama Press
. 2000. Sejarah Kota-Kota Lama Di Jawa Barat.
Jatinagor : Alqaprint.
. 2003. Sejarah Tatar Sunda .(Jilid I).
Bandung : Satiya Historika.
. 2008. Metode Sejarah.
Bandung : Satiya Historika
,dkk. 2008. Sejarah Sumedang Dari Masa Ke Masa.
Bandung : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Sumedang dan Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
. 2009. Historiografi Indonesia Dan Permasalahannya.
Bandung : Satiya Historika
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto,
Nugroho.1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka
Raffles, Thomas Stamford.1982. History Of Java.
Kuala Lumpur : Oxford University
Tempo, 2002
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Jakarta Timur : Lentera Dipantara
Vlekke, Bernard. 1961. Nusantara. Jakarta : Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar