Minggu, 31 Oktober 2010

RESPONS PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP KEDUDUKAN PEMIMPIN TRADISIONAL DI PRIANGAN (PADA MASA PEMERINTAHAN GUBERNUR JENDERAL H.W. DAENDELS)

(Diajukan untuk mengumpulkan tugas kelompok mata Dinamika Sejarah Lokal)
Dosen : Bapak Awaludin Nugraha Drs., M.Hum



Disusun oleh : Kelompok 3
1. Merlina Agustina Orllanda
2. Tia Septiani
3. Farhan S. Nuzulliana
4. Rizki Dwi Novianto
5. Angga Tresna
6. Eva Wati

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS SASTRA/ JURUSAN ILMU SEJARAH
Jatinangor Bandung-Indonesia

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Sujudku takkan memuaskan inginku
‘ tuk haturkan sembah sedalam kalbu
Adapun ku persembahkan syukurku pada-Mu ya Allah untuk nama, harta, dan keluarga yang mencinta
Dan perjalanan yang sejauh ini tertempa
Alhamdulillah pilihan dan kesempatan yang membuat hamba mengerti lebih baik bermakna diri
Semua lebih bearti akan mudah di hayati
Alhamdulillah…alhamdulillah………alhamdulillah ya Rahman.
( Too Phat Feat. Dian Sastro )
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “ RESPONS PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP KEDUDUKAN PEMIMPIN TRADISIONAL DI PRIANGAN (PADA MASA PEMERINTAHAN GUBERNUR JENDERAL H.W. DAENDELS”).
Banyak proses yang telah ditempuh oleh penulis dalam pembuatan makalah ini. berbagai hambatan yang tidak kalah hebatnya, yaitu pada tahap heuristik sumber dan kritik. Selain itu juga terdapat rasa lelah, jenuh, keterbatasan waktu dan sebagainya. Namun demikian hal diatas tidak menyurutkan semangat penulis untuk menyelesaikan kewajibannya.
Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih terhadap petugas Perpustakaan Daerah dan Perpustakaan Fakultas Sastra Unpad. Hal ini berkaitan dengan kesabaran bapak dan ibu melayani penulis untuk mencari sumber. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.’Amien’.
Penulis menyadari bahwa makalah ini mengandung banyak kekurangan baik dari segi historiografi maupun metodologi. Penulis telah berusaha semampunya untuk mengoptimalkan penulisan makalah ini. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membantu bagi peembuatan makalah selanjutnya.

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 5
1.3 Tujuan 6
1.4 Manfaat Penelitian 6
1.5 Metode Penelitian 7
1.6 Sistematika Penulisan 9
BAB II BUPATI DI PRIANGAN
2.1 Gambaran Mengenai Bupati ”Kaum Menak” Di Priangan 10
2.2 Hak Istimewa Bupati Sebagai Pemimpin Tertinggi Lembaga
Tradisional Di Priangan 13
BAB III PEMBAHASAN GUBERNUR JENDERAL H.W DAENDELS DAN KEBIJAKAN ATAS BUPATI DI PRIANGAN

3.1 Daendels Dan Tugasnya Di Priangan 15
3.2 Pembenahan Administrasi Daendels Dan Kebijakan Terhadap
Bupati Di Priangan 17
SIMPULAN 21
DAFTAR PUSTAKA 22




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara Kepulauan. Hasil alam yang melimpah membuat wilayah ini dikenal sebagai ‘Zamrud Khatulistiwa’. Adapun Kepulauan Indonesia adalah salah satu wilayah paling vulkanik di dunia. (Vlleke, Bernard, 1958: 10). Hal ini bisa dijadikan sebagai alasan kedatangan orang-orang Eropa untuk menerapkan politik imperialismenya. Dengan adanya semangat Renaissance (pada abad 15-16 M) di Eropa telah membawa perkembangan bagi ilmu pengetahuan. Dalam hal ini hubungan antara ilmu pengetahuan dan nusantara yang mengundang perhatian akan terlihat pada pelayaran bangsa Eropa. Orang-orang Eropa merupakan bangsa petualang dan dikenal sebagai penjelajah lautan. Hal ini disebabkan oleh keadaan suhu dan topografi di Eropa yang tidak mampu menghasilkan tanaman tropis. Padahal tanaman tropis seperti rempah-rempah sangatlah dibutuhkan di negeri tersebut.
Apabila menyinggung sejarah kolonialisme di nusantara, maka perhatian kita akan mengarah kepada bangsa Belanda. Hal ini karena dari sekian penjajahan bangsa Eropa, bangsa Belanda yang paling menunjukan eksistensinya sebagai aktor imperialisme di kepulauan yang didalamnya pernah terdapat sekian banyak kerajaan kerajaan tradisional tersebut. Adapun hal yang melatarbelakangi kedatangan Belanda ke Nusantara dipengaruhi oleh situasi politik di Eropa. Keadaan ini disebabkan oleh perang 20 tahun yang terjadi antara Belanda dan Spanyol (sejak tahun 1568). Ketika Portugis berada di bawah kekuasaan Spanyol pada tahun 1580, Raja Philips II melarang Belanda untuk melakukan kegiatan ekonomi di sekitar pelabuhan Lisabon. Pada saat itu kegiatan perdagangan Belanda menjadi terhenti, usaha untuk mencari jalan ke sebelah utara Rusia dan Siberia yang dilakukan Belanda mengalami kegagalan. Sehingga bangsa Belanda mencari jalan keluar dengan mengikuti rute perjalanan yang mengelilingi Afrika; sebelumnya pernah dilalui oleh bangsa Portugis untuk mencapai Asia. (Burger, 1956: 53). Rute inilah yang kemudian membawa pasukan Cornelis de Houtman mendarat di Banten pada 23 Juni tahun 1596. Pada saat itu Banten yang mempunyai barang dagangan yang dihasilkan dalam negeri sendiri seperti, lada yang diekspor keluar Indonesia. (Burger; 1956:54). Selain itu Kerajaan Banten yang berada diujung barat Pulau Jawa sedang mengalami perkembangan sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam. Hal ini membuat Banten menjadi penguasa jalur pelayaran perdagangan di Selat Sunda yang kemudian menjadi saingan berat VOC (Belanda). (Herlina, 2004:4).
Sejarah dekolonisasi Indonesia sebenarnya lebih dari sekedar sejarah politik. Awal perjumpaan antara orang Belanda dengan Banten ini yang kemudian akan membawa peralihan status nusantara menjadi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) yang memiliki arti “Hindia Milik Belanda”. (Saringendyanti,Etty:2009:2). Untuk mencapai tahap tersebut, maka praktik imperialisme pertama oleh bangsa Belanda diawali dengan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan dilanjutkan oleh pemerintahan (langsung) dengan pemerintahan kolonial Belanda, maka namanya dikenal dengan Hindia Belanda, “Nederlands-Indie”. (Herlina, 2004: 3). Dari sini lah akan dijumpai Orang-orang Belanda yang menghampiri Hindia dan kemudian menetap (Blijver).
VOC (Veregnigde Oost Indische Compagnie) didirikan pada tanggal 20 Maret tahun 1602 dan peresmian piagamnya pada tahun 1623. Kongsi dagang tersebut dimiliki oleh orang-orang Eropa, namun pada pelaksanaannya berada dibawah naungan pemerintah Belanda. Adapun orang yang menggagas terbentuknya VOC ialah Johan van Ondebarnevelt (seorang pembesar Belanda). (Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag:2002:3). Sehingga wajar saja apabila hak-hak istimewa serikat dagang tersebut pada waktu itu tidak lepas dari persetujuan Raja Belanda. Akan tetapi, keberadaan serikat dagang ini tidak bertahan lama dikarenakan praktek korupsi. Selain itu Belanda juga melakukan monopoli terhadap Banten dengan menjadikan Batavia sebagai pusat politik perdagangan. Sehingga pada tahun tanggal 31 Desember tahun 1799 VOC resmi dibubarkan. (Herlina, 2003:335). Hal ini berdampak pada dibukanya perdagangan bebas. Dengan demikian sejak 1 Januari 1800 kegiatan VOC sudah tidak terlihat dilaksanakan lagi.
Peralihan dari abad ke-XVIII menuju abad XIX telah menunjukan transisi dari masa VOC menuju pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1780 Belanda terlibat dalam perang Perancis-Britania- Amerika. Koloni-koloni Belanda tidak mempunyai pertahanan memadai untuk melawan serangan Britania.Yang lebih parah ialah bahwa Britania berhasil memblokade dengan sangat efektif pelabuhan-pelabuhan Belanda sehingga semua hubungan langsung antara Belanda dan Hindia terputus.(Vlleke, Bernard, 1958:261). Hal ini kemudia menyebabkan Produk-produk tropis tertimbun di gudang-gudang Batavia. Produk yang bernilai jutaan ini tidak bisa diperdagangkan dan suplai perak dan tembaga dari negeri Belanda tidak dapat tiba. Batavia tidak diperbolehkan menjual produknya dipasar terbuka untuk memperoleh uang kontan yang dibutuhkan. (Vlleke, Bernard, 1958:261).
Di negeri Belanda, Kompeni tidak dapat lagi membayar utangnya dan nyaris bangkrut. Di Asia Tenggara ia kehilangan kepercayaan. Seusai perang, urusan Kompeni tidak pernah pulih lagi. (Vlleke, Bernard, 1958:261). Adanya perjanjian perdamaian di Paris pada tahun 1784 telah mematahkan monopoli pelayaran Belanda di perairan Hindia Timur. Hal ini karena perjanjian tersebut membuka semua laut Kepulauan Hindia Timur, bahkan jalur ke Maluku yang dijaga dengan saksama terhadap kapal-kapal Britania. (Vlleke, Bernard, 1958:261-262). Persaingan yang ditakuti bukan hanya dari Britania tapi juga Amerika. Hal ini karena pemilik kapal-kapal Amerika sedang melengkapi kapal untuk berdagang dengan Hindia Timur. (Vlleke, Bernard, 1958:262).
Dari tahun 1795 sampai dengan tahun 1810 Belanda menjadi negara taklukan Perancis dengan sedikit kebebasan bertindak. Tetapi pemerintahan yang demokratik di Den Haag jelas pemerintahan sah di Negeri Belanda. (Vlleke, Bernard, 1958:263). Sehubungan dengan adanya sentralisasi kekuasaan, maka Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. (Ricklefs.1998 :170). Pada tahun 1808 Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1811). (Ricklefs.1998 :171).
Pasca masa VOC, Pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai praktek perbaikan ekonomi yang bertujuan untuk menutupi hutang yang ditinggalkan dari masa VOC. Selain itu juga bertujuan untuk memberi keuntungan pada negeri induknya yaitu Belanda. Fenomena usaha perbaikan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda di tanah jajahan telah melewati berbagai proses dan tahapan. Adapun tahap awal dari Pemerintahan Hindia Belanda adalah masa Daendels (1808-1811). Pada masa awal kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama ini bukan hanya fokus pada perekonomian, tapi juga pada pertahanan Pulau Jawa untuk dijadikan basis melawan Inggris di Samudra Hindia. (Ricklefs.1998 :171).
Dengan amanat dari Raja Louis, Daendels menjalankan tugasnya di Hindia Belanda dalam keadaan yang serba minim. Peninggalan keruntuhan VOC, hanya membuat Daendels dituntut bekerja keras untuk memenuhi keuangan Negara. Adapun tugas pokok Daendels mengenai pertahanan militer terhadap serangan Inggris dan menyelamatkan Batavia sebagai ibukota kerajaan dunia Belanda di Asia merupakan salah satu dari faktor yang meliputi masalah keuangan. (Tour, 2005: 19). Apalagi dengan bertempat tinggal di Batavia, yang pada masa lalu identik dengan praktik korupsi dan kekotoran, membuat Daendels tidak nyaman untuk menjalankan tugasnya disana. Maka dari itu Daendels kemudian pindah ke Bogor. Dari sini lah Daendels bisa mengetahui bahwa di Jawa Barat terdapat Bumi Priangan yang dapat disebut juga Parahiyangan, tempat para hyang (= leluhur atau dewa). Bersemayam. (Tour, 2005: 60)
Adapun daerah Tatar Sunda saat itu terbagi atas Jakarta dan daerah sekitarnya (Bogor, Tanggerang, Krawang), Kesultanan Banten, Priangan (Cianjur, Sumedang, Parakamuncang), dan Kesultanan Cirebon mencakup (Limbangan, Sukapura, dan Galuh). (Herlina, 2003: 335). Bumi Priangan yang dijumpai Daendels di Tatar Sunda ialah daerah vulkanis yang dibentuk oleh gunung-gunung berapi dengan ketinggian antara 1.800 hingga 3.000 m diatas permukaan laut, seperti Gunung Gede, gunung Galunggung, gunung papandayan, gunung Tangkuban Perahu, gunung Guntur, dan Gunung Cikuray.(Herlina, 2004:25). Adapun luas Keresidenan Priangan, kurang lebih seperenam Pulau Jawa. Disebelah utara berbatasan dengan Keresidenan Batavia dan Cirebon, disebelah timur berbatasan dengan Cirebon dan Bayumas, disebelah selatan dan sebelah barat daya berbatasan dengan Samudra Hindia, dan disebelah barat berbatasan dengan Banten. (Herlina, 1998: 25).
Wilayah Priangan yang disebut si Jelita ini memang berbeda dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Hal ini karena Pemerintah Kolonial memasuki wilayah Priangan tanpa susah payah. Justru daerah yang pernah menjadi Kekuasaan Mataram ini mampu memberikan keuntungan bagi Pemerintah Hindia Belanda melalui koffie-stelsel alias tanam paksa kopi. (Tour, 2005: 59-60). Dengan demikian Parahyangan seakan –akan mewakili romantisme kolonial tentang Mooie Indie “Tanah Hindia yang Indah”. (Herlina, 2003: 335).
Priangan tidak hanya memiliki potensi berupa hasil alam, tapi juga ikatan kekerabatan yang kuat di dalam lingkungan masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan adanya penguasaan wilayah oleh kelompok aristokrat lokal yang disebut ‘kaum menak’. (Herlina, 2000:136). Adapun ‘kaum menak’ yang dimaksud ialah bupati. Bupati adalah sebutan umum yang digunakan untuk gubernur propinsi dan disebut adipati. (Raffles, 2008 : 171). Biasanya bupati mendapat tempat yang sangat istimewa di masyarakat. Hal ini karena pada masyarakat Sunda keberadaan bupati merupakan pemimpin tertinggi secara tradisional yang sangat berpengaruh.
Potensi yang dimiliki Priangan mendorong Daendels untuk tidak melewatkan wilayah ini dalam menjalankan praktik kolonialnya. Akan tetapi fenomena bupati yang ada membuat Daendels mulai fokus untuk memperhatikan keberadaan para bupati di Priangan dalam menerapkan kebijakannya. Adapun penjelasan dari uraian diatas merupakan fenomena lokal yang menarik sehingga mendorong penulis untuk membahas kajiannya pada makalah yang berjudul “RESPONS PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP KEDUDUKAN PEMIMPIN TRADISIONAL DI PRIANGAN (PADA MASA PEMERINTAHAN GUBERNUR JENDERAL H.W. DAENDELS)”. Untuk pemahaman lebih lanjut akan dijelaskan pada bab pembahasan.

1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah maka materi yang dikaji akan difokuskan pada pembahasan mengenai aspek berikut :
1. Merumuskan Pengaruh dan Peran Bupati terhadap Masyarakat di Priangan.
2. Merumuskan Tugas Daendels sebagai Gubernur Jenderal pada Pemerintahan Hindia Belanda di Priangan.
3. Merumuskan Tindakan Pemerintahan Hinadia Belanda Terhadap Keberadaan Bupati Dalam Lingkungan Masyarakat Priangan.

1.3 Tujuan
Pada pembuatan makalah ini, penulis memiliki maksud dan tujuan untuk menjawab identifikasi masalah di atas yang akan dikemukakan pada subbab. Adapun ruang lingkup pembahasan mencakup hal di bawah ini :
1. Untuk menjelaskan Pengaruh dan Peran Bupati terhadap Masyarakat di Priangan.
2. Untuk menjelaskan Tugas Daendels Sebagai Gubernur Jenderal Pemerintahan
Hindia Belanda di Priangan.
3. Untuk memaparkan Tindakan Pemerintahan Hindia Belanda Terhadap
Keberadaan Bupati Dalam Lingkungan Masyarakat Priangan.

1.4 Manfaat Penelitian
Pembuatan makalah ini memiliki manfaat praktis sebagai berikut :
1. Dapat memberi pengetahuan mengenai Pengaruh dan Peran Bupati terhadap Masyarakat di Priangan.
2. Dapat menambah wawasan mengenai Tugas Daendels Sebagai Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda di Priangan.
3. Dapat menambah pengetahuan mengenai Tindakan Pemerintahan Hindia Belanda Terhadap Keberadaan Bupati Dalam Lingkungan Masyarakat Priangan.
4. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk membahas lebih lanjut tentang sejarah Priangan pada masa Kolonial terutama kebijakan yang diterapkan pada pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels .

1.5 Metode Penelitian
Untuk mencari jawaban dari masalah diperlukan langkah penelitian atau prosedur yang sistematis (Webster, 1986 :1422). Dengan kata lain metode penelitian merupakan sarana untuk mencapai tuntutan yang telah dikemukakan dalam identifikasi masalah. Menurut Gottschalk, tahapan analisis disebut metode sejarah. (Herlina, 2008: 3). Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peristiwa masa lampau. (Herlina, 2008: 2).
Keberadaan metode ini ditujukan untuk mengetahui keberadaan fakta didalam sejarah. Fakta merupakan bahan mentah bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Fakta bisa diperoleh melalui sumber berupa data atau dokumen. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan bobot ilmiah yang diungkapkan oleh Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbornne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian work with documents….There is no substitute for documents: no documents, no history”. (Dienaputra, 2006: 6). Sehingga kepercayaan tidaklah sama sekali asing bagi sejarah. (Gottschalk. 1975: 6). Pada pembuatan makalah ini penulis melakukan empat tahapan yang terdapat di dalam metode, yaitu :
1. Heuristik ialah pengumpulan sumber. Sumber yang berhasil diperoleh penulis tidak hanya dikumpulkan tapi juga dihimpun. Hal ini berkaitan dengan peran heuristik sebagai salah satu tahapan dalam metode penelitian sejarah. Dalam kegiatan heuristik penulis menghimpun sumber yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan seperti sumber buku yang memuat informasi mengenai sejarah masuknya orang-orang Eropa ke Nusantara terutama di wilayah Jawa Barat (khususnya Priangan), serta adanya fenomena pemimpin tradisional yang amat berpengaruh di Priangan, dan respons dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap fenomena tersebut. Sumber-sumber yang berkaitan dengan tindakan Daendels untuk menjalankan tugasnya di Hindia Belanda dan kebijakan yang diterapkan nya di wilayah Priangan, terutama yang berkaitan dengan pembagian wilayah administratif.
2. Setelah melalui tahap Heuristik maka hasil penelitian harus melewati tahap Kritik atau verifikasi untuk meneliti keaslian dan keabsahan sumber. Verifikasi (kritik sejarah) ada 2 macam:
1) Kritik eksternal yang bertujuan untuk menentukan sejauh mana otentisitas (keaslian sumber).
2) Kritik internal yang bertujuan untuk menguji Kredibilitas sumber. Hal tersebut bertujuan untuk menjawab setiap pertanyaan apakah suatu sumber atau kesaksian dapat dipercaya atau tidak.
3. Interpretasi ialah sebuah penafsiran seseorang, beberapa orang atau lembaga. Di dalam penelitian sejarah, interpretasi sering disebut sebagai biang subyektifitas karena apabila seorang Sejarawan salah menafsirkan suatu data maka pengolahan hasil penelitian tidak akan mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. Interpretasi merupakan tahapan dalam metode penelitian sejarah yang berperan untuk menghidupkan kisah sejarah di dalam pembahasan. Pada pembuatan makalah ini penulis menuangkan hasil interpretasi pada hasil kesimpulan. Adapun hasil interpretasi diperoleh dari uraian sebelumnya dan sudah dipastikan berdasar pada data.
4. Historiografi ialah penulisan sejarah. Secara etimologis historiografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “historia” yang berarti “penyelidikan tentang gejala alam fisik” dan “grafien“ yang berarti “gambaran“, “lukisan“, “tulisan”. Di dalam studi sejarah, historiografi merupakan tahapan atau kegiatan menyampaikan hasil rekonstruksi imaginatif masa lampau. Dengan perkataan lain, tahapan historiografi itu ialah kegiatan penulisan. (Herlina, 2008: 16). Historiografi ini disebut sebagai tahap puncak dalam metode penelitian sejarah.
Dari keempat metode penulisan diatas maka penulis akhirnya mampu untuk menghasilkan makalah yang berjudul “ RESPONS PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP KEDUDUKAN PEMIMPIN TRADISIONAL DI PRIANGAN (PADA MASA PEMERINTAHAN GUBERNUR JENDERAL H.W. DAENDELS).Untuk menghasilkan suatu karya yang bersifat ilmiah dalam penelitian atau penulisan sejarah maka keempat tahapan diatas haruslah dilaksanakan terlebih dahulu.

1.6 Sistematika Penulisan
Makalah ini dibuat sebagai syarat untuk mengikuti mata kuliah “Dinamika Sejarah Lokal”. Pada pembuatan makalah ini terdapat sistematika penulisan seperti pada pembukaan makalah terdapat kata pengantar yang kemudian daftar isi. Selain itu makalah ini memuat tiga bab yaitu :
BAB I Menjelaskan tentang Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika penulisan.
BAB II Pada bab ini berisi pembahasan mengenai Kedudukan Bupati atau Kaum Menak Di Priangan. Maka dari itu di dalam bab ii ini terdiri atas sub bab sebagai berikut :
2.1 Gambaran Mengenai Bupati ”Kaum Menak” Di Priangan
2.2 Hak Istimewa Bupati Sebagai Pemimpin Tertinggi Lembaga Tradisional Di Priangan
BAB III Pada bab ini berisi pembahasan mengenai tindakan yang dilakukan Daendels di wilayah Priangan sebagai respons atas kedudukan Bupati sebagai Penguasa Lokal tertinggi. Maka dari itu di dalam bab iii ini terdiri atas sub bab sebagai berikut :
3.1 Daendels dan Tugasnya Di Priangan
3.2 Pembenahan Administrasi Daendels Dan Kebijakan Terhadap Bupati Di Priangan
Setelah konsep latar belakang pada Bab I dipaparkan, kemudian pada Bab II dan Bab III akan menguraikan isi pembahasan. Adapun pembahasan berisi materi mengenai gambaran kedudukan ’Kaum Menak” atau ”Bupati” dan tugasnya sebagai pemimpin tertinggi pada masyarakat tradisional di Priangan. Kemudian Bab III kajian akan memfokuskan pada kebijakan yang diambil oleh Daendels sebagai Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda yang menjadikan wilayah Priangan sebagai lokasi praktik kolonialnya. Dari ketiga Bab diatas maka akan diperoleh satu simpulan sebagai jawaban atas isi latar belakang dan identifikasi masalah yang dikemukakan terlebih dahulu.


BAB II
PEMBAHASAN
BUPATI DI PRIANGAN

2.1 Gambaran Mengenai Bupati ”Kaum Menak” Di Priangan

Bupati di Priangan dapat dikatakan sebagai “kaum menak”. “Kaum menak” ini adalah golongan aristokrat lokal yang menduduki status hieraki tertinggi di dalam status sosial masyarakat. Pada dasarnya bupati sering berasal dari keluarga penguasa lokal yang turun temurun. (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto:1993: 174). Kekuasaan bupati di Priangan sangatlah besar, dimana kekuasaan ini merupakan bukti adanya karakter patrimonialisme dalam pemerintahan ”kaum menak”. (Herlina, 2000:144).
Dengan kedudukan status yang tinggi di masyarakat tentunya golongan ini akan menggambarkan perbedaan dengan orang biasa, dimana perbedaan itu akan terlihat dari cara berpakaian, ikatan perkawinan, budaya keraton, bangunan tempat tinggal, dan jumlah abdi (pembantu). Menurut Dirk Van Hogendorp, maka di rumah para bupati biasanya mempunyai 500 hamba-sahaya. (Burger, 1956:128).
Seorang bupati bukan hanya sekedar penguasa, tapi juga pemilik dari suatu wilayah. Secara tradisional, kekuasaan disimbolisasikan dengan kata ”payung”. Kata ”payung putih” di sini diasosiasikan dengan ”payung kebesaran” yang disebut ”payung bawat”. Maka dari itu sejak pejabat pribumi selalu menggunakan payung pada upacara yang dihadirinya. Payung dianggap sebagai regalia yang penting. (Herlina, 2000:138).
Pada abad ke-19 ”menak” yang ideal tidak hanya dilihat dari segi fisik, tapi juga prilaku. Seorang penguasa haruslah mempunyaI sorot (aura atau sinar) dan memiliki keteguhan hati yang diwujudkan dengan percaya diri. (Herlina, 2000:147). Selanjutnya terjadi perkembangan dalam menentukan tipe ideal seorang penguasa ialah : tabeat luhung (tabiat yang luhur), pamilih (mempunyai pertimbangan untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu), kautamaan (keutaamaan), kasetiaan (kesetiaan), kapinteran (kepintaran), wawanen (keberanian), kapengkuhan (keteguhan hati),elmu (ilmu), dan karajinan (kerajinan). (Herlina, 2000:146).
Sebagai bagian dari sistem politik yang bersifat patrimonial, maka para bupati atau penguasa lokal adalah wakil dan kelanjutan dari kekuasaan raja. (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto:1993: 174). Konsep kekuasaan Sunda dalam penulisan tradisional, menyatakan bupati sebagai penguasa kabupaten. Sehingga diharapkan bupati dapat menjadi ”tunggul payung sadayana para wargi”, tempat berlindung semua sanak saudara, atau bisa ngauban baraya, melindungi sanak keluarga. Apabila seorang ”menak” menginginkan kuda milik rakyatnya, cukup dengan menggunting bulu suri kuda tersebut dan kuda tersebut sudah berganti pemilik. (Herlina, 2000:143). Di kalangan ”menak Priangan” terdapat suatu tradisi yang disebut nyanggrah, yaitu memaksakan kehendak kepada rakyat jelata; jika ia memaksakan kehendak kepada rakyat jelata; jika ia menginginkan sesuatu, maka tidak bisa ditolak. Misalnya saja apabila seorang menak ingin menyanggrah wanita, apabila orang tua wanita tersebut tidak memberi izin, maka si gadis langsung dibawa lari ke ibu kota. (Herlina, 200:143). Akan tetapi, tidak semua ketentuan diatas berlaku, terdapat contoh tragis di dalam ”Sajarah Cikundul” di ceritakan mengenai seorang Bupati Cianjur yang menyukai gadis desa yang sudah bertunangan. Perlakuan bupati tersebut tidak disukai oleh tunangan si gadis, dan bupati yang dikenal dengan nama Dalem Dicondree itu tewas terbunuh dengan sebuah condre (badik). (Herlina, 200:185).
Pada aspek perkawinan, maka akan diperoleh gambaran mengenai perkawinan yang terlaksana antara keluarga bupati dalam satu keresidenan. Hal ini ditujukan untuk mempertahankan kemurnian darah bangsawan sekaligus untuk mempertahankan status. (Herlina, 2000:206). Adapun perkawinan antarakerabat di kalangan menak Priangan sangat umum terjadi dan upacara perkawinan pun berlangsung amat megah. (Herlina, 2000:215). Biasanya perkawinan antara kaum menak yang lebih tinggi dapat mengangkat status sosial kedudukan menak yang lebih rendah. (Herlina, 2000:210). Pada lingkungan ”menak” cara perkawinan biasanya dilakukan dengan perjodohan atau direremokeun. Adapun contohnya :
1. R.A.A Martanagara Bupati Bandung, direremokeun. Dengan putri Bupati Sumedang ketika ia masih berumur lima tahun.
2. Bupati Bandung, R.A.A Wiranata Kusumah yang berumur tujuh tahun juga dijanjikan untuk menikah dengan putri Bupati Cianjur yang belum lahir. (Herlina, 2000:214).
Adanya mengenai perkawinan perjodohan diatas tidak selamanya terjadi. Hal ini karena ditemukan pula ”kisah dari seorang jaksa yang menyukai anak bupati, maka dari itu ia mengirimkan surat berisi seratus keping uang emas, dan apabila niat di dalam surat itu diterima, maka akan dikirim balasan berupa rokok yang dilinting sendiri dan harus diberi wewangian kayu gaharu”. (Herlina, 2000:215).
Menurut majalah Poesaka Sunda (1923), menyatakan pendapat bahwa kaum menak memiliki banyak istri dan selir untuk penghibur hati belaka. (Herlina, 2000:218). Di dalam historiografi tradisional, terdapat sumber yang menyatakan apabila seorang bupati baru diangkat, maka kesibukan pertamanya adalah mencari selir.(Herlina, 2000:218). Hal ini karena ”Kaum menak Priangan”, pada umumnya, melakukan poligami (beristri lebih dari satu) dan konkubinasi (berselir banyak). (Herlina, 2000:205).
1. Dalam Wawacan Carios Munada diceritakan seorang Bupati Bandung pada abad ke-19 mempunyai banyak selir yang jumlahnya ratusan). (Herlina, 2000:185).
2. Bupati Sumedang XIII, Pangeran Kusumah Adinata (Pangeran Sugih) yang kaya raya. Ia memiliki empat istri resmi (putri Bupati Cianjur, putri Bupati Bandung, putri Bupati Sumedang, dan putri Bupati Ciamis), dan 27 orang selir yang berasal dari Sumedang. (Herlina, 2000:210).
3. Bupati Sukapura, Raden Adipati Wiraadegdaha (1864-1874). Ia memiliki 30 orang anak dan istri-istri yang berasal dari Garut, Bandund, Tawang, Cibogo, dan Sukapura.
4. Misalnya, Bupati Bandung R.A.A Martanagara (1893-1918) menikahi Raden Ajeng Sangkadiningrat sebagai istri kedua.
Pada aspek pendidikan, ”kaum menak” akan menempuh proses sosialisasi, yaitu proses pembelajaran norma-norma dan kebudayaan dimasyarakat tempat ia menjadi anggota. (Herlina, 1998:207). Anak-anak ”kaum menak” yang sudah cukup umur harus menjalani pendidikan formal. Pada awal abad ke-19 pendidikan tersebut berupa pesantren dan pendidikan kabupaten. Setelah masuknya pendidikan barat di Indonesia, barulah pendidikan gaya barat menggantikan kedudukan pendidikan yang ada di kabupaten. (Herlina, 1998:209).



2.2 Hak Istimewa Bupati Sebagai Pemimpin Tertinggi Lembaga Tradisional Di Priangan

Bupati dan raja merupakan alat organisasi dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Hubungan ini bisa dikatakan sebagai ikatan feodal dari masyarakat Indonesia. (Burger, 1956:107). Pada perkembangan selanjutnya, ”menak Sumedang” pernah menyatakan untuk mempertahan prilaku zaman dulu walaupun zaman sudah berubah. Seorang ”menak” harus sabar, teguh pendirian, berani, selalu membela kebenaran, lancar dalam berbicara, punya rasa malu, bersamangat, jangan berlebihan, dan jangan merampas hak orang lain. (Herlina, 2000:149).
Adapun Konsep kekuasaan dalam tradisi Sunda berdasarkan ”naskah Amanat dari Galunggung” dinyatakan, bahwa seseorang dapat menjadi penguasa di suatu daerah apabila ia menguasai kabuyutan di daerah tersebut. Kabuyutan (mandala) merupakan tempat suci atau tempat keramat yang mempunyai perkuburan leluhur atau tempat pemujaan. Maka dari itu Kabuyutan harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan apabila mendapat serangan dari musuh. (Herlina, 2000:137). Sehingga ikatan feodal ini adalah ikatan langsung dari pranata, bukan dari perjanjian. (Burger, 1956:108).
Sebelum Priangan jatuh ketangan VOC, Sultan Mataram melakukan reorganisasi di Priangan. Adapun para penguasa tertinggi di Mancanegara Barat ini diberi jabatan sebagai ”bupati”. (Herlina, 1998:71). Didalam konsep Sunda, Lenski menyatakan, bahwa ada hubungan fungsional antara kekuasaan dan prestise (wibawa karena prestasi tertentu, termasuk kejayaan), dan hak-hak istimewa (yang antara lain melahirkan kekayaan). (Herlina, 2000:137). Selaku kepala rakyat para Bupati Priangan memiliki hak-hak istimewa yang sebelumnya dimiliki oleh raja-raja, antara lain :
1. Hak pemilikan tanah
2. Hak penguasaan pengabdian dari penduduk
3. Hak memungut pajak
4. Hak atas perikanan dan berbuuru
5. Penentuan hukum sendiri
(Herlina, 1998:72).
Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari hasil panen dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada diwilayah kekuasaannya. Bagi petani pengurangan penyerahan panen dan kerja wajib itu boleh jadi tidak penting namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status simbol sebagai seorang penguasa tradisional. Kekayaan ”kaum menak” tertinggi, dalam hal ini ialah bupati, yang memperoleh penghasilan dari sumber keuangan seperti hasil tanah, bermacam-macam pajak, dan tenaga kerja wajib (verplichte diensten). (Herlina, 1998:79). ”Kaum menak” memiliki gaya hidup yang penuh kebesaran, kekayaan ”kaum menak” terlihat dari bentuk rumah, gaya berpakaian, dan konsumsi barang. (Herlina, 1998:79).
Bupati di daerah Kompeni mempunyai kedudukan yang paling berkuasa. Kekuasaan dari para bupati tampak dari kemuliaan dan upacaranya. (Burger, 1956:127). Adanya hak-hak istimewa yang diperoleh oleh ”kaum menak” bupati, membuat golongan ini merasa lebih dari orang biasa. Apalagi dari sebagian besar mereka adalah kaum birokrat yang berpendidikan dan mengenal sistem pemerintahan. Maka dari itu ”kaum menak” bupati di Priangan dapat membangun pola-pola kehidupan yang bersifat aristokrat.
Apabila bupati menghendaki sesuatu, misalnya ternak, wanita atau sekedar hasil bumi, maka tidak ada satu oranng pun yang bisa menghalanginya. Hal ini dapat diartikan sebagai hubungan kolot antara kekuasaan dan ketaatan, seperti kenyataannya antara pemegang kekuasaan yang berdiri diatas lingkungan desa dan rakyat jelata. (Burger, 1956:108).
Pada masa VOC kekuasaan pemerintah daerah diserahkan kepada para Bupati. Bagi Pemerintah Kolonial bupati hanya aparat yang harus melaksanakan perintah Gubernur Jenderal dengan sejumlah kewajiban. (Herlina, 2000:144). Sebagai orang yang dekat dengan Pemerintah Kolonial, maka bupati dianggap kaum feodal yang diperalat oleh penjajah untuk menghisap kekayaan bangsa. Pemerintah kolonial mengakui bahwa bupati memiliki otoritas tradisional yang tidak dimiliki oleh Pemerintahan mereka sendiri. (Herlina, 2000:144).





BAB III
PEMBAHASAN
GUBERNUR JENDERAL H.W DAENDELS DAN KEBIJAKAN ATAS BUPATI DI PRIANGAN

3.1Daendels dan Tugasnya Di Priangan
Daendels lahir di Hattem, Gelderland, Belanda, pada tanggal 21 Oktober 1762. Pada tahun 1781 ia lulus sekolah di Hattem dan kemudian melanjutkan sekolah hukum ke Harderwijk. Daendels merupakan mahasiswa yang cerdas, pada tahun 1783 ia mengajukan promosi doktor dengan disertasi “ De Compensatione” (Tentang Kompensasie). Daendels tidak pernah tinggal di Timur. Tapi tampaknya ia jenis orang yang cocok untuk membersihkan Batavia. Daendels akhirnya tumbuh menjadi perwira diktator model Napoleon.
Menurut Pramoedya, untuk mencapai nusantara, Daendels menempuh jalur darat melalui Perancis, Lisboa, dan Cadiz di Spanyol Selatan. Dari sana kemudian Daendels menyebrang kepulauan Kanari di Afrika Utara dan selanjutnya naik kapal Amerika ke New York. ( 2005: 19). Diperkirakan Pada 1 Januari Daendels tiba di pelabuhan kecil dekat Banten. Ia melewati pelayaran yang sulit dan berbahaya dengan melewati Lisbon dan Maroko. (Vlekke, 1958:275). Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa : Pada 5 Januari 1808 Daendels selamat mendarat di Anyer tanpa surat identitas dan surat tugas, karena telah ‘hilang ‘dalam pelayaran penyamarannya. (Tour, 2005: 27). Sesampainya, mendarat di Anyer pada tanggal 1 Januari 1808, kemudian menuju Batavia (5 Januari 1808) yang dijadikan ibukota Hindia Belanda. (Herlina, 2003: 335).
Keberadaan Daendels dapat dikatakan sebagai tokoh kontroversial yang digambarkan seperti manusia berhati baja sekaligus berkepala angin. Ia merupakan pengagum Napoleon, dan ia bayangkan dirinya sebagai Napoleon kecil. (Tour, 2005: 16). Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia oleh Lodewijk Napoleon, setelah ia dinobatkan menjadi Raja Belanda dengan dikeluarkannya besluit tanggal 28 Januari 1807. (Muhammad, 2007: 174).
Pada tahun 1808 Dandels menjadi Gubernur Jenderal pertama yang berkuasa di Hindia Belanda (1808-1811). Adapun tugas utama Daendels adalah menyelamatkan Jawa, satu-satunya pulau besar yang belum dikuasai Inggris. (Tour, 2005: 16). Kemudian, pada tanggal 14 Januari 1808 terjadi timbang terima kekuasaan dari Gubernur Jenderal VOC Wiese kepada Gubernur Jenderal H. W. Daendels. (Herlina, 2003: 335).
Batavia yang dianggap Daendels tidak sehat, membuat Gubernur Jenderal ini memutuskan untuk pindah ke Buitenzorg. Dengan menggunakan 31 tim kuda akhirnya Daendels mulai jalan ke Buitenzorg. (Vlekke, 1958:275). Dari Buitenzorg kemudian Daendels mulai memperhatikan wilayah Priangan. Priangan ini merupakan bagian dari Tatar Sunda atau Tatar Pasundan yang merupakan nama sebuah wilayah di Pulau Jawa, yang keindahan alamnya tidak akan terlupakan, terutama di daerah yang dikenal dengan Priangan atau Parahiyangan. (Herlina, 2003: 3).
Di Priangan ini Daendels kemudian menerapkan praktik “Stelsel Priangan” yang sebelumnya diciptakan VOC dan kemudian diteruskan oleh Daendels. Hal ini karena kehidupan perekonomian di Priangan sejak abad ke-7 tidak lepas dari perkebunan kopi. (Herlina, 1998:27). Adapun praktik tersebut ditujukan untuk memulihkan keuangan Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu Daendels melaksanakan pembenahan administrasi, mendirikan kantor-kantor pengadilan, ia membagi Priangan kedalam beberapa keresidenan dan mengurangi bupati kekuasaan bupati. Daendels mencapai banyak hasil tapi mendatangkan banyak kebencian besar pada orang yang kepentingannya dia rusak. (Vlekke, 1958:276). Misalnya saja, pada kerusuhan yang terjadi di Cirebon dikarenakan Daendels ingin menghapus kabupaten-kabupaten seperti: Wira Desa, Lasem, Kendal, dan Kembang. (Muhammad, 2007: 176). Gubernur Jenderal Daendels tidak mengenal sikap kompromi, ia melakukan perombakan sesuai dengan mutiara-mutiara yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. (Tour, 2005: 19).
Di dalam “Geillustrede Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie” Penulis Belanda menyatakan Daendels sebagai seorang yang kejam dan tidak berbakat menjadi diplomat. Hal ini karena ia tidak cocok bergaul dengan raja-raja pribumi. (Tour, 2005: 132). Pada tahun 1810 Napoleon menurunkan saudaranya, Louis, Raja Belanda, dan memasukan Belanda ke dalam imperium Perancis. Sesudah itu Napoeleon memanggil pulang Daendels san menggantikannya dengan orang yang bersifat lebih moderat (Jan Willem Janssens yang sebelumnya menjadi gubernur provinsi Cape Colony). (Vlekke, 1958:285).
3.2Pembenahan Administrasi Daendels Dan Kebijakan Terhadap Bupati Di Priangan

Secara politik kekuasaan di Hindia Belanda berpusat pada seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu suatu ”Dewan Hindia”. Dalam hal ini tidak berlaku bagi Daendels, hal ini karena Raja Louis memberikannya kekuasaan luar biasa yang membuat Daendels terbebas dari Dewan Hindia. (Leirissa, 1985:5). Di tanah jajahan Daendels mulai bekerja untuk memangkas korupsi, menghancurkan dan membangun administrasi, membangun jalan dan benteng. (Vlekke, 1958:276). Di dalam struktur birokrasi Pemerintahan Daendels memperkenalkan adanya sistem dan pejabat-pejabat birokrasi terpenting di daerah seperti Residen, Asisten Residen, Controleur, dan Aspiran Controleur. Adapun hal ini merupakan Elite Birokrasi Kolonial yang dinamakan ”Binnelands bestuur” (BB). (Leirissa, 1985:5).
Selain kopi, Priangan juga menghasilkan kina, teh, karet, nenas, coklat, lada, dan serat nenas. (Herlina, 1998:3). Apalagi dengan adanya Budidaya kopi di Priangan saat itu mampu mengubah keadaan Jawa Barat menjadi lebih baik. (Vlekke, 1958:222). Pada dasarnya Pemerintah Hindia Belanda menganggap peran dari elite politik pribumi sangatlah penting dalam mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah, terutama terhadap pemungutan hasil bumi. Akan tetapi keberadaan ikatan feodal yang kental di Priangan menimbulkan kecemasan bagi Pemerintah Kolonial. Rasa hormat yang berlebihan dari rakyat terhadap pemimpin tradisional (bupati ”menak’) mendorong Daendels untuk melakukan birokratisasi di kalangan pemerintahan tradisional. Para sultan dan bupati dijadikan pegawai pemerintahan yang menerima gaji, dibawah pengawasan prefek. Sistem pergantian sultan dan bupati yang secara turun temurun tidak diakui, kemudian diganti dengan sistem penunjuk kekuasaan. (Herlina, 2003:337).
Sebelum membenahi birokrasi di Priangan, sebelumnya pada awal perjumpaannya dengan Hindia, Daendels langsung melakukan pembenahan administrasi. Dengan semangat Revolusi Perancis Daendels melakukan perubahan dalam bidang pemerintahan yang berkaitan dengan administrasi wilayah dan kekuasaan elite politik pribumi (sultan dan bupati). Daendels membagi Pulau Jawa atas Sembilan Prefektur. Setiap Prefektur dipimpin oleh seorang Prefek. (Herlina, 2003: 335). Dengan adanya pembagian prefektorat Daendels memutuskan pemisahan kelompok penduduk yang berbeda dalam urusan peradilan. Dia memberikan setiap kabupaten, setiap, pengadilannya sendiri, yang terdiri atas orang-orang Indonesia, dengan dua anggota orang Eropa di pengadilan-pengadilan prefektorat. (Vlekke, 1958:278). Dalam hal ini Daendels melakukan reorganisasi menyeluruh terhadap peradilan. (Vlekke, 1958:276).
Adapun pemerintahan yang dijalankan Daendels bersifat sentralistis. Semua urusan pemerintahan pusat, maupun pemerintahan daerah diatur dari pusat dengan instruksi Gubernur Jenderal. (Herlina, 2003: 336).Kira-kira pada tahun 1800, Kompeni mempunyai daerah yang luas, yakni Batavia, dengan sekitarnya Periangan serta Pantai Timur Laut, terdiri daari daerah pantai sebelah timur Cirebon, dengan meliputi ujung timur Malang sampai Banyuwangi. (Burger, 1956:111). Pada masa itu urusan didalam daerahnya hampir seluruhnya diserahkan kepada bupati masing-masing. (Burger, 1956:111).
Berdasarkan dekrit 18 Agustus 1808 provinsi dibagi ke dalam lima prefektorat dan 38 kabupaten. (Vlekke, 1958:276). Langkah awal yang dilakukan Daendels pada tahun 1808 ialah membagi Pulau Jawa kedalam :
1. Kota Batavia, dan daerah sekitarnya dan kabupaten kabupaten Jakarta dan Priangan, Tanggerang, Karawang, Buitenzorg, Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Parakamuncang.
2. Kerajaan Cirebon dan tiga Kabupaten Priangan, yaitu Limbangan, Sukapura, dan Galuh.
3. Dalam Pesisir timur laut dan Ujung Barat. (Muhammad, 2007: 174).
Selain berdasar pada sistem pemerintahan yang sentralistis, konsepsi Daendels dalam pembagian Pulau Jawa juga dilakukan atas dasar pertimbangan sebagai berikut.
1. Tugas utama Daendels, yaitu mempertahankan Pulau Jawa.
2. Pejabat tinggi sipil dan militer Pemerintah Hindia Belanda saat itu jumlahnya sangat sedikit.
3. Keuangan pemerintahan yang sangat minim. (Herlina, 2003:336).
Sebagai Gubernur Jenderal, Daendels sangat memperhatikan urusan pemerintahan dan administrasi Negara. (Herlina, 2003: 336). Adanya besluit 2 Februari 1809, Dandels membagi Cirebon ke dalam 2 wali daerah (Landdrostaambt). Dimana bagian utara dari kerajaan Cirebon sekarang disatukan dengan daerah Pangeran Gebaang sedangkan yang lainnya disatukan dari Priangan Cirebon dengan Limbangan, Sukapura dan Galuh. (Muhammad, 2007: 174). Adapun Pemerintah Priangan Cirebon diatur besluit tanggal 31 Maret 1809. “Isi dari besluit tersebut “memutuskan, daerah Jakarta Priangan dan Priangan Cirebon untuk disatukan dan diberi nama Priangan-Jakarta-Cirebon. Adapun alasannya berkaitan dengan wajib setor kopi, dan diantara ketiga daerah tersebut hanya daerah Galuh yang letaknya jauh dan tidak menghasilkan kopi, sehingga dianggap tidak begitu penting”. (Muhammad, 2007:175).
Kemudian pada tanggal 20 Juni 1810, ketiga Kabupaten Limbangan, Sukapura, dam Galuh disatukan dalam wali daerah Jakarta dan Priangan Ulu. (Muhammad, 2007:175). Selanjutnya pada tanggal 2 Maret 1811, perubahan pembagian Jawa Barat dalam kabupaten-kabupaten’. Telah disetujui dan ditetapkan;
1. Pertama : kabupaten-kabupaten Limbangan dan Sukapura yang termasuk ke dalam daerah Cirebon-Priangan dihapuskan, dan dimasukan ke dalam daerah Jakarta-Cirebon Priangan, Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Parakamuncang.
2. Kedua ; sebelah Utara Cikoa (dulu terletak dalam Kabupaten Karawang, dan sekarang masuk ke dalam Kabupaten Sumedang,), termasuk distrik-distrik Ciasem dan Pamanukan dari kabupaten yang sama dengan Blandong, daripadanya penambahan dari distrik-distrik di daerah Cirebon yang terletak dipinggiran kali Cimanuk. Adapun daerah-daerah diatas dipisahkan dari daerah Jakarta dan kabupaten-kabupaten Cirebon Priangan dan didirikan suatu kabupaten baru yang bernama Kabupaten Karawang.
3. Ketiga : kabupaten-kabupaten Jakarta dan Cirebon Priangan, mengalami pergantian nama dengan Kabupaten Batavia.

Salah satu tindakan yang diambil Daendels adalah reformasi total wilayah administrasi. Pada maasa Daendels semua wilayah Belanda sebelah timur Cirebon membentuk satu provinsi. (Vlekke, 1958:276). Pada saat itu Kesultanan Cirebon dan Banten masih diberlakukan. Akan tetapi sultan-sultan Cirebon diturunkan ke jabatan bupati.Ketika pada masa Daendels, wilayah Priangan dibagi atas kabupaten-kabupaten seperti Cianjur, Bandung, Parakamuncang, Sumedang, dan Karawang. Wilayah ini dikenal dengan Prefectuur Preanger-Regentshappen. (Herlina, 1998:32).
Sebagian besar wilayah Priangan merupakan daerah semiotonom; pada masa Mataram yang lain diciptakan oleh pemerintah Batavia. (Vlekke, 1958:221). Pada tanggal 25 Mei 1810 Daendels mengeluarkan Surat Perintah kepada Bupati R. Wiranatakusumah II untuk memindahkan lokasi yang ditunjuk mulai tanggal tersebut. (Tour, 2005: 134). Telah diketahui bahwa di Distrik Sunda, anak bupati atau bangsawan di daerahnya biasa dipanggil dengan sebutan raden. (Raffles, 2008 : 172). Maka dari itu Pemerintah Kolonial menggunakan bupati atau raden sebagai perantara (middleman) antara pemerintah dan rakyat dengan menggunakan otoritas tradisional yang dimilikinya. (Herlina, 2000:27).
Pemerintahan Daendels disebut pemerintahan secara langsung (direct rule). Hal ini karena Daendels ingin memerintah rakyat tanpa adanya perantara sultan atau bupati. (Herlina, 2003: 336). Pada masa Daendels, para bupati dijadikan sebagai pegawai pemerintahan yang kedudukannya berada dibawah prefek. (Herlina, 1998:36). Selain itu anggota keluarga bangssawan dan pengikut pribadi bupati diharuskan bekerja berdampingan dengan orang biasa. Akan tetapi sistem leveransi dan kontingenten yang menjadi peran bupati sangat lah penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini bupati sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat tentunya memberikan kontribusi yang besar. Para bupati itu diangkat oleh Gubernur Jenderal, yang kurang lebih menghormati hak-hak keturunan. Bahkan Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh sepersepuluh hasil bumi atau hak pancen dan hak memperoleh tenaga tanpa upah. Ketika itu kekuasaan bupati dibatasi oleh kewajiban meminta persetujuan Batavia mengenai penunjukan para patih atau letnan mereka. (Vlekke, 1958:221).
Pada masa Daendels struktur birokrasi tradisional mengalami dinamika. Adapun hasil dari pembenahan administrasi yang dilakukan oleh Daendels adalah sumbangan yang diberikannya pada awal masa Pemerintahan Hindia Belanda. Priangan bukan hanya berperan dalam menyuplai hasil alamnya pada Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini juga berperan dalam pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan. Sehingga Dalam inspeksi pembangunan Jalan Raya Pos Dandels mengucapkan kata kata “ Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” (usahakan bila aku datang lagi ke sini telah dibangun sebuah kota). Lalu ia menancapkan tongkat kayu ke tanah dan tempat tersebut yang kemudian menjadi titik nol kilometer Kota Bandung. (Tour, 2005: 135). Pada perkembangan Priangan dalam Pemerintahan sesudah Daendels pada abad ke-19. Wilayah ini kemudian berkembang dengan pembagian Keresidenan atas sembilan afdeeling yaitu, Bandung, Cicalengka, Cianjur, Sukabumi, Sumedang, Limbangan, Tasikmalaya, dan Sukapura Kolot. (Herlina, 2003:341).


SIMPULAN

Masa Pemerintahan Gubernur Jenderal H.W Daendels sangat penting untuk dikaji karena pada masa ini banyak meninggalkan sistem birokrasi untuk Hindia. Pada masa Daendels daerah Priangan dikenakan koffie-stelsel, wajib tanam kopi. Adapun sistem ini diperuntukan untuk membiayai Pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Dalam pelaksanaan kebijakan politiknya Daendels sangat terganggu dengan kedudukan bupati ”kaum menak” yang di mata rakyat dianggap sama dengan kedudukan raja. Pada waktu itu bupati menduduki tempat di puncak birokrasi. Hal ini karena bupati memiliki status dan otoritas tradisional tertinggi pada masyarakat di Priangan. Maka dari itu bupati memiliki hak istimewa atas kabupaten yang dikuasainya. Ketidaknyamanan yang dirasakan Daendels karena situasi demikian dianggap tidak efisien untuk mendukung pemerintahannya. Maka dari itu dalam menjalankan pemerintahannya Daendels menerapkan sistem pemerintahan secara langsung (direct rule). Ia ingin memerintah rakyat tanpa perantara sultan atau bupati. Pada praktiknya Daendels kemudian membagi Priangan menjadi beberapa kabupaten. Diantaranya Bandung, Cianjur, Sumedang, dan Parakamuncang. Adapun tujuan dari pembagian ini agar kontrol terhadap wilayah politik tetap efisien sekaligus mengurang kekuasaan bupati. Dalam pemerintahan propinsi jabatan bupati ini ditetapkan oleh Belanda. Disini peran bupati tetap dipergunakan sebagai perantara yang dalam urusan penerimaan kontingent atau wajib setor hasil bumi dari. Dimana dalam praktiknya kedudukan bupati berada di bawah Residen yang akan menekan bupati untuk menaikkan setoran hasil bumi. Sehingga sejak Pemerintahan Daendels, di daerah Priangan, kekuasaan absoulut pemimpin pribumi sudah tidak dirasakan lagi, bupati hanya memangku jabatan atas negara dengan kekuasaan yang kecil, dan merupakan sumber dari kehormatan





DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Taufik (ed). 2005. Sejarah Lokal di Indonesia.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Burger. D.H 1962. Sejarah Sosial Ekonomis Sosiologis Indonesia.
Jakarta : Pradnjaparamita.
Dienaputra, Reiza D. 2006. Sejarah Lisan ; Konsep dan Metode.
Bandung : Balatin Pratama
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah
(terjemahan). Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia
Leirissa. 1985. Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950.
Jakarta : Akademi Pressindo
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.
Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda
. 2000. Tradisi Dan Transformasi Sejarah Sunda
Bandung : Humaniora Utama Press
. 2003. Sejarah Tatar Sunda .(Jilid I).
Bandung : Satiya Historika.
. 2004. Banten Dalam Pergumulan Sejarah
Jakarta : Pustaka LP3ES
. 2008. Metode Sejarah.
Bandung : Satiya Historika
Puar,Etty Saringendyanti dan Wan Irama Puar. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia
. Jakarta : Visi Media
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto,
Nugroho.1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs.1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Raffles, Thomas Stamford.1982. History Of Java.
Kuala Lumpur : Oxford University
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Jakarta Timur : Lentera Dipantara
Vlekke, Bernard. 1961. Nusantara. Jakarta : Gramedia
VOC di Kepulauan Indonesia (berdagang dan menjajah). 2000. Jakarta ; Balai Pustaka. Oleh
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag.
Ziaulhaq, Muhammad dan Elgarsel. 2007. Tatar Garut Historiografi Tradisional.
Bandung : Lingkungan Rahayasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar