RIWAYAT HIDUP AJIB ROSIDI & ROSIHAN ANWAR
Oleh : Merlina Agustina Orllanda
Sastrawan biasanya identik dengan hasil karya-karya saja tapi tidak untuk kedua tokoh Sastra yang namanya sudah tidak asing lagi di Indonesia, yaitu Ajip Rosidi dan Rosihan Anwar. Mereka merupakan tokoh sastrawan yang peduli akan politik dan budaya. Maka itu kedua tokoh tersebut tidak hanya dikatakan sebagai sastrawan saja tetapi juga budayawan dan seniman. Untuk mengenal dan mengetahui tentang Ajip Rosidi dan Rosihan Anwar maka itu kita perlu mengetahui asal usul dan riwayat hidup dari mereka hingga mereka memperoleh nama dan banyak penghargaan seperti yang kita ketahui saat ini.
Untuk yang pertama kita akan membicarakan mengenai riwayat hidup dari H.Rosihan Anwar. Beliau lahir pada tanggal 10 mei 1922 di Kubang Nan Dua ( Sumatera Barat ). Beliau adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara (Rosihan Anwar adalah anak dari seorang saudagar di Sumatera Barat, Padang ). Rosihan Anwar merupakan tokoh pers yang memulai karir jurnalistiknya sejak usia 20 tahun sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada 1950 ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang. Pada tahun 2007, Rosihan Anwar ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta. Pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat. Dan sekarang ia menjadi dosen tidak tetap di Universitas Indonesia. Dalam sejarah beliau pernah disekap oleh penjajah belanda di Bukit duri, Jakarta Selatan. Rosihan Anwar menjalani bangku pendidikan mulai dari HIS, Padang (1935), MULO, Padang (1939), AMS-A II, Yogyakarta (1942), Drama Workshop, Universitas Yale, AS (1950), School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954).
Suami dari Siti Zuraida Binti Moh Sanawi ini telah menulis 21 judul buku dan ratusan artikel, selain itu ia juga merupakan seorang penulis koran, majalah utama di Indonesia serta beberapa majalah terbitan asing. Beberapa hasil karyanya antara lain, Ke Barat dari Rumah,1952, India dari Dekat,1954, Dapat Panggilan Nabi Ibrahim,1959, Islam dan Anda,1962, Raja Kecil (novel),1967, Ihwal Jurnalistik,1974, Kisah-kisah zaman Revolusi,1975, Profil Wartawan Indonesia,1977, Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi,1977 dan Jakarta menjelang Clash ke-I,1978 Menulis Dalam Air, autobiografi, SH,1983. Pada masa peralihan pemerintah orde baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III dari presiden Soeharto. Sayangnya kekuasaan Orde Baru merupakan penutup pedoman pada tahun 1974. Maka itu ia lebih tepat dikatakan sebagai sastrawan, budayawan dan politikus.
Selain Rosihan Anwar sastrawan terkenal lainnya yang berasal dari Indonesia adalah Ajip Rosidi. Beliau adalah pengarang, penyair, publisis, yang pernah menjadi guru besar sastra dan bahasa di negeri Sakura. Ajip Rosidi merupakan tokoh sastrawan yang yang paham akan politik. Pada salah satu hasil karyanya yang berjudul “Trang-trang Kolentrang” Politik Reformasi Dina Surat-surat Ti Jepang ( Grimukti pusaka, Jakarta 1999).
Karya Ajip sebagian besar berupa surat yang ditulis dalam bahasa sunda, kemudian surat-surat tersebut dikirimkan dari negeri Sakura kepada sahabat, teman, dan para elite politik yang ada di Indonesia. Naskah yang dibuat dalam surat-surat Ajip Rosidi sangat kental akan makna politik. Beliau selalu menulis dan memberi kritikan mengenai situasi dan perjalanan politik yang ada di Indonesia, hal tersebut sudah ia lakukan sejak zaman orde lama, orde baru, reformasi hingga sampai pada saat sekarang ini. Selain dalam naskah surat dan tulisan ternyata Ajib juga tidak melepaskan unsur politik dalam Pantun dan puisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar